Kamis, 24 April 2008

Belajar dari Sejarah Ahmadiyah

Ahmadiyah bukanlah hal baru dalam sejarah Indonesia. Hampir seabad lalu gerakan itu sudah masuk ke tanah air dan selama berpuluh tahun tidak mengalami masalah dengan kelompok lain. Mengapa sekarang dalam situasi ekonomi-politik yang kian panas menjelang Pemilu 2009 persoalan itu kembali diungkit? Ada baiknya kita menengok ke belakang, melihat proses masuknya Ahmadiyah ke Nusantara ini. Artikel ini terutama berdasar tulisan Herman L. Beck dalam Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde (2005: 210-246).

Ini bermula dengan kedatangan Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad ke Jogjakarta pada Maret 1924 menghadiri Kongres Ke-13 Muhammadiyah. Mereka dipersilakan berbicara dalam kesempatan tersebut. Pandangan mereka terhadap Jesus, yang dalam Islam disebut Nabi Isa, menarik perhatian hadirin.

Bagi penganut Ahmadiyah, Jesus setelah disalib tidak meninggal, tiga hari kemudian sadar dan bertemu dengan murid-muridnya. Dia kemudian pergi ke Srinagar, Kashmir, dan mengembangkan ajarannya di sana hingga meninggal pada usia 120 tahun.

Karena Jesus itu hanya manusia biasa, messias atau Al Masih yang disebutnya akan datang ke bumi tak lain dari Mirza Ghulam Ahmad. Oleh Ahmadiyah aliran Lahore, dia dianggap mujadid (pembaru). Sedangkan aliran Qadiyan memosisikan dia sebagai nabi.

Ahmadiyah juga memiliki pandangan yang khas tentang jihad. Bagi mereka, jihad bersenjata memerangi musuh (orang kafir) tidaklah wajib kecuali untuk mempertahankan diri. Kelompok itu sebetulnya juga tidak tergolong ekstrem karena bersikap loyal kepada pemerintah yang berkuasa.

Tahun 1928, tokoh Muhammadiyah Raden Ngabehi HM. Djojosoegito, saudara sepupu dari Hasyim Asy’ari -kakek Abdurrahman Wahid (Gus Dur)- dan Wahab Chasballah, mendirikan Ahmadiyah Indonesia. Hasyim Asy’ari dan Wahab Chasballah yang juga bersaudara sepupu adalah pendiri NU (Nahdlatul Ulama) tahun 1926.

Tahun 1930, pemerintah Hindia Belanda mengakui Ahmadiyah. Selain ketua Djojosoegito, terdapat nama Erfan Dahlan sebagai pengurus. Erfan Dahlan adalah putra H Achmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) yang belajar tentang Ahmadiyah di Lahore dan kemudian mengembangkan aliran tersebut di Thailand.

Selain Erfan Dahlan, ada beberapa pemuda lain yang juga belajar tentang Ahmadiyah di Lahore. Yang satu setelah kembali ke Indonesia bergabung dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Yang lain, Maksum, keluar dari Muhammadiyah, bergabung dengan Persatuan Islam (Persis) yang dipimpin A. Hassan di Bandung.


Polemik Panjang

Seperti kita ketahui, polemik panjang mengenai ajaran Islam juga terjadi antara A. Hassan dan Soekarno. Maksum beberapa puluh tahun kemudian ikut gerakan DI/TII yang dipimpin Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan.

Djojosoegito kemudian memindahkan kegiatannya ke Purwokerto dan di kota ini didirikan masjid pertama Ahmadiyah di Indonesia. Hubungan antara Ahmadiyah dan SI (Sarekat Islam) pada mulanya cukup erat.

Pemimpin SI, HOS Tjokroaminoto, menerbitkan tafsir Alquran pada 1930. Kata pengantar diberikan pimpinan Ahmadiyah di Lahore, India. Ketika ketepatan terjemahan kitab suci itu banyak dikritik, terutama dari kalangan Muhammadiyah, dukungan diberikan pimpinan Ahmadiyah.

Namun, hubungan Ahmadiyah dengan SI kemudian menjadi renggang karena sikap politik SI yang radikal terhadap penjajah Belanda. Sedangkan Ahmadiyah tetap loyal kepada pemerintah. HOS Tjokroaminoto yang menjadi mertua Soekarno, menurut KH Abdurrahman Wahid, sebetulnya juga saudara sepupu dari Hasyim Asy’ari dan Wahab Chasballah.

Kalau benar demikian, sebenarnya tokoh-tokoh NU, Muhammadiyah, SI, dan Ahmadiyah tersebut berasal dari rumpun keluarga yang sama. Kalau terjadi selisih paham sesama mereka, itu menjadi pertengkaran intern keluarga yang tidak akan menjadi konflik berdarah.

Pada 1925, Haji Rasul, ulama terkenal dari Sumatera Barat, ayahanda HAMKA, mengunjungi putrinya, Fatimah, yang menikah dengan A.R. Sutan Mansyur, pimpinan Muhammadiyah di Pekalongan. Dari Pekalongan, dia singgah di Jogja dan Solo serta bertemu dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Ahmadiyah. Terjadilah perdebatan seru. Haji Rasul mengatakan bahwa keyakinan Ahmadiyah itu menyimpang dari ajaran Islam.

Dalam kongres Muhammadiyah di Solo pada 1929, hubungan antara organisasi itu dan Ahmadiyah menjadi putus. Majelis Tarjih Muhammadiyah menyatakan bahwa barang siapa yang memercayai adanya nabi setelah Muhammad dianggap kafir, walaupun tidak eksplisit menyebut Ahmadiyah. Sebelumnya sudah ada larangan bagi warga Muhammadiyah untuk mendengarkan ceramah tentang ajaran Ahmadiyah.

Setelah 1929, Muhammadiyah sangat jarang mengeluarkan pernyataan yang memojokkan Ahmadiyah aliran Lahore. Ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa pada 1984, Muhammadiyah mendukung dan menganggap bahwa itu terutama menyangkut Ahmadiyah aliran Qadiyan.


Tak Berbahaya

Mengapa Muhammadiyah masih bersikap toleran terhadap Ahmadiyah aliran Lahore? Menurut Herman Beck, itu terjadi karena organisasi tersebut dianggap tidak berbahaya serta bukan kompetitor dalam bidang dakwah, sosial, dan pendidikan. Itulah sebabnya, selama puluhan tahun, Ahmadiyah tetap hidup berdampingan secara damai dengan Muhammadiyah dan organisasi Islam yang lain.

Menjadi pertanyaan saat bangsa Indonesia mengalami kesulitan ekonomi yang berkepanjangan, kesejahteraan rakyat tak kunjung terwujud, masyarakat didera kemiskinan, mengapa persoalan Ahmadiyah yang muncul ke permukaan? Untuk apa dan siapa yang menggerakkan semua ini?

Kalau diperhatikan, sejarah lahirnya organisasi-organisasi muslim di tanah air terlihat bahwa pendiri dan pengurus awal berbagai organisasi Islam itu sesungguhnya bersaudara. Oleh karena itu, sebaiknya masalah Ahmadiyah ini diselesaikan secara persaudaraan pula.
* Dr Asvi Warman Adam, sejarawan di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Jakarta

Sumber: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=338099

Selasa, 08 April 2008

Menjadi Presiden itu Mudah

Mengapa banyak orang ingin menjadi raja (dulu) atau presiden (sekarang)? Jawabannya beragam dan teorinya banyak! Menurut bapak ilmu sejarah dan sosiologi sejati Ibnu Khaldun (wafat pada 1406 M) dalam magnum opus-nya Muqaddimah (buku setebal 900 halaman sebagai pengantar atas buku Tarikh Ibn Khaldun yang enam jilid yang juga tebal itu) jawabannya adalah karena kedudukan sebagai raja adalah suatu kedudukan yang luar biasa terhormat. Kedudukan yang senantiasa diperebutkan ini memberi orang yang memegang kedudukan itu segala kekayaan duniawi, juga kepuasan lahir dan batin yang luar biasa.Maka,jarang sekali kedudukan ini dilepaskan dengan suka rela, sebaliknya selalu di bawah paksaan. Perebutan tersebut membawa pada perjuangan,peperangan, dan runtuhnya singgasana-singgasana.

Tentu, modus ”perebutan” tersebut berbeda antara dulu dan sekarang. Dulu,di samping berdasarkan keturunan, juga kekuatan perang. Sekarang ”perebutan”-nya dengan modus pemilihan umum yang demokratis. Keduanya sama-sama perebutan kekuasaan untuk menjadi raja atau presiden.Pemilu (atau pemilihan presiden) itu sejatinya perebutan kekuasaan juga, yakni perebutan kekuasaan secara sehat, adil (fair), beradab (civilized), dan berdasarkan aturan main (rule of the game) yang jelas.

Maka, biasanya harus disertai dengan etika yang tinggi, terutama etika politik sportif. Artinya, kalau kalah yaharus mengakui kalah. Kalau Ibn Khaldun menyatakan orang berkompetisi pada jabatan raja, sultan, atau khalifah (pasca- Khulafa al-Rasyidin) karena kedudukan ini dianggap akan memberikan kehormatan, kekayaan duniawi, dan kepuasan lahir batin yang luar biasa, maka Thomas Carlyle (1795- 1881) mengatakannya karena dorongan ingin menjadi orang besar yang membuat atau mengukir sejarah.

Ambisi ini bahkan kerap membuat orang tidak begitu peduli apakah akan terukir dengan tinta emas ataukah dengan tinta darah! Yang jelas, kata Carlyle,”The history of the world is but the biography of great men (sejarah dunia sejatinya hanyalah sejarahnya orang-orang besar)”.

Bohong besar kalau ada orang yang berani mengatakan bahwa ambisinya untuk menjadi presiden itu tanpa faktor dorongan kehormatan,kebesaran,dan kepuasan lahir batin itu.Noblesse oblige, kata sebuah ungkapan. Artinya, kekuasaan dan kehormatan membawa tanggung jawab atau pengabdian. Tak mengherankan jika banyak orang memimpikan kedudukan presiden. Jangankan politikus partai yang memang by nature pekerjaannya berburu kekuasaan,orang-orang yang selama ini suka mengaku bukan politikus pun tanpa tedeng aling-aling menyatakan keinginannya menjadi presiden.

Apalagi, menjelang Pemilihan Presiden 2009 seperti sekarang ini. Lihatlah, banyak benar orang yang akhir-akhir ini mematut-matut diri (Jawa: jinjit-jinjit) merasa bisa menjadi presiden. Pada masa Presiden Soeharto dulu, biasanya orang hanya ingin menjadi menteri alias pembantu presiden.

Tidak ada seorang pun tokoh politik (kecuali mungkin Dr Amien Rais) yang berani menyatakan kepada publik mengenai keinginannya menjadi presiden. Alasannya, seperti yang sering mereka nyatakan sendiri waktu itu, ialah merasa tidak mampu. Katanya, menjadi Presiden Republik Indonesia yang sangat besar dan majemuk ini sangat berat. Tetapi belakangan pengakuan itu ternyata tidak sejati alias palsu belaka.

Ketidakinginan tersebut nyatanya lebih karena perasaan takut atau segan kepada Presiden Soeharto yang saat itu memang secara politik sangat kuat dan dikenal sebagai tidak pernah mau disaingi oleh siapa pun (Ingat pemeo tidak boleh ada matahari kembar). Lihat saja, begitu Presiden Soeharto lengser, orang-orang yang dulu menyatakan tidak mampu dan cuma ingin menjalankan tugas pengabdian semata tiba-tiba merasa bisa menjadi presiden!

Dengan tanpa malu-malu mereka mematut-matut diri merasa bisa menjadi presiden. Sangat meyakinkan, tampaknya mereka mulai jujur melihat bahwa dalam jabatan presiden tersembul aspek kehormatan, keagungan, dan keagungbinataraan, persis seperti kata Ibn Khaldun.Yang dibayangkan jika kelak menjadi presiden adalah iring-iringan mobil panjang dengan sirene meraung-raung di jalan yang terdiri atas mobil berpelat RI I,mobil pengawal,ambulans,mobil pemadam kebakaran,dan mobil-mobil lain yang senantiasa akan menyertai ke mana pun dia pergi.

Belum juga hak-hak keuangan dan protokolernya lainnya yang serbamegah itu. Di mana-mana, akan selalu disanjung-sanjung dan dipuja-puja.Wah, pokoknya aura kebesaran akan selalu mengelilinginya. Apalagi orang akhirnya mengerti bahwa menjadi presiden di negara demokrasi itu sejatinya memang hanya soal akseptabilitas (bisa terpilih atau tidak), bukan kapabilitas.

Menjadi presiden itu gampang, yang sulit adalah terpilihnya! Saya tidak begitu percaya dengan pendapat bahwa tugas, pekerjaan, dan tanggung jawab presiden itu sangat berat sehingga hanya orang luar biasa (Satrio Piningiti?) yang mampu menunaikannya. Apa sulit dan beratnya menjadi presiden? Berbeda dengan kerajaan di mana seorang raja memerintah dengan titah atau dekrit (rule by decrees).

Di negara demokrasi,seorang presiden atau perdana menteri memerintah atau menjalankan kekuasaan berdasarkan undang-undang (rule by laws). Undang-undang itu pun sebagian besar sudah tersedia semua. Jadi,aturan dan koridor-koridor untuk menjalankan pemerintahan sudah jelas! Bahkan juga para pembantu, penasihat, dan anggarannya, termasuk anggaran untuk dirinya!

Sehingga yang diperlukan oleh seorang presiden hanyalah pengetahuan terhadap semua undang-undang tersebut (dan semuanya ini bisa dibaca), kemudian menjalankannya dengan penuh ikhlas, tulus, dan lurus! Pertama,ikhlas,artinya menjalankan undang-undang tersebut tanpa pamrih.

Kedua, tulus artinya semata-mata bekerja untuk rakyat, bangsa, dan negara. Jangan pernah berpikir akan memperkaya diri dan keluarganya. Singkatnya, lebih baik dikatakan pelit oleh saudara atau temannya sendiri daripada melanggar undangundang. Ketiga, lurus, artinya patuh pada teks dan semangat undangundang serta tidak coba-coba menipu, melanggar, dan mencederai undangundang tersebut.

Betapa sangat sederhananya! Menjadi kompleks dan tidak sederhana karena tidak ikhlas, tidak tulus,dan tidak lurus! Walhasil, menjadi presiden itu mudah, yang berat dan sulit adalah untuk terpilih menjadi presiden. Kalau sudah terpilih dan menduduki jabatan presiden,rasanya tidak berat atau sulit-sulit amat.

Makanya,mereka yang berkeinginan menjadi presiden tidak perlu berkecil hati kalau disebut oleh orang-orang yang sinis sebagai rumangsa bisa(merasa bisa).Sebab, memang gampang menjadi presiden itu.Tidak perlu mematut-matut diri karena memang sebenarnya banyak orang yang patut dan bisa menjadi presiden.Yang sulit itu, sekali lagi, adalah terpilih menjadi presiden! Percayalah. (*)

Hajriyanto Y Thohari
Antropolog dan politisi Anggota Komisi I DPR


The organization of political parties at the grassroots

By Ulla Fionna

During Soeharto's 32-year-long New Order, Indonesian political parties were the most obvious example of manipulation of political participation. Not only were they under strict government control, they were also denied contact with grassroots society. Consequently, grassroots support was cut off from politics and the parties. Now that the reform era is a decade old, the parties have had time to manage their role and function as a political channel at the community level. A closer examination of how four major parties -- the Golkar Party, the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P), the National Mandate Party (PAN) and the Prosperous Justice Party (PKS) -- operate at the local level in Malang municipality and regency revealed that management heavily depended on personnel and resources -- and that incumbent parties are not always more advanced than younger ones.

The situation in Malang, East Java, is likely not very different from the situation in other regions even at national level.

* Golkar Party (Soeharto established this party in the 1960s). In its local operation in Malang, it has superior resources among the four parties as the only one that can afford to own its offices and hire professional staff to handle daily administration.

At the municipality (kodya) level, its office has even been keeping a very tidy quarterly report, which details every activity held within the period, including photograph documentation and expenses all manually pasted and hand-typed into a large file.

Its office in the regency (kabupaten) also showed focus on recordkeeping by its well-kept election results since the 1970s, a remarkable achievement given the fact the office experienced a fire at one stage. The party's offices were always active during office hours, and its personnel was skilled to handle enquiries.

The chairmen of the party in the two regions, although having a primary job outside party leadership, attended their offices regularly. Activities were also held regularly, ranging from cadre meetings to dialogues with representatives from the local assembly.

Because of the frequent activities, members could interact with the party on a regular basis.

* PDI-P. Despite having strong grassroots sympathy for former president Megawati Soekarnoputri and her father, first president Sukarno, the PDI-P's local branch management was seriously lacking. Although its branch at the kabupaten level is always open during office hours, its city counterpart was padlocked most of the time.Its kabupaten administrators were salaried, but they were not office professionals as Golkar's; rather, they were cadres with just sufficient administrative skills to handle daily operations.

The kabupaten branch held more activities such as blood donation drives and free house renovation for members, and the cadres hang around in the office most days.

In contrast, the kodya staff were seriously behind in maintaining an electronic membership database, and were clueless about party activities and personnel.

* PAN. Its offices seriously suffered from bad management. Its kodya branch did not even have an office for a few months while searching for a new place to rent, and the cadres were occupying a small room at the local assembly's office. The constant removals have caused the branch to lose files and archives. The kabupaten office was housed at the residence of its secretary, who later was elected as the chairman.

The chairman ran the office as a one-man show, taking care of everything. These chaotic arrangements meant that regular activities were hard to organize.

For the kodya office, the few cadres who frequented the local assembly office were the ones who kept the party alive. They maintained the branch by holding leader election at one of their residences.

The erratic local management of the PAN has contributed to and perhaps worsened the problems of retaining members in the party. As the kabupaten chairman himself noted, members have been swayed by other parties such as the PKS.

*PKS. The PKS serves as evidence that a young party can demonstrate an advanced branch management. Its Malang branches were active and efficient, and its kabupaten office was the only branch that had an email address. Administered by its own cadres, the party benefited from a technology-savvy and committed young cadres who handled daily operations.

Although also having to constantly move like the PAN's branches, the branches were more efficient in looking for a new office in advance and thus the office activities were not interrupted.

Using Islam as the basis for its activities, the party held a wide variety of events ranging from long-marches, caricature demonstrations, an Islamic premarital advice session for young couples and an open house to attract new recruits for the party. Internally, the party also held frequent meetings and discussions. Promotion of the party was also held by flyer distribution in public places such as bus terminals.

Among the four parties, Golkar and the PKS were the most organized branches in Malang. The two parties were superior in branch management and consequently were more capable in holding frequent and a wider range of activities, as well. Contributing to the success of these parties were the factors of better resources for Golkar and more committed and skilled personnel for the PKS.

The other two parties, the PDI-P and the PAN, are at the other end of spectrum, with the former having an inactive branch and the latter's kodya office chaotic in its daily operations. However, the case of the PAN also strengthens the notion that personal commitment matters -- in this case the kabupaten leader's and the kodya cadres'.

Disparities in local party organization are evidence of the challenges that individual parties face in their local operation. They may differ in age and experience, but what matters is how they utilize their capacity. Lack of experience can be compensated by greater commitment in organizational capacity, as demonstrated by the PKS.

On the other hand, popularity and electoral success could contribute to a self-content attitude, such as shown by the PDI-P. Since grassroots politics are gaining more importance in Indonesia, local party organization will also play a more influential part in determining party influence in the local community. Thus, better organization could be the key to winning local support to boost electoral support in the coming elections.

The writer is completing her PhD in political science at the University of Sydney, and currently teaches at the University of Sydney and Macquarie University. She can be reached at ulla.fionna@usyd.edu.au.

Source: http://www.thejakartapost.com/news/2008/04/07/the-organization-political-parties-grassroots.html-0

Tentang Film “Fitna”

Islamisme mungkin bertentangan secara diametral dengan budaya pencerahan. Tetapi, Islam, saya rasa tidak, meskipun tidak seluruhnya ada kesejajaran antara keduanya. Saya percaya bahwa Islam bisa menampung nilai-nilai pencerahan Eropa. Jangan dilupakan pula, bahwa sejarah pencerahan Eropa tak terpisahkan dari Islam pula. Beberapa gagasan para pemikir Muslim menjadi ilham bagi para humanis Eropa pada abad 16 dan 17. Tentang Geert Wilders dengan film ”Fitna”nya, kita harus sadar bahwa fenomena Geert Wilders ini tidak menggambarkan sikap masyarakat Barat secara keseluruhan. Di satu pihak, kita melihat orang seperti Wilders yang sangat benci Islam ini. Tetapi di pihak lain kita juga melihat fenomena Kardinal Rowan William, Uskup Canterbury, yang baru-baru ini juga menggegerkan publik Barat karena memberikan kemungkinan kepada syariat Islam untuk ditampung dalam hukum komunitas yang berlaku di Inggris.

Kecurigaan dan praduga negatif terhadap Islam sudah pasti ada dalam masyarakat Barat hingga saat ini. Sebagaimana praduga yang sama juga ada dalam Islam terhadap Kristen dan Barat. Tetapi, dalam pengamatan saya, kecenderungan masyarakat di Barat secara umum adalah justru mengarah kepada sikap yang makin positif terhadap kebudayaan-kebudayaan yang berbeda. Tentu, saya berbicara mengenai kecenderungan umum.

Insiden-insiden ke arah sebaliknya tentu ada, dan akan terus ada. Tetapi kalau kita lihat bentangan sejarah masyarakat Barat, perkembangan terakhir ini tentu jauh berbeda dengan sikap-sikap mereka seabad yang lalu, misalnya. Sekarang, masyarakat Barat sudah pelan-pelan mulai meninggalkan "euro-sentrisme" mereka, meskipun dalam beberapa hal mereka masih gagal. Jangan lupa, masyarakat Barat menempuh jalan yang berliku dan sulit sekali untuk mencapai keadaan seperti sekarang ini.

Saya sendiri melihat fenomena Wilders ini sebagai cerminan dari rasa tak aman berhadapan dengan serbuan budaya baru yang datang dari luar Eropa. Wilders antara lain mengatakan bahwa masyarakat Eropa harus mempertahankan budaya pencerahan, dan menolak serbuan ideologi Islam dan Islamisme. Pendapat dia ini, hingga tingkat tertentu, ada benarnya. Kita harus bedakan antara Islamisme dan Islam. Islamisme mungkin bertentangan secara diametral dengan budaya pencerahan. Tetapi, Islam, saya rasa, tidak, meskipun tidak seluruhnya ada kesejajaran antara keduanya. Saya percaya bahwa Islam bisa menampung nilai-nilai pencerahan Eropa. Jangan dilupakan pula, bahwa sejarah pencerahan Eropa tak terpisahkan dari Islam pula. Beberapa gagasan para pemikir Muslim menjadi ilham bagi para humanis Eropa pada abad 16 dan 17.

Di segi yang lain, Wilders ini juga cerminan dari "religious illiteracy" yang ada dalam masyarakat Barat saat ini. Karena sekularisasi yang berlangsung lama, masyarakat Barat tidak mendapatkan pendidikan dan informasi yang cukup tentang kekayaan tradisi agama-agama besar dunia. Saat mereka membaca suatu Kitab Suci yang mengandung ajaran-ajaran yang bertentangan dengan rasionalisme, mereka langsung kaget bukan main. Ini yang menjelaskan pernyataan Wilders yang sangat keras tentang Islam. Semua Kitab Suci agama mengandung sejumlah statemen yang bermasalah dilihat dari sensibilitas modern, jika dipahami secara harafiah.

Wilders sebetulnya berdiri pada sisi yang sama dengan kaum fundamentalis di mana-mana: yakni memahami teks agama lepas dari konteksnya, dan mengabaikan kerumitan sejarah penafsiran teks agama. Beda Wilders dengan kaum fundamentalis hanya satu: sementara Wilders mengutuk teks agama itu, kaum fundamentalis memeluknya erat-erat selama 24 jam.

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1335

Politik Pangan Yusuf

Alkisah, firaun bermimpi. Ia sedang berdiri di tepi Sungai Nil, sungai terpanjang kedua di dunia. Tiba-tiba muncul tujuh sapi gemuk dari dalam sungai dan memakan rumput di tepinya. Lalu, muncul tujuh sapi kurus dan memakan sapi-sapi gemuk itu. Kemudian, ia bermimpi lagi. Tujuh bulir gandum yang kering menelan tujuh bulir gandum yang berisi. Ketika terjaga, raja Mesir itu gelisah. Bukan mimpi biasa. Semua orang pintar dipanggil untuk memberi tafsir mimpi. Namun, tak satu pun mampu.

Jika pengetahuan adalah kekuasaan, kegagalan orang pintar di istana pertanda melemahnya pamor penguasa. Ketika statistik dan institusi resmi tidak mampu mengantisipasi datangnya krisis pangan, mimpi menerobos birokrasi istana. Ketika bawahan selalu datang membawa laporan asal raja senang, mimpi adalah peringatan dari atas. Penguasa segala penguasa mengingatkan datangnya bencana.

Politik antisipasi

Ketika istana tak berdaya, seorang pegawai teringat pengalamannya saat di penjara. Seorang pemuda, sesama tahanan, mampu menafsir mimpinya. Namanya direkomendasikan. firaun setuju. Dan, Yusuf dikeluarkan dari penjara. Ia menjelaskan, Allah sedang memberi isyarat untuk sesuatu yang akan terjadi dalam waktu dekat.

Tujuh sapi gemuk dan tujuh bulir gandum yang berisi melambangkan tujuh tahun kemakmuran di seluruh Mesir. Tujuh sapi kurus dan tujuh bulir gandum yang kurus melambangkan tujuh tahun paceklik setelah masa kemakmuran. Tafsir mimpi itu melawan alam Mesir. Sungai Nil tiap tahun membanjiri tepinya sehingga tanah di sekitarnya berlumpur dan subur untuk ditanami. Nil adalah simbol kesuburan Mesir.

Tidak hanya tafsir, Yusuf juga memberi solusi. Untuk mengantisipasi krisis pangan, harus segera dipilih seorang yang cerdas dan bijaksana. Ia diberi wewenang luas untuk menjamin ketersediaan pangan. Juga harus ada pegawai-pegawai untuk mengumpulkan seperlima dari kelebihan panen gandum selama tujuh tahun kemakmuran untuk memperkuat stok pangan nasional.

Ternyata firaun berkenan dengan tafsir mimpi itu. Ia langsung menunjuk Yusuf sebagai orang kedua di negeri adidaya itu dengan tugas khusus mengamankan stok pangan nasional. Usianya baru 30 tahun, tetapi sosoknya dipandang cerdas dan bijaksana. Segera Yusuf mengelilingi negeri. Ladang-ladang didorong meningkatkan produksinya selama tujuh tahun kemakmuran.

Negara membeli surplus gandum untuk meningkatkan stok nasional guna mengantisipasi tujuh tahun paceklik. Surplus produksi di daerah sekitar kota dikumpulkan dan disimpan di kota itu. Maka, banyak (kota) sentra stok pangan tersebar di seluruh negeri guna memperpendek jalur distribusi. Orang lapar akan segera mati jika tidak segera mendapat bantuan makanan. Sentra-sentra stok pangan dijaga ketat agar tidak dicuri atau dijarah. Akhirnya, Mesir selamat dari kelaparan, bahkan mampu menolong negeri lain.

Batu uji politik

Politik pangan adalah batu uji keberhasilan penguasa. Jaminan ketersediaan murah erat hubungannya dengan stabilitas politik. Penguasa bijak menjadikan masalah pangan sebagai prioritas. Maka, negara maju memberi subsidi kepada petani dan menjamin pembelian hasil tani dengan harga pantas.

Dunia tengah memasuki krisis pangan global. Tidak perlu isyarat mimpi lagi. Masa-masa kemakmuran hampir berakhir. Ketika negara-negara berkembang dan miskin berkonsentrasi menangani kemiskinan dalam kerangka Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) untuk tahun 2015, kelaparan dan malnutrisi yang terlupakan dari MDGs kini menyergap.

Secara keseluruhan harga-harga komoditas pangan naik 75 persen, kian tak terjangkau rakyat miskin. Menurut laporan yang dipublikasikan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) Februari lalu, Indonesia merupakan salah satu dari 36 negara yang mengalami krisis pangan. Korban krisis pangan berjatuhan di Indonesia. Kualitas makanan untuk rakyat kecil menurun.

Negara-negara produsen utama beras mulai menghentikan ekspor. Surplus untuk meningkatkan stok nasional masing-masing dan menekan laju inflasi di dalam negeri.

Daripada untuk mengimpor beras, cadangan devisa yang ada sebaiknya digunakan untuk mengoptimalkan potensi pertanian rakyat, memberantas penyelundupan pupuk bersubsidi, mencegah lahan pertanian beralih fungsi, meningkatkan harga gabah di tingkat petani, menyejahterakan petani, dan meningkatkan kualitas beras untuk orang miskin.

India yang jumlah penduduknya melebih Indonesia selama 10 tahun terakhir bisa untuk tidak mengimpor beras. Negara yang produk domestik brutonya di bawah Indonesia dan penduduknya empat kali lebih banyak ini tidak termasuk sembilan negara di Asia yang mengalami krisis pangan. India sempat mengenakan bea masuk beras hingga 70 persen dan baru kini menurunkan bea masuk beras menjadi nol persen.

Sebagai salah satu negara yang populasinya besar dengan beras sebagai bahan makanan pokok, daulat pangan tidak boleh ditawar-tawar. Krisis pangan global bisa menjadi momentum pemerintah untuk mengubah posisi Indonesia dari salah satu importir beras terbesar menjadi swasembada. Stop kebijakan pangan yang lebih memakmurkan petani di negeri orang.

Untuk itu, politik pangan harus all out. Singkirkan pejabat yang mengurusi pangan dengan mental pedagang. Percuma peningkatan cadangan devisa nasional jika sebagian besar rakyat tidak mampu membeli beras dan terpaksa makan nasi aking. Indonesia membutuhkan Yusuf-yusuf di tingkat pusat hingga daerah.

Menghadapi perubahan iklim global dan potensi gagal panen, pemerintah tidak boleh santai. Lebih mendesak kehadiran seorang menteri pangan dengan wewenang dan kapasitas seperti Yusuf daripada wakil menlu. Atau, fungsi Bulog dievaluasi, difokuskan, dan diperluas sebagai yang juga bertanggung jawab atas kedaulatan pangan di dalam negeri.

Yonky Karman: Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta

Rumah untuk Rakyat Tanggung Jawab Siapa?

Oleh Mustafa Bawazier *

Masih terngiang di telinga kita bagaimana Kabinet Indonesia Bersatu membuka lembaran kerja dengan program sejuta rumah. Pada tahun berikutnya Presiden SBY langsung menggebrak dengan pencanangan pembangunan seratus ribu rumah di seluruh Indonesia dalam upacara meriah di Semarang. Jawa Timur kebagian 20 ribu unit setiap tahun. Rakyat pun merespons antusias menunggu impiannya terwujud. Karyawan yang biasanya nebeng di rumah mertua, mengontrak atau indekos kini semakin besar berpeluang menata rumah sendiri dengan harga terjangkau.

Peran pemerintah yang diharapkan bisa lebih besar ternyata hanya mampu membebaskan biaya izin mendirikan bangunan (IMB) dan pajak pertambahan nilai (PPN) serta pinjaman uang muka Rp 5 juta sd Rp 10 juga hanya khusus bagi pegawai negeri sipil (PNS).

Adapun subsidi fisik -sarana dan prasarana umum- yang sangat diharapkan dapat menurunkan biaya membangun belum ada kepastian. Masih bergantung pada kemampuan lobi di instansi-instansi terkait. Karena tidak adanya kepastian, tidaklah menarik bagi pengembang. Maka, Jawa Timur akhirnya hanya bisa mewujudkan separo.

Tudingan sudah pasti diarahkan kepada pengembang. Tuduhan lamban, tidak produktif, tidak punya tanggung jawab moral menjadi santapan para pengusaha. Puncaknya dalam Munas REI 10 Desember 2007 Wakil Presiden Yusuf Kalla menyemprot pengembang yang gagal memenuhi target.

Benarkah? Mari kita cermati fakta-fakta berikut untuk menyusun porsi tanggung jawab. Kemudian, menggalang kebersamaan setiap elemen untuk menyukseskan impian pemerintah dan rakyat.

Program pembangunan rumah sehat sederhana ini tentu berangkat atas inisiatif pemerintah sebagai perwujudan aspirasi dan keinginan rakyat memperoleh kenyamanan dan hak sebagai warga negara.

Selain pemerintah pusat, tentu ada lembaga keuangan, pemerintah provinsi, pemerintah daerah, pengembang, dan calon penghuni yang menjadi pilar bagi suksesnya program sejuta rumah ini.

Pengembang menjadi lebih sentral karena dialah yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan di lapangan. Tetapi, mata rantai lain seperti penyediaan tanah, perhatian pemerintah (pusat-provinsi dan daerah) dan kondisi ekonomi menjadi satu kesatuan masalah yang bisa menghadang ambisi besar kita semua untuk cepat-cepat menyediakan rumah buat rakyat kecil.

Pemantauan yang dilakukan Menteri Perumahan Rakyat cukup gencar dan membuktikan keseriusan pemerintah. Dia rajin menghadiri kegiatan REI/APERSI di berbagai daerah, bahkan sering ke Jatim. Dia terus berdialog dan berupaya mencarikan solusi. Namun, solusi atas berbagai keluhan membutuhkan waktu lama karena perlu melibatkan banyak pihak.

Kebutuhan rumah murah untuk rakyat yakni rumah sehat sederhana (RSH) dan rumah susun sederhana (Rusuna) menjadi agenda kegiatan Asosiasi Real Estate seperti REI/APERSI. Sasaran pemerintah terbatas pada rakyat yang berpenghasilan tetap atau 25 persen dari populasi keseluruhan. Sementara rakyat yang tidak berpenghasilan tetap mencapai 75 persen. Memang ada risiko keamanan bagi lembaga penjamin, tetapi intervensi pemerintah dapat membuka pasar yang begitu besar.

Di negara tetangga, Singapura dan Malaysia, pemerintah menyediakan dana pembangunan RSH/rusuna dalam porsi cukup besar. Di sana pemerintah menyediakan pinjaman untuk pembebasan tanah (land bank) dan subsidi biaya membangun serta subsidi bunga kredit pemilikan rumah (KPR). Hitungan dan targetnya sudah jelas. Subsidi-subsidi tersebut pasti cair dengan jadwal yang jelas dan tegas. Sementara di sini penuh ketidakpastian. Kita harus berebut mendapatkan subsidi-subsidi tersebut.

Jadi, harus ada kesungguhan total dari pemerintah pusat sampai ke pemerintah di daerah terhadap keberhasilan pemenuhan kebutuhan RSH/ rusuna. Kalau itu terwujud, permasalahan pemenuhan kebutuhan rumah murah hanya tersisa tiga: subsidi biaya membangun, penunjang pembiayaan (bank pemberi KPR), dan faktor biaya perizinan


Faktor Subsidi Biaya

Sebagai contoh RSH dengan tipe 36/72 pemerintah mematok harga maksimum per unit Rp 55 juta. Pengembang tidak mungkin mendapat keuntungan tanpa subsidi. Dari pemerintah hanya ada pembebasan biaya izin mendirikan bangunan (IMB) dan pajak pertambahan nilai (PPN) serta subsidi prasarana sarana utilitas umum (PJU), dan prasarana sarana dasar pekerjaan umum (PSDPU).

Jumlah ini belum mampu memengaruhi penurunan biaya. Apalagi subsidi-subsidi yang pokok seperti infrastruktur (PSU dan PSDPU) tersebut tidak semua pengembang bisa dengan mudah mendapatkannya. Pengembang masih harus berebut untuk memperolehnya serta membutuhkan keuletan, kegesitan dan kemampuan lobi di instansi-instansi terkait.

Jadi jelas hal tersebut sangatlah tidak menarik bagi pengembang, apalagi tanpa kepastian tentang besarnya biaya membangun tersebut bila terjadi kenaikan harga.

Sebenarnya hal ini sudah saling dimengerti baik pemerintah ataupun pengembang. Item-item seperti biaya membangun jalan, penyambungan listrik, (penarikan PLN induk), pemasangan penerangan jalan umum (PJU), seharusnya menjadi beban pemerintah agar tercapai harga Rp 55 juta per unit untuk type 36/72. Tanpa subsidi tersebut tidak mungkin bisa RSH type 36/72 dijual dengan harga Rp. 55 juta per unitnya.


Penunjang Pembiayaan

Selama ini yang disetujui oleh Bank untuk KPR adalah khusus pembeli (user) yang mempunyai penghasilan tetap. Rakyat yang tidak mempunyai penghasilan tetap sangat sulit mendapatkan persetujuan KPR dari bank.

Padahal justru pembeli yang tidak mempunyai penghasilan tetap adalah mayoritas atau 75 persen dari pasar rumah murah di atas.

Mungkinkah bisa mencapai target pemenuhan kebutuhan RSH/rusuna di negeri ini, kalau market share 75 persen tidak tergarap. Dari sisi kemampuan membayar, pasar ini cukup besar meski tanpa jaminan dari perusahaan atau pihak ketiga lain. Calon pembeli yang tidak mempunyai penghasilan tetap ini sangat mampu membayar cicilan KPR.

Belum lagi masalah subsidi bunga bank yang sangat kecil, saat ini pembeli RSH/rusuna hanya mendapatkan subsidi bunga 1,5 % dari bunga pasar komersial. Kalau bunga pasar 11%, angka 1,5 % itu subsidinya hanya 13,5 % dan berlaku hanya 6 tahun pertama. Tahun ke-7 dan selanjutnya kembali ke bunga pasar komersial.

Bandingkan dengan Malaysia yang menyubsidi 2,5 % dari bunga pasar komersialnya yang 6,5 % berarti angka subsidi mencapai 38 % dan berlaku selama masa kredit sampai 30 tahun. Hal-hal inilah yang kurang mendapat perhatian pemerintah pusat.


Biaya Perizinan

Faktor biaya perizinan masih mahal, apalagi kalau untuk membangun RSH/ rusuna. Biaya perizinan itu sudah sering menjadi objek kegelisahan berbagai pihak.

Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Perumahan Rakyat menginstruksikan kabupaten-kota untuk menekan biaya-biaya perizinan semurah-murahnya, seperti biaya izin lokasi, pengesahan site plan, juga sertifikasi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Namun, kenyataannya harga masih saja mahal. Hal itu mungkin karena daerah yang satu dan yang lain berbeda. Untuk itu, pemerintah pusat perlu mengeluarkan juklak/juknis yang jelas agar ada kesamaan visi antara pengembang dan pemerintah daerah. Tanpa ini pengembang sulit menyusun komponen biaya dan menetapkan harga rumah yang sesuai dengan tuntutan pemerintah dan keinginan masyarakat.
* Mustafa Bawazier, pengurus REI Jatim terlibat langsung dalam pembangunan rumah murah sederhana

Sumber: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=335117

Mewaspadai Ketidakadilan Harga Beras

Gatot Irianto

Predikat sebagai komoditas strategis dan politik yang disandang beras tampaknya justru menjadikan komoditas ini sarat intervensi yang lebih banyak madarot-nya dibandingkan manfaatnya. Begitu banyaknya intervensi ekonomi dan politik pemerintah melalui Departemen Perdagangan dan Bulog ditambah lagi intervensi swasta melalui tengkulak menyebabkan petani selalu mengalami ketidakadilan harga saat panen raya. Petani yang sebagian besar miskin ”terpaksa dan dipaksa” menerima ”harga senyatanya dan bukan harga yang seharusnya” (harga pokok pembelian pemerintah/HPP). Ironisnya lagi, mengapa hanya beras saja yang diperlakukan tak adil, sementara harga kedelai dan minyak goreng lebih mudah disesuaikan?

Mengapa disparitas harga beras dalam dan luar negeri yang mencapai Rp 1.800 tidak bisa dinikmati petani? Bahkan, sebaliknya, harga gabah kering panen petani hanya dihargai Rp 1.700. Logika ekonomi dan matematika mana yang dapat menjelaskan ketidakadilan tersebut?

Ekspor gelap dan ”distrust”

Ada dua implikasi konkret yang perlu diwaspadai berkaitan dengan ketidakadilan harga beras petani: (i) terjadinya ekspor gelap dan (ii) melunturnya kepercayaan petani (distrust) terhadap program, aparat, dan citra Departemen Pertanian. Pemerintah tampaknya ”sedikit terlambat” merespons naiknya harga beras dunia dibandingkan para pedagang. Disparitas harga beras dalam dan luar negeri dimanfaatkan pedagang di daerah perbatasan untuk melakukan ”ekspor gelap” yang benefitnya tak dinikmati petani.

Fenomena ekspor gelap ini sangat berbahaya karena akan menyedot cadangan beras dan mengacaukan harga beras, bahkan stabilitas politik dalam negeri. Jika kekacauan iklim akibat perubahan iklim yang dialami produsen pangan dunia, Amerika, China, Vietnam, Eropa, dan Australia, terus berlanjut, bahkan terjadi juga di Indonesia, lonjakan harga pangan dunia sulit dielakkan. Peningkatan kewaspadaan nasional terhadap gejolak pangan harus ditumbuhkan dan dipersiapkan dari tingkat keluarga, sekarang juga.

Untuk meraih manfaat maksimal dari melonjaknya pangan dunia, pemerintah secepatnya perlu melakukan ”ekspor beras terbatas” untuk memperoleh devisa dan mengatrol harga dalam negeri. Selain mencegah terjadinya permanent distrust, juga dapat memacu pencapaian program swasembada gula 2009. Jagung, daging, dan kedelai pada 2010.

Indikasi terjadinya distrust mulai terlihat ketika petani diminta meningkatkan produksi kedelai. Pertanyaan pertama yang mengemuka adalah bagaimana jaminan harganya dan siapa yang membeli produksinya? Pertanyaan itu sampai saat ini belum bisa dijawab karena beras yang ada HPP-nya saja tidak bisa dipenuhi, apalagi kedelai yang dibebaskan.

Stimulan dan insentif

Melambungnya harga beras dalam negeri merupakan ”stimulan tidak berbiaya ekonomi” bagi pemerintah dan ”insentif tak terduga” bagi petani untuk menggenjot produksi dalam negeri dan pendapatan petani. Rencana pemerintah mengekspor beras telah mengubah secara fundamental ”citra dan posisi Indonesia” dari negara pengimpor beras terbesar menjadi negara eksportir beras. Selain membanggakan bagi bangsa Indonesia, meraih kembali swasembada beras yang sempat lepas merupakan pembuktian eksistensi predikat negara agraris.

Pesimisme berbagai kalangan akan terjadinya kelangkaan pangan dijawab dengan produksi dalam negeri yang melimpah melalui kerja sama semua pihak. Ledakan produksi lebih dahsyat semestinya terjadi jika tidak ada bencana banjir awal tahun, dan apabila itu terjadi, Indonesia menjadi eksportir beras dunia.

Momentum ini harus direbut untuk mendongkrak pendapatan sehingga petani dapat melakukan perbaikan infrastruktur irigasi yang selama ini sebagian terbengkalai akibat keterbatasan pendanaan pemerintah. Harga beras yang atraktif mendorong semua pihak mengusahakan padi sehingga dengan pasokan air yang terbatas, akan terjadi peningkatan efisiensi pemberian air irigasi secara alamiah secara signifikan. Kemungkinan pengenaan iuran pemakaian air yang selama ini tidak berjalan juga dapat diimplementasikan kembali.

Mengapa peluang yang demikian besar belum dimanfaatkan pengambil kebijakan untuk menyejahterakan petani hanya demi menekan terjadinya inflasi? Bukankah inflasi yang produktif dengan efek penguatan yang positif dan luas sampai batas tertentu sangat direkomendasikan? Keputusan pemerintah merupakan suatu pilihan, tetapi akan lebih bijak kalau kebijakan dapat dilakukan untuk mengakhiri ketidakadilan terhadap yang lemah, jumlahnya banyak dan selama ini sudah lama menderita, yaitu petani.

Gatot Irianto Pengajar Analisis Sistem Hidrologi Sekolah Pascasarjana IPB
Sumber: http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.04.08.0051066&channel=2&mn=158&idx=158

Implikasi Soal Tibet pada Olimpiade Beijing

Pada hari-hari terakhir ini, penderitaan rakyat Tibet akibat kebijakan Beijing mencapai puncaknya. Kita menyesalkan karena nyawa kembali melayang. Tak tanggung-tanggung, kali ini delapan orang terbunuh, ketika 370 biksu dan sekitar 400 warga Tibet melakukan aksi protes di Garze, Tibet (Jawa Pos 6 April 2008). Peristiwa itu merupakan repetisi kejadian pada 10 Maret lalu di kawasan kota tua Lhasa. Ketika itu, ratusan biksu dan warga Tibet berunjuk rasa untuk memperingati 49 tahun pemberontakan yang gagal terhadap Tiongkok pada 1959.

Paling tidak, 26 orang ditembak hingga tewas di dekat sebuah penjara di Lhasa. Berbagai media, baik cetak maupun elektronik, memberitakan paling kurang 80 tewas dalam peristiwa tersebut.

Sekadar flashback, setelah pemberontakan gagal pada 1959, Tenzin Gyatso atau Dalai Lama dan sekitar 80.000 warga Tibet melarikan diri ke Kota Dharamsala di lembah Kangra, di negara bagian Himachal Pradesh, India. Mereka disambut Perdana Menteri (PM) India Jawaharlal Nehru yang kemudian memberinya tempat untuk mendirikan pemerintahan.

Terkait memanasnya situasi Tibet, pemerintah China menuduh Dalai Lama dan CIA berada di belakang unjuk rasa kali ini. Dalai Lama membantah karena tidak pernah menyetujui cara kekerasan dalam upaya meraih kemerdekaan bagi Tibet.

Unjuk rasa dan pemberontakan memang menjadi bagian dari keseharian orang Tibet, sejak wilayah itu dikuasai Tiongkok pada 1950. Unjuk rasa dalam skala besar pernah terjadi pada awal 1989.

Berbagai simpati ditunjukkan kepada rakyat Tibet seraya mengecam keras langkah Beijing. Yang terbaru, solidaritas untuk rakyat Tibet ditunjukkan di banyak tempat, termasuk Inggris. Sekitar 30 orang ditahan saat pengunjuk rasa pro-Tibet dan polisi Inggris bergelut sepanjang rute kirab Obor Olimpiade di London (BBC, 6 April 2008).


HAM sebagai Ukuran Utama

Lepas dari keberhasilan Tiongkok, khususnya dari sisi ekonomi dan militer, sehingga dianggap menjadi kekuatan baru yang mampu mengimbangi AS, kasus Tibet menjadi cermin kegagalan Tiongkok dalam menjalankan kebijakan pro HAM.

Kita tahu dewasa ini, isu HAM memang menjadi ukuran utama dalam tata pergaulan masyarakat internasional. Semaju apa pun sebuah negara, jika HAM diabaikan, kemajuan itu tidak akan diakui, apalagi diapresiasi.

Meskipun Tiongkok telah mampu menorehkan prestasi dengan produk-produknya yang memenuhi pasar global, termasuk Indonesia, Tiongkok belum diakui sejajar dengan negara-negara maju lain seperti Inggris, Prancis, Jerman, atau AS.

Jadi, dengan persediaan cadangan devisa terbesar di dunia, hingga USD 1,3 triliun (Bandingkan cadangan devisa RI hanya USD 51 miliar), Tiongkok kerap masih disisihkan dalam pergaulan internasional, karena dianggap masih melecehkan martabat manusia, seperti dalam kasus Tibet.

Lihat saja dengan militer dan kekuatan ekonomi yang sedemikian besar, toh Tiongkok gagal merebut hati rakyat Tibet, karena pada hakikatnya kebebasan, akal, dan budi rakyat Tibet tidak bisa dikekang. Jadi, Tiongkok baru akan mendapat pengakuan atas kemajuannya, selama kebebasan berpikir, berekspresi, dan bertindak rakyat Tibet diakui.

Meski Tiongkok mengklaim Tibet merupakan bagian integral dari wilayahnya, selama HAM rakyat Tibet tidak dihargai, Tiongkok tetap dimusuhi masyarakat dunia, khususnya kalangan pegiat HAM.


Olimpiade Beijing

Buruknya catatan HAM pemerintah China menyusul kasus Tibet kini juga dikaitkan dengan Olimpiade Beijing. Kebetulan sejak akhir Maret lalu, Obor Olimpiade dinyalakan di Olimpia, Yunani dan siap melintasi 20 negara sebelum dibawa ke upacara pembukaan Olimpiade Beijing 8 Agustus mendatang. Selama perjalanan obor itu, khususnya di Eropa, para pegiat HAM terus menyerukan diboikotnya Olimpiade Beijing akibat sikap represif Beijing atas warga Tibet.

Misalnya, saat obor sampai di London, 6 April lalu, Perdana Menteri Gordon Brown menyambut obor itu di luar kediaman resminya, nomor 10. Brown juga ditekan para pegiat HAM untuk memboikot parade dan pembukaan Olimpiade 2008 di Beijing. Sekitar 6,1 juta warga Tibet yang tersebar di seluruh dunia malah mendukung boikot menyeluruh atas Olimpiade Beijing.

Bahkan, beberapa kepala negara, seperti Presiden Prancis Sharkozy, sudah mempertimbangkan untuk tidak hadir dalam pembukaan Olimpiade Beijing (AFP, 4 April 2008). Tentu soal boikot ini disikapi secara berbeda oleh banyak pemimpin dunia dan kalangan olahragawan.

Publik dunia umumnya terpecah dalam dua kelompok besar. Ada yang berpendapat, olahraga jangan dicampur aduk dengan politik sehingga boikot atas penyelenggaraan Olimpiade Beijing justru hanya merugikan para olahragawan. Yang lain menilai perjuangan menegakkan HAM, termasuk HAM rakyat Tibet harus ditempuh lewat berbagai cara, di antaranya dengan ancaman boikot Olimpiade. Sasaran utamanya menekan Tiongkok agar akhirnya mau mengajak Dalai Lama berdialog atau berunding.

Apalagi Dalai Lama berulang-ulang menegaskan bahwa dirinya sebenarnya sudah merasa cukup jika Tibet diberi otonomi lebih luas. Setidaknya jangan ada cultural genocide di Tibet. Jangan sampai ada pengekangan atas kebebasan warga Tibet untuk beragama dan melestarikan warisan budaya leluhur mereka.

Kebetulan Olimpiade Beijing hendak mengangkat topik perdamaian, rekonsiliasi, dan pengertian antarumat manusia. Topik ini sebenarnya amat bagus dan alangkah bagusnya jika Tiongkok menunjukkan semangat perdamaian, rekonsiliasi, dan pengertian itu pada rakyat Tibet.
* Andika Hadinata, rohaniwan dan analis politik internasional, tinggal di Roma-Italia

Sumber: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=335118

Jumat, 21 Maret 2008

Ayat-Ayat Cinta; Inspirasi Dialog Antar-Agama

Hari-hari ini, masyarakat Indonesia seolah terhipnotis dengan film “Ayat-Ayat Cinta”. Film yang digarap Hanung Bramantyo itu, hingga kini diperkirakan telah ditonton lebih dari 3.5 juta orang. Bioskop-bioskop yang memutar film tersebut hingga sekarang mungkin akan terus dipadati penonton. Sebelum difilmkan, “Ayat-Ayat Cinta” tak lain adalah judul novel karya Habiburrahman El-Shirazi yang dibaca dan diminati banyak penikmat sastra, novel dan pembaca di tanah air. Sejak cetak pertama pada Desember 2004, novel yang pernah menjadi cerita bersambung di salah satu koran harian “Republika” ini sudah laris manis bak kacang goreng. Hingga kini novel itu telah mengalami cetak ulang hingga 30 kali dan terjual lebih dari 300 ribu eksemplar.

Dengan jumlah penonton (film) dan buku yang terjual seperti itu, jelas “Ayat-Ayat Cinta” telah memecahkan rekor. Kita tentu menyambut gembira dengan antusiasme khalayak ramai terhadap film maupun novel tersebut. Apalagi “Ayat-Ayat Cinta” bisa dikatakan 'menyalahi' pakem dalam dunia hiburan kita selama ini. Pakem itu adalah, bahwa yang laku di masyarakat hanyalah jenis-jenis hiburan yang mengeksploitasi seks/pornografi, kekerasan, mistik, marerialisme, dan hal-hal lain yang bersifat hedonisme.

Di tengah buruknya acara-acara hiburan kita itulah kemudian muncul “Ayat-Ayat Cinta” dalam bentuk film dan novel. Hiburan yang mencerahkan, kisah-kisah cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya sebelum cinta kepada sang kekasih hati, kesetiakawanan, berbuat baik kepada sesama, sikap tegas, keimanan, ketakwaan, dan kedamaian, serta teguh dalam pendirian.

Singkat kisah, film itu disambut masyarakat Indonesia dengan penuh antusias. Antusiasme tersebut bisa dinilai sangat wajar mengingat mungkin film ini pertama di Indonesia yang menyinergikan kisah cinta dan religi, dua hal yang kadang sering dianggap tabu untuk dikombinasikan satu sama lain. Lebih dari itu, film ini menggambarkan kemoderatan, kedamaian dan toleransi Islam.

Fahri (Fedi Nuril) seorang mahasiswa di Al Azhar, Kairo dapat hidup berdampingan, dan harmonis dengan tetangganya, Maria (Carissa Puteri) dan keluarganya yang beragama Kristen Koptik. Dalam film ini dikisahkan pula Aisyah (Rianti Cartwright) yang kemudian menjadi istri Fahri menyatakan tidak ingin dipoligami.

Hal ini menunjukkan fakta bahwa poligami dalam Islam adalah hal yang sulit dilakukan dan tidak bisa dengan semena-mena karena nafsu. Sosok Fahri yang berpegang teguh pada prinsip keislaman, tetapi tetap menampilkan sifat ramah, sopan, dan hormat sangatlah penting untuk dicontoh. Hal ini jauh dari asumsi yang dikemukakan Wilders bahwa Islam mengajarkan kekerasan.

Lebih dari itu, film “Ayat-Ayat Cinta” ,bila kita hayati, sebetulnya bisa dikatakan sebagai inspirasi penciptaan perdamaian dan upaya dialog antar agama dan peradaban yang digambarkan kisahnya dialog antara Fahri (Muslim) dan Alicia (gadis Non-Muslim dari Amerika) yang ingin tahu banyak tentang Islam. Hal ini merupakan contoh bagus tentang dialog antarperadaban dan agama yang sehat dan terbuka. Film ini sangat layak untuk menjadi bahan renungan mengenai bagaimana seharusnya umat Islam menghormati umat lain dan menumbuhkembangkan budaya dialog.

Belajar dari “Ayat-Ayat Cinta”, ternyata hiburan tidak harus menonjolkan adegan-adegan yang mengobral syahwat dan mengumbar nafsu hewani. Sisi-sisi yang menjunjung tinggi moralitas asal dikemas apik/professional faktanya tetap diminati masyarakat. Kini tanggungjawab terletak pada kita semua adakah kemauan untuk menjadikan film sebagai inspirasi perdamaian dan sarana penegakan nilai-nilai luhur ajaran agama?

Pertanyaan sederhana tersebut penting direnungkan bersama, mengingat kekerasan demi kekerasan selalu hadir di tengah terpaan krisis multidimensional yang menimpa seluruh bangsa, termasuk Indonesia. Jalan dialog adalah satu-satunya jalan yang paling mungkin ditempuh sekarang ini. Jalan konfrontasi hanyalah akan menguntungkan orang-orang yang mempunyai pandangan dualistis mengenai kehidupan ini: “Islam” dan “kafir”, baik dan jahat, dan seterusnya.

Jalan tersebut hanya akan menguntungkan oran-orang dengan pandangan yang konservatif dan ekstrim dalam agama manapun, entah Islam, entah yang lain. Jalan ini juga amat menguntungkan para elit agama manapun yang hendak memanipulasi dan memonopoli umatnya untuk kepentingan yang sempit dan sesaat.

Upaya penciptaan perdamaian dan membuka jalan dialog antar agama dan peradaban sudah semestinya diperhatikan secara serius dan diupayakan terus menerus dengan cara apapun, dimana pun dan sampai kapan pun.***

Dahlan Iskan: Revolusi Manajemen Haji ala Maftuh Basyuni

Ketika banyak pihak mengecam Departemen Agama yang dianggap bertanggung jawab atas musibah kelaparan jamaah haji Indonesia di tanah suci tahun ini, ada satu tulisan di media yang mengungkap gebrakan revolusi Menteri Agama di departemennya. Tulisan yang ditulis oleh Dahlan Iskan, chairman PT Jawa Pos itu bercerita tentang perubahan-perubahan yang berusaha dibuat oleh Maftuh Basyuni, Menteri Agama, untuk membersihkan korupsi, permainan dan fasilitas bagi pejabat. Termasuk sekelumit cerita di balik kasus katering jamaah haji Indonesia.

Catatan: Dahlan Iskan
Saya tidak akrab dengan Menteri Agama Maftuh Basyuni. Hanya sekali ngobrol ketika sama-sama dalam pesawat kepresidenan ke luar negeri dan ketika minggu lalu hanya sempat bersalaman saat bersama-sama makan soto mi di Istana Merdeka setelah pertemuan dengan presiden dan wakil presiden.

Tapi, saya terkesan dengan "revolusi" yang dia lakukan di departemennya. Segala macam yang berbau korupsi, permainan, dan fasilitas, dia bersihkan. Tentu banyak sekali yang sakit hati -setidaknya ngedumel.

Bahkan, tokoh-tokoh yang dulu bisa mendapatkan dana dari Departemen Agama untuk kepentingan organisasi mereka, kini tidak bisa lagi. Dia tidak peduli terhadap permintaan fasilitas dari siapa pun. Termasuk dari tokoh-tokoh nasional sekali pun. Dia juga tidak mau menaikkan haji para kiai, ulama, pejabat-pejabat pemerintah atas fasilitas Departemen Agama. Tidak ada lagi istilah Haji Abidin (atas biaya dinas).

Semua katebelece tidak ada artinya di zaman menteri yang satu ini. Dari mana pun datangnya katebelece itu. Banyak sekali orang yang menilai, Maftuh sebagai "sableng" dan "sok jagoan". Tapi, dia memang merasa malu kalau Departemen Agama tidak bisa memberikan contoh sebagai departemen yang bersih. Apalagi, kalau sampai pejabatnya masuk penjara karena korupsi -yang dilarang agama itu.

Rupanya, menteri tidak hanya ingin melakukan "revolusi" di dalam negeri. Dia juga ingin mencoba "revolusi" di luar negeri. Tentu karena dia pernah begitu lama tinggal di Arab Saudi sehingga merasa tahu persis lika-liku di sana. Termasuk berbagai permainan yang terjadi selama musim haji.

Misalnya saja dana yang harus dibayarkan ke muassasah oleh jamaah haji ONH-plus (jamaah haji yang ditangani travel swasta). Muassasah, antara lain, bertugas menyiapkan akomodasi dan konsumsi selama jamaah haji berada di Mina dan Arafah. Hampir setiap tahun muassasah menaikkan tarif. Beberapa tahun lalu masih 1.000 real/orang, lalu naik menjadi 1.200 real, naik lagi menjadi 1.500 real, dan tahun lalu naik lagi jadi 1.850 real/orang. Padahal, inflasi di Arab Saudi di bawah dua persen.

Tapi, travel-travel yang tiap tahun mendapat jatah menangani 16.000 jamaah haji ONH-plus, tidak berhasil meminta potongan harga. Bahkan, tahun ini rencananya dikenai 2.000 real/orang.

Persatuan travel ONH-plus lalu mengadu ke menteri agama. Tapi, menteri mengajukan syarat agar tiga asosiasi penyelenggara haji ONH-plus bergabung jadi satu. Ini agar perjuangan yang dilakukan di Arab Saudi bisa bulat. Mesti berdirinya banyak asosiasi menjadi hak asasi manusia dan dijamin undang-undang, menteri tidak mau membela mereka kalau tidak bersatu dalam satu asosiasi.

Karena tarif yang dikenakan muassasah naik terus dan tahun ini di luar perhitungan travel, tiga asosiasi itu bersatu. Lalu minta menteri agama mem-back up asosiasi itu. Menteri pun melakukan "gebrakan" di Arab Saudi. Berhasil. Tahun ini, yang rencana harus membayar 2.000/orang, menjadi hanya 1.550/orang. Kalau dikalikan 16.000, lalu dikalikan Rp 2.500 (1 real = Rp 2.500), banyak juga penghematan yang bisa dilakukan.

Rupanya, menteri agama juga lagi ingin "menggebrak" muassasah untuk biaya makan jamaah haji biasa, yang tiap orang 300 real. Ini untuk 14 atau 13 kali makan, bergantung nafar-nya. Berarti sekali makan sekitar Rp 55.000. Sebab, jumlah jamaah haji biasa hampir 190.000 orang. Kalau biaya makan bisa turun sedikit, dikalikan 190.000 orang, akan luar biasa juga banyaknya.

Memang, kelihatannya tidak seberapa. Tapi, para penyelenggara haji swasta ONH-plus biasa menyerahkan makan ke katering swasta dengan harga Rp 40.000/orang. Itu sudah dengan tiga macam lauk, buah, dan minuman. Yang agak mewah, Rp 50.000/orang/makan. Memang, ada travel yang menyediakan makan mewah dengan Rp 100.000/orang/makan. Tapi, itu kelas hotel bintang lima.

Entah sudah berapa puluh tahun soal makan jamaah haji biasa selama di Arafah dan Mina sepenuhnya diserahkan ke muassasah. Seingat saya memang belum pernah ada yang berani mencoba "menghapus" peran muassasah ini. Baru menteri agama kali inilah yang berani melakukannya.

Organisasi muassasah memang sangat mapan dan kuat. Muassasah memiliki pelaksana di lapangan yang disebut "maktab". Tiap maktab mengurusi akomodasi dan konsumsi 2.000 jamaah haji. Masing-masing maktab punya dapur di Arafah, sebuah tanah lapangan mahaluas di tengah-tengah ketandusan padang pasir dan gunung batu, yang jaraknya sekitar 40 km dari kota Makkah. Jamaah haji dari seluruh dunia harus berkumpul di sini satu hari, tepat di hari raya haji.

Maka, muassasah yang menangani jamaah haji Indonesia, mempunyai sekitar 90 maktab di Arafah. Masing-masing mengurus makanan dan tenda 2.000 jamaah. Tahun ini mereka entah kerja apa. Yang jelas, sudah puluhan tahun mereka mengerjakan tugas itu, dan baru tahun ini tidak ada job. Ini karena menteri agama memilih menggunakan katering swasta, yang bisa menawarkan harga 50 real lebih murah.

Rupanya katering ini kurang siap. Kabarnya, mereka juga sudah menyiapkan dapur di Arafah, tapi bahan-bahannya terhambat untuk masuk Arafah. Tentu sebuah kesalahan manajemen yang fatal. Sebab, setiap tahun sudah diketahui, jalan dari Makkah menuju Arafah selalu macet-cet seperti itu. Saya sendiri ketika naik haji, memilih berjalan kaki dari Masjidilharam ke Arafah, sejauh 40 km itu. Lebih melelahkan, tapi juga cepat daripada yang naik bus. Berangkat setelah salat asar (pukul 5 sore), saya dan beberapa teman sudah tiba di Arafah pukul 24.00. Sayang memang, revolusi yang dilakukan menteri agama di Arab Saudi gagal. Kalau saja berhasil, bukan main bersejarahnya. (*)

Sumber : jawapos.com (http://jawapos.com/index.php?act=detail&id=8026)


"Long Road to Heaven": Siapa Takut?

"Apa sih mau kalian? Kenapa kalian terus membunuh kami? Apa untungnya?" Pertanyaan-pertanyaan itu dicecarkan Hannah Catrelle, seorang peselancar Amerika, pada Haji Ismail, seorang tokoh Muslim Bali, ketika mereka bertemu di sebuah rumah sakit di Bali, pada malam tragedi Bom Bali I, 12 Oktober 2002. Hannah tak dapat menerima kenyataan bahwa tempat yang dipercayainya sebagai surga diluluhlantakkan oleh peristiwa serupa yang telah mencuri nyawa kekasihnya dalam tragedi 9/11. Seperti kebanyakan orang Barat, ia juga melihat bahwa semua Muslim adalah teroris.

"Orang-orang yang melakukan tindakan keji ini, mereka tidak mengerti Islam. Tentang betapa agungnya agama itu... Mereka pikir, dengan melakukan hal ini, mereka mendapat jalan pintas menuju surga. Tapi jalan pintas ke surga tidak ada, Hannah. Jalan ke surga adalah perjalanan yang panjang," jawab Haji Ismail.

Percakapan ini adalah sebuah adegan dalam film Long Road to Heaven (LRtH), karya sutradara Enison Sinaro dan diproduksi oleh perusahaan Amerika TeleProduction International bekerjasama dengan Kalyana Shira Films di Indonesia. Film yang baru saja dirilis ini akan diikutsertakan dalam berbagai festival film internasional dan dilempar ke pasaran dunia

Film yang naskahnya digarap oleh dua penulis Singapura, Andy Logam Tan dan Wong Wai Leng ini mencoba mempertanyakan jihad militan sembari menunjukan bagaimana konsep tentang surga mengharubiru sejarah umat manusia. Usaha-usaha untuk mencapainya seringkali menciptakan kekerasan dan kesengsaraan yang berlawanan dengan citra surga sendiri.

Mengambi Tragedi Bom Bali 2002 Bali sebagai latar, LRtH mengisahkan empat cerita tentangkan kompleksitas pencarian surga dalam sebuah plot yang sangat rumit. Tiap kisah memiliki latar waktu yang berbeda, namun disajikan secara bersamaan, saling menyela satu sama lain.

Kisah pertama terjadi satu tahun sebelum Bom Bali 2002, saat para pemimpin Jama’ah Islamiah dan Mantiqi 1, dua organisasi yang bertanggung jawab atas pengeboman tersebut, merencanakan operasi. Kisah ini fokus pada usaha Mukhlas membujuk Hambali untuk memilih Bali sebagai target pengeboman, hanya karena seorang bule yang tak mengijikannya masuk ke dalam lift, mengenakan sebuah t-shirt bertuliskan "I Love Bali”.

Kisah kedua, berlangsung pada masa satu bulan sebelum Bom Bali. waktu Ali Imron dan anggota komplotan lainnya melaksanakan rencana mereka. Di sini disajikan persaingan antar mereka dan motivasi-motivasi tersembunyi mereka.

Kisah ketiga berputar pada menit-menit setelah pengeboman, ketika paramedis dan sukarelawan menolong korban luka dan mengidentifikasi korban tewas. Di sinilah, Hannah, dalam interaksinya dengan Haji Ismail, bergelut dengan prasangka-prasangka dan stereotipe-stereotipenya terhadap Islam dan Muslim.

Kisah terakhir mengambil waktu satu tahun setelah peristiwa pengeboman, saat seorang wartawati Australia, Liz Thompson, mendatangai Bali untuk mendapatkan sebuah laporan yang menarik. Ditemani Wayan Diya, sopir taksi yang disewanya, Liz berkeliling Bali untuk mewawancarai penduduk lokal tentang perasaan mereka akan peristiwa tersebut dan para pengebom. Liz gagal mendapatkan pernyataan-pernyataan yang menarik. Jawaban yang selalu ia dapatkan hanyalah, “Hidup akan menjadi lebih baik” Dari Wayan, ia kemudian belajar bahwa orang-orang Bali percaya bahwa keseimbangan adalah inti dari kehidupan, sebab itulah mereka memaafkan pengeboman tersebut, bahkan melihatnya sebagai sebuah hukuman dari para dewa karena dosa-dosa mereka.

Sebagai sebuah film yang mengangkat tragedi, LRtH tak dapat melepaskan diri dari dilema etis. Di satu sisi ia menunjukan belasungkawa, di sisi lain, intensi artistik dan kesenangan yang ditawarkannya menunjukan kekebasan hati pada duka para korban dan/atau keluarganya.

"Hal itu tak terelakan. Tapi kami tak mengeksploitasinya. Ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari tragedi tersebut," ujar Enison, sang sutradara.

Enison benar. Salah satu dari pelajaran itu terlukis dalam kata-kata mutiara yang mengalir dari bibir Haji Ismail ketika bercakap-cakap dengan Hanna: "Yang mereka (para pengebom) lihat hanyalah hal-hal kecil belaka. Mereka tidak bisa melepaskan diri dari masa lalu. Mereka tak bisa melihat sesuatu selain rasa sakit yang mereka derita."

Meskipun kata-kata itu sesungguhnya ditujukan bagi para pengebom, tetapi ia juga menjawab wacana moral di atas, dengan menunjukan bahwa film ini bukan hanya narasi “surga yang hilang” tetapi juga “penemuan kembali surga”. Mendengar kata-kata itu, Hannah menyadari bagaimana prasangka-prasangka, yang berakar pada kemarahan akan surganya yang hilang dan kepedihan atas kematian kekasihnya dalam tragedi 11/9, dapat menjerumuskannya pada kebencian yang sama dengan yang dirasakan oleh para teroris, meski mungkin ujungnya berbeda.

Hal lain dan mungkin yang lebih penting, film tersebut dapat dilihat sebagai sebuah pesan bagi kita bahwa pemahaman saja tidak cukup untuk menghentikan terorisme atau kekerasan. Pertama sekali, kita harus berdamai dengan diri sendiri, melucutkan diri dari ego kita. Baru kemudian kita dapat melangkah memasuki “liyan”, tanpa persyaratan apa pun.

Ini bukan tugas yang mudah, namun sebagaimana dinyatakan oleh Haji Ismail, jalan ke surga adalah sebuah jalan yang panjang. Siapa takut?

###

* Nuruddin Asyhadie adalah seorang penyair, penulis naskah drama, penulis skenario, serta komentator sastra dan filsafat. Ia juga salah satu pendiri F, sebuah majalah film Indonesia. Buku-bukunya "Hampiran Hamparan Gramatologi Derrida" (2004) dan "Beatniks, dan puisi-puisi lainnya" (2001). Artikel ini disebarluaskan oleh Common Ground News Service (CGNews) dan dapat dibaca di www.commongroundnews.org.

Sumber: Common Ground News Service (CGNews), 27 Februari 2007, www.commongroundnews.org

Ali Imron, Sang Pengebom, Beri 'Kuliah'

Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Hotel Borobudur, Jakarta, 6 Maret 2008, punya arti tersendiri bagi saya. Sehari sebelum itu, seorang Jenderal Polisi menghubungi saya untuk berbicara di depan para petinggi dan pelaksana Densus dan Satgas 88 dengan topik "Radikalisme dalam Islam". Densus dan Satgas ini punya tugas tunggal: mengamankan negeri ini dari terorisme. Bom Bali, bom Marriot, bom di kedutaan Australia, bom Atrium, bom gereja, bom Batam, dan masih ada peledakan bom di beberapa tempat lain di tanah air kita sebagai fakta keras bahwa Nusantara ini cukup rentan untuk dijadikan sasaran tindakan teror. Tetapi, pihak kepolisian sadar betul terorisme akan sulit dimusnahkan selama kesenjangan sosial ekonomi masih menganga dan praktik korupsi yang seolah-olah tidak bisa dilawan. Inilah yang sering saya katakan sebagai rumput kering bagi kelompok kriminal untuk melancarkan aksinya.

Memang, ada ideologi asing yang dibawa masuk ke negeri ini berupa paham agama (Islam) yang ditafsirkan secara sempit dan monolitik dengan muatan politik kekuasaan yang sangat kental. Kelompok teror ini sebenarnya adalah korban Perang Dingin antara blok kapitalis dan blok komunis. Tapi, sedikit di antara mereka yang mau menyadari kenyataan pahit ini.

Pimpinan sidang dalam pertemuan Borobudur itu adalah Jenderal Pol. Surya Dharma dengan kata pengantar Jenderal Gories Mere, mantan Ketua Tim Investigasi Lapangan bom Bali. Uraian saya tidak penting untuk direkamkan di sini, selain mengatakan radikalisme dalam sejarah Islam bukan barang baru. Akar sejarahnya telah menembus lipatan abad yang panjang, khususnya yang paling menonjol adalah puak penyempal dari barisan Ali bin Abi Thalib yang dikenal dengan sebutan kaum Khawarij yang sudah muncul sejak 657 Masehi pascaperundingan Daumatul Jandal.

Dengan demikian, radikalisme, baik yang ekstrem dalam bentuk teror maupun yang agak moderat, sama-sama punya akar sejarah dan dasar teologi dalam perkembangan sejarah Islam. Untuk Indonesia, radikalisme dan terorisme adalah barang impor yang tidak senyawa dengan kultur bangsa ini. Tentunya, kedua hal itu akan bermuara pada kegagalan dan meninggalkan korban manusia tak bersalah.

Imron adalah seorang korban Perang Dingin itu. Setelah mendapat latihan perang dan membuat bom di Afghanistan selama beberapa tahun, ia pulang ke Indonesia. Dia terlibat sebagai koordinator lapangan bom Bali, 12 Oktober 2002. Kini, ia telah dijatuhi hukuman seumur hidup, sementara yang lain ada yang dijatuhi hukuman mati. Imron sudah mengaku bersalah dan bahkan mohon grasi kepada presiden. Di luar pengetahuan saya sebelumnya, pihak kepolisian ternyata mendatangkan Ali Imron untuk turut berbicara.

Dengan gaya seorang yang percaya diri, Imron menjelaskan seluk-beluk terorisme di Indonesia. Rampung sesi pertama di Borobudur, pihak kepolisian pun mengantar saya ke Kuningan. Ternyata, di mobil sudah ada Bung Imron. Dalam perjalanan ke Kuningan, Bung Imron berkata kepada saya, "Kami merasa senang telah dibela oleh beberapa pemimpin Islam, tetapi fakta jangan dibelokkan." Maksudnya, bom Bali dikaitkan oleh banyak orang sebagai rekayasa pihak asing. "Ini tidak benar," kata Imron untuk menegaskan pelakunya memang mereka.

Dengan demikian, teori konspirasi yang dulu juga dianut oleh Jenderal Zen Maulani (alm) tidak punya dasar sama sekali. Sebab itu, kita harus menyampaikan salut kepada pihak kepolisian yang telah berjaya menyingkap tragedi Bali ini dalam tempo singkat. Jadi, tidak mengherankan jika dunia internasional memuji polisi Indonesia walau masih ada saja pihak yang bersikap sinis.

"Kuliah" Imron di Borobudur disampaikan secara jelas, runtut, dan tanpa ragu. Lewat pesan singkatnya kepada saya, Imron berkata, "Semoga kita semua dikuatkan Allah untuk memperjuangkan kebenaran sebagai rahmat bagi semesta alam. Amin!" Ungkapan pesan ini bagi saya sangat menyejukkan. Sekarang Imron, sang pengebom, mau kembali kepada diktum sentral dalam Alquran bahwa nabi diutus bukan untuk menghancurkan manusia dan peradaban, tetapi untuk menebarkan rahmat kepada seluruh makhluk.

Buku Bung Imron Ali Imron Sang Pengebom terbitan Republika (November 2007) telah saya baca dan patut pula dibaca oleh siapa saja yang ingin tahu bagaimana jasa kepolisian kita mengungkapkan jaringan terorisme ini. Dari sisi ini, Bung Imron, dengan segala kemungkinan risiko yang dihadapinya, telah mengakui bom-bom yang diledakkan di Indonesia sama sekali tidak punya dasar syariat agama. Dalam ungkapan saya, "Semuanya itu adalah petualangan jahat dan biadab dengan memperalat agama."

Sumber: http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=326472&kat_id=19

Paskah, Kemenangan Korban

Wolfgang Borchert, sastrawan Jerman (1921-1947), menulis sebuah drama, Draussen vor der Tür. Dalam karya ini dilukiskan kisah Beckmann, seorang tentara muda yang baru kembali dari front di Rusia. Beberapa saat setelah perang, Beckmann mengunjungi rumah seorang kolonel, mantan atasannya selama bertugas di Rusia. Kolonel itu pernah memerintahkan Beckmann bersama anak buahnya untuk mengadakan patroli. Dalam patroli penuh risiko itu, 11 dari 20 anak buahnya menemui ajal.

Malam itu Beckmann datang untuk mengembalikan tanggung jawab kepada kolonel. Ia berkata, ”Kolonel.... Mereka bertanya tiap malam.... Perempuan, perempuan yang sedih dan penuh duka. Perempuan tua dengan rambut memutih dan tangan yang keras dan pecah-pecah—perempuan muda dengan mata sayu penuh kerinduan. Juga anak-anak…. Kolonel dapat tidur nyenyak? Kalau begitu, tidak apa-apa jika tanggung jawabku atas yang sebelas itu kutambahkan ke bagian Kolonel yang dua ribu itu. Kolonel bisa tidur, kan? Dengan hantu malam yang dua ribu itu?”

Borchert adalah seorang ateis. Dia melukiskan keberlangsungan kisah korban sebagai kehidupan yang dilanjutkan jeritan pencinta para korban. Pengaduan menandakan belum selesainya kisah para korban. Yang menjadi inti pesannya adalah kisah para korban itu tidak dapat diakhiri karena ada orang lain yang akan terus mengingat wajah dan menyebut nama mereka. Para korban tidak mudah dihapus dari ingatan seperti aparat hukum menghapus kesalahan para koruptor.

Kasih yang mengingat

Orang-orang yang dekat dengan para korban masih memelihara kenangan yang hangat. Ada yang terus membawa wajah mereka dalam cermin batinnya dan senantiasa menggemakan nama mereka di tengah kesunyian. Mereka hidup di dalam orang-orang yang memperjuangkan keadilan demi nama mereka.

Sebenarnya, yang dirayakan umat Kristiani pada hari raya Paskah adalah hal yang sama. Sejarah Yesus, korban yang disalibkan, tidak berakhir dengan kematian. Iman Kristen mengatakan, Yesus dibangkitkan. Tuhan membawa sang korban kembali ke kehidupan kendati para penguasa agama dan politik yang berkoalisi serta serdadu yang nuraninya telah digadaikan berusaha menghapus nama dan membuat wajahnya tak lagi dikenal.

Kebangkitan Kristus menyadarkan, para korban mempunyai Allah sebagai pencinta. Sang Pencinta ini tak mudah disogok dengan serba kesalehan yang ditunjukkan untuk menenangkan batin yang sering dihantui karena telah menjatuhkan atau merestui kejatuhan sekian banyak korban.

Yesus mengidentikkan diri dengan korban dan kaum yang tersisih. Maka, dengan menghidupkan kembali Yesus, Tuhan memaklumkan diri sebagai daya kasih yang merangkul dan mengingat semua korban. Dalam sejarah, korban adalah mereka yang hilang tanpa jejak, anak-anak yang kurang mendapat perhatian, para perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual, rakyat yang sering ditipu berbagai keputusan politik. Mereka memiliki seorang pencinta ilahi, pemilik ingatan yang abadi.

Ingatan yang menggugat

Tuhan menghidupkan Yesus yang telah disalibkan sebagai penjahat dan pengkhianat. Maka, Tuhan tidak hanya memulihkan nama baik Yesus, setelah nama itu dicemarkan pengadilan yang mudah diarahkan oleh kepentingan para penguasa politik dan pejabat agama. Kebangkitannya juga berarti menjadikan kisah korban sebuah kisah terbuka.

Yang dianggap telah selesai kini dibuka kembali, yang telah dikuburkan secara rahasia dan sembunyi-sembunyi diungkap kembali. Kebangkitan mengatakan, persoalan tidak dapat diselesaikan dengan membungkam korban. Pejuang keadilan akan selalu tampil dan membongkar kebusukan, suara keadilan akan tetap didengarkan di tengah upaya pemalsuan sejarah.

Korban yang hidup dan dikenang dalam ingatan adalah korban yang memberi kesaksian akan ketidakadilan yang dialami. Kehidupan korban yang dibangkitkan akan menjadi gugatan bagi pelaku ketidakadilan. Seperti kepada Kain yang melarikan diri seusai membunuh saudaranya, kepada pelaku kejahatan Allah akan melontarkan pertanyaan gugatan tentang korban. Kisah korban yang belum selesai menggoyahkan segala kekuasaan yang menganyam kemapanan dari harapan akan ingatan pendek dari massa. Kenangan akan korban menggugat kemapanan dan bersifat subversif terhadap kekuasaan yang tidak adil.

Kebangkitan Kristus dan hak korban akan menunjukkan batas jangkauan kekuasaan. Kekuasaan, betapapun kuat dan bengis, tak sanggup melaksanakan segala yang dikehendaki. Ketika korban yang dianggap telah diamankan dan dilupakan ternyata datang lagi, saat itu tumpuan kekuasaan mulai goyah. Kekuasaan tak dapat merekayasa datangnya suara korban, dia tak sanggup melarang tuntutan keadilan.

Ada yang tak dapat dilakukan oleh kekuasaan, betapapun rapinya organisasi. Mengakui batas kekuasaan berarti menerima dan mengakui kesalahan yang pernah ditimpakan kepada orang lain. Hanya bersama korban dan dalam kekuatan Paskah yang mematahkan dominasi kekuasaan manusia dapat diwartakan kebangkitan sebagai pesan kehidupan bersama korban. Merayakan kebangkitan dalam nada ini berarti merayakan hak para korban. Mereka tidak bisa dihapus dari sejarah. Kisah mereka belum selesai. Paskah berarti kita harus bersedia mendengar para korban.

Budi Kleden Dosen Teologi STK Ledalero, Flores

Sumber: http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.22.00163477&channel=2&mn=158&idx=158


Maulid Nabi dan Spirit Perubahan Sosial

Maulid Nabi Muhammad SAW dalam khazanah tradisi Islam acapkali diperingati dengan beragam ritual-religius. Peringatan dan ritualisme-religius tersebut di satu sisi merupakan cerminan cinta sekaligus penghormatan kaum Muslim kepada sosok pribadi yang memesona, yakni nabi dan rasul terakhir dalam Islam, Muhammad SAW. Di sisi lain, upaya mengingat jejak dan kisah Nabi Muhammad SAW yang biasa diperingati setiap 12 Rabiul Awal itu, seharusnya bukan sekadar menjalankan tradisi dan ritualisme sesaat semata. Juga bukan kesempatan melantunkan kata pujian kepada Baginda Nabi, sebagaimana tertulis dalam Diba’i, Barzanji atau Simtud Durar yang demikian akrab dalam telinga umat Islam di seantero Indonesia.

Lebih dari itu semua, momentum Maulid Nabi kali ini seharusnya perlu dijadikan moment untuk refleksi, koreksi, intropeksi dan revitalisasi ajaran-ajaran nabi Muhammad SAW bagi perubahan sosial. Muaranya adalah tak lain dalam upaya menapaki jalan hidup demi meraih dan merengkuh ridha Allah SWT. Sebab untuk apa merayakan dan memeringati, jika berubah menjadi ajang pelestarian tradisi lokal yang penuh aroma mistis berbau klenik dan terkesan irrasional yang justru bertentangan dengan syara’ dan akidah Islam.

Sebagai kelompok mayoritas, kaum Muslimin di Indonesia hendaknya menyadari dan menghayati (kembali), bahwa spirit Maulid Nabi (seharusnya) bukan pada prosesi ritual yang meriah seperti yang selama ini kita lakukan. Akan tetapi, bagaimana kita bisa memaknai ulang esensi substantifnya dan pada ranah esoteris religiositasnya agar kita bisa meraskan elan vital ajaran Islam bagi kehidupan modern hari ini.

Era globalisasi kini telah merangsang perkembangan di berbagai aspek kehidupan. Belum lagi belakangan selalu muncul bayang-bayang ancaman radikalisme dan terorisme yang selama ini bergulir, bikin hati setiap orang takut dan tidak tenteram. Dalam konteks semacam ini, maka tantangan dakwah Islam yang dihadapi para penggiat dakwah Islam menuntut para da’i untuk mengimbangi kecerdasan objek dakwah dan mencari solusi jitu-nya.

Menuju Social Change

Refleksi atas Maulid Nabi Muhammad kali ini, muncul sebuah pertanyaan yang mendesak untuk segera dijawab, "Benarkah agama (Islam) memiliki spirit perubahan sosial atau justru sebagai instrument yang dapat dimanfaatkan untuk mempertahankan status quo ?"
Manakala kita menelaah sirah nabawiyah, maka kita akan jumpai kisah nabi-nabi utusan Allah senantiasa datang membawa perubahan besar dalam struktur sosial kemasyarakatan di mana nabi itu berada. Agama dan ajaran yang mereka bawa adalah agama pembebasan, agama revolusioner, agama yang terus menerus “meneror” pengikutnya untuk terus menabur benih perjuangan dan perbaikan untuk menjadi pemimpin di muka bumi, dan menegakkan kebaikan, kedamaian, kesejahteraan dan keadilan sosial bagi semua.
Dalam perspektif sosial-politik, kisah Muhammad bisa dilihat dan dipahami sebagai sosok politikus andal, pemimpin adil, egaliter, toleran, humanis, non-diskriminatif dan hegemonik. Beliau mampu membawa tatanan masyarakat sosial Arab kala itu menuju suatu tatanan masyarakat sosial yang sejahtera dan tentram.

Bila disimak proses reformasi sosial-kultural yang berhasil direalisasikan oleh Muhammad dalam tatanan sosial masyarakat Arab kala itu, dengan mengubah citra sosial-kultural masyarakat Arab yang awalnya sarat dengan segala bentuk diskriminasi dan hegemoni sosial-kultral, baik dalam tatanan ras, golongan, jender, bahkan agama menuju suatu tatanan sosial masyarakat Arab yang egaliter.

Sistem sosial-politik yang cenderung merangkul kaum diskriminatif dan mengubah perspektif sosio-kultural negatif masyarakat Arab kala itu, terhadap kaum yang berada dalam strata sosial-ekonomi bawah merupakan salah satu bentuk strategi politik dan ketaladanan sosial-politik sosok Muhammad sebagai seorang pemimpin umat.

Dalam konteks inilah, tak heran bila Michael H Hart, dalam buku fenomenalnya The 100, a Ranking of the Most Influential Persons in History (1978) menempatkan Nabi Muhammad SAW pada urutan pertama sebagai tokoh paling berpengaruh sepanjang sejarah manusia. Menurut Hart, Muhammad adalah satu-satunya orang yang berhasil meraih keberhasilan luar biasa baik dalam hal agama maupun hal duniawi. Dia memimpin bangsa yang awalnya terbelakang dan terpecah belah, menjadi bangsa maju yang bahkan sanggup mengalahkan pasukan Romawi di medan pertempuran.

Nah, dari kisah nabi Muhammad tersebut sebetulnya bisa diambil hikmah bagaimana kita bisa berjihad melakukan perubahan sosial ke arah yang lebih baik, bukan sebalinya ke arah buruk. Tentu saja, jihad mulia ini tidak segampang membalik telapak tangan, akan tetapi akan mudah bila ada kemauan sembari melakukan perbuatan dan tindakan nyata.

Manakala dijumpai kesenjangan jarak antara ranah idealitas dengan realitas yang ada. Maka, masalah sosial keagamaan acapkali terjadi karena ada yang tidak sesuai dengan harapan yang telah ditorehkan dalam iman agama dengan realitas bagaimana agama tersebut diamalkan di tengah-tengah masyarakat. Kita lihat dalam praktiknya -terutama dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia- keberagamaan kita menampilkan wajah ambiguitas. Adanya perbedaan yang signifikan antara keshalehan pribadi dengan keshalehan sosial.

Keshalehan pribadi yang kemudian diharapkan menular, menyebar untuk terciptanya kondisi sosial yang shaleh tidak jua terwujud. Realitas agama hanya terjebak pada dimensi keshalehan pribadi yang berorientasi pada kesucian perorangan. Ukurannya hanya sekedar persembahan belaka, tapi tidak mampu memperbaharui perilaku sosial. Ini terjadi karena pemeluk agama masih terejebak pada persoalan kuantitas keimanan, bukan pada kualitas keimanannya. Agama hanya dihayati sekedar ritual belaka, tetapi dirinya terasing terhadap realitas kehidupan kemasyarakatan.

Itulah realitasnya, penganut agama gagal mempraktikkan agama yang sesungguhnya, agama yang memiliki iman yang memihak pada nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kesejahteraan. Perubahan orientasi keagamaan seharusnya lebih difokuskan pada nilai-nilai kemanusiaan, sehingga spirit perubahan sosial dalam agama benar-benar dapat muncul ke permukaan.

Orang yang benar-benar religius (Islam Kaffah) adalah orang yang memiliki kepekaan dan sensitifitas yang tinggi pada penderitaan kaum miskin yang tertindas. Kemiskinan memang menjadi persoalan krusial yang kemudian wajib untuk diperangi, karena kemiskinan mendekatkan orang pada kekufuran. Maka melawan kemiskinan adalah perintah sekaligus mungkin jihad kabir.

Kualitas religius inilah yang akan membantu umat beragama memiliki kesadaran religiusitas yang berkualitas dan berimplikasi pada perubahan sosial. Kualitas religiusitas semacam ini yang akan bisa membawa nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan semakin nyata. Singkat kata, agama sudah seharusnya menjadi inspirasi untuk melakukan tindakan revolusioner menuju perubahan kehidupan yang lebih bermakna. Semoga.***

Penulis: Choirul Mahfud, pecinta jejak rasululullah, warga Muhammadiyyin.

Use of violence in democracy

One of the main characteristics that differentiates a democratic system from a non-democratic system is the use of violence in politics. An authoritarian or totalitarian system may allow for the use of violence in solving political problems and achieving political goals, but a democratic system strictly prohibits any use of violence and relies instead on deliberations and discursive competition. In that connection one can have a good criterion to judge whether or not and the extent to which the 1998 political reform in Indonesia has made progress in the process of democratization. It is interesting to see that unlike the 20th century that was characterized by conflicts between states, the 21st century seems to suffer more from conflicts within the states.

With regard to Indonesia the conflicts within state take the form of inter-ethnic and inter-religious groups on the one hand, and conflicts between the locals and the immigrants on the other.

One can also notice a big difference between conflicts before and after 1998's political reform. Before 1998 the main pattern of social conflict was vertical in nature, that is, they occurred between state and society.

After 1998, conflicts have taken the form of convulsions within society among and between various social groups. Social conflicts become the result of horizontal interactions.

The state-society conflicts were usually overcome by means of state repressive violence through military intervention, whereas one can easily escalate conflicts within society into civilian violence. The case of Sampit in Central Kalimantan and the case of the protracted conflict of Ambon were strong evidence for the fierce violence undertaken by society within society.

Looking at those situations a question might arise as whether or not democracy works or does not work ever since the 1998 reformasi, and if it does, to what extent. If democracy is a non-violent method of problem-solving that is carried out through discursive contestation with main and constant reference to the state law, every tendency towards the use of physical violence must originate either in the lack of capacity of sound and persuasive political deliberations or in the ineffectiveness of the existing legal system.

In that connection one has to clearly distinguish the legitimate use of violence from the non-legitimate use of it. Democratic system justifies the state's monopoly of the use of violence. It implies that only the state can exercise violence legitimately while all other social institutions are denied right and permission to make violent actions.

However, the state's use of violence is to be understood as a coercive power that can be exercised to force citizens to obey the law. If the state uses violence for purposes other than the observance of the law, people can raise the question concerning the rationale of the use of state violence and whether that use of violence is legitimate at all.

Needless to say, though state's violence may be effective in pushing for the observance of the law, it can never, however, be effective in forcing political will formation that becomes a constitutive element of democracy.

For the latter purpose one has to rely on public discourse and political deliberations that are to compete for the best political conception or solution.

During the New Order, the Soeharto government forcefully recommended the use of an indigenous way of consensus building known as musyawarah-mufakat. In its traditional form this was a method of achieving a consensus not by means of voting but by means of a family-type talk. One was not supposed to win the consensus through persuasion and discourse contestation but rather by gathering agreement and sympathy from people who felt respected by the contestants.

This indigenous way of building a consensus is losing its legitimacy because in the real political practice it was used as a means to superimpose a prefabricated political decision by means of exerting political hegemony of the power-that-be without sufficient opportunity for the people to make up their own mind.

In the present politics of Indonesia, consensus building is still in imminent danger because of the reliance upon the primordial sentiments during direct election of district heads and mayors at the district level, and the danger of "venal violence" in the form of money politics at the national and provincial level.

The country is obviously running the risk of having a political decision without sufficient will formation, whereby democracy is very likely to suffer from the lack of a real political consensus that is to underpin the workings and the sustainability of peoples' will to defend what they have agreed upon.

by Ignas Kleden
The writer is a sociologist and chairman of the Indonesian Community for Democracy (KID).

Source: http://www.thejakartapost.com/news/2008/03/18/use-violence-democracy.html


Jilbab – Dari Universitas ke Dunia Kerja

Pada 9 Pebruari 2008, 411 dari 550 anggota parlemen memberi suara dalam mendukung perubahan reformasi undang-undang yang akan mengendurkan larangan pengenaan jilbab di universitas-universitas Turki dan mengamandemen konstitusi. Amandemen menyatakan bahwa ”negara akan memperlakukan setiap orang secara sejajar ketika memberikan pelayanan seperti pendidikan universitas dan tak seorangpun bisa dihalangi dari mendapatkan pendidikan untuk alasan-alasan yang tidak dirumuskan dengan jelas oleh hukum.” Peristiwa baru-baru ini menciptakan kontroversi tentang apakah mengenakan jilbab harus menjadi keputusan negara atau masalah pribadi. Namun, apa yang jarang diperdebatkan di media, tapi mungkin sama pentingnya bagi wanita muda Muslim, adalah efek jilbab pada lulusan universitas yang ambisius, yang sangat ingin menemukan tempat mereka di dunia kerja.

Wanita Muslim di seluruh Timur Tengah menghadapi dua perlawanan: mendapatkan kebebasan untuk mengenakan jilbab atau tidak, dan apapun pilihan mereka, menghadapi penilaian orang lain.

Ketika saya memasuki salah satu kelas, Selasa lalu, di American University of Beirut (AUB) di Lebanon, saya mencari-cari teman saya, Nadine. Saya tidak melihat jilbab merah mudahnya, jadi saya kira dia belum tiba dan langsung duduk di kursi saya. Sebentar kemudian, saya kaget mendengarnya memanggil nama saya. Saya terpana melihatnya telah menanggalkan jilbabnya.

“Hei, kau tak pakai jilbab,” kata saya, sambil menunjuk ke rambut saya. Dia tertawa kecil dengan gugup dan berkata, “Ya, saya berusaha menjadi ilmuwan sosial dan mengenakan jilbab membawa terlalu banyak implikasi."

Benar bahwa sekarang ini, jilbab telah menjadi simbol berkonotasi religius, politik dan sosial. Namun, alasan mengapa wanita memilih mengenakannya, atau tidak mengenakannya, kerap amat beragam.

Citra wanita berjilbab sebagai tertekan dan didominasi oleh masyarakat Arab yang patriarki tempat dia tinggal sudah berubah, karena setidaknya di Lebanon, kebanyakan wanita muda secara aktif terlibat dalam menentukan apakah mau atau tidak mengenakan jilbab.

Orang biasanya menganggap AUB sebagai tempat para ekstrimis bertemu: sebagian wanita muda berpakaian secara konservatif, sementara yang lain memperlihatkan sebagian besar kulitnya. Konsekuensinya, sebagian wanita muda mengenakan jilbab sebagai cara untuk menjauhkan diri secara sosial dari penganut liberal yang ekstrim.

Ahli antropologi seperti Robert Murphy telah menganalisa peran jilbab dalam interaksi sosial. Dalam Social Distance and the Veil (Jarak Sosial dan Jilbab), dia menulis, “Interaksi itu mengancam secara definisi, dan tertutup, di sini terlihat sebagai satu aspek jarak, bertugas memberikan perlindungan parsial dan temporer pada diri sendiri."

Jadi, dalam masyarakat di mana penampilan fisik begitu diperhatikan dan identitas gender berada dalam fase transisi yang ambigu, jilbab kerap diacu sebagai alat perlindungan – dan bahkan afirmasi – dari identitas seseorang.

Sebagian wanita muda memilih untuk tidak mengenakan jilbab karena mereka bisa dikategorikan dalam cara-cara yang mungkin membatasi kesempatan lapangan kerja mereka. Seorang pelajar secara ironis bertanya pada saya, “Pernahkah kau melihat sales representatives yang tidak tinggi, cantik, dan dengan rambut yang sempurna? Dengan kemampuan marketing saya, saya bisa menjual sebanyak gadis-gadis itu” katanya sambil mengangkat bahu, “Tapi jika saya memakai jilbab, keterampilan saya tak akan berarti apa-apa, ia akan hilang terbawa angin lalu.”

Ini, saya pikir, adalah aspek yang paling tidak adil. Motivasi sejati Nadine ketika menanggalkan jilbabnya adalah tekanan dan kekhawatiran ditolak atau dianggap berbeda, bukan sebagai orang yang religius, tapi sebagai seorang profesional.

“Bayangkan jika suatu hari saya harus melaksanakan survei mengenai penyebab angka perceraian dan melaksanakan wawancara mendalam dengan wanita ‘modern’” katanya. “Entah bagaimana saya ragu mereka tidak akan memiliki prasangka tentang saya ketika mereka melihat saya mengenakan jilbab.”

Nadine berpikir orang yang diwawancarai akan berasumsi bahwa dia terlalu tradisionalis untuk menerima sesuatu yang berbeda. Sebagai ilmuwan sosial dia akan terekspos dengan banyak situasi di mana dia ingin dievaluasi berdasarkan kompetensinya; dan entah bagaimana ia merasa bahwa jilbabnya akan menghalangi penilaian tersebut.

Meski tidak ada hukum di Lebanon yang melarang mengenakan jilbab, sebagian wanita tahu bahwa jilbab bisa menghalangi mereka mengejar kesempatan kerja tertentu atau mencegah mereka berkembang dalam profesi tertentu.

Ketika seorang wanita merasa bahwa keahlian dan kompetensinya dinilai berdasarkan jilbab, maka itu menjadi suatu bentuk diskriminasi di tempat kerja, seperti hal-hal lainnya.

Sebagian wanita mengenakan jilbab sebagai tanda yang terlihat dari identitas mereka sebagai Muslim atau karena mereka percaya bahwa itu kewajiban religius, dan sebagian wanita mengenakannya karena merasa jilbab membuat mereka dihormati. Meski demikian, itu tidak ada hubungannya dengan kemampuan profesional mereka dan berasumsi sebaliknya akan tidak adil.

* Nathalie Nahas adalah mahasiswa American University of Beirut (AUB) jurusan anthropologi. Artikel ini ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews) dan bisa diakses di www.commongroundnews.org.

Sumber: Kantor Berita Common Ground, 18 Maret 2008,

Selasa, 05 Februari 2008

I am a Chinese-Indonesian

Aimee Dawis, Jakarta
In December last year, I attended a seminar in Singapore. I was welcomed by the seminar representative at the Changi Airport. After shaking hand, he asked me, "Are you ethnic Chinese? Your name is not Chinese, but you look Chinese." I told him that I am Chinese and he was taken aback. "I couldn't tell from your name that you're Chinese," he said. The puzzlement around my name and my identity as an ethnic Chinese from Indonesia continued throughout the one-day seminar.

As a writer and researcher on the ethnic Chinese in Indonesia, I was invited to present my paper on China and the Cultural Identity of the Chinese in Indonesia.
Hoping to dispel the confusion arising from my name, I decided to begin my presentation by explaining my name and the historical implications and significance of naming among the Chinese in Indonesia.

In 1966, the Indonesian government issued a policy which strongly recommended Indonesian citizens of Chinese descent change their names into Indonesian ones to prove their loyalty to Indonesia. This policy was released in the wake of the Soeharto regime's closures of Chinese schools, bans on public expressions of Chinese culture and language and widespread government suspicion regarding the Chinese community's role in the PKI's (The Indonesian Communist Party's) uprising in 1965.
Being a heterogeneous and diverse community, the Chinese in Indonesia responded to the name-changing policy in distinct ways. My father chose to change his name to Didi Dawis from Djie Ie Ling.

His other six siblings chose different names for themselves. One of his siblings who chose to keep his Chinese name. While the names chosen by my father's family (except for his youngest brother) have been Indonesianized to the extent most people cannot tell that they are Chinese, there are other Indonesian names chosen by the Chinese in Indonesia that implicitly indicate that they are still Chinese. For example, those with the Chinese surnames of Tan, Ong and Wee chose Indonesianized surnames such as Tanuwijaya, Ongggara and Wijaya.

These names show a desire to retain a sense of Chineseness while at the same time complying with the government's policy. When Abdurrahman Wahid served as the President of Indonesia between November 1999 and August 2001, he abolished the Presidential Instruction Number 14, signed in 1967 by Soeharto, which restricted the practice of Chinese customs and religions to private domain.

Following this abolition, he signed the Presidential Instruction Number 6, stipulated in the year 2000, which allows the public celebration of the Chinese New Year.
Megawati took a step further by declaring Chinese New Year has been a national holiday in 2003. Other than the official celebration of Chinese New Year, the revival of Chinese culture may be seen in the establishment of schools offering Mandarin as a mode of instruction and a proliferation of Chinese-language newspapers in Indonesia.
In 1999, a television channel that broadcasts news in Chinese (Metro TV) and a radio station (Cakrawala) have joined the growing number of Chinese-language newspapers to form a media climate that is more open to Chinese language and culture.

The dazzling array of choices and opportunities arising from the acceptance and embrace of Chinese language and culture in today's Indonesia does not mean the process of identity process and maintenance among the Indonesian Chinese is less complex than in the Soeharto era by any means. The meaning of Chineseness is always shifting through time and place, and is dependent on the discursive tug-of-war between self-positioning and being positioned by others. With the available options, the Indonesian Chinese are now presented with various means to (re)negotiate their own sense of Chineseness. From the moment their babies are born, Indonesian Chinese parents are no longer pressured to name their offspring with Indonesian names. In my observations, some parents have chosen to meld not two, but three cultures together by giving their newborns names such as Adrian Wijaya Ng, Louisa Kartadinata Liu; the first names being Western (because the parents have been educated overseas), the middle names being Indonesian, while the last names are Chinese. Yet there are many other parents who still prefer to name their babies with Indonesian names such as Hendra Suryajaya or Dewi Kurniadi.

The differences in attitudes and expectations in the Indonesian Chinese community with regards to naming reveal the polyphonic nature of identity issues. As Indonesia erases the discriminatory regulations against the Indonesian Chinese, members of this community are presented with different sources of Chinese cultural expressions that begin with their names and formal Chinese language education and continue with Chinese media, Chinese organizations and cultural performances.

Depending on their distinct socio-cultural backgrounds and the choices they make, the next generation of Indonesian Chinese and their parents may uncover new channels and avenues in their continuing process of being Chinese in Indonesia.
The writer teaches in the graduate programs of the University of Indonesia School of Social and Political Sciences, Department of Communications, and the Letters Department at the School of Humanities. She can be reached at canting@hotmail.com.

Source: http://www.thejakartapost.com/detaileditorial.asp?fileid=20080206.E03&irec=2