Ini cerita Ajib Rosidi. Ada kejadian tahuan 1970-an, saat BM (Burung Merak/WS Rendra) ditahan penguasa. Demi solidaritas sesama seniman, berangkatlah Asrul Sani dan Ajib menemui Guberbur DKI (bukan Ali Sadikin yang telah lama jadi pelindung para seniman) mohon agar BM dibebaskan. Sang gubernur cepat bereaksi: ''Apa jasa Rendra terhadap bangsa dan negara ini?'' Asrul yang dikenal cerdas dan biasanya mudah menundukkan lawan bicara, kali ini dihadapkan pada jalan buntu: pembicaraan harus dihentikan.
Setelah mereka meninggalkan kantor gubernur, bertuturlah Asrul kepada Ajib: ''Saya dokter hewan yang mengerti anatomi binatang, tetapi akan halnya hewan yang satu tadi saya tidak bisa memahaminya.'' Maksudnya cara gubernur yang melecehkan Rendra, berada di luar nalar manusia. Begitulah Asrul membaca peta psikologis penguasa yang tidak bisa diajak berdialog.
Di mata gubernur yang berjasa terhadap bangsa ini hanyalah para pejuang fisik di masa revolusi. BM itu hanyalah seorang penyair yang selalu mengkritik rezim yang sedang berkuasa dengan Bengkel Teaternya. Pesan-pesan kemanusiaan BM yang tajam dan dalam tidak dapat dicerna oleh seorang pejabat yang anatomi kejiwaannya sulit dimengerti.
Ketika BM memusatkan latihan dramanya di Patang Puluhan Jogjakarta tahun 1970-an itu, saya sama sekali tidak mengenalnya dari dekat. Maklumlah seorang dosen miskin hampir tidak mungkin bersapaan dengan manusia terkenal. Bila membaca puisi, penonton akan larut dalam gaya dan mimik BM yang memukau. Tiba-tiba, tidak selang berapa lama di tahun 1970-an itu terbetiklah berita bahwa BM telah jadi Muslim. Harapan saya saat itu ialah agar BM berpindah iman dengan penuh kesadaran dan kebebasan. Dan ternyata memang itu yang terjadi.
Dengan bergulirnya waktu, agak jauh sesudah itu, politik di Tanah Air mengalami gejolak dan perubahan dramatis. Rezim otoritarian jatuh, digantikan oleh sistem yang mengagungkan kebebasan dan demokrasi. Entah apa atau siapa yang mengatur, saya diundang oleh seniman Setiawan Djodi untuk memberi sambutan pada sebuah acara di rumahnya sekitar awal abad ke-21. Di malam itulah saya berkenalan langsung dengan BM yang rupanya telah menyebut nama saya sebelum itu.
Terjadilah dialog antara kami, tetapi saya masih agak kikuk. Walaupun alumnus Universitas Chicago, saya baru berkenalan dengan manusia-manusia besar Jakarta, BM salah seorang di antaranya. Karena tidak ada bakat jadi seniman, sejak usia dini cukuplah bagi saya jadi pengagum para penyair dan seniman saja.
Karena bahasa intuisinya melebihi tajamnya mata pedang nalar manusia, bukan sekali dua saya tenggelam dalam puisi seorang penyair. Maka, sejak itu melalui BM saya meluaskan radius pergaulan dengan dunia yang sarat imajinasi ini. Sebenarnya di pertengahan tahun 1960-an, saya sudah bergaul rapat dengan seniman Mohommad Diponegoro dan A Bastari Asnin, tetapi lebih banyak dalam kaitan hubungan kerja di majalah Suara Muhammadiyah, Yogyakarta. Pada waktu itu saya belum juga peka menangkap apa makna pergaulan dengan seniman, sekalipun usia sudah 30-an.
Kembali kepada BM. Saya yang sejak kecil dididik untuk melakukan ibadah harian, jarang sekali berdoa panjang sesudah shalat. Tidak demikian halnya BM. Di suatu sore selesai rapat Akademi Jakarta saya dan BM shalat Maghrib di TIM. Setelah rampung, doa saya singkat saja, BM dengan khusyu' masih mengangkat tangan. Dalam hati kecil saya berkata, jangan-jangan BM lebih beriman ketimbang saya. Saya yang sudah menjalankan shalat sejak usia Sekolah Rakyat, boleh jadi barulah beragama pada tataran ritual formal, sementara BM beragama dengan getaran hati.
Akhir Juli 2007, ketika kolom di sebuah majalah berjudul "Faktor Islam" yang memancarkan kegelisahan saya dibaca BM, komentarnya sederhana: ''Tetapi belum pernah terjadi sepanjang sejarah demikian banyak orang Barat tertarik dengan Islam seperti sekarang ini dan bahkan sebagian menjadi Muslim, sekalipun pemeluk agama ini sedang dihujat di mana-mana dikaitkan dengan terorisme.''
Komentar ini sangat menghibur batin yang cemas. BM membaca dunia Islam dari sisi lain. Lagi asyik berbicara, Pak Rosihan Anwar lalu menyela, "Sudah rampung?"
"Sudah," jawab saya. Lalu wartawan senior itu saya antar dengan mobil ke rumahnya di Jl Surabaya Jakarta. Kesimpulannya: orang harus mampu melihat dunia dari sisi lain agar tidak larut dalam kegelisahan. Dari BM saya banyak belajar.
Oleh : Ahmad Syafii Maarif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar