M. Saekhan Muchith
Hiruk Pikuk dan kompleksitas masalah dalam pendidikan mengundang banyak pihak memberi sumbangsih pikiran, termasuk tulisan Saekhan Muchith mengenai "Pembelajaran berbasis Multikultural" atau Multicultural Based Learning berikut ini....
A. Pentingnya Multikultural
Istilah multikultural dilihat dari formalitas istilah dapat dikatakan sesuatu yang baru, tetapi jika dilihat dari substansi atau maknanya bagi bangsa Indonesia kususnya umat Islam bukan merupakan hal yang baru. Multikultural sebagai jelmaan dari kesiapan untuk menerima perbedaan atau perbedaan dianggap sebagai sunatullah (kondrati) sudah jelas ada dalam Islam. Bahkan perbedaan bisa dijadikan sebagai sarana untuk menciptakan kesejahteraan bagi umat (ikhtilaful ummati rahmatun).
Bagi orang jawa, persoalan menghargai perbedaan, “teposliro”, saling menghormati, gotong royong tanpa melihat asal usul seseorang justru sudah dilaksanakan berabad-abad lamanya. Sehingga bagi komunitas masyarakat jawa sudah sangat terbiasa menghadapi realitas perbedaan manusia dengan segala kekurangan dan kelebihan. Tetapi sayangnya kebiasaan masyarakat dalam menghadapi perbedaan ada indikasi maiin memudar berkaitan dengan dinamika, perkambangan ilmu pengetahuan dan budaya masyarakat. Manusia yang dulunya santun sekarang menjadi beringas, manusia yang dulunya rajin gotong royong dan kebersamaan sekarang menjadi individual, seorang yang dulunya sangat humanis sekarang menjadi hindonis, dulu manusia selalu rela berjuang, sekarang cenderung pragmatis dan opportunis. Tempo dulu manusia selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sekarang seringkali menggunakan hukum rimba yang identik dengan pergaulan binatang. Akhirnya yang lemah selalu tertindas, yang menang, berpangkat, kaya selalu dimenangkan dalam segala percaturan.
Pentingnya multikultural menjadi lebih urgensial ketika dilihat dari realitas kondisi masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai perbedaan suku, agama, bahasa dan budaya. Jumlah penduduk hampir mencapai 210 juta jiwa, dengan kandungan budaya diantaranya 13.000 pulau besar dan kecil, 300 suku yang menggunakan bahasa hampir mencapai 210 jenis bahasa, dengan 6 agama (Islam, Kresten, katholik, hindu, Budha dan Konghucu)., masih ada ribuah aliran sekte mulai yang dapat doterima masyarakat, sampai dengan aliran yang dianggap sesat (meskipun terminologi sesat itu masih dalam pro-kontra).
Apakah ada hubungan kausalitas atau tidak, antara kebhinekaan bangsa Indonesia dengan potensi konflik, tetapi dalam kurun waktu sekitar 50 tahun, pertumpahan darah dan konflik terjadi secara hampir berurutan. Diawali dari peristiwa G.30. S PKI, dimana peristiwa tersebut masih menjadi pertanyaan besar masyarakat. Kekerasan etnis China di Jakarta tahun 1998. Konflik antara Islam-Kristen Maluku tahun 1999-2003, konflik suku antara suku Dayak dan Madura tahun 2000 dan terakhir konflik suku di Papua yang menelan korban ratusan nyawa. Semua ini secara hipotesis dapat dikatakan bahwa masyarakat kurang mampu menerima adanya perbedaan.
Dalam konteks pendidikan, bahwa semua persoalan dalam masyarakat akan bisa diperbaiki melalui proses pendidikan. Artinya kegagalan masyarakat adalah kegagalan pendidikan dan sebaliknya. Dengan demikian, kalau ingin mengatasi segala problematika masyarakat dimulai dari panataan secara sistemik dan metodologis dalam pendidikan. Salah satu komponen dalam pembelajaran adalah Proses belajar mengajar (pembelajaran). Untuk memperbaiki realitas masyarakat, perlu dimulai dari proses pembelajaran. Multikultural bisa dibentuk melalui proses pembelajaran, yaitu dengan menggunakan pembelajaran berbasis multikultural. Yaitu proses pembelajaran yang lebih mengarah pada upaya menghargai perbedaan diantara sesama manusia sehingga terwujud ketenangan dan ketentraman tatanan kehidupan masyarakat.
B. Karakteristik Pembelajaran
Pembelajaran merupakan proses untuk “meramu” sarana dan prasarana pendidikan untuk mencapai kualitas yang diharapkan. Kualitas lulusan pendidikan sangat ditentukan oleh seberapa jauh guru itu mampu mengelola atau mengolah segala komponen pendidikan melalui proses pembelajaran. Meskipun sarananya lengkap tetapi guru tidak mampu mengolah sarana melalui proses pemebelajaran, maka kualitas pendidikan akan terasa “hambar “ (meminjam istilah masakan). Ibarat makanan, guru adalah juru masak (koki), yang senantiasa memiliki kemampuan meramu bumbu sehingga makanan terasa lezat.
Pembelajaran memiliki karakteristik sendiri-sendiri sesuai dengan jenjang pendidikan masing-masing. Artinya karakteristik pembelajaran di jenjang Madrasah Ibtidaiyah (MI) tidak sama dengan karakteristik pembelajaraan di jenjang Madrasah Tsanawiyah (MTs), begitu juga, karakteristik pembelajaran di MTs juga berbeda dengan karakteristik pembelajaran di Madrasah Aliyah (MA).
Jenjang MI merupakan pendidikan yang mendasari jenjang pendidikan berikutnya. Bisa dikatakan kegagalan pendidikan atau pembelajaran di MI sangat berpengaruh terhadap kegagalan pendidikan jenjang selanjutnya. Esensi pembelajaran di MI adalah berupaya untuk menanamkan semangat atau jiwa keimanan (Tauhid) kepada Allah swt. Upaya menanamkan jiwa ke-Tauhid-an bisa dilakukan dengan cara melakukan doktrin terhadap siswa. Doktrin bisa dilakukan berdasarkan kemampuan improvisasi masing-maisng guru, inti dari doktrin adalah agar siswa lebih memiliki ketertarikan dan kedekatan terhadap Allah swt. Sehingga kompetensi lulusan MI adalah memiliki kualitas keimanan kepada Allah swt secara baik dan benar.
Jika dilihat dari peran dan tanggung jawab guru dalam mewujudkan keberhasilan pembelajaran di MI, guru memiliki tanggung jawab yang sangat besar. Peran guru untuk mewujudkan keberhasilan siswa dalam belajar berkisar 90 % sedangkan siswa hanya berkisar 10 %. Hal ini menunjukkan peran guru sangat menentukan karakteristik dan kemampuan siswa dalam memahami materi pelajaran. Jika gurunya rendah motivasi mengajar dan sempit wawasan pengetahuannya, maka siswapun akan rendah motivasi belajarnya dan sempit pengetahuan/wawasannya.
Pembelajaran di jenjang MTs, tidak lagi doktrin. Tetapi proses untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman terhadap dalil atau dasar tentang segala yang diketahui. Dengan demikian, karakteristik pemebalajaran di MTS dapata dikatakan pembelajaran Tekstual, yaitu memberikan landasan atau dalil secara tekstual terhadap segala sesuatu yang dikerjakan. Misalnya, siswa mengerti mengapa umat Islam diwajibkan sholat lima waktu sehari semalam, siswa mengerti alasan atau dalil mengapa umat islam diwajibkan menjalankan ibadah puasa ramadhan, siswa juga amengetahui mengapa manusia dilarang bertengkar dan wajib rukun atau saling bantu membantu., manusia dilarang berbuat zina, dilarang mencuri, dan juga dilarang melakukan praktek korupsi.
Untuk mewujudkan keberhasilan pembelajaran, guru memiliki peran berkisar 60 %, sedangkan siswa memiliki operan berkisar 40 %. Artinya semakin tinggi jenjang pendidikan peran dan tanggung jawsab guru secara formal semakin berkurang, tetapi secara substansi materi semakin meningkat. Karena guru harus melakukan inovasi dalam pembelajaran.
Pembelajaran dijenjang Madrasah Aliyah (MA) lebih menekankan pada optimalisasi peran rasionalitas bagi siswa. Pembelajarannya bersifat rasionalisasi dalil dan pembiasaan perbedaan pendapat. Dua hal ini menjadi penting disampaikan dijenjang MA, karena dengan harapan para lulusan MA sudah memiliki kemapanan daya rasionalitassnya dan terbiasa menghadapi perbedaan atau problem kehidupannya. Guru harus mampu mendesain pembelajaran yang lebih menekankan aspek rasionalitas terhadap teks-teks norma ajaran agama. Konsekuensinya guru harus mampu melakukan rasionalaisasi terhadap teks-teks yang ada dalam ajaran atau norma agama Islam.
Peran atau tanggung jawab guru dan siswa dalam mewujudkan kualitas pembelajaran sama besar, Guru memiliki peran berkisar 50 %, siswa juga memiliki peran berkisar 50 %. Hal ini menunjukkan bahwa guru dan siswa dijenjang MA harus sama-sama memiliki semangat dan motivasi yang jelas dan tinggi. Meskipun dilengkapi dengan fasilitas yang lengkap, tetapi kalau guru dan siswa tidak memiliki motivasi pembelajaran yang tinggi, maka pembelajaran akan gagal. Guru dan siswa dituntut memiliki semangat untuk memanfaatkan segala sarana yang ada disekolah untuk keberhasilan pembelajaran.
Pembelajaran di perguruan tinggi lebih bersifat problem solving, mahasiswa diberikan berbagai kasus yang ada ditengah masyarakat, kemudian mahasiswa diminta menyelesaikan kasus tersebut berdasarkan teori yang relevan. Model pembelajaran problem solving ini didasarkan atas asumsi, para lulusan MA atau mahasiswa sudah mapan dalam aspek rasionalitasnya. Pembelajaran di perguruan tinggi tinggal menggunakan rasionalitas itu untuk mengnalisis, mengidentifikasi dan menyelesaikan berbagai problem kehidupan masyarakat. Hal ini berimplikasi dalam perana dan tanggung jawab dosen dalm mewujudkan keberhasilan pembelajaran. Dosen medmiliki peran berkisar 15-20 %, sedangkan mahasiswa memiliki peran dan tanggung jawab berkisar 80-85%. Artinya, kalau ingin berhasil dalam pembelajaran, maka mahasiswa harus memiliki kemandiriana dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Kalau hanya menerima materi dari dosen saja maka mahasiswa tidak akan memperoleh kualitas pembelajaran seperti yang diharapkan.
Mahasiswa harus aktif mengikuti berbagai kegiatan atau diskusi-diskusi kecil yang akhirnya dapat meningkatkan wacana keilmuan. Mahasiswa juga harus terbiasa melakukan klarifikasi informasi yang disampaikan dosen dengan cara amengecek didalam buku diperpustakaan. Oleh sebab itu tidak ada alasan mahasiswa tidak datang keperpustakaan, akan lebih baik jika mahasiswa juga terbisa membeli buku dan membacanya secara rutin.
C. Kompetensi Guru
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan bab VI pasal 28 ayat 3 dinyatakan bahwa guru minimal memiliki empat kompetensi (a) kompetensi paedagogis (b) kompetensi kepribadian (c) kompetensi profesional (e) kompetensi sosial. Kompetensi keguruan meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional.
Kompetensi paedagogis adalah seperangkat kemampuan dan ketrampilan (skill) yang berkaitan dengan interaksi belajar mengajar antgara guru dan siswa dalam kelas. Kompetensi paedagogis meliputi, kemampuan guru dalam menjelaskan materi, melaksanakan metode pembelajaran, memberikan pertanyaan, menjawab pertanayaan, mengelola kelas, melakukan evaluasi.
Kompetensi kepribadian adalah seperangkat kemampuan dan karakteristuk personal yang mencerminkan realitas sisjkap dan perilaku guru dalam melaksanakan tugas-tugasnya dalam kehidupan sehari-hari. Kompetensi kepribadian ini melahirkan konsekuensi ciri-ciri guru diantaranya, sabar, tenang, tanggung jawab, demokratis, ihlas, cerdas, menghormati orang lain, dll.
Kompetensi profesional adalah seperangkat kemampuan dan ketrampilan terhadap penguasaan materi pelajaran secara mendalam, utuh dan komprehensif. Guru yang memiliki kompetensi profesional tidak cukup hanya amemilikipenguasaan materi secara formal (dalam buku panduan) tetapi juga harus memiliki kemampuan terhadap materi ilmu olain yang memiliki keterkaitan dengan pokok bahasan mata pelajaran tertentu.
Kompetensi soaial adalah seperangkat kemampuan dan ketrampilan yang terkait dengan hubungan atau interaksi dengan orang lain. Artinya, guru harus dituntut memiliki ketrampilan berinteraksi dengan masyarakat kususnsya dalam mengidentifikasi, menganalisis dan menyelesaikan problem masyarakat.
T Raka Joni dalam Buku Proses belajar mengajar mengelompokkan hanya ada dua kompetensi, yaitu kompetensi Kepribadian dan sosial dam kompetensi profesional.
1. Kompetensi Kepribadian dan Sosial
Kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial dari seorang guru merupakan modal dasar bagi guru yang bersangkutan dalam menjalankan tugas keguruannya secara profesional. Kegiatan pendidikan pada dasarnya merupakan pengkhususan komunikasi personal antar guru dan siswa. Kompetensi kepribadian dan sosial keguruan menunjuk perlunya struktur kepribadian dewasa yang mantap, susila, dinamik (reflektif serta berupaya untuk maju), dan bertanggung jawab. Nilai-nilai hidup yang dihayati serta mengarahkan seluruh tindak keguruannya hendaknya bersumber pada pengalaman iman yang hidup (iman berbeda dengan agama).
Kompetensi personal-sosial memiliki beberapa konsekuensi ataui karakter guru sebagai berikut:
a. Guru menghayati serta mengamalkan nilai hidup (termasuk nilai moral dan keimanan). Mengamalkan nilai hidup berarti guru yang bersangkutan dalam situasi tahu, mau dan melakukan perbuatan nyata yang baik, yang mendamaikan diri beserta lingkungan sosialnya. Proses pendidikan selalu bersifat normatik, yaitu memperjuangkan nilai luhur baik yang bersifat implisit maupun eksplisit. Tindakan keguruan hendaknya bertolak dari keyakinan nilai tertentu, yang sekaligus perlu dikaji atau direfleksikan terus-menerus. Nilai luhur kemanusiaan yang mendasar selalu bersifat universal (baik untuk siapapun).
b. Guru hendaknya bertindak jujur dan bertanggung jawab. Kejujuran dan kesediaan bertanggung jawab atas segala tindak keguruannya tersebut merupakan pengakuan akan berbagai keterbatasannya yang perlu dibenahi dan atau diperkembangkan terus-menerus. Kadar kesungguhan hati atau semangat berusaha dalam pengembangan karir, sportivitas, kerendah-hatian, dan rela meminta maaf kepada siswa atau siapa pun yang dirugikannya atau dikecewakannya, merupakan watak yang terpuji dari para guru.
c. Guru mampu berperan sebagai pemimpin, baik di dalam lingkup sekolah maupun di luar sekolah. Kepemimpinan guru di sekolah tampak dalam kemampuannya menciptakan situasi belajar siswa yang kondusif dan kemampuannya dalam mengorganisasi seluruh unsur serta kegiatan belajar siswa untuk mencapai tujuan belajarnya. Situasi kelas atau sekolah yang kondusif tersebut ditandai oleh semangat kerja yang tinggi, terarah, kooperatif, tenggang rasa, etis dan efektif-efisien.
d. Guru bersikap bersahabat dan terampil berkomunikasi dengan siapapun demi tujuan yang baik. Modal dasar berkomunikasi dengan sesama adalah kesediaannya menghargai patner, bersikap terbuka, menguasai teknik berkomunikasi (terutama dalam menggunakan bahasa secara efektif-efisien), dan mampu ikut memahami gejolak serta warna perasaan dari patner komunikasinya (empati). Guru hendaknya tidak bersifat sentimental. Persahabatan yang tulus dan etis antar individu merupakan tanda keberhasilan dalam berkomunikasi dan mengembangkan diri bagi siapa pun.
e. Dalam persahabatan dengan siapa pun, guru tidak kehilangan prinsip serta nilai hidup yang diyakininya. Dalam hal ini guru diharap mampu menghargai pribadi orang lain yang berbeda dengan dirinya. Pergaulan atau persahabatan hendaknya menjadi arena transaksi nilai hidup seseorang serta pengembangannya. Seluruh pergaulan yang dialami oleh guru hendaknya dilandasi dengan kesopanan dan kesusilaan.
f. Guru bersedia ikut berperan serta dalam berbagai kegiatan sosial baik dalam lingkup kesejawatannya maupun dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Guru siap untuk menyumbangkan kemampuannya, lebih-lebih yang berhubungan dengan kecakapan keguruannya bila dibutuhkan oleh sesamanya tanpa memperhitungkan keuntungan diri sendiri secara berlebihan.
g. Guru adalah pribadi yang bermental sehat dan stabil. Hal ini menunjuk tingkat perkembangan serta pengintegrasian daya-daya fisik, psikis dan spiritual yang sehat, berpola, dinamis, dan adaptif terhadap lingkungan sosial budayannya. Ciri lain dari seorang yang bermental sehat adalah realistis, mengenali keadaan diri serta potensi-potensinya, mengenali kelebihan serta kekurangannya dan ulet dalam mendayagunakan seluruh kemampuannya untuk mencapai perkembangan diri serta karirnya.
h. Guru tampil secara pantas dan rapi. Hal ini berhubungan dengan tata cara bertindak, bertutur, berpakaian dan kebiasaan-kebiasaan lainnya. Dalam hal ini masalah kesopanan, kehalusan cita rasa, keharmonisan dan penyesuaian diri dengan situasi nyata di lingkungannya adalah masalah penting dalam sosialisasi guru yang bersangkutan.
i. Guru mampu berbuat kreatif dengan penuh perhitungan. Tugas keguruan tidak dapat dipolakan secara mekanis, eksak dan dengan resep tunggal. Variasi tindak keguruan yang meliputi pendekatan pengajaran, strategi, metode, teknik dan sejenisnya tidak terbatas adanya. Dalam hal ini guru dituntut mampu bertindak kreatif dalam melaksanakan tugas keguruannya, dalam batas tertentu tindak kependidikan tersebut bersifat seni (art) karena bersifat khas, autentik, penuh alternatif dan bersifat mendasar bagi kehidupan seseorang.
j. Dalam keseluruhan relasi sosial dan profesionalnya, guru hendaknya mampu bertindak tepat waktu dalam janji dan penyelesaian tugas-tugasnya. Pengelolaan waktu kerja (juga waktu yang lain) menuntut perencanaan yang rasional dan berdisiplin dalam pelaksanaannya. Penggunaan waktu secara efisien dalam kaitannya dengan tugas keguruan dan pengembangan karir memberi harapan munculnya guru-guru yang bermutu.
2. Kompetensi Profesional
Dalam kenyataannya, kesepuluh kemampuan dasar guru yang dituntut dalam dokumen resmi tersebut masih menjadi harapan atau cita-cita yang mengarahkan mutu guru. Saat ini diduga masih banyak guru yang belum menguasai kesepuluh kemampuan dasar keguruan yang menjadi tolok ukur kinerjanya sebagai pendidik profesional, atau sebagian guru telah menguasai kesepuluh kemampuan dasar keguruan tersebut tetapi bobot mutualnya belum memadai (terstandar), atau sebagian guru menguasai beberapa dari kesepuluh kemampuan dasar keguruan tersebut dengan baik.
Dalam bagian ini, akan diulas secara garis besar isi serta arahan preskriptif (wajib diikuti) setiap butir kemampuan dasar keguruan tersebut, agar menjadi lebih jelas apa yang mesti diusahakan atau dikerjakan oleh guru dalam meniti serta mengembangkan karirnya.
a. Guru dituntut menguasai bahan ajar
Terminologi menguasai berbeda dengan memahami. Memahmi lebih b ersifat personal, sedangkan menguasai menyangkut personal dan orang lain. Artinya kalau guru memahami bahan, gurulah yang memahami materi yang akan diajarkan. Tetapi kalau menguasai bahan berarti guru disamping dirinya memahami guru juga memiliki kemampuan untuk menjelaskan atau menyampaikan materi yang dipahami kepada siswa. Tidak semua guru yang memiliki kemampuan pemahaman terhadap materi mereka mampu menjelaskan materi kepada siswa.
Menguasai bahan memiliki dua hal, Pertama menguasai bahan yang bersifat formal, yaitu penguasaan bahan yang ada dalam buku pokok atau buku panduan, Kedua menguasai bahyan yang bersifat pengayaan, yaitu penguasaan bahan dari beberapa ilmu lain yang memiliki relevan si dengan materi pokok dalam silabi.
b. Guru mampu mengelola program belajar-mengajar
Pengelolaan program belajar mengajar lebih menekankan pada lemampuan guru dalam menyusun perencanaan dalam pembelajaran, seperti, menyusun program semesteran, programtahunan, SKBM, Rencana pembelajaran. Implikasi yang terkait dengan kemampuan mengelola program belajar mengajar, guru harus mengetahui kemampuan awal siswa (Entry behavior), kondisi sosial siswa dll.
c. Kemampuan mengelola kelas
Kemampauana amengelola kelas lebih bermakna kemmapuan guru dalam mewujudkan ketenangan kelas dalam proses pembelajaran. Kerawanan dalam pengelolaan kelas, kerawanan ketertiban kelas, dan kerawanan semangat belajar kelas disebabkan oleh banyak faktor, salah satu faktor penting adalah mutu pengajaran guru yang rendah.
d. Guru mampu menggunakan media dan sumber pengajaran
Media pengajaran adalah alat penyalur pesan pengajaran, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung (misal : media rekaman). Pendayagunaan media dan sumber pengajaran dapat berupa penggunaan alat (media) buatan guru, pemanfaatan kekayaan alam sekitar untuk belajar, pemanfaatan perpustakaan, pemanfaatan laboratorium, pemanfaatan nara sumber serta pengembang pengajaran di sekolah, dan pemanfaatan fasilitas teknologis pengajaran yang lain.
Media dan sumber pengajar ada dua jenis, alat pendidikan atau pengajar dan alat peraga. Alat pengajaran adalah segala sarana yang dapat digunakan semua bidang mata pelajaran. Seperti, tape recorder, komputer, Televisi, papan tulis, meja kursi gedung. Sedangkan alat peraga ada;lah sarana yang berfungsi kusus untuk mempercepat pemahaman materi salah satu sub pokok bahaan tertentu. Misalnya sarana yang untuk mempercepat pemahaman materi terhadap p;okok bahasan materi mengkafani mayat, berbeda dengan alat yang dijadikan untuk memperdepat pemahaman pokok bahsan materi sholat dan wudlu.
e. Guru menguasai landasan-landasan kependidikan
Landasan-landasan kependidikan adalah sejumlah asumsi atau persepsi guru terhadap beberapa elemen dan realitas dalam pembelajaran, seperti asumsi guru terhadap siswa, belajar, mengajar, evaluasi dll. Salah dalam mempersepsikan istilah tersebut maka akan berakibat fatal dalam proses pemebelajaran.
f. Guru mampu mengelola interaksi belajar mengajar
Kemampuan mengelola Interaksi belajar mengajar lebih menitik beratkan pada kemampuan guru dalam menyampaikan materi yang dapat dipahami siswa. Yang terkait dnegan kemampuan tersebut, guru harus memiliki tehnik menyampaikan materi, melaksanakan metode, tehnik menjawab pertanyaan.
g. Guru mampu menilai prestasi belajar siswa untuk kepentingan pengajaran
Secara umum yang harus dipahami guru bahwa, penilaian jangan sampai dijadikan sarana untuk melakujkan intimidasi terhadap murid, sehingga penilaian atau evaluasi cendrung membuat rasa cemas siswa. Dilihata dari aspek fungsional penilaian pengajaran tersebut merupakan bagian integral dari sistem pengajaran. Jadi kegiatan penilaian yang meliputi penyusunan alat ukur (tes), penyelenggaraan tes, koreksi jawaban siswa serta pemberian skor, pengolahan skor dengan menggunakan norma tertentu, pengadministrasian proses serta hasil penilaian, dan tindak lanjut penilaian hasil belajar yang berupa pengajaran remedial serta layanan bimbingan belajar bersifat tali-temali, dan seluruh tahapan penilaian di atas perlu diselaraskan dengan komponen sistem pengajaran yang lain.
h. Guru mengenal fungsi serta program pelayanan bimbingan dan penyuluhan
Guru diharuskan memiliki pemahaman atau penafsiran tentang makna bimbingan dan penyuluhan dalam konteks pembelajaran. Jangan sampai guru yanag memiliki peran bimbingan dan penyuluhan menjaidkan dirinya sebagai satpam atau polisi sekolah, yaitu tugasnya hanaya sekedar memberi sanksi siswa yang melakukan kesalahan. Jika bimbingan penyuluhan dipahami seperti ini, maka problematika pembelajaran tidak akan dapat diselesaikan.
i. Guru mengenal dan mampu ikut penyelenggaraan administrasi sekolah
Cakupan pengertian administrasi sekolah dapat bersifat luas, yaitu pendayagunaan semua daya, dana, sarana dan peluang (waktu) secara organisatoris dan atau koordinatif untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan lebih dahulu. Sedang cakupan pengertian administrasi sekolah dalam arti sempit, yaitu penataan seluruh kegiatan ketatausahaan sekolah (clerical works). Peran serta guru dalam kegiatan administrasi sekolah, hendaknya mencakup pengertian administrasi dalam arti luas dan dalam arti sempit.
j. Guru memahami prinsip-prinsip penelitian pendidikan dan mampu menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan untuk kepentingan pengajaran.
D. Pembelajaran Mutikultural
Pembelajaran multikultural adalah sebuah proses pembelajaran yang dapat membimbing, membentuk dan mengkondisikan siswa agar memiliki mental atau karakteristik terbiasa hidup ditengah-tengah perbedaan yang sangbat kompleks, baik perbedaan ideologi, perbedaan sosial, perbedaan ekonomi dan perbedaan agama. Dengan pembelajaran mutikultural para lulusan akan dapat memiliki sikap kemandirian dalam menyadari dan menyelesaikan segala problem kehidupannya.
Syafiq A . Mughni dalam kata pengantar buku “ Pendidikan Multi Kultural” karya Choirul Mahfud menjelaskan, bahwa inti pendidikan multikultural intinya pada dua hal (a) adanya dialog secara aktif dan partisipatoris. Artinya selama proses pendidikan harus dibiasakan dialog secara intensif dan partisipatoris sehingga siswa mampu mengemnbanagkan pengetahuannya secara bebas dan independen. (b) adanya toleransi diantar siswa maupun antara siswa dan guru serta antara sesama guru. Toleransi ini dimaksudkan membudayakan sikap slaing menghormati, menghargai adanya perbedaan baik perbedaan pendapat maupun ideologi yang dilakukan oleh guru maupun siswa.
Asumsi pertama yang harus dimiliki guru dalam pembelajaran multikultural adalah bahwa proses mengajar tidak terikat oleh ruang dan waktu, dalam artian mengajar bisa terjadi dimanapun selama siswa memiliki minat yang tinggi dalam memahami dan mengembangkan materi pelajaran. Tugas utama guru adalah mengorganaisir suasana dan situasi agar dapat dijadikan proses belajar.
Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam pembelajaran multikultural , pertama, Asumsi terhadap siswa. Siswa merupakan input utama dalam pembelajaran. Siswa merupakan elemen yang memiliki potensi yang bisa mengarah pada realitas negatif maupun realitas positif. Pembelajaran mengarahkan siswa kearah terwujudnya atau terbentuknya realitas sikap dan perilaku siswa yang positif. Dalam konteks ini, maka proses pembelajaran harus mampu menjawab, memberikan dan menyelesaikan problematika siswa. Dalam PP Nomor 19 tahun 2005, dinyatakan bahwa dalam pendidikan harus ada standar proses, yaitu proses pembelajaran yang diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai dengan minat, bakat dan perkembangan fisik serta psikologis anak. (pasal 19 ayat 1). Berdasarkan pesan PP tersebut, dalam pembelajaran harus dikemas dengan sedemikain rupa agar siswa dapat berekpresi secara bebas, siswa memiliki rasa senang dan nyaman dalam belajar, serta memiliki keleluasaan dalam mengembangkan materi sesuai dengan bakat dan minatnya sehingga siswa benar-benar memhamai dan mampu melaksanakan materi yang diterima. Apabila pembelajaran justru melahirkan situasi dan kondisi dimana siswa tidak mampu melakukan ekpresi secara bebas, maka multikultural tidak akan dapat dicapai.
Kedua, Asumsi terhadap pembelajaran. Ibarat sebuah pabrik, pembelajaran adalah proses mencetak sesuatu barang menjadi barang cetakan. Pembelajaran merupakan proses berinteraksinya seluruh elemen dalam pembelajaran, seperti, siswa, tujuan, materi, metode, guru, sarana, lingkungan. Seluruh elemen ini diramu, dikelola guru agar mampu mewujudkan kualitas siswa sesuai dengan harapan. Pembelajaran berarti mengoptimalisasikan seluruh elemen /faktor dengan cara yang sesuaid engan kapasitas siswa. Pembelajaran harus dikemas dalam suasana yang menyengkan bagi siswa, karena dnegan suasana yang menyenangkan siswa akan mudah menerima dan mengembangkan materi yang diberikan dari guru. Banyak anak-anak tidak suka terhadap materi pelajaran tertentu, bukan disebabkan karena sulitnya materi pelajaran tersebut, tetapi lebih pada faktor siswa pernah memiliki pengalaman pahit di masa lalu terhadap pelajaran tersebut. Oleh sebaba itu jika pembelajaran tidak dikemas dengan suassna yang menyenangkan maka, tidak akan dapat melahirkan pembelajaran multikultural.
Ketiga, asumsi terhadap guru. Guru diakui atau tidak memiliki peluang sangat besar dalam mewujudkan kualitas pembelajaran.Meskipun demikian, guru tidak bisa bersikap dan berperilaku sembarangan. Guru tidak diperbolehkan memiliki anggapan bahwa dirinya merupakan satu-satunya orang yang paling pinter, siswa adalah anak yang tidak mengetahui apa-apa (bodoh). Apa yang dikatakan guru pasti benar dan tidak boleh dibantah. Guru ibarat raja kecil didalam kelas yang harus ditiru segala ucapan dan tindakannya. Jika asumsi demikian yang ada dalam diri guru maka pembelajaran multikultural tidak pernah ada.
Guru adalah sebagai fasilitator, motivator, dinamisator dan mediator segala elemen dalam pembelajaranang memiliki tugas dan kewenangan memberi falisitas, memotivasi, memidiasi segala faktyor agar siswa memiliki kesempatan yang baik dalam melakukan proses pembelajaran.
Ada beberapa hal yang harus dilakukan guru terkait dengan sikap yang ideal dalam pembelajaran yang dikemas dalam kode etik guru:
a. Guru berbakti membimbing anak didik seutuhnya untuk membentuk manusia pembangunan yang sesujai dengan falsafah negara. Maksud dari rumusan ini, maka sesuai dengan roeping-nya, guru harus mengabdikan dirinya secara ikhlas untuk menuntun dan mengantarkan anak didik seutuhnya, baik jasmani maupun rohani, baik fisik maupun mental agar menjadi insan pembangunan yang menghayati dan mengamalkan serta melaksanakan berbagai aktivitasnya dengan mendasarkan pada falsafah negara.
b. Guru memiliki kejujuran profesional dalam menerapkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan anak didik masing-masing. Berkaitan dengan item ini, maka guru harus mampu mendesain program pengajaran sesuai dengan keadaan keadaan dan kebutuhan setiap diri anak didik. Yang lebih penting lagi guru harus menerapkan kurikulum secara benar, sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak didik. Kurikulum dan program pengajaran untuk tingkat MI harus juga diterapkan di MI, kurikulum untuk tingkat perguruan tinggi harus juga diterapkan untuk perguruan tinggi dan begitu seterusnya.
c. Guru mengadakan komunikasi, terutama dalam memperoleh informasi tentang anak didik, tetapi menghindarkan diri dari segala bentuk penyalahgunaan. Dalam kaitan belajar mengajar, guru perlu mengadakan komunikasi dan hubungan baik dengan anak didik. Hal ini terutama agar guru mendapatkan informasi secara lengkap mengenai diri anak didik. Dengan mengetahui keadaan dan karakteristik anak didik ini, maka akan sangat membantu bagi guru dan siswa dalam upaya menciptakan proses belajar mengajar yang optimal. Untuk ini ada hal-hal yang perlu diperhatikan, yakni :
1) Segala bentuk kekakuan dan ketakutan harus dihilangkan dari perasaan anak didik, tetapi sebaliknya harus dirangsang sedemikian rupa sehingga sifat terbuka, berani mengemukakan pendapat dan segala masalah yang dihadapinya.
2) Semua tindakan guru terhadap anak didik harus selalu mengandung unsur kasih sayang, ibarat orang tua dengan anaknya. Guru harus bersifat sabar, ramah, terbuka.
3) Diusahakan guru dan anak didik dalam satu kebersamaan orientasi agar tidak menimbulkan suasana konflik. Sebab harus dimaklumi bahwa sekolah atau kelas merupakan kumpulan subjek-subjek yang heterogen, sehingga keadaannya cukup kompleks.
d. Guru menciptakan suasana kehidupan sekolah dan memelihara hubungan dengan orang tua murid sebaik-baiknya bagi kepentingan anak didik. Guru menciptakan suasana kehidupan sekolah, maksudnya bagaimana guru itu dapat menciptakan kondisi-konsisi optimal, sehingga anak itu merasa belajar, harus belajar, perlu dididik dan perlu bimbingan.
e. Guru memelihara hubungan baik dengan masyarakat di sekitar sekolahnya maupun masyarakat yang lebih luas untuk kepentingan pendidikan. Sesuai dengan tri pusat pendidikan, maka masyarakat ikut bertanggung jawab atas pelaksanaan pendidikan. Oleh karena itu guru juga membina hubungan baik dengan masyarakat, agar dapat menjalankan tugasnya sebagai pelaksana proses belajar mengajar. Dalam hal ini mengandung dua dimensi penglihatan, yakni masyarakat di sekitar sekolah, bagi guru sangat penting selalu memelihara hubungan baik, karena guru akan mendapat masukan pengalaman serta memahami berbagai kejadian atau perkembangan serta memahami berbagai kejadian atau perkembangan masyarakat itu. Hal ini dapat dimanfaatkan sebagai usaha pengembangan sumber belajar yang lebih mengena demi kelancaran proses belajar mengajar. Sebagai contoh guru yang sedang menerangkan sesuatu pelajaran, kemudian untuk memperjelas dapat diberikan ilustrasi dengan beberapa perkembangan yang terjadi di masyarakat sekitar. Di samping itu kalau sekolah mengadakan berbagai kegiatan, sangat memerlukan kemudahan dari masyarakat sekitar.
Selanjutnya kalau dilihat dari masyarakat secara luas, maka keterikatan atau hubungan baik guru dengan masyarakat luas itu akan mengembangkan pengetahuan guru tentang persepsi kemasyarakatan yang lebih luas. Misalnya tentang budaya masyarakat dan bagaimana masyarakat sebagai pemakai lulusan.
f. Guru secara sendiri dan/atau bersama-sama berusaha mengembangkan dan meningkatkan mutu profesinya. Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, guru harus selalu meningkatkan mutu profesinya, baik dilaksanakan secara perseorangan ataupun secara bersama-sama. Hal ini sangat penting, karena baik-buruknya layanan akan mempengaruhi citra guru di tengah-tengah masyarakat. Adapun cara-cara meningkatkan mutu profesi guru dapat dilakukan :
1) Secara sendiri-sendiri, yaitu dengan jalan :
a) Menekuni dan mempelajari secara kontinue pengetahuan-pengetahuan yang berhubungan dengan teknik atau proses belajar mengajar secara umum, misalnya pengetahuan-pengetahuan tentang PBM (Proses Belajar Mengajar), ilmu-ilmu lain yang relevan dengan tugas keguruannya.
b) Mendalami spesialisasi bidang studi yang diajarkan.
c) Melakukan kegiatan-kegiatan mandiri yang relevan dengan tugas keprofesiannya.
d) Mengembangkan materi dan metodologi yang sesuai dengan kebutuhan pengajaran.
e) Melakukan supervisi dialog dan konsultasi dengan guru-guru yang sudah lebih senior.
2) Secara bersama-sama dapat dilakukan misalnya dengan :
a) Mengikuti berbagai bentuk penataran dan lokakarya.
b) Mengikuti program pembinaan keprofesian secara khusus, misalnya program akta ataupun reedukasi bagi yang merasa belum memenuhi kompetensinya.
c) Mengadakan kegiatan diskusi dan saling tukar fikiran dengan teman sejawat terutama yang berkait dengan peningkatan mutu profesi.
g. Guru secara bersama-sama memelihara, membina dan meningkatkan mutu organisasi guru profesional sebagai sarana pengabdiannya. Salah satu ciri profesi adalah dimilikinya organisasi profesional. Begitu juga guru sebagai tenaga profesional kependidikan, juga memiliki organisasi profesional kependidikan, juga memiliki organisasi profesional. Di Indonesia wadah atau organisasi profesional itu adalah PGRI, atau juga ISPI. Untuk meningkatkan pelayanan dan sarana pengabdiannya maka organisasi itu harus terus dipelihara, dibina bahkan ditingkatkan mutu dan kekompakan. Sebab dengan peningkatan mutu organisasi berarti akan mampu merencana dan melaksanakan program yang bermutu, sesuatu dengan kebutuhan masyarakat. Untuk ini maka organisasi PGRI dan ISPI harus lebih ditingkatkan dan perlu setiap kali mengadakan pertemuan antar para guru di berbagai daerah atau mungkin secara nasional. Dalam pertemuan itu dibicarakan berbagai program yang bermanfaat, terutama bagaimana upaya meningkatkan mutu organisasi tersebut. Peningkatan mutu organisasi profesional itu, di samping untuk melindungi kepentingan anggota (para guru) juga sebagai wadah kegiatan pembinaan dan peningkatan mutu profesionalisme guru.
h. Guru melaksanakan segala ketentuan yang merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan
Guru sebagai aparat Depertemen Pendidikan Nasional dan pelaksana langsung kurikulum dan proses belajar mengajar, harus memahami dan kemudian melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh pemerintah mengenai bagaimana menangani persoalan-persoalan pendidikan. Dengan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan itu, diharapkan proses pendidikan berjalan lancar dan akan menopang bagi pelaksanaan pembangunan bangsa secara integral.
Ali Maksum, dalam Buku Paradigma Pendidikan Universitas, menjelaskan bahwa ciri-ciri pendidikan multikultural minimal memuat bebrerapa hal :
a. Aspek tujuan, yaitu ingin membentuk manusia beradab (budaya) dan menciptakan dan mewujudkan masyarakat yang berbudaya atau berperadaban.
b. Aspek metode, yaitu metode yang dilaksanakan harus mempu menwujudkan realitas syang demokratis, dslam artian mengharagai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dasn kelompok etnis tertentu.
c. Aspek evaluasi, evaluasi lebih utuh dan kompleks yaitu melipuri aspek kognitif, afdektif dan psikomotorik. Maksudnya evaluasi didasarkan pada tingkah laku anak didik yang terdiri dari persepsi. Apresiasi dan tindakan terhadap budaya.
Atas dasar teori diatas, maka pembelajaran multikultural adalah sebuah model pembelajaran dirancang gambaran umum sebagai berikut:
Pertama, falsafah yang digunakan adalah falsafah teori belajar humanistik, dan kontruktivistik, dimana proses belajar adalah proses memanusiakan manusia (siswa) dengan cara-cara yang lebih memberikan kebebasan siswa dalam mengepresikan pengetahuannya. Sedangkan teori belajar kontruksivistik adalah bahwa belajar tidak semata-mata membangun konseptual menurut cara pandang kognitif, tetapi belajar adalah memperoleh informasi yanag dibangun melalui pengalaman dilapangan.
Kedua, Cara kerja yang dipakai dalam proses pembelajaran multikultural adalah dilakukan dengan cara memberikan kesempatan munculnya ide atau gagasan dari siswa. Pemunculan gagasan atau ide dikemas dengan suasana yang menyenangkan atau tidak menakutkan, siswa belajar dengan cara kelompok (group), guru lebih banyak mengamati perilaku atau aktivitas siswa dalam berekspresi terhadap ide atau gagsannya.
Ketiga, Sumber materi tidak hanya dihasilskan dari guru, tetapi berasal dari semua realitas yang ada disekitarnya. Peran guru hanya sekedar fasilitator, mediator dan memberdayakan sarana pembelajaran agar dapat dijadikan sarana untuk mengoptimalkan pengetahuan dan pemahaman siswa.
Keempat, evalauasi tidak hanya dilaksanakan secara instan, evaluasi haraus dilakujkan secara simultan, utuh dan komprehensif, artinya evaluasi tidak hanay dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar siswa amemahami dan menguasai materi dari guru, tetapi evaluasi juga dimaksudkan untuk sarana evaaluasi terhadap kekurangan dan kelemahan guru, sebagai acuan perbaikan kurikulum, dan sarana untuk memperbaiki segala kebijakan dalam pembelajaran.
DAFTAR REFERENSI
Ali Maksum (2004), Paradigma Pendidikan Universal, IRCiSoD, Yogyakarta.
A Qodri Azizi (2003), Pengembangan Ilmu-Ilmu Ke Islaman, Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama, Jakarta.
Ahmad Syafi’i Ma’arif (1999), Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an, Pustaka pelajar, Yogyakarta.
Choirul Mahfud (2006), Pendidikan Mutikultural, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
C. Asri Budiningsih (2005), Belajar dan Pembelajaran, Rineka Cipta, Jakarta
Chalijah Hasan (1994) Dimensi-dimensi Psikologi Pendidikan, Al-Ihlas, Surabaya-Indonsia.
Nana Sudjana (1989), Pembinaan dan penegambangan Kurikulum Disekolah, Sinar baru, Bandung.
M. Arifin, (1994), Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta.
Munandar Sulaiman (1995), Ilmu Sosial Dasar, Erisco, Bandung-Indonesia.
Muh Farozin, Kartika Nur Fathiyah (2004), Pemahaman Tingkah laku, Rineka Cipta, Jakarta.
Mudhoffir (1996), Teknologi Instruksional, Remaja Rosdakarya, Bandung.
M. Saekhan Muchith (2004), Pembelajaran Efisien, (Majalah rindang), Kanwil Depag Jawa tengah
____________________(1999), Pendidkan Sebagai Panglima Pembangunan (Suara merdeka) Semarang
____________________ (2001), Pembelajaran Berbasis Spiritual (Suara Merdeka), Semarang
____________________ (2002), Keberagamaan yang Tidak Anarkhir, Keberagamaan Santun dan Damai (kompas), Jakarta.
Suharsimi Sarikunto (1995), Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Bumi Aksara, Jakarta.
Zakiyah Darodjat (1996), Metodologi Pengajaran Agama, Bumi Aksara, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar