Jumat, 10 Agustus 2007

Mewaspadai Ideologisasi Agama

OLEH; Prof Dr Nur Syam MSi
Guru Besar Sosiologi IAIN Sunan Ampel

Akhir-akhir ini, keinginan untuk menjadikan agama sebagai dasar negara kembali menguat. Pasca penerapan syariah Islam di Nangroe Aceh Darusalam, lalu muncullah berbagai Perda Syariat yang intinya adalah penerapan syariah Islam untuk mengatur masyarakat. Di antaranya adalah di Tangerang, Sumatera Barat, Cianjur, Solok, Padang Pariaman, Padang, Enrekang. Dan yang terakhir adalah Raperda berbasis Injil di Manokwari.

Munculnya Perda-perda tersebut berkorelasi dengan suburnya berbagai gagasan praksis mengenai penerapan syariah secara kaffah dan keinginan untuk membangkitkan dan mendirikan khilafah Islamiyah dalam negara yang diindikasikan belum Islami. Hubungan antara agama dan negara memang mengalami pasang surut. Jika di masa Orde Baru hubungan agama dengan negara berada di dalam kondisi antagonistik, maka pasca reformasi hubungan tersebut bercorak terbuka. Di era inilah, relasi agama dan negara bercorak substansial sedang berada di dalam nuansa pengujian.

Relasi Substantif
Dalam khasanah pemikiran Islam klasik, hubungan agama dan negara ditipologikan menjadi tiga hal, yaitu: pertama, pemikiran al-Maududi dan Hasan al-Banna tentang hubungan agama dan negara yang integrated. Agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Agama sebagai sebuah aturan sudah memuat seluruh persoalan kehidupan manusia, termasuk mengatur negara. Yang dilakukan oleh Nabi sudah final. Nabi Muhammad adalah rasul dan pemimpin negara sekaligus. Kedua, pemikiran al-Mawardi dan al-Ghazali tentang hubungan agama dan negara yang bercorak simbiotik mutualistik, artinya agama dan negara saling membutuhkan. Agama perlu landasan etik untuk mengatur masyarakat dan agama membutuhkan negara sebagai tempat untuk mengembangkannya. Ketiga, pemikiran Thaha Hussein tentang hubungan agama dan negara yang bercorak sekular. Agama dan negara adalah dua entitas yang berbeda. Ada wilayah agama dan ada wilayah negara.

Dalam banyak hal, Indonesia dianggap menganut paham kedua, yaitu hubungan antara agama dan negara yang bercorak simbiotik-mutualistik. Tidak kurang misalnya Dien Syamsudin (1994) juga menyatakan bahwa pilihan Indonesia untuk menentukan corak hubungan agama dan negara seperti itu sangat tepat. Mengingat bahwa Indonesia bukan negara agama tetapi juga bukan negara sekuler. Seperti pernyataan KHA Wahab Hasbullah bahwa hubungan antara negara dan agama itu seperti gula dan manisnya (Adam Schwarz, 1994). Dalam praktik, hubungan agama dan negara itu seperti satu coin mata uang. Di satu sisi agama dan di sisi lain negara. Sebuah corak hubungan yang melebur. Menjadi substansial, bukan saling mengatasi.

Model pemikiran tersebut, selama ini dikembangkan oleh organisasi Muhammadiyah dan NU dalam percaturan kenegaraan di Indonesia. Makanya, hampir tidak pernah dijumpai arus konfrontatif antara keduanya dengan negara di sisi lain. Corak pemikiran dari organisasi khas Indonesia ini memang sangat kontekstual. Artinya, memang menggunakan tolok ukur “lokalitas” dalam memahami hubungan antara masyarakat, agama dan negara. Semenjak kemerdekaan hingga sekarang, corak pemikiran inilah yang dominan di kalangan orang NU yang berbasis pondok pesantren dan orang Muhammadiyah yang berbasis sekolahan.

Perubahan pun terus berlangsung. Ketika orang NU mengenal sekolahan dan demikian pula orang Muhammadiyah, maka penerapan konsep relasi agama dan negara tampaknya tetap tidak berubah. Ini menandakan, ada kedewasaan pemikiran keagamaan di antara keduanya. Bahkan ketika orang NU banyak sekolah ke Timur Tengah dan demikian pula orang Muhammadiyah, maka ketika kembali ke pangkuan organisasinya, maka corak pemikiran agama Timur Tengah pun disaringnya. Tidak ingin ditransplantasikan apa adanya. Sikap fundamental Timur Tengah pun dieliminasi sedemikian rupa.

Sikap kedewasaan beragama seperti ini telah teruji selama 62 tahun, semenjak kemerdekaan, 17 Agustus 1945 hingga sekarang. Masyarakat beragama di Indonesia telah mempraktikkan hubungan agama dan negara yang substansial. Hampir seluruh organisasi sosial keagamaan yang bercorak khas Indonesia, yang mengusung Islam substansial, bersepakat untuk menjadi bagian dari bangsa Indonesia dengan Pancasila dan NKRI-nya. Dewasa ini sedang bergerak dengan cepat perubahan sosial yang digerakkan oleh mesin ideologi agama. Ketika agama diideologikan, maka ketika itu telah terjadi proses formalisasi agama dalam tataran praksis, sehingga akan berakibat pada proses resistensi kelompok lain yang merasa berada di luarnya. Formalisasi agama dalam kehidupan negara pasti akan memunculkan resistensi. Makanya tidak salah jika di kemudian hari akan muncul perda berbasis agama-agama, di mana agama tertentu menjadi mayoritas.

Masalah baru
Gerakan keagamaan yang mengusung ideologi agama sudah menjadi realitas empiris. Bukan hanya wacana tetapi sudah dalam praksis. Sistem cell yang dikembangkan oleh gerakan ini telah memasuki ruang-ruang di dalam berbagai golongan masyarakat. Di mana-mana terjadi “perebutan” umat, sehingga tidak tertutup kemungkinan akan terjadi polarisasi di antara umat beragama. Militansi keagamaan yang tidak didasari oleh semangat mentoleransi perbedaan faham keagamaan dan truth claimed yang berlebihan seringkali menjadikan mereka terjebak di dalam kubangan pembenaran diri sendiri secara berlebihan.

Tak hanya itu, gerakan ini juga telah memasuki ”kawasan-kawasan” baru seperti perumahan-perumahan baru. Segmen masyarakat seperti ini menjadi sasaran utama. Kebanyakan mereka adalah masyarakat Islam baru yang secara umum berpendidikan tinggi dengan semangat memahami Islam yang tinggi pula. Di kawasan tersebut, “pertarungan” dalam perebutan sumber daya organisasi sering tidak bisa dihindarkan. Di setiap “kawasan” pasti terdapat agen-agen yang sudah memiliki paham keagamaan yang mapan, sehingga ketika terdapat paham baru yang akan menggerogoti paham keagamaannya, maka dipastikan akan terjadi rivalitas-rivalitas. Tinggi rendahnya rivalitas sangat tergantung pada tingkat intensitas benturan yang terjadi.

Mencermati terhadap berbagai corak konfliktual tersebut, tampaknya konsepsi Ralf Dahrendorf (1994) akan relevan digunakan untuk membacanya. Konflik dalam tataran masyarakat apapun lebih banyak difasilitasi oleh otoritas atau kewenangan. Konflik bukan disebabkan oleh disparitas sosial, klas dan majikan, akan tetapi oleh kewenangan siapa atas apa, atau otoritas siapa kepada siapa. Islam sebagaimana dipahami oleh kaum pergerakan ideologisasi Islam adalah Islam dalam coraknya yang sangat tekstual. Islam sebagaimana asalnya dan penafsiran dari sananya. Tidak ada Islam lokal, seperti Islam Jawa, Islam Madura, Islam Sunda, Islam Sumatera dan sebagainya. Yang ada adalah Islam universal. Islam satu, yang ya’lu wa yu’la alaihi. Makanya, hanya ada satu sistem kekhalifahan. Hanya ada satu sistem syari’ah dan hanya ada satu umat atau ummatan wahidah.

Dalam memandang sistem pemerintahan, maka Islam yang benar adalah yang menerapkan praksis khilafah Islamiyah. Sistem demokrasi sebagaimana yang diterapkan oleh banyak negara tidak compatible dengan sistem khilafah yang sudah teruji di zaman Nabi Muhammad saw. Jadi, dalam banyak hal, sistem pemerintahan tersebut tidak akan dapat menjamin terlaksananya syariah Islam secara kaffah. Pertarungan dalam praksis Islam muncul dari otoritas penafsiran teks historis negara Madinah di masa lalu. Jadi, pertarungan otoritas tampaknya dipahami dari siapa yang dapat menafsirkan dan melaksanakan apa. Di dalam hal ini, hanya proses rekayasa sosial melalui sistem kenegaraan Islami sajalah yang bisa dianggap sebagai satu-satunya yang benar.

Di era sekarang, pertarungan otoritas itu tidak hanya di dalam realitas keberagamaan ansich, tetapi juga memasuki kawasan lainnya yang lebih besar, yaitu bagaimana agama dapat menjadi ideologi yang nyata di dalam sistem kenegaraan. Resistensi tentu akan selalu muncul, sebab pengalaman sejarah membuktikan bahwa di dalam masyarakat yang plural dan multikultural seperti Indonesia, maka hegemoni atas nama apapun hanya akan menambah masalah dan bukan menyelesaikan masalah. Dengan demikian, diskursus dan keinginan memformalkan agama dalam kehidupan negara hakikatnya justru akan menambah deretan masalah menjadi lebih panjang. Jika demikian halnya, maka mewaspadainya perlu dikedepankan. Wallahu a’lam. []

Tidak ada komentar: