Muhammadun AS Peneliti Center for Pesantren and Democracy Studies (Cepdes) Jakarta
Peringatan Isra Mi'raj Nabi Muhammad merupakan tonggak lahirnya peradaban Islam berbasis keimanan yang kukuh. Perintah shalat adalah peradaban Nabi akan menegakkan keadilan sesuai nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Spirit lahirnya keadilan berbasis ketuhanan dan kemanusiaan menjadi tonggak keteladanan yang harus diserap dalam kesadaran umat Islam. Itulah yang oleh Sheikh Muhammad al-Ghazali dalam Fiqh al-Sirah dikatakan, Isra Mi'raj menjadi tonggak lahirnya Islam sebagai agama fitrah. Semua ajaran ibadah yang diwajibkan kepada umat Islam merupakan fondasi yang wajib dilaksanakan untuk menemukan sari pati dan esensi agama.
Spirit pemberantasan korupsi
Dalam konteks kehidupan kebangsaan, fitrah Islam dalam Isra Mi'raj dapat dijadikan spirit pemberantasan korupsi. Dalam arti, Isra Mi'raj melecutkan umat Islam membuka lembaran penegakan keadilan.
Pemberantasan korupsi yang digembar-gemborkan ternyata masih sebatas wacana, tidak membumi. Terbukti, berbagai kasus korupsi masih mendera bangsa ini. Kejaksaan sendiri juga tidak mempunyai political will dalam menjaring para koruptor. Para jaksa hanya seperti "ustadz di kampung maling". Pernyataan "ustadz di kampung maling" bukan keseleo ngomong. Pernyataan itu merupakan buah kesadaran. Meminjam bahasa Jurgen Habermas, ia bukan sekadar tuturan (speech), tetapi bagian dari bahasa (language). Bahkan menurut Aloys Budi Purnomo (2005) pernyataan itu bukan sekadar komunikasi, tetapi juga melibatkan aspek moralitas yang di dalamnya tercakup unsur budaya dan perasaan yang mewarnai isi komunikasi yang disampaikan.
Dalam konteks ini, spirit Isra Mi'raj menghadirkan teologi amar ma’ruf nahi munkar yang amat efektif sebagai legitimasi jihad menegakkan keadilan. Dengan demikian, perang suci melawan korupsi adalah satu-satunya perang paling legitimate untuk dikumandangkan bangsa ini, selain perang melawan bentuk kejahatan kemanusiaan lain, seperti kemiskinan, kejahatan, ketidakadilan, kebodohan, dan perusakan lingkungan.
Perang melawan korupsi bisa dikatakan—meminjam istilah Peter Kreeft (1996)—ecumenical jihad, jihad suci yang tidak hanya dilakukan umat Islam, tetapi juga umat beragama lain.
Sementara doktrin agama yang menjelaskan ’isy kariman au mut syahidan, hiduplah dengan mulia atau mati dengan syahid, harus dimaknai bahwa perang melawan korupsi adalah perbuatan mulia dan mati yang disebabkan olehnya adalah mati syahid.
"Kemungkaran" sosial
Karena korupsi sebagai kemunkaran sosial, tanggung jawab memberantas korupsi adalah tanggung jawab bersama. Untuk itu, perspektif teologis tidaklah cukup. Perlu exemplary action dan tanggung jawab global (global responsibility) dalam melawan segala kebusukan yang menyengsarakan masyarakat.
Korupsi telah terstruktur dalam unjust institutions and structures. Kita semua, apa pun agama dan golongannya, dituntut membongkar struktur itu demi tegaknya commitment to a culture of solidarity and a just economic order. Tanggung jawab global ini adalah bagaimana kaum agamawan melakukan aksi bersama pembebasan lintas agama sebagai rezim baru nonstruktural yang menyuarakan prinsip-prinsip kemanusiaan universal yang mampu mendorong terciptanya clear and good governance.
Spirit Isra Mi'raj menemukan momentum untuk menggugah bangsa Indonesia dalam menggugat hegemoni korupsi yang mendera. Para agamawan, khususnya, harus berani menentang kebijakan nonpopulis dan kebijakan antikemanusiaan. Agamawan akan menjadi poros utama perubahan bangsa, terlebih para agamawan akan mendapatkan dukungan dari basis massanya yang riil. Inilah yang oleh sosiolog Peter L Berger (1999:9) dijelaskan, kesadaran hidup religiusitas yang telah sekian lama menjadi basis kehidupan berbangsa dan bernegara akan mampu menjungkirbalikkan paradigma sesat bahwa korupsi adalah kejahatan yang harus diberantas dari peraturan politik. Pernyataan Berger itu membangkitkan spirit Isra Mi'raj dalam membangun global responsibility pemberantasan korupsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar