Oleh: BIYANTO
Ketua Program Studi Politik Islam Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel
Menurut Peraturan Gubernur Nomor 51 tahun 2006 tentang RKPD Jatim 2007, bahwa prioritas program pembangunan adalah penurunan angka kemiskinan hingga mencapai 17 persen dan pemenuhan kebutuhan pangan sebesar 78 persen. Untuk mendukung agenda tersebut, Pmeprov Jatim meluncurkan beberapa program meliputi yang meliputi: (1) pemantapan pelaksanaan program gerdu-taskin yang diprioritaskan untuk daerah tertinggal dan kantong-kantong kemiskinan; (2) mengembangkan program ekonomi kawasan berbasis produk unggulan yang spesifik dan kompetitif; (3) peningkatan program pengembangan desa binaan bekerjasama dengan peruguran tinggi dan LSM; (4) pemantapan pelaksanaan Program Aksi Menanggulangi Dampak Kenaikan BBM (PAM-DKB); (5) mengembangkan program anti kemiskinan; dan (6) mendukung program pembangunan daerah tertinggal.
Beberapa program pengentasan kemiskinan tersebut melengkapi program-program serupa yang telah ada atau sedang berjalan. Misalnya, Bantuan Langsung Tunai (BLT), Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan (Gerdu-Taskin), Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Subsidi Raskin, Subsidi Kesehatan, dan lain-lain.
Kita tentu berharap agar program-program pengentasan kemiskinan tersebut dapat mengurangi beban kehidupan keluarga miskin yang tersebar di seluruh Jatim. Sebab, jika merujuk data Badan Pusat Statistika (BPS) Jatim, tampak jelas bahwa jumlah keluarga miskin dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan. Pada 2004, jumlah penduduk miskin mencapai 6.979.565 jiwa (19,10 persen). Jumlah tersebut mengalami peningkatan sejak ada kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM pada 2005. Tahun tersebut, jumlah penduduk miskin mencapai 3.311.903 KK atau 13.247.612 jiwa (22,51 persen). Angka tersebut mencakup penduduk kategori sangat miskin, miskin, dan mendekati miskin.
Pada 2006, jumlah penduduk miskin berkisar 7.455.655 jiwa (19,89 persen). Sekilas, jumlah itu seperti mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Padahal, sesungguhnya BPS hanya menghitung penduduk yang termasuk kategori miskin dan sangat miskin. Sedangkan yang berkategori mendekati miskin tidak dihitung.
Pertanyaannya, mengapa jumlah penduduk miskin di Jatim terus mengalami peningkatan, sementara telah banyak program pengentasan kemiskinan dilaksanakan? Jika dikaitkan dengan pola dan pendekatan program pengentasan kemiskinan, ada banyak hal yang perlu dievaluasi. Di antaranya, pendekatan, pelaksana program, dan segala bentuk kepentingan yang seringkali menyertai program pengentasan kemiskinan.
Persoalan pertama berkaitan dengan pendekatan dalam memberikan bantuan bagi penduduk miskin. Sejauh ini, banyak program pengentasan kemiskinan yang hanya menggunakan pendekatan instan. Sebut saja program BLT. Secara sepintas, program BLT memang menjanjikan solusi praktis dan pragmatis dalam pengentasan kemiskinan. Tetapi, pendekatan yang digunakan BLT ternyata menimbulkan persoalan lain. Misalnya, persoalan ketergantungan penduduk miskin pada pemberi bantuan. Akibatnya penduduk miskin tidak memiliki keinginan sama sekali untuk memperbaiki taraf kehidupannya. Mereka merasa senang dengan kondisi yang dialami karena pasti ada pihak yang akan memberikan bantuan.
Kondisi seperti ini dapat disebut sebagai kemiskinan kultural. Mereka menjadi miskin bukan karena ada kebijakan dari kelompok struktural yang menyebabkan dirinya tidak memiki akses sosial-ekonomi. Mereka miskin dikarenakan keengganannya keluar dari kesulitan ekonomi yang dihadapinya. Tentu saja, tipikal masyarakat yang demikian tidak dapat dipersalahkan. Karena bisa jadi kondisi tersebut tercipta akibat kesalahan pendekatan yang dipilih dalam setiap program pengentasan kemiskinan.
Persoalan kedua adalah pelaksana program. Seringkali program pengentasan kemiskinan tidak dilaksanakan oleh lembaga-lembaga yang benar-benar profesional dan memiliki track record baik. Pelibatan LSM dalam program-program pengentasan kemiskinan memang menghadirkan harapan baru bagi masyarakat. Tetapi, harus diakui masih ada LSM yang hanya bermodalkan kantor kontrakan, kepengurusan, kop surat, stempel, dan mengandalkan kedekatan dengan pihak legislatif dan eksekutif.
Kelompok LSM seperti itu hanya profesional dalam pengertian mengerjakan program untuk mencari keuntungan. Mereka sama sekali tidak memiliki rasa empati dan keberpihakan yang serius pada penduduk miskin. Dalam benak pikiran mereka, program pengentasan kemiskinan adalah sebuah proyek yang dapat menghadirkan keuntungan. Jika program pengentasan kemiskinan dilaksanakan oleh LSM seperti ini maka yang dirugikan bukan hanya funding melainkan juga penduduk miskin yang menjadi sasaran program.
Persoalan ketiga berkaitan dengan adanya penyelewengan program akibat berbagai kepentingan, misalnya masalah politik. Salah satu contoh yang aktual adalah program PAM-DKB. Sesuai dengan namanya, PAM-DKB dimaksudkan untuk mengatasi problem kemiskinan yang melanda penduduk di berbagai daerah Jatim akibat kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Program ini telah digulirkan sejak 2006 dan dilaksanakan secara massif di 38 kabupaten/kota di Jatim. Program ini juga melibatkan banyak elemen masyarakat. Mulai dari pejabat di pemprov, pemkab/pemkot, kecamatan, kepala desa/kelurahan hingga kelompok-kelompok keluarga miskin (pok-gakin) di setiap desa/kelurahan. Di samping itu juga dilibatkan lembaga-lembaga independen seperti LSM sebagai pendamping yang diharapkan turut melaksanakan, melakukan pendampingan, dan mengontrol setiap kegiatan.
Tetapi, sangat disayangkan jika implementasi program PAM-DKB kemudian memunculkan aroma politik yang sangat kuat. Nuansa politis program ini misalnya dapat diamati dari individu atau kelompok LSM yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan. Bahkan dalam proses rekrutmen kelompok LSM yang dijadikan associate member pun tidak pernah dilakukan melalui proses lelang (tender) yang transparan dan akuntabel. Padahal program ini diperkirakan menelan anggaran lebih dari Rp. 425 miliar. Dana sebesar itu jelas merupakan uang rakyat karena sebagian besar diambilkan dari sumber APBD Jatim dan APBD Kabupaten/Kota di seluruh Jatim.
Kesan lain yang bernuansa politis dari program PAM-DKB juga dapat diamati dari konteks pelaksanaan program yang memang sangat berdekatan dengan masa persiapan pemilihan gubernur di Jawa Timur pada Juli 2008 nanti. Maka, tidak mengherankan jika kemudian muncul pertanyaan; apakah keterlibatan individu dan kelompok LSM dalam program PAM-DKB tersebut tidak berkaitan dengan Pilgub Jatim?
Menurut saya, setiap program pengentasan kemiskinan seharusnya didasarkan pada keinginan untuk memberdayakan penduduk miskin. Proses pemberdayaan (empowerment) dapat dilakukan jika penduduk miskin dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan yang berkaitan dengan problem yang mereka hadapi. Jadi, biarkanlah penduduk miskin itu berpikir untuk mencari sendiri jalan keluar dari kesulitan hidup yang dihadapi.
Yang dapat dilakukan pemerintah dan lembaga-lembaga independen adalah memberikan pendampingan. Model penyelesaian partisipatif ini tentu lebih baik daripada menyerahkan kebijakan penyusunan regulasi mengenai penduduk miskin kepada legislatif dan eksekutif. Sebab, akan selalu terjadi kesenjangan jika regulasi untuk penduduk miskin dibuat oleh orang-orang yang secara sosial-ekonomi sangat mapan.
Selanjutnya untuk mencapai hasil maksimal, maka program pengentasan kemiskinan harus dilaksanakan oleh lembaga-lembaga independen yang terpercaya. Selain itu, program pengentasan kemiskinan harus bebas dan bersih dari kepentingan politik siapa pun. (mr_abien@yahoo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar