Selasa, 31 Juli 2007

Aliansi Peradaban

Oleh: Azyumardi Azra

Aliansi peradaban-peradaban (alliance of civilizations/AoC). Inilah yang agaknya kian diperlukan umat manusia kini dan di masa depan. Jika kita berharap adanya kehidupan yang lebih berdasarkan saling pengertian dan saling menghargai, yang pada gilirannya dapat menciptakan dunia yang lebih harmonis, aman, dan damai, maka upaya penggalangan dan pemberdayaan aliansi peradaban tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Aliansi peradaban-peradaban baik langsung ataupun tidak, merupakan kontraargumen dan kontraaksi terhadap 'teori' benturan peradaban-peradaban (clash of civilizations), gagasan ahli ilmu politik Samuel Huntington pada 1990-an atau lebih awal lagi sejarawan Bernard Lewis. Ketika peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat terjadi, yang kemudian diikuti penyerbuan Afghanistan dan war on terror oleh AS dan sekutu-sekutunya, maka teori clash of civilizations seolah menjadi self-fulfilling prophecy, ramalan yang mewujudkan dirinya sendiri.

AoC mulai menemukan momentumnya sejak PM Spanyol, Jose Luis Rodriguez Zapatero, mengajukan proposal bagi Aliansi Peradaban-peradaban pada September 2004. Hasilnya, atas sponsor Pemerintah Spanyol dan Turki, Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, memaklumkan AoC pada September 2005. Sejak itu, berbagai pertemuan, konferensi, dan lokakarya aliansi peradaban baik pada tingkat internasional maupun regional, telah diselenggarakan berbagai negara dan pihak yang memiliki kepedulian khusus terhadap masalah ini. Terakhir adalah Simposium Tingkat Tinggi Aliansi Peradaban-peradaban yang berlangsung pada 23-24 Mei di Auckland, Selandia Baru, dengan sponsor Pemerintah Selandia Baru dan Norwegia.

PM Selandia Baru, Helen Clark, yang memimpin langsung High Level Meeting AoC menyatakan penolakannya atas self-fulfilling prophecy tentang benturan peradaban. Bagi dia, pengalaman bangsa Selandia Baru yang multikultural memberikan pelajaran, bahwa sangat mungkin pada tingkat internasional untuk membangun dunia yang menghargai dan mengakomodasi perbedaan. Ketegangan, konflik, dan bahkan perang yang muncul dari ketidaktahuan dan ketidakpedulian; dan kurangnya pengertian dapat diatasi melalui dialog, pendidikan, dan kesediaan untuk belajar satu sama lain, dan sedia menerima dan toleran terhadap orang dan masyarakat lain yang berbeda.

Ali Alatas, mantan menteri Luar Negeri RI, yang juga anggota High Level Group AoC menyatakan, Aliansi Peradaban-peradaban menegaskan kembali bahwa seluruh bangsa dan masyarakat saling interdependen dan bahkan terkait satu sama lain dalam pembangunan, keamanan, dan kesejahteraan. AoC berusaha membangun saling menghargai dan menempa kemauan politik, serta langkah terencana dan terpadu pada tingkat pemerintah, institusional, dan masyarakat madani untuk mengatasi prasangka, mispersepsi, dan ketidakpercayaan.

Dengan cara begitu, AoC diharapkan dapat memberikan kontribusi penting kepada gerakan terbesar masyarakat manusia untuk menolak ekstremisme yang ada dalam setiap masyarakat; dan sebaliknya menghargai keragaman kultural dan keagamaan. Dengan kerangka seperti itu, AoC merumuskan empat bidang pokok aksi: pendidikan, kepemudaan, migrasi, dan media. Pengembangan program yang terencana dalam keempat bidang ini krusial dan dapat memainkan peran kritis untuk mengurangi ketegangan antarbudaya dan peradaban; dan membangun jembatan di antara masyarakat yang berbeda.

Mengikuti simposium Auckland, hemat saya, AoC merupakan inisiatif sangat penting di tengah masih berlanjutnya ketegangan dan bahkan perang dalam masyarakat dunia, seperti di Afghanistan, Irak, dan Palestina. Memang, AoC bukan merupakan jalan instan untuk memecahkan semua masalah mendasar yang menjadi sumber ketegangan dan konflik; tetapi setidaknya, AoC merupakan terobosan dalam membangun aliansi di antara berbagai negara dan masyarakat untuk terus-menerus menyuarakan pentingnya saling menghargai dan menempuh cara damai dalam mengatasi berbagai perbedaan, ketegangan, dan konflik.

Dalam pandangan saya, AoC memberikan penekanan terlalu kuat pada ketegangan dan konflik di antara peradaban Barat dan 'Islam'; sebuah kategori binari yang tidak tepat sama sekali, karena yang pertama mengacu kepada wilayah geografis, sementara yang kedua merupakan kategori keagamaan. Atau mungkin lebih baik, peradaban Barat dan peradaban Dunia Muslim, meski harus segera dipahami, bahwa peradaban kedua belah pihak ini tidak monolitik dan juga tidak eksklusif satu sama lain.

Sebab itu, perlu perluasan Aliansi Peradaban-peradaban ini, untuk juga mencakup peradaban lain, seperti Cina, India, Amerika Latin, dan bahkan Afrika. Peradaban-peradaban ini bukan tidak mungkin mengandung potensi konflik satu sama lain. Tetapi, lebih penting lagi, dapat pula menjadi kekuatan mediasi dan jembatan, dalam tensi, ketegangan, dan konflik terjadi di muka bumi ini.

Tidak ada komentar: