Sabtu, 11 Agustus 2007

Pendidikan Monokultur Versus Multikultural dalam Politik

Abdul Munir Mulkhan Guru Besar IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

PEMILIHAN presiden (pilpres) tahap kedua 20 September 2004 usai dan hasilnya sudah diketahui publik. Persoalan yang masih tersisa ialah bagaimana menyelesaikan beragam problem kebangsaan dan kemanusiaan sesudah krisis moneter tahun 1997. Kebijakan politik, sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, dan keagamaan berbasis monokultur sering menyebabkan warga kehilangan kecerdasan dan kearifan otentiknya. Dan negeri ini seperti terperangkap lingkaran setan krisis.

Pendidikan monokultur dengan mengabaikan keunikan dan pluralitas seperti yang selama ini dijalankan, memasung pertumbuhan pribadi kritis dan kreatif. Akibatnya, warga bangsa ini hanya memiliki jalan tunggal menjalani hidup kebangsaannya hingga gagal mengatasi problem kehidupan yang kompleks dan terus berkembang. Persoalan sederhana mudah berkembang lebih kompleks akibat ditangani tidak proporsional.

KEUNIKAN tradisi lokal dan pengalaman keagamaan tidak ditempatkan sebagai akar kebangsaan. Kebijakan politik kenegaraan lebih bersumber dari konsep kebangsaan dan nasionalitas berdasar ide monokultur mengatasi tiap keunikan lokal. Bhinneka Tunggal Ika hanya jargon, tak menjadi sumber inspirasi pengembangan tata sosial, politik, ekonomi, budaya, dan keagamaan. Keyakinan atas Tuhan sebagai Aktor Maha Unik gagal memperkaya spiritualitas dan kepekaan kemanusiaan otentik saat kesalehan keagamaan disusun berdasar ide serupa. Praktik kesalehan keagamaan mudah memicu konflik kian kompleks dalam praktik kebangsaan dan sebaliknya.

Karena itu, kesadaran keunikan diri sebagai pengalaman otentik perlu ditempatkan sebagai akar pendidikan, pengembangan politik kebangsaan, dan kesalehan religius. Keunikan adalah basis pribadi kreatif dan kecerdasan setiap orang dengan kemampuan dan sikap hidup berbeda. Sukses belajar, hidup berbangsa, dan berketuhanan ialah jika tiap orang bisa tumbuh berdasar keunikan diri bukan dengan meniru orang lain, meniru sang pemimpin, meniru ulama atau guru. Mengenali diri sendiri adalah akar mengenal Tuhan, alam semesta, dan orang lain. Prinsip inilah yang dalam tradisi sufi dikenal dalam doktrin man arofa nafsahu faqad arofa robbahu (to know your self).

Praktik pendidikan, politik kebangsaan, dan kesalehan berbasis monokultur adalah pemasung daya kritis dan kreatif sebagai akar kecerdasan dan elan vital manusia warga bangsa. Selama ini, keunikan pengalaman keagamaan dan tradisi lokal sering dianggap sebagai ancaman. Konflik akibat perbedaan afiliasi politik dan kepemelukan atau paham keagamaan berbeda menjadi sulit dipecahkan karena tiap orang hanya memiliki jalan tunggal dalam memecahkan semua persoalan yang bersifat plural.

Demokrasi bukan hanya berarti kedaulatan di tangan rakyat, tetapi juga peletakan martabat warga pada keunikan diri dan komunitas lokal. Hasil pilpres putaran kedua lebih mempertegas arti penting kebijakan politik multikultural berbasis keunikan dan komunitas lokal.

Partai politik perlu membangun komunikasi lebih dialogis dengan pendukungnya dan rakyat secara luas. Tidak kalah pentingnya bagi gerakan keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah untuk segera menyadari sikap kritis warga masing-masing atas perannya dalam pentas politik kebangsaan.

PARTAI dan gerakan keagamaan tampak gagal berfungsi sebagai wahana perjuangan warga, selain gagal mengakomodasi kepentingannya. Kekalahan calon PKS merebut kursi Ketua DPRD DKI, memperkuat gejala itu sebagai bagian dari proses demokratisasi di semua bidang kehidupan.

Prinsip utama demokrasi ialah penempatan individu sebagai pemain utama dengan identitas atau ciri khas unik dari tiap aktor. Perbedaan setiap diri individu merupakan unsur terpenting demokrasi dan pendidikan multikultural. Kesadaran atas keunikan diri menumbuhkan kesadaran kolektif yang membuka pintu dialog yang kritis dan terbuka.

Di sini pula pilpres melukiskan pergulatan tajam antara fungsi institusi dan peran aktor, mesin partai dan figur, lembaga partai dan rakyat.

Gejala itu menunjukkan meluasnya kesadaran publik terhadap arti penting diri pribadi, warga negara, atau rakyat berhadapan dengan negara, partai, institusi dan gerakan keagamaan. Hubungan antara institusi pendidikan, guru, dan peserta didik, menghadapi persoalan serupa seperti hubungan antara guru dengan murid, kelas dan peserta didik.

Itulah arti penting perbedaan dan keunikan tiap orang dalam kehidupan bersama masyarakat yang mendunia dan global. Kini, otherness (liyan/lain-an) dipandang lebih penting dari keseragaman atau kesamaan. Seseorang atau sekelompok orang hanya akan tampak penting jika bisa dibedakan dari orang dan kelompok lain. Gagasan seperti ini merupakan kelanjutan atau varian individualisme dan liberalisme dalam bentuknya yang baru dalam berbagai konsep neo-liberalisme, neo-marxisme, neo-kapitalisme, dan neo-religiusisme ritualistik.

Gagasan itu merupakan kritik terhadap modernisme yang dipandang gagal menciptakan kehidupan global berkeadilan, manusiawi, dan berkelanjutan. Dunia mulai menaruh perhatian atas gagasan masyarakat sipil (madani) sebagai kritik peran negara yang cenderung tidak memihak kepentingan publik. Demokratisasi lalu meluas di seluruh belahan dunia sebagai bagian dari globalisasi. Gejala ini antara lain dipicu luas-jangkau dan tinggi frekuensi mobilitas (kepelancongan/pariwisata) manusia dari satu tempat ke tempat lain hampir tanpa batas. Jasa teknologi transportasi dan informasi menumbuhkan pola hubungan baru antarkelompok manusia dengan keragaman budaya bangsa di dunia. Bersamaan itu muncul kesadaran perlunya peneguhan identitas unik dari setiap kelompok masyarakat dan bangsa-bangsa itu.

Kecenderungan itu mengandaikan perlunya kebijakan politik kebangsaan dan praktik kesalehan keagamaan disusun berdasar ide multikultural. Pemecahan krisis dan masa depan demokrasi ditentukan etika multikultural para aktor demokrasi yang bisa dibangun dari kebijakan pendidikan multikultural berbasis keunikan warga dan peserta didik. Pendidikan multikultural merupakan dasar strategis kebangkitan bangsa di mata dunia selain kepentingan pragmatis menggerakkan partisipasi seluruh elemen bangsa bagi penyelesaian krisis multidimensi.

PENDIDIKAN multikultural mengandaikan sekolah dan kelas dikelola sebagai suatu simulasi arena hidup nyata yang plural, terus berubah dan berkembang. Institusi sekolah dan kelas adalah wahana hidup dengan pemeran utama peserta didik di saat guru dan seluruh tenaga kependidikan berperan sebagai fasilitator. Pembelajaran dikelola sebagai dialog dan pengayaan pengalaman hidup unik, sehingga bisa tumbuh pengalaman dan kesadaran kolektif setiap warga dan peserta didik yang kelak menjadi dasar etika politik berbasis etika kewargaan.

Pendidikan multikultural didasari konsep kebermaknaan perbedaan secara unik pada tiap orang dan masyarakat. Kelas disusun dengan anggota kian kecil hingga tiap peserta didik memperoleh peluang belajar semakin besar sekaligus menumbuhkan kesadaran kolektif di antara peserta didik. Pada tahap lanjut menumbuhkan kesadaran kolektif melampaui batas teritori kelas, kebangsaan dan nasionalitas, melampaui teritori teologi keagamaan dari tiap agama berbeda.

Gagasan itu didasari asumsi, tiap manusia memiliki identitas, sejarah, lingkungan, dan pengalaman hidup unik dan berbeda-beda. Perbedaan adalah identitas terpenting dan paling otentik tiap manusia daripada kesamaannya. Kegiatan belajar-mengajar bukan ditujukan agar peserta didik menguasai sebanyak mungkin materi ilmu atau nilai, tetapi bagaimana tiap peserta didik mengalami sendiri proses berilmu dan hidup di ruang kelas dan lingkungan sekolah.

Karena itu, guru tidak lagi ditempatkan sebagai aktor tunggal terpenting sebagai kamus berjalan yang serba tahu dan serba bisa. Guru yang afisien dan produktif ialah jika bisa menciptakan situasi sehingga tiap peserta didik belajar dengan cara sendiri yang unik. Kelas disusun bukan untuk mengubur identitas personal, tetapi memperbesar peluang tiap peserta didik mengaktualkan kedirian masing-masing. Pendidikan sebagai transfer ilmu dan nilai tidak memadai, namun bagaimana tiap peserta didik menemukan dan mengalami situasi beriptek dan berkehidupan otentik.

GAGASAN pendidikan multikultural bersumber dari prinsip martabat keuniknan diri tiap peserta didik. Pendidikan formal (sekolah) diletakkan dalam ide deschooling Ivan Illich seperti demokrasi yang meletakkan suara rakyat sebagai suara Tuhan. Rakyat sebagai diri lebih penting dari realitas negara dan partai seperti dalam masyarakat sipil atau madani. Kegiatan belajar-mengajar bukan sebagai alat sosialisasi atau indoktrinasi guru, tetapi wahana dialog dan belajar bersama. Di saat yang sama institusi negara dan partai dikembangkan sebagai wahana aktualisasi dan representasi kepentingan rakyat.

Soalnya ialah bagaimana memanipulasi kelas sebagai wahana kehidupan nyata dan membuat simulasi sehingga tiap peserta didik berpengalaman berteori ilmu dan menyusun sendiri nilai kebaikan. Guru tidak lagi sebagai gudang (bankir) ilmu dan nilai yang tiap saat siap diberikan kepada peserta didik, tetapi sebagai teman dialog dan partner menciptakan situasi beriptek dan bersosial. Pembelajaran di kelas disusun sebagai simulasi kehidupan nyata sehingga peserta didik berpengalaman hidup sebagai warga masyarakatnya.

Praktik politik akan bisa berfungsi sebagai pengayaan kecerdasan kemanusiaan otentik jika dilakukan sebagai pendidikan multikultural. Praktik kesalehan keagamaan akan mempertajam kepekaan kemanusiaan saat dilakukan berbasis pengalaman lokal yang unik dari tiap pemeluk agama. Dari sini pula partai politik, gerakan keagamaan, dan lembaga pendidikan, bisa menjalankan fungsi edukatifnya membangun warga sosial dan warga bangsa yang sadar atas keunikan dirinya untuk hidup bersama orang lain.

Tidak ada komentar: