Abad ke-21 yang baru kita tapak sekarang ini dapat dikatakan sebagai abad yang paling menyakitkan bagi kaum agamawi. Dikatakan demikian, mengingat komitmen keagamaan kerap kali menjadi faktor sentral dalam eskalasi kekerasan dan kejahatan di seluruh dunia.
Beberapa berita utama surat kabar di seluruh dunia biasa menampilkan judul-judul: "Hindu dan Muslim di Ujung Peperangan Khasmir", "Kristen Serbia Diadili atas Pelaku Tindak Kekerasan terhadap Muslim Bosnia", "Militan Yahudi Membunuh Puluhan Kaum Muslim di Kamp Pengungsian", "Militan Muslim Menewaskan Belasan Orang Israel Melalui Bom Bunuh Diri di Restoran Pizza Yerussalem", "Pemeriksaan Pengadilan Mulai Mengarah kepada Menteri Kristen Fundamentalis dalam Kasus Dokter Aborsi", dan masih banyak lagi.
Dalam koridor semacam ini menjadi sangat beralasan apabila ada kalangan yang mengatakan bahwa agama adalah sumber masalah dari seluruh kekacauan dunia. Pandangan dunia keagamaan yang cenderung bersifat anakronistik (tidak cocok untuk zaman tertentu) memang sangat berpotensi untuk memecah belah dan klaim kebenaran yang saling berlawanan dapat dipastikan akan berujung dengan konflik. Akan tetapi, menyatakan agama semata-mata sebagai sumber masalah jelas tidak arif dan a-historis, karena selama berabad-abad pula orang bisa melihat iman yang memperteguh kehidupan telah menopang dan memberi makna bagi jutaan orang. Maka sungguh tepat apabila ada yang menyatakan kalau berbicara tentang agama berarti berbicara tentang sebuah paradoks.
Hanya saja yang lebih mengkhawatirkan sekarang ini adalah paradoks tersebut berjalan semakin timpang. Beberapa dasawarsa terakhir ini kita dipaksa menyaksikan serangkaian tragedi semisal teror 11 September 2001, bom Bali, kasus gas beracun Aum Shinrikiyo pimpinan Asahara Shoko di Jepang, bom Oklahoma, kehancuran Afganistan, Perang Khasmir, kekerasan tentara Israel atas warga sipil Palestina, bunuh diri massal di Peoples Temple pimpinan Jim Jones di Guyana, gerakan David Koresh di Texas, dan lain sebagainya. Atau dalam spektrum kecil keindonesiaan seperti kasus Poso, Ambon, Papua, Aceh, bom Marriott, bom Natal, dan yang semacamnya. Wajah teduh agama semakin hilang. Yang tersisa hanya keberingasan, dan hari-hari belakangan ini-atas semua peristiwa yang terjadi-agama pun dikenal sebagai sebuah nama yang membuat gentar dan cemas.
Paradoks-paradoks itulah yang dijadikan konteks Kimball dalam menulis buku yang berjudul asli When Religion Becomes Evil ini. Gagasan guru besar agama di Universitas Wake Forest, Amerika Serikat (AS) ini berangkat dari semua jejak historis yang menunjukkan kegagalan agama dalam memberikan keselamatan, cinta, dan perdamaian kepada umat manusia. Akan tetapi Kimball tidak mengajak kita untuk menyerah kepada semua pesimisme itu, sebaliknya dengan optimisme yang agak berlebihan ia malah menunjukkan kalau kita bisa mengolah aneka paradoks yang ada, maka agama dalam milenium baru ini justru akan bisa menjadi jalan dan pemberi keselamatan, cinta, serta perdamaian yang dibutuhkan manusia.
Sebagai kata kunci untuk bisa keluar dari jebakan sifat agama yang cenderung anakronistik dan suka berkonflik tersebut, agama harus kembali pada sifat autentiknya. Itulah modus keberagamaan yang tidak sekadar bersetia dengan doktrin skriptural yang statis, tetapi pada sebuah iman hidup dan menghidupi kemanusiaan universal. Agama autentik di sini harus dipahami sebagai lawan dari agama yang telah mengalami proses pengkorupan dan pembusukan. Proses pembusukan dan pengkorupan ini paling sering dimulai dengan menjadikan komponen religius-yang sebenarnya hanyalah sarana-menjadi tujuannya.
Misalnya agama Yahudi yang menjadikan terciptanya negara bagi bangsa Israel di tanah yang dijanjikan Tuhan, sebagai tujuan agamanya yang berarti harus mengusir bangsa Arab di tanah Palestina. Sedangkan umat Islam di Palestina juga menganggap bahwa melindungi Masjid Al-Aqsa sebagai tujuan agamanya pula. Konflik ini sama persis dengan yang terjadi di India yang memperebutkan masjid bekas kuil Raja Ram di Ayodya. Demikian pula cita-cita terciptanya komunitas Kristiani yang eksklusif bagi agama Kristen di masa awal yang akhirnya berkembang menjadi memusuhi komunitas Yahudi adalah contoh yang lain lagi.
Beberapa problem yang biasa menjadi akar kekerasan religius tersebut dicoba ditelusuri dan dipetakan oleh Kimball sehingga semua sumber konflik itu dapat dijelaskan dengan runtut sekaligus dicarikan beberapa jalan keluar yang agak cerdas. Khusus pada solusi konflik kepentingan politis yang menyeret-nyeret sentimen keagamaan, pakar sejarah dan perbandingan agama semit (Islam, Yahudi, Kristen) ini menyarankan dunia untuk belajar kepada sosok Mahatma Gandhi. Gandhi mempunyai tujuan yang jelas, sesuai dengan ajaran agamanya, namun dalam merealisasikan tujuannya itu ia tidak pernah mengecualikan kelompok mana pun. Ia malah mengajak kelompok lain itu untuk membantu kelompoknya dalam mewujudkan tujuannya. Lebih dari itu, Gandhi tidak pernah mengubah tujuan menjadi sarana, dan memutlakkan sarana menjadi tujuan.
Pada bagian lain Kimball juga melontarkan kritik yang cukup tajam pada beberapa doktrin teologi agama monoteisme. Menurut Kimball, sekarang ini teologi tidak lagi berhak bertanya, apakah umat di luar agamaku diselamatkan atau tidak? Apalagi bertanya bagaimana mereka bisa diselamatkan? Teologi harus meninggalkan perspektif sempit tersebut. Teologi mesti terbuka bahwa Tuhan mempunyai rencana keselamatan umat manusia yang menyeluruh. Rencana itu tak pernah terduga dan mungkin agamaku tidak cukup menyelaminya secara sendirian. Maka teologi mesti mengambil posisi bahwa bisa jadi agama-agama lain mempunyai pengertian dan sumbangan untuk menyelami rencana keselamatan Tuhan tersebut. Dengan demikian teologi pluralisme religius bukan lagi menjadi teologi teoritis, melainkan teologi praktik. Dari sini inilah, menurut Kimball, dialog antar-agama bisa dimulai dengan terbuka dan jujur. Karena harus menyingkirkan keyakinan religiusnya yang paling tinggi (mengakui agamanya tidak sempurna), pendapat Kimball ini tampaknya masih sulit untuk bisa diterima oleh mayoritas kaum agamawi apa pun.
Lepas dari berbagai kontroversi yang menyelubunginya, dalam konteks keindonesiaan buku Kimball ini tampaknya sangat relevan untuk dibaca saat ini, yang sejak reformasi hingga sekarang selalu dihadapkan pada pelbagai krisis yang seakan tanpa solusi. Pelbagai masalah kita hadapi: krisis ekonomi, jurang antara yang kaya dan yang miskin yang semakin lebar, ancaman perpecahan bangsa, merekahnya gerakan-gerakan fundamentalis, dan tindak kekerasan merebak di mana-mana. Walaupun bukan sebagai penyebab satu-atunya, agama sering dituduh sebagai agen yang ikut memperparah semua krisis tersebut. Untuk semua itu, agama harus mawas diri. Menyingkirkan kekorupan dan kebusukannya sehingga bisa kembali pada roh autentiknya dan benar-benar bisa menyumbangkan sesuatu yang paling dituntut untuk mengatasi krisis bangsa ini, yakni perdamaian dan kesatuan antara warga negara. Dalam hal ini buku Tarmizi Taher yang berjudul Membumikan Ajaran Ketuhanan; Agama dalam Tranformasi Bangsa (Hikmah/2003) sangat bermanfaat untuk dijadikan sebagai acuan teknis gagasan Kimball.
Paralel dengan semua pertimbangan yang ada, khusus dari sisi inklusifisme agama, buku Kimball ini menjadi semakin menarik apabila sempat diperbandingkan dengan buku The Heart of Islam karya Seyyed Hossein Nashr (Mizan/ 2003; edisi Indonesia) Khaled Abou el-Fadl, The Place of Tolerance in Islam yang telah diterjemahkan dengan judul Cita dan Fakta Toleransi Islam; Puritanisme Versus Pluralisme (Arasy/2003), dan History of God-nya Karen Armstrong (Mizan/2001).
Agama dan Bingkai Dunia
Judul buku: Kala Agama Jadi Bencana
Penulis: Charles Kimball
Penerjemah: Nurhadi
Pengantar: Sindhunata
Penerbit: Mizan Bandung, Cetakan I Desember 2003
Tebal: 360 halaman
***
Isngadi Marwah Atmadja Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) tinggal di Ngawi, Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar