DARI sudut pandang apa kita hendak memahami pluralisme? Sudah tentu banyak perspektif. Hal itu antara lain tentang pentingnya menghargai perbedaan dan juga memberikan hak bahwa setiap kelompok masyarakat diperbolehkan untuk menjaga keragaman identitasnya secara kultural maupun politik.
Namun, lebih dari itu, lebih dari sekadar mengembangkan sikap toleransi, pluralisme tentu saja tidak bisa dipisahkan dengan konsep tentang identitas kita sebagai warga negara (identity as citizens). Maksud saya, apa yang lebih penting berkaitan dengan isu pluralisme tidaklah kita bicarakan pada kenyataan empiris bahwa keragaman itu memang begitulah adanya, tetapi ini semua sesungguhnya adalah pencarian nilai, a social imaginary tentang horizon makna yang menjadi rujukan mencari kebebasan dan kesetaraan dalam prinsip demokrasi modern.
Sejalan dengan itu, pertanyaan yang lebih mendasar lagi ialah apakah kita akan menerima perspektif pluralisme itu dalam bentuknya yang total yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan individual seperti tercermin dalam filosofi humanisme yang liberal? Ini adalah bagian pertanyaan politik yang membingungkan, memang, sebab dalam pencarian politik identitas, masih ada masalah apakah dalam representasi demokrasi dan dalam meneruskan cita-cita kuatnya civil society berhadapan dengan negara dalam tradisi the new social movement, pentingkah kita membangun kesadaran kolektif ’We’ untuk melawan ’them’, yaitu mereka yang menindas, yang melakukan hegemoni terhadap ketidakadilan. Sebab, bagaimanapun, societas yang merupakan a civil association itu dalam kenyataannya tak mungkin dipisahkan dengan dialektika saat terjadi perebutan kepentingan dalam publik dan sumber-sumber sosial.
Saya ingin menegaskan bahwa dalam konteks tradisi emansipatoris, politik identitas tidak hanya penting dalam pengertian mendudukkan setiap subyek sebagai pelaku yang abstrak dengan menafikan terjadinya konflik, misalnya antagonisme kelas sosial sebagai kenyataan hidup sehari-hari. Dengan demikian, tatkala kita berbicara tentang the public sphere sebagai ruang sosial yang demokratis bukanlah menempatkan civil society sebagai the realm of cultural pluralism yang ditolak oleh Marx karena hanya merupakan the real ’theatre of all history’, lebih penting dari itu dalam ketidakadilan kapitalisme mutakhir ini kita perlu merumuskan hubungan antara: the state; civil society; dan economy secara kritis.
HAL itu tidak berarti bahwa saya ingin mengecilkan pembicaraan tentang misalnya soal hubungan antara kelompok mayoritas dan minoritas, atau pentingnya membangun perspektif Islam yang lebih inklusif berkenaan dengan iman orang lain, atau betapa dalam masyarakat yang patriarkis ini perlunya menumbuhkan kesadaran jender, tetapi semua itu yang harus kita rumuskan apakah artikulasi perbedaan lebih penting ketimbang pembebasan. Tatkala hal ini, soal orang yang lapar secara masif, soal orang yang kehilangan pekerjaan yang menambah alienasi sosial setiap hari jumlahnya semakin banyak dan hal seperti ini tidak mungkin bisa kita pahami lagi dari segi hubungan antar-agama, atau dari segi perspektif multikulturalisme yang alami.
Oleh sebab itu, wacana dan tafsir Islam yang kita butuhkan adalah berkaitan dengan bagaimana menumbuhkan kesadaran kritis, lebih dari kesadaran agama yang menghidupkan sikap keterbukaan yang romantis tanpa peka terhadap mata-rantai kekuasaan yang eksploitatif. Islamisasi yang terjadi pada kalangan kelas menengah sejak Orde Baru sesungguhnya harus kita lihat dari ukuran moralitas ideologis seperti itu, bagaimana mereka mencari identitas agama dan apa makna agama bagi pencarian hidup bersama yang lebih baik.
Inilah kriteria dasar untuk memahami keberagamaan mereka, yang dalam pengamatan saya bahwa pencarian keislaman mereka sekarang lebih dibentuk oleh pembentukan kesalehan, kemodernan, dan gaya hidup. Hal ini misalnya bisa kita lihat dari moda interpretasi Islam yang dikemukakan oleh para dai dan ustadz mereka yang pada intinya menekankan bahwa makna ketakwaan atau makna kesalehan itu tidak lain intinya menyangkut soal bagaimana pentingnya bersedekah, bahkan kini secara ilustratif dalam era media visual, pengungkapan secara kolektif ketakwaan itu di kalangan kelas menengah perkotaan sering kali dimunculkan dalam intensitas ritual seperti zikir publik, yakni menangis kepada Allah SWT di depan kamera televisi umum.
Saya bukan bermaksud sinikal untuk menyebutnya contoh tersebut. Namun, kalau kita berharap bahwa kelas menengah Islam hendak diharapkan menjadi agen perubahan dan demokratisasi yang peduli terhadap pentingnya distribusi sosial dan ekonomi, rasanya dibutuhkan waktu yang agak panjang, terutama bagaimana melakukan intervensi dakwah agama yang lebih transformatif, yakni mengetengahkan pedagogis agama yang lebih dialektikal terhadap soal kemiskinan sebagai kemungkaran yang menjadi musuh keimanan. Inilah soal yang lebih ideologis dari sekadar pertanyaan apakah kelas menengah Islam mendukung gagasan politik multikulturalisme sebab sesungguhnya mereka beragama dalam a-politis dalam arti tidak mempunyai kesadaran kritis emansipatoris tersebut.
Sebagai layaknya kelas menengah, jika ide multikulturalisme diletakkan sebagai bagian kemapanan dan keamanan warga negara untuk memperoleh perlindungan hukum terhadap kebebasan dan perbedaan, saya kira, itulah ideologi kelas menengah di mana pun. Namun, jika kita berbicara tentang perlunya perubahan, barangkali soalnya menjadi lain. Kelas menengah baru di Indonesia yang lebih saleh sekarang ini sesungguhnya lahir dari proteksi dan koneksi kekuasaan Orde Baru yang tentu saja tidak mungkin diharapkan memiliki sikap otonom, apalagi mampu menjalankan sikap oposisi terhadap negara dan pasar. Oleh sebab itu, saya kira bisa dipahami kalau mereka lebih tertarik mengambil agama sebagai selimut spiritual dan penguat jiwa dibanding Islam sebagai kritik sosial dan nahyi anil-munkar.
Saya sependapat, kita sedang menyaksikan bahwa sekarang ini Islam sedang menjadi identitas yang plural karena telah memasuki semua aliran dan kelompok masyarakat. Islam tidak hanya menjadi identitas kaum santri lama, apakah mereka itu yang dulu dikatakan sebagai Islam tradisionalis pedesaan maupun Islam modernis perkotaan. Kita memang pernah berharap seolah-olah Islamisasi kelas menengah adalah identik dengan munculnya kultur Islam yang baru yang disemangati dengan gagasan-gagasan pembaharuan.
Oleh karena itu, tidak terlalu salah jika tentang berdirinya ICMI, pengamat seperti Hefner (1993) dan Nakamura (1993) mencoba menjelaskan, itulah gejala munculnya watak Islam yang lebih inklusif, toleran, dan terbuka. Biarpun akhirnya kita mencatat bahwa ICMI tidak lain adalah bagian dari kooptasi politik dan tidak lain sebenarnya bukan representasi yang identik dengan munculnya kelas menengah yang lebih saleh itu sendiri.
SEMENTARA itu, bersamaan dengan era reformasi, munculnya regrouping politik sesungguhnya tidak lebih merupakan lahirnya kembali batas-batas politik aliran Islam yang di zaman Orde Baru telah ditekan. Kita melihat kelas menengah Islam yang saleh ini tidak jelas ke mana arah referensi kesadaran politiknya dan ternyata mereka tetap memilih sikap menunggu sampai lebih jelas, untuk memutuskan lebih baik lewat mana memperjuangkan hak-hak politik mereka, tetapi yang jelas bahwa mereka bukanlah pendukung civil Islam yang "resmi", yang sekarang ini menjadi wacana politik yang sentral bagi kalangan aktivis sehari-hari.
Dunia sosial mereka seolah-olah lebih banyak dipengaruhi bagaimana menjadi partisipan pasar yang baik dan bukanlah menjadi warga negara yang kritis. Bahkan, dalam kesan saya, sebenarnya mereka lebih sadar bagaimana menjadi consoumer citizen yang saleh dibanding mau mengambil risiko untuk bergabung dengan kekuatan perubahan.
Penulis: Moeslim Abdurrahman, Antropolog dan Ketua Al-Maun Foundation
Tidak ada komentar:
Posting Komentar