Senin, 30 Juli 2007

Cina, Tionghoa, dan Tiongkok

Benny G. Setiono, Pengamat Sosial dan Politik

Dalam pidato sambutan ketika menghadiri Perayaan Imlek Nasional yang diselenggarakan Matakin pada 24 Februari di JCC, dan ketika menghadiri perayaan 50 Tahun Kerja Sama Kebudayaan Indonesia-RRT pada 28 Februari 2007 di PRJ Kemayoran, Presiden Yu- dhoyono dengan tegas menggunakan kata Tiongkok dan Tionghoa sebagai pengganti kata Cina.

Sebelumnya Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati dalam berbagai pidato juga menggunakan kata Tiongkok dan Tionghoa. Suara Pembaruan sejak beberapa hari ini kelihatannya dengan resmi mengganti kata China dan Cina dengan Tiongkok dan Tionghoa dalam setiap penerbitannya.

Kata Cina dan Tionghoa selama ini menjadi kontroversi yang tiada habis-habisnya, terutama di kalangan masyarakat Tionghoa. Dalam acara "Padamu Negeri" yang diselenggarakan Metro TV dan diikuti cluster-cluster INTI, Senat Mahasiswa Tarumanegara dan Binus, serta Jaringan Muda Tionghoa beberapa minggu lalu, masalah itu juga dijadikan bahan polling (terbatas peserta). Hasilnya INTI menolak penggunaaan kata Cina, demikian juga pemuda Jaringan Muda Tionghoa.

Namun, yang menarik, sebagian besar mahasiswa tidak berkeberatan dan tidak merasa terganggu dengan penggunaan kata Cina sebagai pengganti kata Tionghoa. Itu menunjukkan telah terjadi dinamika dalam pandangan sosial dan politik di antara generasi masyarakat Tionghoa sesuai dengan perkembangan politik yang terjadi di Indonesia.

Yang menjadi sumber masalah sebenarnya adalah Surat Edaran Presidium Kabinet RI No SE-06/PresKab/6/1967 Tanggal 20 Juni 1967 yang berisi instruksi mengganti sebutan Republik Rakyat Tiongkok dan orang Tionghoa menjadi Republik Rakyat Cina dan orang Cina. Surat Edaran itu sebagai tindak lanjut hasil Seminar Angkatan Darat II di Seskoad, Lembang, pada 25-31 Agustus 1966.

Alasan penggantian istilah tersebut, "... untuk menghilangkan perasaan inferior pada orang kita dan di lain pihak menghapus perasaan superior pada golongan yang bersangkutan dalam negara kita, maka adalah tepat untuk melapor bahwa seminar memutuskan untuk menggunakan lagi sebagai sebutan untuk Republik Rakyat Tiongkok dan warganya Republik Rakyat Cina dan warga Negara Cina. Hal ini dapat dibenarkan dari segi historis dan sosiologi."

Jadi sebenarnya penggantian itu ditujukan kepada Pemerintah RRT dan warga negaranya dalam konteks memburuknya hubungan kedua negara pada masa itu. Namun, dalam praktiknya semua orang Tionghoa disebut Cina dan kata Cina itu mempunyai latar belakang sejarah yang berkonotasi penghinaan atau merendahkan, seperti sebutan inlander bagi orang-orang pribumi di masa kolonial, atau Niger bagi orang-orang Afro-Amerika.

Akibatnya, dengan serentak seluruh instansi dan media massa menggunakan sebutan Cina dan Republik Rakyat Cina menggantikan Tionghoa dan Republik Rakyat Tiongkok, yang kemudian mendorong lahirnya Surat Edaran Presidium Kabinet ter-sebut.

Setelah terjadi aksi kekerasan anti-Tionghoa di Jakarta pada 22 April 1967, Mochtar Lubis yang sedang berada di Bangkok menulis surat kepada harian Kompas yang menyatakan keprihatinan akan adanya tanda-tanda kecenderungan rasialisme di Indonesia, yang dapat merusak nama baik Orde Baru di luar negeri dan menggoyahkan kesetiaan WNI keturunan Tionghoa.

Ia mengatakan, penggunaan sebutan Cina yang meluas sejak seminar itu, merupakan penghinaan yang tidak pantas kepada WNI keturunan Tionghoa, dan harus segera dihapuskan. Itulah sebabnya harian Indonesia Raya yang dipimpinnya yang ditutup penguasa Orde Baru, tidak pernah menggunakan sebutan Cina dalam penerbitannya.

Kenyataannya, memang kata Cina selama masa Orde Baru berhasil membuat orang-orang Tionghoa menjadi "sangat tidak berdaya" terutama apabila ada masalah antara orang Tionghoa dan non-Tionghoa. Apa sebenarnya yang menyebabkan sebutan atau kata Cina dianggap penghinaan, terutama oleh generasi yang lebih tua?



Membaur

Merunut sejarah, komunitas Tionghoa telah berada di pesisir utara Pulau Jawa, pesisir selatan Sumatera, dan pesisir barat Kalimantan lebih dari seribu tahun lalu. Umumnya mereka datang untuk berdagang atau mencari kehidupan baru karena di daratan Tiongkok pada masa itu terjadi banyak bencana alam dan perang saudara. Mereka kebanyakan berasal dari Provinsi Hokkian/Fujian di bagian timur daratan Tiongkok. Mereka menamakan diri Tenglang atau orang dari Dinasti Tong dalam dialek Hokkian.

Mereka hidup membaur dengan mengawini perempuan setempat. Keturunannya disebut peranakan, yang tidak dapat lagi berbahasa Hokkian. Pada masa itu bahasa Mandarin yang berasal dari Tiongkok Utara (sebutan orang Barat untuk bahasa di zaman Dinasti Ching atau Manchu) atau bahasa Cia Im (sebutan peranakan Tionghoa sebelum PD II) belum dikenal di Hindia Belanda.

Sejak pertengahan abad ke-17 sampai pertengahan abad ke-19 hubungan mereka dengan daratan Tiongkok boleh dikatakan nyaris terputus. Kaisar Dinasti Ching mengeluarkan peraturan yang melarang orang Tionghoa berlayar ke selatan karena jung-jung mereka sering dirompak bajak laut.

Orang-orang Belanda menyebut mereka Chineesen dan Negeri Tiongkok disebut Chi'na, konon berasal dari kata Dinasti Chin. Penduduk setempat menyebut mereka orang Cina, dari kata Belanda Chi'na, dan orang Jawa menyebut Cino atau Cinten.

Adakah konotasi penghinaan dalam sebutan ini pada masa itu? Tidak ada sama sekali, karena orang-orang Tionghoa sendiri kadang-kadang menamakan dirinya Cina, sampai kedatangan orang Tionghoa dari daratan Tiongkok secara besar-besaran mulai pertengahan abad ke-19.

Mereka umumnya berasal dari Provinsi Kwangtung dan Hokkian, didatangkan Pemerintah Hindia Belanda selaras berkembangnya paham liberalisme dan tumbuhnya kapitalisme di Eropa untuk memenuhi kebutuhan pemilik perkebunan dan pertambangan di negara jajahan, termasuk di Hindia Belanda.

Mereka membutuhkan tenaga kerja yang murah, loyal, dan efisien. Di samping itu banyak juga imigran yang datang untuk memulai hidup baru di tanah harapan di Nan Yang (kepulauan selatan), seiring dicabutnya larangan kaisar berlayar ke selatan.

Orang-orang Tionghoa yang baru datang itu berusaha secepatnya membaur dengan mempelajari bahasa setempat. Namun, karena lafal yang cadel, dan suara yang keras, mereka menjadi bahan tertawaan. Kuncirnya jadi bahan ejekan.

Mereka disebut Cina baru atau singkeh. Karena berasal dari keluarga-keluarga miskin yang terpaksa hidup di perantauan, pola hidup mereka sangat sederhana, hidup sangat hemat, cenderung kikir.

Hal itu yang sampai saat ini masih sering dijadikan mitos atau stereotipe orang Cina pelit dan egois. Sejak saat itu, kata Cina mengandung konotasi untuk menghina atau merendahkan dan menjadi bahan ejekan.



Membingungkan

Pada awal 1900, terpengaruh gerakan pembaruan di daratan Tiongkok yang dipimpin Kang Yu Wei dan Liang Chi Chao, di Jakarta beberapa tokoh Tionghoa dipimpin Phoa Keng Hek mendirikan perkumpulan Tionghoa Hwe Koan.

Tujuannya, antara lain mengembangkan adat-istiadat dan tradisi Tionghoa sesuai ajaran-ajaran Khonghucu dan mengembangkan ilmu pengetahuan, terutama di bidang tulis-menulis dan bahasa.

Penggunaan kata Tionghoa juga terpengaruh gerakan Dr Sun Yat Sen untuk meruntuhkan Dinasti Ching dan menggantinya dengan Chung Hwa Ming Kuo atau Republik Tiongkok. Sejak saat itu mereka menyebut dirinya orang Tionghoa, yaitu dialek Hokkian dari kata bahasa Mandarin Chung Hwa, dan menolak disebut Cina.

Pada 1928, tokoh pergerakan Indonesia yang merasa "berutang budi" kepada masyarakat Tionghoa karena koran-korannya banyak memuat tulisan pemimpin pergerakan tersebut, sepakat mengganti sebutan Cina dengan Tionghoa. Koran Sin Po adalah koran pertama yang mengganti sebutan Hindia Belanda dengan Indonesia pada setiap penerbitannya, dan juga koran pertama yang memuat teks lagu Indonesia Raya ciptaan WR Soepratman.

Itu sebabnya, dalam teks penjelasan UUD 1945 kata yang digunakan adalah Tionghoa, bukan Cina. Semua itu terus berlangsung sampai jatuhnya Pemerintahan Presiden Soekarno, digantikan rezim Orde Baru.

Ketika pada awal 1990-an terjadi perundingan membuka kembali hubungan diplomatik antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), terjadi hambatan soal sebutan. Pemerintah RI ingin mempertahankan sebutan Republik Rakyat Cina, sebaliknya pemerintah RRT ingin menyebut dirinya Republik Rakyat Tiongkok.

Setelah terjadi perundingan cukup alot, dicapai kesepakatan menggunakan kata China, sehingga sebutannya menjadi Republik Rakyat China, dengan singkatan tetap RRC. Sebutan itu sungguh membingungkan, sehingga masyarakat Indonesia tetap saja menyebutnya Cina, bukan China dengan lafal Inggris.

Kini setelah berakhirnya Perang Dingin dan berlangsungnya reformasi serta jatuhnya pemerintahan Orde Baru, terjadi banyak perubahan dalam kehidupan politik, baik internasional maupun dalam negeri. Hubungan Indonesia dengan Tiongkok memasuki tahapan baru dan mencapai puncaknya ketika Presiden Yudhoyono bersama Presiden Hu Chin Dao pada 2005 menandatangani Perjanjian Kemitraan antara RI dan RRT.

Hampir seluruh orang Tionghoa di Indonesia menjadi warga negara Indonesia. Undang- undang Kewarganegaraan No 12/2006 dengan tegas menyatakan hanya ada WNI dan WNA, tidak ada lagi penggolongan pribumi dan nonpribumi.

Sudah selayaknya pemerintah secara resmi mencabut Surat Edaran Presidium Kabinet RI No SE-06/PresKab/6/1967, yang ketika dikeluarkan bertujuan merendahkan Pemerintah RRT dan warga negaranya, namun yang merasakan akibatnya seluruh orang Tionghoa di In- donesia.

Demi persatuan seluruh bangsa Indonesia, semoga kontroversi sebutan Cina-Tionghoa bisa segera diakhiri dan seluruh komponen bangsa Indonesia bisa mengonsentrasikan diri dalam pembangunan bangsa dan negara.

2 komentar:

Cauchy Murtopo mengatakan...

Saya juga sangat setuju dengan diubahnya kata "Cina' menjadi "Tiongkok". Namun, sampai saat ini masih banyak media baik cetak maupun elektronik yang belum menggunakan kata "Tiongkok". Beberapa TV swasta nasional juga masih banyak yang menggunakan kata "Cina". Malah ada TV swasta yang dari dulu menggunakan kata "China", beserta cara mengejanya dengan Bahasa Inggris, padahal media sangat berperan besar dalam menyampaikan berita yang benar, termasuk dalam berbahasa, sehingga generasi mendatang tidak dibuat bingung dalam penggunaan bahasa mana yang benar.

Cauchy Murtopo
www.cauchymurtopo.wordpress.com

Cauchy Murtopo mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.