Oleh : Azyumardi Azra
Subjek tentang Islam dan negara --khususnya negara 'sekuler'-- tidak ragu lagi merupakan salah satu tema diskusi dan perdebatan yang hangat tidak hanya di antara para pemikir dan cendekiawan Muslim, tetapi juga bahkan di kalangan parpol dan politisi Muslim.
Sekadar mengingatkan, pada dasarnya ada dua aliran mengenai subjek ini; mereka yang menolak negara Islam atau integrasi resmi Islam ke dalam negara, dan mereka yang menuntut amalgamasi Islam ke dalam negara dan kekuasaan politik. Bagi kelompok kedua, pola seperti itu memungkinkan penerapan syariah dengan kekuatan negara. Menurut argumen mereka, tanpa kekuatan negara, maka penerapan syariah tidak akan efektif.
Bagi mereka, penerapan syariah merupakan alternatif satu-satunya bagi pemecahan berbagai masalah yang dihadapi negara-negara Muslim, termasuk Indonesia. Karena itu, kelompok ini berusaha melakukan berbagai upaya agar negara dapat secara resmi mengadopsi syariah.
Di tengah diskusi itu, sangat menarik membaca buku terbaru guru besar Emory University, Atlanta, Abdullahi Ahmed an-Naim, Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah (Bandung: Mizan, 2007). Penerbitan edisi bahasa Indonesia simultan dengan edisi Inggris berbarengan diskusi dengan pengarangnya yang diselenggarakan Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Jakarta.
Tujuan utama buku ini, menurut an-Naim, adalah mempromosikan masa depan syariah sebagai sistem normatif Islam di kalangan umat Muslimin, tetapi bukan melalui penerapan prinsip secara paksa oleh kekuatan negara. Hal ini karena dari sifat dan tujuannya, syariah hanya bisa dijalankan secara sukarela oleh para penganutnya. Sebaliknya, prinsip syariah kehilangan otoritas dan nilai agamanya apabila dipaksakan negara. Karena itu, pemisahan Islam dan negara secara kelembagaan sangat perlu agar syariah bisa berperan positif dan mencerahkan bagi umat Islam. Pendapat ini disebut an-Naim sebagai 'netralitas negara terhadap agama'.
Lebih jauh an-Naim berargumen, syariah memiliki masa depan yang cerah dalam kehidupan publik masyarakat Islam, karena dapat berperan dalam menyiapkan anak-anak untuk hidup beragama, bermasyarakat; membina lembaga dan hubungan sosial. Syariah akan terus memainkan peran penting dalam membentuk dan mengembangkan norma dan nilai etika yang direfleksikan dalam perundangan dan kebijakan publik melalui politik demokratis.
Tapi penting dicatat, dengan tarikan napas yang sama, an-Naim berpendapat, prinsip dan aturan syariah tidak dapat diberlakukan dan diterapkan secara formal oleh negara sebagai hukum dan kebijakan publik hanya karena alasan bahwa prinsip dan aturan syariah itu merupakan bagian daripada syariah. Apabila pemberlakuan syariah seperti itu diusahakan, hal itu merupakan kehendak politik negara dan bukan hukum Islam. Menurut an-Naim, adanya klaim elite penguasa yang kadang-kadang melegitimasi kekuasaan negara atas nama syariah tidak lantas berarti bahwa klaim itu benar atau mungkin dilaksanakan.
Namun, menurut an-Naim, ini tidak berarti bahwa Islam -yang merupakan induk syariah-- harus dikeluarkan dari kebijakan publik umumnya. Sebaliknya, negara tidak perlu berusaha menerapkan syariah secara formal agar umat Islam benar-benar dapat menjalankan keyakinan Islamnya secara sungguh-sungguh, sebagai bagian daripada kewajiban beragama, bukan karena paksaan negara.
Alasan an-Naim ini berangkat dari asumsi, umat Islam di manapun --baik sebagai mayoritas maupun minoritas-- dituntut menjalankan syariah Islam sebagai bagian daripada kewajiban keagamaan. Tuntutan ini dapat diwujudkan sebaik-baiknya manakala negara bersikap netral terhadap semua doktrin keagamaan; dan tidak berusaha menerapkan prinsip-prinsip syariah sebagai kebijakan atau perundangan negara.
Namun, ini tidak berarti negara tidak dapat atau harus sepenuhnya bersikap netral, karena ia merupakan lembaga politik yang sudah tentu dipengaruhi kepentingan warga negara. Perundangan dan kebijakan publik memang seharusnya mencerminkan keyakinan dan nilai-nilai warga negara, termasuk nilai-nilai agama. Tapi penting digarisbawahi, tulis an-Naim, bahwa hal itu tidak dilakukan atas nama agama tertentu.
Sebab, jika negara melakukan hal itu, maka dapat membahayakan perdamaian, stabilitas, dan perkembangan yang sehat seluruh masyarakat. Karena, mereka yang terabaikan haknya memperoleh pelayanan dan perlindungan negara serta berpartisipasi aktif dalam politik dan kehidupan publik akan menarik diri; bahkan terdorong melakukan tindakan kekerasan karena merasa tidak ada cara-cara lain untuk menyelesaikan masalah.
Dalam konteks Indonesia yang pada dasarnya 'netral' terhadap semua agama, pemikiran an-Naim sangat relevan dan kontekstual. Karena itu, tidak ragu lagi, pemikiran an-Naim merupakan kontribusi penting bagi negara-bangsa Indonesia. Bagi kelompok-kelompok di Tanah Air yang sampai hari ini memandang syariah sebagai satu-satunya solusi; dan memperlakukan syariah sebagai 'obat cespleng' untuk menyelesaikan masalah, buku an-Naim ini patut dipertimbangkan dengan pikiran yang tenang dan jernih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar