Benny Susetyo Pr, Sekretaris Eksekutif Komisi HAK, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).
”Saya ingin cucu saya pintar, karenanya saya larang ia sekolah,” kata Margaret Mead suatu ketika. ”Orang miskin dilarang sekolah,” bunyi judul karangan seorang teman di Yogya, Eko Prasetyo. Dua pernyataan ini mewakili secara sungguh-sungguh kenyataan pendidikan kita. Pendidikan kita masih diragukan kemampuannya untuk membuat orang pintar dan dengan demikian mampu melepaskan belenggu masyarakat dari kemiskinan. Di sisi lain, kaum miskin memang menjadi kaum ”terlarang” untuk memasuki kawasan pendidikan tinggi.
Siapa tak heran, wong sudah jelas disaksikan bagaimana angka kemiskinan dan rendahnya pendapatan yang diderita oleh sebagian besar masyarakat, nyatanya itu tak membuat pemerintah bergeming untuk menaikkan harga segala biaya masuk dan biaya perlengkapan pendidikan.
Lalu pendidikan itu akan diperuntukkan siapa? Apakah hanya kelas atas saja —yang jumlahnya sangat kecil, dan kelas bawah tetap dengan ketertindasannya? Tampak terang, kebijakan-kebijakan pendidikan yang direkayasa oleh pemodal dan penguasa ini menjadi cermin betapa buruknya negara ini mengelola pendidikan, betapa tidak warasnya para penguasa ini memperlakukan masyarakat miskin.
Unjuk rasa menolak kenaikan biaya pendidikan, terutama untuk perguruan tinggi, muncul mula-mula ketika diputuskan bahwa perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi badan hukum milik negara (BHMN). Atas kebijakan tersebut, sedikitnya ada tiga alasan atas fenomena yang menjadi perbincangan meluas itu. Pertama, soal keterbatasan anggaran pendidikan yang disediakan negara kepada masyarakat. Kedua, soal deetatisme yang digembar-gemborkan sebagai jalan menuju otonomi kampus sepenuhnya. Ketiga, soal kapitalisme global yang semakin lama semakin pasti mensyaratkan privatisasi berbagai lembaga milik negara untuk dipersaingkan di tengah pasar bebas.
Kegagalan Fungsi Negara
Penjelasan gamblang untuk alasan pertama adalah ketidakmampuan negara untuk memberikan subsidi sebesar-besarnya bagi masyarakat untuk menikmati dan mengenyam pendidikan. Dengan kata lain, ini merupakan kegagalan fungsi negara untuk memberikan pendidikan semurah-murahnya kepada masyarakat.
Atas alasan krisis ekonomi berkepanjangan dengan berbagai aspeknya, negara berpikir tidak lagi perlu memberikan subsidi pendidikan, terutama untuk pendidikan tinggi. Krisis ini diperparah dengan tidak kunjung membaiknya perekonomian Indonesia di tengah-tengah negara-negara lain yang sudah bangkit. Karena itu, seakan-akan absah jika negara menghendaki pemotongan anggaran pendidikan bagi masyarakat.
Penjelasan kedua mengandaikan bahwa di era reformasi ini negara tak boleh lagi mengintervensi kampus sebagai lahan persemaian keilmuan. Dunia akademis dengan segala apa yang ada di dalamnya bersifat otonom. Ilmu memiliki kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri, dan kuasa negara tidak berhak untuk menentukan wacana yang berkembang di dalamnya (sebagai catatan, ini kontradiktif dengan karakter UU Sisdiknas yang baru yang sangat kental semangat etatisme-nya).
Berkaitan dengan penjelasan kedua, penjelasan ketiga mengisyaratkan adanya integrasi institusi-institusi negara ke dalam pasar. Kapitalisme melahirkan arena yang disebut pasar dan ia berfungsi sebagai lahan untuk beradu kekuatan. Konsekuensi dari kompetisi bebas ini adalah tersingkirnya yang lemah dan pongahnya yang kuat. Negara menjadi serba sulit untuk membela kepentingan si lemah. Akibatnya fungsi negara untuk melindungi dan mencerdaskan masyarakat, larut dalam arena pertarungan tanpa batas tersebut.
Dari kasus ini sangat perlu kita sarankan bahwa komersialisasi pendidikan sangatlah mencoreng muka dan nama besar PTN-PTN yang sudah diakui tersebut. Tanpa harus mengeksploitasi dan menciptakan ruang diskriminasi bagi mahasiswa, PTN-PTN tersebut kita yakini masih mampu mencari dana dengan cara yang lebih elegan dan profesional. Masih banyak cara untuk mendanai operasionalisasi pendidikan tanpa harus menjerat leher masyarakat. Jangan perburuk wajah Indonesia dengan melakukan hal-hal yang di luar batas kewajaran.
”Very-very Important Person”
Sudah dipahami masyarakat dan menjadi keprihatinan teramat luas, betapa timpangnya pendidikan kita menyerap anak didiknya. Dalam berbagai PTN, terdapat berbagai kelas khusus, dari yang super-eksekutif untuk very-very important person (VVIP), yang eksekutif untuk very important person (VIP), kelas istimewa, kelas spesial sampai kelas anak jelata.
Pendidikan ternyata tidak mengajarkan bagaimana jurang stratifikasi sosial itu dihentikan dan setiap murid mendapatkan perlakuan yang sama dan wajar. Pendidikan justru jelas-jelas mengajarkan bagaimana diskriminasi dilakukan. Jika tak punya uang, maka benarlah dikatakan bahwa orang miskin terlarang memasuki bangku kuliah.
Ini merupakan cermin nyata dampak integrasi pendidikan dalam pasar bebas. Jelas bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, berangkat dari soal-soal yang dikemukakan di atas, sebenarnya implikasi yang paling logis diterima atas kebijakan itu adalah mahalnya biaya pendidikan. Fenomena ini tentu saja kontradiktif dengan kondisi perekonomian masyarakat yang umumnya tak berdaya baik sebelum maupun sesudah krisis. Dari Orde Baru hingga sekarang, perkembangan perekonomian masyarakat berjalan sangat lambat di satu sisi, meski di sisi lain peredaran korupsi di tingkat elit semakin membabi-buta. Ada kesenjangan yang tidak sulit dipahami dengan mata telanjang, terutama ketika kaum elite berebut kue pembangunan, dan kaum miskin semata-mata tetap menjadi obyek pembangunan.
Terintegrasinya dunia pendidikan ke dalam pasar bebas dengan konsekuensi sebagaimana dipaparkan di atas di satu pihak, adalah fenomena yang tidak sebanding ataupun berlainan sama sekali dengan ketidakberdayaan ekonomi masyarakat di lain pihak. Jika di negara-negara maju, pendidikan yang berbiaya mahal tidak mendapatkan protes adalah karena masyarakatnya yang melihat kemampuan dirinya untuk mengakses dunia pendidikan tersebut. Persoalan kita saat ini dengan demikian adalah bagaimana menyikapi dua hal berbeda yang saling bertolak belakang tersebut?
Ibarat sudah jatuh, masyarakat miskin yang memiliki kemampuan akademik di atas rata-rata, akhirnya tertimpa tangga pula. Tertutup ruang bagi mereka untuk mengembangkan kemampuannya di dalam universitas-universitas berkualitas. Orientasi mereka sudah digeser untuk sekedar mencari uang dan uang, kualifikasi akademis sudah dipinggirkan jauh-jauh. Dan orang miskin memang benar-benar terlarang bersekolah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar