Jumat, 10 Agustus 2007

Hentikan Penggusuran

Sejak tiga minggu buldoser-buldoser DKI meratakan rumah-rumah. Rumah dari kardus, papan kayu, dan yang semipermanen. Rumah-rumah itu adalah tempat tinggal saudara- saudari kita yang paling miskin. Ribuan orang mendadak kehilangan atap di atas kepalanya, sebagian bertahan, linglung seperti terkena shock. Mereka ada di pinggir jalan, duduk-duduk, di pinggir jalan, duduk-duduk di atas kursi yang mereka selamatkan dan berharap tak ada hujan. Berapa ribu lagi yang masih akan digusur? Sepuluh ribu? Lebih?

Seharusnya hal itu tidak terjadi! Dalam tulisan ini saya mau menegaskan, setiap orang secara asasi berhak atas tempat tinggal. Karena itu-tanpa menyangkal kompleksitas masalahnya-pembuangan orang ke pinggir jalan secara obyektif merupakan kejahatan yang amat memalukan dilakukan pemerintahan yang menganggap diri beradab. Saya juga mau menunjukkan, hak asasi atas perumahan itu mengancam institusi hak milik.
Hak asasi manusia

Pasal 25 pernyataan PBB tentang Hak- hak Asasi Manusia berbunyi, "Setiap orang berhak atas taraf hidup yang menjamin kesehatan dan kesejahteraan untuk dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian, perumahan dan seterusnya." Sidang Istimewa MPR 1998 juga menetapkan, tiap orang berhak untuk bertempat tinggal (Tap MPR No XVII/ MPR/1998, Pasal 27 tentang Hak-hak Asasi Manusia. Bila Pasal 34 UUD 1945 menyatakan "fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara oleh negara", hal ini sekurang-kurangnya menyatakan, negara tidak mengusir mereka dari tempat tinggal mereka!

Perhatikan, hak asasi atas tempat tinggal yang layak ini sedikit pun tidak mensyaratkan orang harus memiliki hak atas tanah dan rumah yang didiaminya! Yang dinyatakan, hak setiap orang atas tempat tinggal. Apakah hak itu dapat dituntut dari negara di pengadilan, dalam arti tuntutan agar negara segera menyediakan tempat tinggal bagi yang tidak mempunyainya, menjadi kontroversi antara para ahli hukum dan ahli filsafat. Namun, tidak perlu hal ini ditelaah di sini.

Yang langsung jelas terkandung sebagai implikasi hak asasi atas perumahan adalah seseorang tidak boleh diusir dari rumah yang digunakan, kecuali hak itu tetap dijamin, artinya, kecuali disediakan perumahan lain. Hak itu menyatakan, tiap usaha menghilangkan tempat tinggal dari seseorang sebagai pelanggaran hak asasinya, tidak tergantung apakah ia berhak atas tempat tinggal itu atau tidak!

Jadi, mengusir orang dari rumah yang didiaminya tanpa disediakan perumahan lain-dengan alasan mereka menduduki tanah yang bukan miliknya-adalah tindakan kasar yang melanggar HAM yang paling penting. Hak dasar itu overriding terhadap hak pemilik atas tempat. Begitu misalnya di New Delhi orang yang mendiami gubuk selama dua tahun, meski didirikan di kaki lima di jalan umum, ia tidak boleh diusir lagi. Hak milik atas sebidang tanah, sebagai hak hukum positif, kalah terhadap hak asasi setiap orang di bumi atas tempat kediamannya. Jadi, DKI melanggar hak asasi manusia dengan mengusir orang-orang yang menduduki tanah Pertamina atau lainnya.

Tak berperikemanusiaan
Ada baiknya kita tidak hanya berpegang pada bahasa agak abstrak etika hukum dan hak asasi. Hak asasi atas tempat tinggal jelas merupakan salah satu hak asasi paling berarti yang dimiliki manusia. Gubuk paling sederhana pun, entah dari kardus atau plywood, masih lebih baik daripada hidup di bawah langit terbuka. Pakai saja sedikit fantasi untuk membayangkan seandainya kita sendiri dengan sedikit perabot rumah, surat-surat penting dan lain-lain, tanpa apa-apa ada di pinggir jalan. Kita menjadi sadar, betapa barbar, tidak berperikemanusiaan dan jahat pengusiran orang dari tempat tinggalnya itu. Secara sederhana, orang beradab tidak berbuat seperti itu!

Kita hidup di dalam sebuah kota metropolitan yang mengeluarkan miliaran rupiah untuk pelbagai hiasan, di mana ribuan penduduk mengendarai mobil- mobil yang harganya bisa puluhan kali pendapatan tahunan sebagian penduduk sekota. Kita mempunyai sebuah "DPRD" yang tak malu mengisi kantongnya dengan "uang pakaian", "uang perjalanan", dan sogokan lain. Sekaligus kita mengusir orang yang hampir tidak memiliki apa pun dari sedikit yang mereka punyai, yaitu gubuk-gubuk kumuh, namun mereka sudah puas dan gembira karena mereka, meski amat sederhana, bahkan miskin, dapat tidur dan menyimpan barang-barangnya. Tegasnya, penggusuran yang sedang berlangsung merupakan sebuah kejahatan yang tidak pantas dilakukan di kota orang beradab. Rasanya malu menjadi warga kota seperti itu.

Namun, saya sendiri ikut bersalah, juga banyak dari antara kita. Kita tinggal aman di rumah-rumah kita dan menundukkan kepala bila pemerintahan melakukan kekejaman di sekitar kita. Kita sendiri kan tidak kena dan daerah kumuh seperti yang dibongkar itu memang bukan pemandangan menyenangkan. Tentu para politisi, para pemimpin, hanya berani berbuat sebrutal itu karena kita menutup mata, karena mereka tahu bahwa kita diam tidak keberatan.

Jadi, bukan hanya pimpinan pemerintahan DKI yang kurang berperikemanusiaan, semua warga DKI yang mapan, yang dengan diamnya memberi sinyal bahwa mereka tidak keberatan, berpartisipasi dalam kebiadaban itu.

Merusak tata tertib sosial?
Namun, apa kita harus membiarkan tiap orang yang berhasil menduduki tanah yang tidak dimilikinya tetap tinggal di situ? Bila hak milik dikalahkan oleh hak asasi manusia, bukankah kita membuka pintu bagi perebutan, pemaksaan, dan kekerasan yang akan makin merusak tata tertib sosial di masyarakat kita? Bukankah ketidakpastian hukum yang kini sudah menggerogoti segala usaha bangsa Indonesia akan kian merajalela? Bukankah hal itu akhirnya akan memukul mereka yang lemah dalam masyarakat?

Namun, tunggu dulu. Hak asasi atas perumahan tentu tidak menuntut agar tiap perebutan tanah oleh orang kecil dilegitimasikan. Tiap pihak yang melanggar hak hukum, negara wajib menindak. Orang yang membangun gubuk di atas tanah milik orang lain, entah orang kaya, gelandangan, atau negara, atas pengaduan pemilik, wajib diusir.
Lain halnya bila pemilik membiarkan pendudukan itu. Yang menentukan adalah faktor waktu. Misalnya, sekelompok orang sudah bermukim tanpa kekerasan (dari pihak mereka) selama 24 bulan tanpa usaha serius pemilik untuk mengusirnya, hak asasi mereka atas atap di atas kepala mengalahkan hak milik abstrak, karena rupanya tidak menjadi kebutuhan sehingga dibiarkan terlanggar.

Apalagi bila yang memiliki adalah negara, BUMN, atau badan hukum. Fakta bahwa Pemerintah DKI membiarkan bertahun-tahun orang-orang itu tinggal dan membangun tempat tinggal di tanah-tanah itu-peringatan lisan tidak mengubah "pembiaran" (apalagi bila mereka dipungut pembayaran)-itulah yang harus dipersalahkan. Setelah orang-orang itu dibiarkan bertahun-tahun, pengusiran melanggar hak asasi mereka sebagai manusia dan karena itu harus dihentikan. Bahwa tanah tinggal mereka milik negara atau instansi lain, tidak relevan. Orang berhak atas tempat tinggal.

Hentikan!
Maka sekali lagi harus dikatakan, penggusuran yang kini digalakkan Pemerintah DKI, menjelang permulaan masa puasa umat Islam, seakan-akan mau memakai kesempatan di mana perhatian orang tertawan oleh masalah-masalah lain. Ini tak lain sebuah kejahatan dan kebiadaban yang tak boleh dibiarkan. Hendaknya penggusuran itu langsung dihentikan, atau mereka disediakan tempat tinggal yang wajar. Tak ada excuse yang bisa membenarkan untuk melemparkan ribuan saudara dan saudari termiskin komunitas kita ke pinggir jalan. Hentikan sekarang juga!

Penulis: Franz Magnis-Suseno Rohaniwan, Guru Besar Filsafat Sosial Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta

Tidak ada komentar: