Jumat, 10 Agustus 2007

Calon Independen: Solusi atau Kendala?

Prof Dr Zainuddin Maliki MSi, rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya.

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan calon independen maju dalam pilkada, tidak pelak, menjadi keputusan politik yang tidak populer di mata partai politik. Karena itu, banyak partai politik mencoba menghadang keikutsertaan calon independen dalam pilkada.

Partai memang tidak lagi berpeluang menggugat keputusan MK, namun mencoba menghambat dengan cara mengajukan pembatasan. Mereka usulkan dukungan minimal sebagai syarat ikut pilkada. Partai Golkar, PPP, dan PKS, misalnya, mengusulkan minimal calon independen memiliki dukungan 15 persen suara penduduk di daerah yang bersangkutan (JP, 30/7/07).

Memang, partai politik memiliki dasar untuk menghadang munculnya calon dari luar partai. Dalam dunia demokrasi, institusionalisasi penyaluran aspirasi, kepentingan publik, dan penyelesaian konflik dilakukan melalui partai. Dengan demikian, seharusnya pengajuan calon dalam pilkada maupun pemilihan umum disalurkan melalui partai politik.

Penyaluran aspirasi melalui jalur di luar partai hanya mengurangi arti dan proses institusionalisasi politik yang wajar. Karena itu, wajar partai politik merespons negatif terhadap keputusan MK yang mengizinkan calon independen.

Seperti dikatakan Machpherson (1978), parpol berfungsi sebagai tempat mewadahi upaya setiap warga negara untuk memperebutkan sumber daya langka. Keinginan masyarakat dalam kenyataan bersifat tidak terbatas, sedangkan sumber daya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan terbatas. Paradoks itu membuka peluang munculnya konflik yang serius.

Di situlah partai politik diperlukan sebagai wadah menyalurkan kepentingan setiap warga negara yang saling berbeda. Agar terkendali, perbedaan kepentingan setiap warga negara yang tak terbatas itu secara konvensional dikelola melalui partai politik. Pengajuan calon pemimpin pun juga harus lewat partai politik.

Pada intinya, dalam negara demokrasi yang stabil, aspirasi masyarakat disalurkan secara konvensional, dalam hal ini melalui partai politik. Persoalannya, mampukah partai politik menjalankan peran dan fungsi konvensional yang amat strategis itu?

Jika memakai jalan pikiran Moores dan Sears (1992), institusi partai politik harus lebih kuat daripada kelompok-kelompok kepentingan. Dengan demikian, kelompok kepentingan dan masyarakat justru mencari jalan keluar untuk memecahkan masalah melalui partai politik. Realitas di lapangan belakangan ini semakin sedikit saja kelompok kepentingan atau gerakan-gerakan sosial yang populer.

Masyarakat hanya memiliki sedikit gerakan sosial yang tersisa seperti Walhi yang berkiprah dalam urusan lingkungan, Kontras dalam urusan HAM, dalam urusan hukum masih ada LBH dan sejumlah LSM dengan berbagai fokus kegiatan yang dikelola para aktivis perempuan.

Padahal, di masa krisis yang ditandai dengan melemahnya derajat kepercayaan kepada partai politik, sebaliknya muncul begitu banyak gerakan sosial dan berperan besar dalam memberikan advokasi publik. Karena itu, melemahnya gerakan sosial belakangan ini bisa diartikan sebagai peluang penguatan partai politik sebagai pilihan penyaluran aspirasi.

Namun, munculnya keinginan publik untuk bisa mencalonkan diri dalam pilkada dan pemilu, yang lalu memperoleh legalitas dari MK, menyiratkan masih ada sisi lemah pada partai politik di negeri ini. Kesempatan yang diberikan oleh publik untuk mengolah aspirasi masyarakat dirasakan tidak optimal.

Masyarakat lalu lebih sering menyalurkan partisipasi politik secara nonkonvensional. Demonstrasi masih banyak terjadi. Masyarakat korban lumpur Lapindo, Sidoarjo, misalnya, beberapa kali turun ke jalan. Buruh Nike di Jakarta bergolak. Massa di pelabuhan curah PT Gresik Jasatama bentrok dengan aparat. Semua itu mengindikasikan fungsi agregat aspirasi publik belum bisa dijalankan partai politik secara optimal.

Belakangan bahkan muncul gejala yang disebut Latif (2007) dengan partisan dealignment atau partisan erosion, yakni melemahnya loyalitas pemilih terhadap partai politik dan melemahnya partisipasi dalam pemilihan.

Gejala itu terjadi karena berbagai sebab. Salah satu sebab yang menonjol adalah kegagalan partai dalam menjalankan fungsi agregasi aspirasi rakyat. Rakyat tidak merasa mendapatkan tawaran dari partai politik sebagaimana yang diharapkan. Tentu saja termasuk tawaran dari partai tentang calon pemimpin yang diajukan dalam pemilu atau pilkada.

Banyak partai mengesampingkan faktor ideologis dalam menentukan calon eksekutif maupun calon jabatan legislatif. Pemilihan calon dalam pemilu dan pilkada sepenuhnya didasarkan pada pertimbangan the game of power, permainan yang hanya berorientasi memenangkan perebutan jabatan. Tidak ada pertimbangan visi, nilai, dan ideologi. Praktis, ideologi dianggap mati seperti ramalan Daniel Bell, the end of ideology. Politik lalu berubah menjadi permainan anggaran, untuk tidak mengatakan permainan uang.

Money politics mengalahkan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Pemimpin yang dicalonkan partai sama sekali tidak bersentuhan dengan figur yang dibayangkan oleh pemilih. Dari situlah kemudian muncul wacana pentingnya calon independen. Wacana ini kemudian memperoleh momentum dengan dikeluarkannya keputusan MK yang memperbolehkan calon independen.

Benarkah calon independen sebagai solusi? Setelah melihat saluran aspirasi publik tentang calon yang acap tidak bisa dipenuhi oleh partai politik, jelas diizinkannya muncul calon independen adalah solusi bagi upaya membuka partisipasi politik masyarakat.

Kualitas demokrasi jelas ditentukan oleh derajat partisipasi politik masyarakat dalam proses politik. Derajat partisipasi itu bukan hanya menentukan kualitas demokrasi, bahkan diyakini -setidak-tidaknya oleh Carole Pateman (1970)- juga menentukan pengembangan derajat keadilan sosial.

Karena itu, Pateman menganjurkan agar partisipasi institusi sosial di luar negara dibuka lebar -tentu tidak hanya melalui saluran partai politik- dengan maksud agar masyarakat bisa berpartisipasi langsung. Calon independen dengan demikian menjadi solusi bagi penguatan demokrasi dan pengembangan derajat keadilan sosial.

Namun, masih banyak hal yang perlu dicermati. Diperbolehkannya calon independen memang membuka ruang partisipasi, tetapi masih sangat bergantung kepada calon yang bersangkutan ketika terpilih. Calon independen yang kemudian terpilih, yang pasti, tidak memiliki akar partai.

Sementara itu, dalam sistem pemerintahan yang saat ini diwarnai dengan legislative heavy, pemimpin yang berangkat dari calon perorangan memerlukan energi khusus agar bisa membangun komunikasi politik dengan legislatif. Bisakah calon menyelesaikan problem komunikasi politik dengan legislatif itu?

Presiden SBY -meski punya akar partai, tetapi jumlah kursinya di legislatif kurang signifikan- beberapa kali harus berjibaku dengan sejumlah desakan interpelasi. Begitu juga sejumlah pengalaman kepala daerah yang tidak berangkat dari partai penguasa di legislatif.

Sejumlah gangguan muncul selama ini, yang hal itu tidak akan terjadi kalau memiliki akar partai kuat di legislatif. Bupati Ratna di Banyuwangi, misalnya, memerlukan energi khusus agar bisa berkomunikasi dengan DPRD setempat yang acap memilih posisi berseberangan.

Calon independen dengan demikian tidak sepenuhnya merupakan solusi. Dia juga bisa menjadi kendala. Namun, di tengah-tengah munculnya gejala partisan dealignment terhadap partai politik, bisa juga calon independen dipertimbangkan sebagai pembelajaran agar partai politik mau ber-muhasabah.

Dalam situasi normal, ketika partai politik tidak larut dalam the game of power, tidak hanya berdasar pada basis politik anggaran, tetapi berbasis pada agregat kepentingan publik, maka calon ideal dalam pilkada atau pemilu tentu haruslah calon pemimpin yang diusung partai politik.

Tidak ada komentar: