M Afifuddin Muchith
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Sosial Science IIU Islamabad, Alumnus Pesantren Lirboyo, Kediri.
Menelisik relasi Islam dan kekuasan memang selalu menarik. Ketika Islam resmi mendeklarasikan diri sebagai agama yang paripurna yang mengurusi semua aspek kehidupan manusia, sebuah pertanyaan muncul bagaimana bentuk konkret dogma Islam tentang hierarki hubungan manusia dengan manusia? Banyak kalangan berdebat sengit tentang letak prinsipil peran Islam dalam publik. Apakah dogma Islam publik itu hanya bermain dalam lingkaran nilai dan kultural, tanpa perlu adanya kekuasaan dalam menerapkan aturan-aturan publik?
Kalau kekuasaan memang diperlukan, berarti Islam dituntut untuk merebut kekuasaan dan menerapkan aturan-aturan Islam dalam kehidupan publik agar syiar dan nilai Islam tampak transparan di ruang publik. Tapi kalau Islam publik tidak perlu kekuasaan, berarti Islam harus cukup puas terkotak dalam lingkar nilai dan tidak punya penetrasi riil terhadap kehidupan publik. Inilah polemik perdebatan panjang yang membelah umat Islam menjadi dua kubu. Kalau mengacu pada teks-teks Islam, hubungan Islam dan politik kekuasaan secara implisit mengarah pada sebuah keniscayaan. Keberadaan negara sangat dibutuhkan untuk menjalankan aturan-aturan dalam Islam seperti halnya konsep Al Mawardi dalam Al Ahkam As Sultaniyyah tentang agama dan negara. Karena bagaimana mungkin aturan Islam tentang kehidupan publik dapat terlaksana dengan baik tanpa adanya kekuasaan. Karenanya, banyak tokoh agama yang membuat rujukan negara Madinah sebagai contoh konkret tentang eratnya hubungan Islam dan kekuasaan. Namun tidak sedikit kalangan yang menolak ide negara Islam, karena Islam terbukti tidak membawa konsep baku tentang negara. Karena hampir tidak ada teks eksplisit agama yang menyebutkan bahwa kota Madinah itu adalah sebuah negara Islam.
Ketika Islam dipercaya punya hubungan erat dengan kekuasaan, maka pertanyaan baru akan muncul. Tafsir mana yang representatif untuk mewakili Islam? Tafsir penguasa atau tafsir ulama? Sebuah pertanyaan yang tidak mudah dipecahkan. Ketika ditanya tentang agama, maka mayoritas umat Islam tidak ragu-ragu mengakui ulama lah yang punya tafsirnya. Tapi anehnya ketika ulama mencoba bergerak membuat tafsir Islam publik, maka senapan dan moncong meriam penguasa akan mengarah ke muka ulama, dengan dalih ini bukan wilayah ulama. Wilayah ulama hanya ada di masjid dan madrasah (pesantren), serta tidak perlu ikut campur urusan publik. Inilah potret perdebatan sengit dan bergejolak di Pakistan tentang tafsir Islam publik, yang akhirnya berujung kepada tragedi berdarah di Masjid Merah Islamabad (11/07/07) yang memakan korban sedikitnya 124 orang. Tokoh agama dan pengikutnya melawan pemerintah. Tokoh agama menuduh pemerintah tidak mumpuni dalam memahami dan menerapkan tafsir Islam publik secara benar, yang akhirnya memaksa tokoh agama turun tangan untuk menerapkan tafsir Islam publik secara 'benar'.
Tragedi Masjid Merah yang berlangsung delapan hari di jantung kota Islamabad memunculkan beragam tanggapan dan opini tentang posisi peranan agama dalam kehidupan publik. Banyak opini yang memandang sebaiknya agama 'kembali ke barak' dan mengajari pengikutnya untuk beragama yang toleran dan bisa menghargai orang serta tidak perlu turut campur dalam urusan publik.
Sebuah ambigu
Sekilas opini ini mengundang hal positif dan bisa diterima logika, karena akan tercipta atmosfir yang 'damai' dan bersahabat dengan lingkungan. Opini ini secara implisit juga mengesahkan tafsir agama penguasa sebagai tafsir Islam publik yang sah. Namun di sisi lain, opini ini secara terselubung mengajarkan 'kepasifan' dalam beragama dan mengkerdilkan peran Islam di ruang publik. Opini ini secara tidak sadar telah mengamini konsep sekularisasi Barat yang mengharamkan campur tangan agama dalam urusan publik.
Inilah ambiguitas umat Islam dalam beragama. Di satu sisi, saat wacana konsep sekularisme dikumandangkan oleh Barat, mereka ramai-ramai menabuh genderang perang. Namun dalam realitas di lapangan, mereka justru ramai-ramai memakai baju sekularisme tanpa sadar dalam bentuk pengurungan Islam dalam masjid dan madrasah. Bahkan, wilayah Islam yang ada dalam masjid dan madrasah pun masih tetap dikontrol penguasa agar norma-norma publik dalam Islam bisa ramah lingkungan.
Tafsir Islam publik yang dipegang tokoh agama di Pakistan memang terkesan 'liar' dan 'galak'. Mereka nyaris tidak bisa kompromi dengan kebudayaan asing yang bertabrakan dengan syariat Islam, seperti musik, film-film Barat, dan India, pergaulan bebas, bersalaman dengan lain jenis, prostitusi terselubung, dan sebagainya. Tafsir Islam publik ala tokoh agama semakin memuncak ketika pemerintah Musharaf terlihat mesra dengan Barat khususnya Amerika.
Kerasnya tafsir Islam publik ala tokoh agama ini bukannya tanpa alasan. Banyak teks Islam secara tersirat mendorong mereka untuk melakukan perang terhadap kemungkaran, ketidakadilan, dan larangan bermesraan dengan non-Muslim yang nyata-nyata telah menumpahkan darah umat Islam seperti di Palestina, Irak, Afghanistan, dan Kashmir.
Keberanian tokoh Islam di Pakistan mengangkat senjata melawan penguasa merupakan contoh kecil dari ideologi superioritas Islam atas yang lain. Ideologi ini mengantarkan kepada sebuah potret absurdnya norma Islam publik dalam menjaga relasi keharmonisan manusia dengan manusia. Tragedi berdarah antara pemerintah dan tokoh agama di Masjid Merah Islamabad juga memunculkan wacana perang tafsir Islam publik dan berakhir dengan kemenangan gemilang oleh pemerintah Musharraf. Kemenangan ini semakin mengukuhkan konsep sekularisme Barat yang melarang campur tangan agama di ruang publik.
Tragedi berdarah di Masjid Merah Islamabad juga menyadarkan umat Islam di belahan bumi lainnya berpikir ulang untuk begaimana merumuskan kembali konsep tafsir Islam publik yang harmonis tanpa perlu adanya pemasungan terhadap Islam. Namun begitu, tokoh-tokoh Islam juga tidak boleh semena-mena dan arogan melawan pemerintah atas nama pemilik tafsir Islam publik yang sah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar