Oleh: M Hasibullah Satrawi
Alumnus Al-Azhar Kairo, Mesir, peneliti di Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M)
Seorang pemikir Islam garda depan dari Maroko, Dr. Muhammad Abid Al-Jabiri, menyebut peradaban Islam sebagai peradaban fikih (Takwîn Al-‘Akl Al-‘Arabi, hal. 96). Pernyataan ini tentu bukan isapan jempol belaka. Setidaknya bila ditinjau dari tiga hal berikut; pertama, fikih sangat dekat dengan umat Islam. Dapat dipastikan di setiap rumah umat Islam terdapat apa yang namanya kitab fikih. Kitab fikih dianggap menghidangkan suguhan siap saji.
Kedua, fikih menjadi pedoman hidup. Dalam setiap permasalahan yang ada, umat Islam selalu menggunakan perspektif fikih. Ketiga, fikih merupakan salah satu warisan ilmu keislaman terkaya. Terdapat sekian ratus, atau bahkan ribuan, kitab fikih. Sebagaimana juga terdapat sekian banyak ulama fikih. Bahkan, masing-masing kota mempunyai fikihnya sendiri. Madinah, Bashrah, Kufah, Baghdad, Andalusia, Mesir dan yang lainnya terkenal sebagai kota-kota fikih pada masanya.
Aliran-aliran fikih di atas bisa disederhanakan menjadi dua kategori. Yaitu aliran tekstualis dan aliran rasionalis. Aliran tekstualis berpusat di Madinah atau Hijaz dengan menampilkan Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal sebagai tokoh-tokoh garda depan. Sedangkan aliran rasionalis berpusat di Bashrah dan kota-kota Irak lain pada umumnya dengan menampilkan Imam Abu Hanifah sebagai tokoh utama.
Kekuatan utama aliran tekstualis adalah teks. Baik teks dalam arti al-Quran, Hadis, atau pun perkataan sahabat Nabi. Hal ini bisa dipahami, mengingat kota Madinah, pusat aliran tekstualis, merupakan “istana teks”. Di kota Nabi ini, sebagian ayat al-Quran diturunkan. Dan di kota ini pula, perkataan, perbuatan, dan sepak terjang Nabi secara umum terekam dengan sangat jelas. Terlebih lagi dengan banyaknya para sahabat yang bermukim di kota tersuci kedua setelah Mekkah itu. Para sahabat bagaikan pita yang merekam “sepak terjang” al-Quran dan Hadis di kota ini dengan cukup sempurna.
Adapun aliran rasionalis menjadikan akal sebagai kekuatan utama mereka. Aliran ini berpusat di Irak dan kota-kota besar di sana pada umumnya. Dari segi intelektualitas, Irak memang tidak kalah dari Madinah dan kota-kota terkenal lain saat itu. Namun dari segi teks keislaman, Irak tidak ada apa-apanya dibandingkan kota Nabi itu. Madinah “bermandikan” teks, sedangkan Irak “gersang” dari teks. Madinah bertaburan para sahabat, sedangkan Irak hanya dikunjungi sebagian kecil sahabat Nabi. Itu pun di masa belakangan, yaitu di masa kekuasaan Utsman (penguasa ketiga dalam Islam) ketika beliau menganulir kebijakan khalifah kedua (Umar bin Khattab) yang melarang sahabat Nabi agar tidak keluar dari kota Madinah.
Sementara teks-teks keislaman terbatas, berbagai macam permasalahan terus menumpuk di Irak. Masalah-masalah itu seakan tak memahami kondisi Irak yang “krisis teks”. Dari sini kemudian, para ulama Irak menggunakan kekuatan akal/ rasionalisasi yang tak kalah hebatnya daripada teks. Bahkan, dalam beberapa hal, aliran rasionalis menjadikan akal sebagai penyaring teks-teks yang ada untuk mendapatkan teks yang murni dan “jernih”. Itu sebabnya, hadis lemah (dhaif) dan sejenisnya tak terlalu banyak di Irak.
***
Pertanyaannya adalah, dimana letak fikih yang berkembang di Indonesia dari dua aliran besar di atas? Sebagaimana dimaklumi, mayoritas muslim Indonesia mengikuti mazhab Imam Syafi’i. Itu berarti, fikih yang dikenal pertama oleh bangsa ini adalah fikih tekstualis. Mengapa fikih tekstualis? Karena fikih tekstualis sangat dikenal oleh banyak ulama Indonesia. Di samping juga karena sumber-sumber non-Syafi’i jarang diakses di Indonesia.
Dengan demikian, kondisi Indonesia, kurang lebih sama dengan kondisi Irak pada masa awal Islam. Keduanya sama-sama kekurangan teks; Irak kekurangan teks keislaman, Indonesia kekurangan teks non-Syafi’i. Keduanya pun sama-sama bersikap sesuai dengan kondisinya masing-masing; Irak memilih jalur rasional, karena itu merupakan potensi utama yang ada. Sedangkan Indonesia memilih mazhab Syafi’i, karena memang teks mazhab inilah yang banyak tersebar di tanah air. Oleh karenanya, sejujurnya, fikih yang berkembang di tanah air selama ini, bukanlah fikih mazhab Indonesia. Melainkan fikih Hijaz, fikih Madinah, atau fikih Imam Syafi’i.
Untuk masa-masa awal sejarah Islam di Indonesia, hal ini mugkin bisa dipahami. Karena kondisinya tak memungkinkan untuk mendapatkan yang lebih. Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan era sekarang? Di mana eranya sangat terbuka, dan memberikan jalur akses kepada apa, siapa dan dimana pun. Mampukah semua potensi yang ada ini merumuskan fikih mazhab Indonesia?
***
Menurut hemat saya, fikih mazhab Indonesia sudah menjadi keharusan yang mendesak. Selain karena alasan sosio-kultural, juga karena alasan historis. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, fikih selalu sesuai dengan kondisi dan karakter masing-masing daerah. Fikih mazhab Indonesia bisa dirumuskan dengan mereformulasi dasar-dasar hukum Islam. Reformulasi ini sangat penting untuk “menjinakkan” kearaban fikih.
Dalam kitabnya berjudul Nahwa Fiqhin Jadid (menuju fikih baru) pembaharu sejati dalam dunia fikih, Gamal Albanna membahas tuntas masalah reformulasi dasar hukum Islam ini. Menurutnya, dasar-dasar hukum Islam adalah akal, nilai-nilai universal al-Quran, sunnah dan adat/kebiasaan. Hal ini merupakan reformulasi dari dasar hukum Islam yang dirumuskan para pakar fikih sebelumnya, yaitu al-Quran, Hadis, Ijma’ dan Kias.
Dasar hukum Islam seperti di atas memberikan porsi yang sangat besar bagi kemaslahatan lokal (termasuk Indonesia) dengan segala keragaman kultur dan agama di dalamnya. Dengan akal, fikih Indonesia bisa diarahkan untuk selalu berpihak kepada maslahat kabangsaan dan kemanusiaan. Sedangkan nilai-nilai universal al-Quran bisa dijadikan acuan nilai bersama oleh semua anak bangsa. Walaupun berbeda agama. Karena al-Quran sebagai nilai tidak akan pernah bertentangan dengan ajaran kitab suci agama lain. Semua kitab suci membawa nilai kebaikan, kemaslahatan dan mempunyai tujuan yang sama pula, yaitu kerahmatan global.
Pada tahap ini, fikih mazhab Indonesia sangat membutuhkan arahan dari sunnah sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad. Dengan sunnah kita bisa memahami, bagaimana Nabi menjadikan ajaran agama untuk maslahat kebangsaan dan kemanusiaan. Dengan sunnah, kita bisa memahami bagaimana Nabi meracik tuntunan ilahi hingga tidak bertentangan dengan tradisi yang ada. Dan dengan sunnah pula, kita bisa memahami pentingnya merawat dan melestarikan kebiasaan atau adat-istiadat lokal. Oleh karenanya, tidak berlebihan bila kebiasaan lokal atau tradisi dijadikan sebagai dasar hukum Islam dalam fikih mazhab Indonesia.
Dari empat dasar hukum di atas, kita bisa merilis beberapa problem bangsa sebagai pembahasan utama dalam fikih mazhab Indonesia. Pertama, problem kebangsaan. Permasalahan ini sangat darurat dan mendesak. Bila tidak, Indonesia sebagai bangsa hanyalah nama yang hampa makna. Apalah arti sebangsa, bila di antara warganya masih saling curiga, saling hujat, bahkan saling menafikan. Baik karena alasan kultur, mazhab, atau bahkan aliran. Fikih mazhab Indonesia harus membahas tuntas dan menyelesaikan problem ini.
Kedua, problem keumatan. Semua agama bertujuan untuk menciptakan dan menjaga kemaslahatan umat. Dengan menjadikan problem keumatan sebagai pembahasan utama, fikih mazhab Indonesia hakikatnya telah menjadikan dirinya sebagai fikih yang terbuka bagi semua agama yang diakui eksistensinya di Indonesia. Fikih mazhab Indonesia hendak mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia sebagai satu umat. Hingga tidak ada lagi istilah, ini masalah umat tertentu, suku tertentu atau bahkan agama tertentu. Satu permasalahan di negri ini, berarti permasalahan semua anak bangsa. Karena kita satu umat, yaitu umat Indonesia. Ketiga, problem keragaman. Harus diakui, keragaman masih kerapkali menjadi masalah serius bagi bangsa ini. Baik keragaman budaya, bahasa, aliran, atau bahkan agama. Kita belum mampu menjadikan keragaman sebagai spirit untuk saling memahami dan saling mengisi. Padahal, keragaman merupakan keniscayaan hidup. Bahkan, keragaman telah menjadi pilar utama bagi tegaknya bangsa ini. Menentang keragaman di negeri ini, berarti menentang diri sendiri. Dan, melakukan kekerasan karena keragaman, berarti menyakiti dan melukai diri sendiri.
Di sinilah urgensi fikih kita, fikih mazhab Indonesia. Dengan fikih mazhab Indonesia, mari selesaikan tumpukan masalah bangsa. Tak ada gunanya meributkan fikih “orang lain”. Apalagi sampai mengabaikan “fikih kita”. Cukuplah fikih kita untuk menyelesaikan masalah kita.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar