Jakob Sumardjo Esais
Sebagai negara, Indonesia ibarat manusia yang punya kaki dan tangan, tetapi tak punya kepala. Arah kaki tak sesuai maksud kepala. Kepala tidak mengetahui perbuatan kaki.
Bangsa sebesar ini membutuhkan manajemen negara yang besar dan kuat. Kenyataannya, organisasi besar negara ini tercerai berai dalam begitu banyak kaki yang berjalan menurut arahnya sendiri-sendiri. Para lurah ada di bawah camat. Para camat ada di bawah bupati. Para bupati ada di bawah gubernur dan gubernur di bawah presiden. Dari kepala sampai ke kaki. Maka, presiden juga disebut Kepala Negara.
Apa pun yang diperbuat oleh kaki, kepala harus bertanggung jawab. Tangan yang membunuh, tetapi yang nongol di media adalah foto kepalanya. Dengan demikian, kepala adalah simbol dari seluruh anggota badan. Kita tidak pernah menyaksikan kaki Beckham yang memasyhurkan kepalanya di media seluruh dunia.
Indonesia ternyata bukan sebuah badan. Indonesia hanya kumpulan kaki, tangan, perut, sampai kepala. Kepalanya menghadap ke mana, pantatnya menghadap ke mana. Kalau sedang berjalan, Indonesia adalah makhluk yang aneh.
Malapetaka kapal, kereta api, pesawat terbang, runtuhnya gedung, jika dilihat dari luar negara, semua menggambarkan pemilik kepalanya yang sama: Indonesia. Kekacau-balauan semacam ini menunjukkan kita gagal dalam organ besar. Dan, organ itu merupakan kesatuan dalam keberagaman. Sakit telinga ada hubungannya dengan mulut. Sakit lutut ada hubungannya dengan kepala. Kekacau-balauan dalam transportasi, yaitu kaki, ada hubungan dengan kondisi perut atau pernapasan. Hanya dokter manajemen negara yang mampu menganalisis hal itu.
Namun, semua kekacau-balauan organ-organ itu tetap bermuara pada kepala. Kemenangan Olimpiade Fisika atau Matematika, kemenangan bulu tangkis, langsung diakui kepala sebagai bagian organnya. Akan tetapi, soal kekacau-balauan transportasi, kepala siapa yang disalahkan?
Kepala yang benar-benar sebagai kepala di Indonesia hanya Soekarno dan Soeharto. Soekarno karena karisma, Soeharto karena kekuatannya. Semua yang terjadi di kaki langsung menggambarkan kepalanya, diakui sebagai hasil berpikir kepala. Wali kota yang curang di dasar kaki, langsung "menampar" Soeharto. Dan, kepala langsung memerintahkan tangan untuk menggaruk di kaki.
Neraka
Yang dibutuhkan Indonesia kini adalah kepala yang menyatu dengan seluruh anggota tubuh. Sebuah negeri yang terpecah adalah neraka bagi rakyatnya.
Dulu neraka pembagian bantuan bencana, kini neraka transportasi, nanti masih akan banyak neraka lagi.
Kini tidak ada yang merasa malu jika rakyat mengalami neraka kelaparan. Siapa yang harus malu karena kepala tidak ada. Dulu neraka kecil di ujung kaki Indonesia sudah membuat merah muka, Bung Karno atau Pak Harto sudah kebakaran jenggot. Kepala-kepala reformasi tak perlu malu karena pikirannya tak sampai di kaki. Indonesia setelah reformasi adalah ketercerai-beraian. Kaki tak punya kepala.
Jika Anda ke mancanegara—yang utuh hubungan organ-organnya—akan terasa kesatuannya. Inilah pabean Australia. Inilah polisi Malaysia. Di Indonesia Anda butuh informasi, apakah polantas di kota ini bisa disogok? Jika mau buka usaha, lebih baik di kota anu dan anu, di sana tak perlu pelicin. Indonesia ini satu atau banyak negara? Tidak ada kepastian.
"Bersatulah untuk mempertahankan kesatuan negara jika engkau ingin negaramu tetap merdeka", nasihat Napoleon kepada kita. Kesatuan untuk mempertahankan negara itu ada di kalangan bawah, tetapi organ-organ kepala itu kacau pikirannya. Mata kanan ke kiri, mata kiri ke kanan. Karena juling, hurufnya ganda semua. Kepastian hukum tak ada. Yang takut hukum itu hanya kalangan bawah. Mereka yang tidak takut hukum di dunia, tidak takut masuk neraka.
Kita harus belajar kembali arti kesatuan. Namanya kesatuan karena adanya keberagaman. Kesatuan Indonesia itu artifisial, sedangkan keberagaman Indonesia itu natural. Kesatuan itu buatan anyar yang rapuh. Keberagaman telah ada dengan sendirinya sejak dulu. Keberagaman itu kaki dan kesatuan itu kepala. Kaki kiri yang pincang tak dapat diperlakukan seperti kaki kanan yang sehat. Kaki kiri disehatkan dahulu, baru bisa jalan lurus.
Kesatuan artifisial ini harus mengenali betul keberagamannya yang natural. Jangan terjadi kebakaran jenggot saat pulau kecil gersang yang selama ini tak dikenal baru dikenal saat negara lain menyerobot. Lo, pulau itu milik kita juga? Kepala tidak kenal warna kukunya sendiri.
Bagian bawah yang natural saja ingin bersatu, mengapa kepala yang artifisial sakit pikirannya? Jadi, kerusakan negara ini karena kepala atau kakinya?
Kita memang memerlukan kepala artifisial yang brilian. Kita membutuhkan "orang-orang gila" seperti Bung Karno dan pak Harto. Bawah yang beragam dan natural semua waras. Hanya orang superwaras alias "gila", yang mampu menyatukan. Sejarah Indonesia modern membuktikan hal itu. Bung Karno dan Pak Harto dinilai "tidak normal", banyak dicaci, nyatanya manajamen kesatuannya terasa. Pekik nasionalisme tiap hari terdengar.
Setelah reformasi, nasionalisme dilecehkan atas nama kebebasan dan kemerdekaan. Ingatlah kata Napoleon itu, kebebasan akan tercapai jika kita bersatu. Dan, kesatuan itu adanya di kepala. Kepala yang cerai berai mematikan seluruh bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar