Hasan Basri Peneliti pada Lembaga Studi Islam Progresif (LSIP) dan P3M Jakarta
Pertemuan beberapa tokoh intelektual dalam rangka perlawanan dan advokasi diskursif bagi penggusuran yang sering terjadi amat menarik dilihat dalam bingkai komitmen intelektual Indonesia. Hadir dalam pertemuan itu, Prof Dr Franz Magnis-Suseno, Prof Dr Saparinah Sadli, Prof Dr Toety Heraty, Dr B Herry-Priyono, dan lainnya, seperti ditulis Kompas (13/11/2003).
Pertanyaan mendasar muncul, bagaimana kita membaca peristiwa penggusuran? Akankah peristiwa yang menjadi tradisi tahunan negara (baca: kekuasaan) itu sebagai sesuatu yang layak disebut hal "biasa" yang wajar lewat begitu saja dalam keseharian kita berbangsa? Benarkah peristiwa itu hanya seremoni kekuasaan ketimbang tragedi kemanusiaan di Indonesia? Tidakkah amsal ini meneguhkan label bangsa ini sebagai sebuah nurani yang bisu dan tidak pernah mau belajar dari "mistik keseharian" ?
Makna lahiriah atau makna permukaan sebuah peristiwa sering menjadi penghalang guna memahami banyak hal dalam tingkatan makna selanjutnya. Peristiwa penggusuran, tiadanya advokasi bagi tenaga kerja wanita dan kian terpuruknya korban sipil di Aceh membuktikan hilangnya sense of humanism masyarakat kita.
Negara sebagai institusi tertinggi dalam kontrak sosial manusia sudah disakralkan dengan segala teater penindasan yang dipertontonkannya. Negara menjadi legitimasi bagi semua tindakan yang keluar dari garis cita-citanya sendiri. Para pemegang kebijakan negara adalah manusia lain dan memiliki hak istimewa dibanding makna manusia yang melekat dalam diri mereka yang diberi label rakyat. Sudah tidak ada kejernihan melihat status, tepatnya identitas, manusia saat ini. Makna manusia disinonimkan dengan kata "siapa". Bila ada "pejabat", Anda adalah manusia yang lebih berhak atas aset makna manusia ketimbang mereka yang ada di jalanan, kampung, pinggir kali, dan kamp pengungsian.
PEMIKIR muslim asal Aljazair yang menetap di Perancis, Mohammed Arkoun, dalam bukunya, Aina Huwa Al-fikr Al-islami Al-mu’ashir mengatakan, seluruh khazanah pemikiran manusia sepanjang zaman terserap oleh tiga terma penting: negara, lembaga, serta masyarakat dan individu. Artinya, individu selalu hilang dalam tiga unsur lainnya. Makna keseorangan tertutup identitas kolektif yang berarti mengambangkan makna jernih dari manusia. Pada masyarakat yang tidak mempunyai pandangan dunia tentang pentingnya makna manusia dan kebebasannya secara otomatis penelikungan dan penindasan bukan suatu hal yang meragukan. Suara individu itu ada pada kantong intelektual.
Pemikir dan aktivis kemanusiaan asal Amerika Serikat, Noam Chomsky, dan karibnya, almarhum Edward Said, menyepakati, dalam tiap masyarakat selalu ada dua golongan intelektual. Pertama, kelompok yang bisu terhadap kasus kemanusiaan dengan alasan pragmatisme, seperti kepakaran (expertism), akademisme, legalisme, risiko, dan pastilah kepentingan jangka pendek.
Kedua, golongan minoritas yang tidak jarang perorangan yang mengaitkan dirinya terlibat langsung advokasi kemanusiaan. Masalah ini selalu didengungkan keduanya dalam banyak tulisan mereka. Konteks dari proposisi keduanya tentu saja totalitarianisme AS sebagai sebuah negara adidaya.
Contoh riil, Edward Said sering menyerang pemerintah dan intelektual AS dengan gigih dan tidak jarang emosional. Para pengkritik menyambutnya dengan penuh reaksi dan sensitivitas. Padahal, bukan masyarakat dan makna bangsa AS yang diserangnya, tetapi para kapitalis, kelompok kepentingan dan sekelompok pakar yang merumuskan semua peristiwa destruksi kemanusiaan di hampir semua belahan dunia. Alas kritiknya jelas, yakni advokasi kemanusiaan.
KEMBALI soal pertemuan sejumlah tokoh intelektual. Romo Franz Magnis Suseno, misalnya, beberapa waktu lalu menyuarakan dengan lantang, "hentikan penggusuran!" dalam tulisannya di harian ini. Asas legal formal amat sulit diterima sebagai alasan mensahkan penindasan masyarakat lemah. Apalagi pada kenyataannya, aparat negara sangat-bukan saja seakan-akan-ambigu dalam hal keberpihakan. Rakyat dipilah-pilah berdasar nilai materialnya. Mereka yang memiliki uang dan kekuasaan diberi hak untuk menguasai tanah meski itu melanggar tata ruang yang ditetapkan. Hal berbeda jika yang melakukan adalah masyarakat lemah.
Selain tergambar terjadinya degradasi kemanusiaan, sebenarnya bangsa ini sudah terjerumus dalam kubangan materialisme yang parah. Pandangan dunia masyarakat akan materialisme sudah menjadi tradisi sepanjang sejarah yang saat ini sangat dilematis, ketika negara sebagai benteng terakhir bagi perlindungan rakyat berbalik menjadi musuh rakyat karena negara terbukti tidak melakukan pembelaan apa-apa terhadap semua kasus kemanusiaan yang terjadi yang menimpa masyaraktnya.
Negara ini amat tepat diibaratkan dengan seorang anak kos yang kehabisan uang untuk makan dan bayar kos. Namun, ia bisa bertahan karena memiliki seni tidak malu meminjam uang. Dan tak jarang berani menggadaikan barang atau harga dirinya, bila ia anak putri. Ini adalah sebuah alegori kemiskinan mental dari para pemangku negara. Kebangkrutan negara sudah tidak mungkin ditutupi. Penyebabnya pada mereka yang ada di balik semua institusi yang bertindak atas nama negara. Jangankan mengurus orang di luar struktur, pendapatan negara saja tidak cukup untuk membiayai kebutuhan dari sikap rakus mereka.
DI TENGAH kebangkrutan negara yang berimplikasi terhadap keberpihakan kepada masyarakat yang mengadakannya, kepada siapa lagi masyarakat mengharapkan pembelaan? Di sinilah peran intelektual Indonesia dipertanyakan. Di manakah posisi para pemegang otoritas profetik dalam situasi ini? Akankah mereka hanya pragmatis dalam menyikapi semuanya?
Tentu saja, para intelektual, aktivis, dan agamawan menjadi tumpuan masyarakat. Kerja sama intelektual dengan meninggalkan basis primordial mereka amat bermakna dalam melakukan penyelamatan terhadap kemanusiaan dan bangsa ini. Komitmen keilmuwan harus diletakkan dalam kerangka advokasi kemanusiaan, bukan dalam ambiguitas wacana dan kepakaran yang tidak terkait dengan problem kemasyarakatan.
Letak menariknya isu keterlibatan kaum intelektual adalah ketika ranah pemikiran selama beberapa dakade terakhir kehilangan figur-figur yang bisa menjadi teladan dan pemelihara nalar sehat, saat para intelektual Tanah Air tidak pernah memiliki tradisi keterlibatan pasca-Hatta, Soedjatmoko, dan lainnya. Atau saat kaum intelektual menjadi kelompok yang menempati tempat "tenang" karena sejahtera sehingga memberi mereka keyakinan untuk berdiam dan lepas komitmen dengan masyarakat. Setelah puncak pencapaian berpikir berakhir dengan menerima anugerah, funding, dan lainnya.
Sekali lagi, seperti diungkap Said, sebuah figur teladan (examplary person) adalah kebutuhan tiap masyarakat tanpa melihat tingkat pencapaian mereka dalam pembangunan dan figur itu lahir dari komitmen yang jelas pada masyarakat lemah dan advokasi terhadap humanitas.
Selain sebagai teladan, bukankah tidak salah menjadi oposisi atau pemberontak atas dasar advokasi kemanusiaan. Kata intelektual hanyalah tanda dan penandanya adalah "pemberontak", kata Said.
Sumber: https://www.kompas.com/kompas-cetak/0311/21/opini/695669.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar