Muh Kholid AS*)
*) Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
Memasuki semester II 2007, Balai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) menerapkan status siaga I kebakaran hutan di wilayah kerjanya. Setidaknya terdapat empat titik rawan kebakaran hutan, yaitu resort Ranupane Lumajang, resort Gunung Penanjakan di Pasuruan, resort Tengger Laut Pasir di Probolinggo, dan resort Ngadas di Malang (Kompas Jatim, 14/7/07). Kenaikan status menjadi siaga I ini secara otomatis mengharuskan petugas kehutanan melakukan patroli rutin setiap hari untuk mendeteksi dini jika ada kebakaran.
Penetapan siaga “bencana” seperti yang dilakukan TNBTS awal Juli ini seakan menjadi lingkaran yang tidak bertepi bagi bangsa ini. Kedatangan musim hujan maupun kemarau seakan tidak ada bedanya, karena keduanya sama-sama diiringi dengan kewaspadaan akan hadirnya bencana. Datangnya musim kemarau diikuti dengan kekeringan dan kebakaran hutan yang kian parah dan merata, yang secara otomatis mengakibatkan bencana lebih besar pada musim hujan yang berupa banjir, tanah longsor, berbagai penyakit, dan lain-lain.
Realitas ini menunjukkan bahwa bangsa ini mengalami krisis lingkungan yang akut, sebagaimana dahsyatnya krisis ekonomi, moneter, moral, politik, budaya, dan lainnya. Sebab, munculnya berbagai bencana itu merupakan reaksi alam terhadap kerakusan manusia yang tidak henti-henti mengeksploitasinya, bahkan tidak memperlakukannya sebagai “saudara tua” sebagaimana layaknya. Padahal sama dengan “saudara muda” yang bernama manusia, alam juga mempunyai keterbatasan, baik memberi, menerima, bersahabat, menyapa, maupun kesabaran.
Dapat dikatakan bahwa berbagai bencana dan musibah yang silih berganti merupakan “selentik” dari Tuhan, yang seyogyanya juga diikuti dengan ketanggapan untuk meresponnya. Sebab, dalam faktanya tidak sedikit bencana itu justru dikarenakan oportunitas manusia dalam memandang dan mengelola alam. Selain rendahnya kesadaran manusia dalam menjaga kebersihan lingkungan, mereka juga bringas terhadap “partnernya” itu. Perusakan lingkungan, pembakaran hutan, penebangan pohon secara liar, dan eksploitasi kekayaan alam secara besar-besaran dianggap sebagai perilaku absah.
Sebagai sebuah negara yang kental dengan nuansa religius, sudah tentu peran aktif dari kalangan agamawan dalam mengatasi kerusakan lingkungan adalah keniscayaan yang tidak bisa ditawar. Agama sebagai sebuah sistem hidup tentu mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan persoalan penanggulangan krisis lingkungan ini, dengan meneriakkan pentingnya berjihad memelihara kelestarian lingkungan dan bahaya perusakan terhadapnya.
Dalam konteks agama “titisan” Ibrahim, masalah menjaga lingkungan hidup sebenarnya adalah ajaran yang sangat purba dan fundamental. Diceritakan bahwa terlemparnya Nabi Adam dan Hawa dari surga adalah akibat dari perbuatannya yang tidak mengindahkan kearifan ekologis. Keduanya tersingkir dari surga yang penuh estetika, kedamaian, kerindangan, dan subur ke muka bumi yang gersang, karena memakan dan merusak buah dan pohon kekekalan (khuld).
Sayangnya, ajaran kearifan ekologis ini seakan terlupakan seiring dengan perkembangan zaman dan manusia itu sendiri. Justru saat terjadi bencana, umat beragama menganggapnya hanya sekadar cobaan atau azab dari Tuhan semata, tanpa mau melakukan introspeksi diri. Padahal terlihat jelas bahwa alam dijadikan komoditas yang diperjualbelikan, digarap, diubah fungsi-fungsinya semau hati manusia (QS. al-Rum/30: 41).
Karena itu, sudah saatnya masalah lingkungan harus ditempatkan dalam wilayah prioritas dalam agama, sebagaimana halnya agama meletakkan tentang "dunia lain" (akhirat), ibadah ritual, keimanan, moralitas individual, dan lain-lain. Sebab, lingkungan adalah masalah yang sangat fundamental dalam kehidupan masyarakat, dan terbentang sebagai ayat kauniyah dan risalah Tuhan yang paling dekat dengan manusia. Apalagi al-Qur’an secara tegas telah menyatakan jika alam adalah ruh kehidupan yang memberi sumbangan atas nilai kekhusukan ibadah seseorang (QS. al-Baqarah/2: 22).
Dalam memerangi kejahatan lingkungan pada level individu, agama bisa berperan sebagai spirit untuk berjuang melalui makna yang simbolik, motivasi, kognitif, maupun normatif. Dibutuhkan paradigma keagamaan yang manusiawi dan tertuju pada praksis penyadaran, pembebasan, serta perlawanan, dengan men-support masyarakat dalam melawan perusakan lingkungan hidup. Meminjam istilah almarhum Munir Saib Thalib (2004), agama haruslah menjadi penawar bagi mereka yang terzalimi, memberikan jawaban terhadap problem sosial, serta memberi semangat perlawanan.
Paradigma keagamaan haruslah diubah dari sekadar memperbincangkan berbagai persoalan ajaran mana yang benar (orthodoxy) menuju kepada tindakan mana yang benar (orthopraxis). Pemahaman keagamaan harus dibangun dari pendekatan yang komprehensif dari sisi aspektual, dimensional, bahkan multidimensional. Sebab, selain mempunyai doktrin teologis-normatif, agama juga berkaitan erat dengan “tradisi” yang tidak bisa dipisahkan dari faktor human construction, yang salah satunya terkait hubungan manusia dengan lingkungan.
Di sinilah pentingnya menghadirkan kosmosentrisme religius, di mana manusia harus mentransformasikan persaudaraan (ukhuwah) terhadap alam dengan penuh kepedulian dan keakraban. Agamawan harus mampu mengkomunikasikan bahasa agama dengan realitas kebatilan yang terjadi di sekitarnya, khususnya dalam menjaga lingkungan hidup. Penegasan al-Qur’an yang sering kali menyebut “iman” dan “amal saleh” secara bersamaan, mengisyaratkan bahwa kesempurnaan iman bisa dicapai saat keyakinan seorang hamba menyatu dengan pembelaan atas kepentingan kemanusiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar