Jumat, 10 Agustus 2007

Tuhan (di) Internet

* Ahmad Najib Burhani, Head of Publishing Dept IIMaN (Indonesian Islamic Media Network), alumnus IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

BILA Anda melacak (searching) kata, seperti, religion, faith atau spirituality di internet, maka Anda akan mendapatkan data berlimpah (overwhelmed). Hal itu, menurut berita ABC (ABCNEWS.com, 13/ 6/00) yang berjudul Net Religion, disebabkan karena pada bulan-bulan belakangan ini telah terjadi ledakan secara eksponensial web siteweb site baru yang berkiprah pada tema-tema dan segala tetek bengek yang berkaitan dengan persoalan spiritual.

Mulai dari homepage yang bernama wuzupgod.com, sebuah situs web yang memasang pesan-pesan spiritual provokativ, hollywoodjesus.com, situs yang menayangkan pernik-pernik spiritual pada film-film yang masuk kategori box office, hingga islamcity.com, sebuah situs yang menawarkan kepada pengunjung Muslim untuk melakukan haji ke Mekkah secara virtual. Pengakses Internet juga bisa menjumpai tempat untuk melakukan meditasi secara online di halaman Buddhist pada situs beliefnet.com. Adalagi situs-situs lain yang juga memberi aneka service dan sajian spiritualitas, semisal webgod.com, god.org, faith.com, spirichannel.com, Ibelieve.com, religiousmovements.org, dan sejenisnya. Beragam situs, mulai dari yang sangat sederhana hingga yang telah mengalami elaborasi dengan amat canggih, itulah yang menyebabkan seseorang yang mencoba melacak hal-hal berbau mistik akan "kebanjiran" dan kewalahan.

Mengapa hingar-bingar spiritualitas menemukan ruang terasyiknya pada teknologi mutakhir yang bernama Internet? "People see the Net as a new metaphor for God," kata Sherry Turkel, profesor Sociology of science pada Massachusetts Institute of Technology (MIT). Internet menurut sebagian orang merupakan metafor baru bagi Tuhan. Mungkin kita bertanya, "Apa maksud istilah tuhan dalam konteks ini?" Bila makna kata Tuhan pada perbincangan ini adalah sebagaimana yang umum dipahami orang, maka dalam hal apa metafor itu terjadi.

Internet seakan-akan merupakan dunia tersendiri yang berbeda dengan realitas dunia ini. Apa pun yang bisa ditemukan di dunia nyata, bisa juga ditemukan di Internet. Segala hal yang dicari dan diminta penduduk Bumi ini, seluruhnya dapat dijumpai di Internet. Internet, layaknya sesosok Tuhan, "bisa" mengabulkan "doa", mampu "melaknat" dan "menghukum" pendosa.

William Gibson, penulis fiksi-ilmiah, mengatakan, "It may regard itself as God. And it may be God on its own terms." Gibson yang merupakan tokoh pencipta istilah cyberspace serta mempopulerkannya, terutama yang paling terkenal, pada novelnya yang terbit tahun 1984 berjudul Neuromancer, seakan-akan hendak menyatakan, Internet bisa memandang dirinya sendiri sebagai sesosok tuhan. Dan dalam kosakata yang berkaitan dengan persoalan Internet, kata itu sendiri merupakan Tuhan. (Time, Vol 149 No 1)
Bila konsepsi, Internet merupakan metafor Tuhan dapat diterima, maka termasuk dalam lingkup peran "ketuhanan" Internet adalah memberi berbagai pelayanan yang berkaitan dengan hajat rohaniah atau batini manusia. Dalam fungsi ini, Bob Jacobson, pimpinan Bluefire Consulting, sebuah penyelenggara jasa konsultasi Internet di Redwood City California menyatakan, Internet merupakan "restoran" terbesar yang menyediakan beragam menu bagi orang-orang yang mengalami kehausan spiritual. Ia menjadi wahana utama untuk menampilkan ekspresi mistik anak cucu Adam. "Religion is a big part of the Internet industry", tegas Jacobson seperti dilansir CNN (20/1/00).
***

ADA beberapa alasan mengapa Internet menjadi jalan yang banyak dipilih para pencari dan penjelajah jejak-jejak spiritual.
Pertama, jadwal kunjungan di berbagai rumah ibadah sering dibatasi waktu dan jumlah antrean jamaah yang berkunjung. Guru, imam, pendeta, atau pemimpin spiritual, memiliki ruang dan kesempatan yang limited untuk bisa diajak berdialog, konsultasi, atau memberi ceramah. Eksistensi Internet yang melampaui (beyond) natur duniawi-seperti waktu dan ruang-memberi keleluasaan kepada penggunanya untuk mengakses dalam kondisi dan situasi apa pun. Singkatnya, situs-situs spiritualitas never turns off dan memiliki unlimited access. Ia tidak pernah absen sedetik pun dan selalu bisa dikontak kapan saja.

Kedua, banyak kelompok masyarakat yang merasa terbelenggu untuk mengekspresikan fantasi religius dan pengalaman spiritualnya. Salah satunya adalah para saintis. Dalam tradisi ilmiah, sebuah pendapat atau pengalaman atau tesis baru diakui kebenarannya bila memenuhi standar clearly and distincly, dapat diverifikasi, dan lulus pada berbagai perangkat pengujian keilmiahan lainnya. Pengalaman spiritual tidak memenuhi standar-standar ilmiah itu. Ia ada di luar kategori penilaian sains. Karena itu, wajar bila ada saintis yang mengungkapkan ekstase rohani atau pengalaman mistik, mereka akan mendapat bioket dan pengasingan dari kawan-kawan satu profesi.

Nah, Internet memberi ruang bagi saintis untuk memperbincangkan berbagai pengalaman aneh (unusual) dan eksotis yang pernah didapatkan. Mereka bisa berdialog dengan kawan satu profesi yang memiliki pengalaman mistik serupa di berbagai belahan dunia. TASTE (The Archives of Scientists' Transcendent Experiences) yang beralamat di www.issc-taste.org, misalnya, merupakan situs web yang mencoba membangun forum bagi para saintis untuk saling bertukar pengalaman spiritual dan mencurahkan "impian transendental". Sebuah wahana yang terasa masih sulit terwujud di pentas off line.
Ketiga, orang-orang yang canggung atau sulit hadir di rumah ibadah guna melakukan perdebatan teologis atau mendapatkan bimbingan rohani, Internet merupakan alternatif utama. Di Internet tidak ada yang perlu ditakuti, dikeramatkan, atau "disucikan".

Secara fisik, tidak ada golongan yang disebut minoritas atau mayoritas. Bagi orang yang skeptis terhadap agama dan spiritualitas, misalnya, Internet adalah wahana paling pas dan bebas bagi mereka untuk melakukan perdebatan seputar keragu-raguan yang ada di pikiran. Hampir senasib dengan kelompok skeptis adalah kalangan gay dan lesbian. Ada sebuah rumah ibadah online di Dallas yang mencatat sukses luar biasa dalam menyelenggarakan online services. Tercatat ada 3.000 kaum gay dan lesbian yang telah menjadi jemaah ritual virtualnya. Michael Plazza, pastor di gereja itu mengatakan, Internet services membuatnya mampu merengkuh kaum lesbian dan gay di seantero dunia. Satu kelompok manusia yang merasa tidak nyaman (unconfortable) untuk hadir secara ragawi pada berbagai kebaktian di gereja. Jelas, lifestyle model "umat Nabi Luth" itu perlu diperdebatkan keabsahannya. Namun, bukankah kita setuju, adanya lifestyle itu tidak berarti hak mereka untuk menyalurkan hasrat spiritual lantas ditutup.
***

OLEH karena adanya konsepsi, Internet merupakan metafor Tuhan, orang seperti William Grassie, profesor bidang agama di Temple University, menyatakan "Bila Tuhan (konsepsi mengenai Tuhan) tidak berubah, maka kita ada dalam kondisi bahaya, yaitu akan kehilangan Tuhan." (Time, Vol 149 No 1)

Terakhir, ada ambivalensi terhadap peran "ketuhanan" Internet. Di satu sisi ia bisa jadi merupakan salah satu jalan menuju Tuhan. Tetapi, di sisi lain pernyataan, Internet adalah metafor Tuhan terdengar seakan-akan mereduksi Tuhan itu sendiri. Karena itu, terlepas kita setuju atau tidak terhadap pernyataan bahwa Internet merupakan metafor Tuhan, seperti perlu menengok sebuah pernyataan yang disampaikan sufi kesohor, Ibu Al-Arabi, "Barang siapa mengaku ia tahu Allah bergaul dengan dirinya, dan ia tidak lari (dari pengakuan itu), maka itu tanda ia tidak tahu apa-apa, tidak ada yang tahu Allah kecuali Allah sendiri, maka waspadalah, sebab yang sadar di antara kamu tentu tidak seperti yang alpa..."




Tidak ada komentar: