Jumat, 20 Juli 2007

”Geger” PKB Jatim Jelang Pilgub

Oleh: MUH KHOLID AS

Tak ada angin, tak ada petir, tiba-tiba turun hujan lebat. Idiom ini tampaknya cukup relevan untuk menggambarkan situasi perpolitikan dalam tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jatim akhir-akhir ini. Tanpa diawali dengan insiden yang "heboh", Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKB membekukan Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PKB Jatim. Untuk mempersiapkan musyawarah wilayah luar biasa, DPP PKB telah menunjuk Hasyim Karim sebagai ketua tim karteker, dan Samsul Hadi sebagai sekretarisnya.

Pembekuan DPW PKB Jatim ini diputuskan dalam rapat pleno gabungan antara dewan syura dan dewan tanfidz DPP PKB pada 11 Juli 2007 malam. Keputusan itu secara otomatis membuat Imam Nahrawi kehilangan dua jabatan dalam jangka kurang dari sebulan. Selain Ketua Umum DPW PKB Jatim sebagai konsekuensi logis dari pembekuan, pada 13 Juni lalu Nahrawi juga baru dicopot dari Wakil Sekretaris Jendral (Sekjen) DPP PKB karena rangkap jabatan sebagai ketua DPW.

Bagi banyak kalangan, terlebih yang berada di luar PKB, pembekuan PKB Jatim menjadi peristiwa politik yang cukup mengejutkan menjelang pemilihan gubernur (pilgub) Jatim 2008. Padahal, meminjam analisis pengamat politik M. Asfar, gaya kepemimpinan Nahrawi sebenarnya cocok untuk DPW PKB Jatim karena sosoknya yang low profile, tawadlu’, mobilitas tinggi, dan mampu menjembatani berbagai kepentingan. Hanya, usianya yang "baru" menginjak 34 tahun per 08 Juli kemarin adalah kelemahannya yang mendasar, karena yang dipimpin adalah para kiai dan politisi senior.

Pembekuan itu sudah tentu menjadi semacam anomali bagi PKB Jatim dalam upaya memenangkan pilgub 2008. Padahal, akhir-akhir ini PKB sedang giat-giatnya mempersiapkan calon gubernur (cagub) untuk bertarung memperebutkan jabatan nomor satu Jatim. Meski melangkah dengan start yang agak "terlambat", PKB baru saja berhasil mengerucutkan empat nama untuk menggantikan Imam Utomo, yaitu Achmady, Djoko Subroto, Haris Sudarno, dan Hermawan Sulistyo.

Pada sisi lain, PKB Jatim saat ini juga sedang giat-giatnya berjuang untuk melakukan pergantian antar waktu (PAW) terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kubu PKB Choirul Anam di berbagai kota/kabupaten, tidak terkecuali DPRD Provinsi. Begitu semangatnya untuk mempercepat PAW, perjuangan ini bahkan harus menempuh jalan yang "berdarah-darah". Setidaknya sudah ada dua insiden kontak fisik antara PKB Nahrawi versus PKB Choirul Anam, yaitu bentrokan saat memperebutkan gedung Astranawa 23 Maret 2007, dan pemukulan terhadap Kiai Lutfi Abdul Hadi 12 Juni 2007.

Geger di partai yang berlambang identik dengan organisasi kemasyarakatan Nahdlatul Ulama (NU) ini tentu tidak cukup kondusif bagi pemenangan PKB dalam pilgub. Sebab, pembekuan ini berakibat pada image PKB kurang baik di mata masyarakat, karena saat ini juga sedang menghadapi konflik dengan kubu Choirul Anam. Pertanyaan sederhananya, bagaimana PKB mampu menyelesaikan konflik di luar partai kalau di internalnya saja terus berkonflik? Bagaimana PKB mampu mengonsolidasikan seluruh komponennya untuk memenangkan pilgub jika terus dan masih berkutat pada pembentukan pengurus?

Kisruh PKB Jatim menjelang pilgub 2008 ini seakan menjadi daur ulang dari insiden "serupa" lima tahun silam, yang kebetulan sama-sama menjelang pilgub. Saat itu, Gus Dur selaku Ketua Umum Dewan Syura DPP PKB secara mengejutkan memveto keputusan politik PKB Jatim untuk mengajukan nama cagub dan wakilnya. Ketika Tim Sepuluh Fraksi Kebangkitan Bangsa DPRD Jatim mengajukan pasangan Imam Utomo sebagai cagub dan Syaifullah Yusuf sebagai wakilnya, paket ini ditolak Gus Dur dengan berbagai alasan.

Meski kelahiran pasangan Imam Utomo-Syaifullah Yusuf ini sudah melalui proses kelembagaan di PKB dan NU Jatim, tetapi Gus Dur tetap saja tidak merekomendasinya. Penolakan ini berakibat pada keharusan PKB dan NU untuk melakukan proses penjaringan ulang dan "berusaha" untuk memenuhi "keinginan" Gus Dur. Proses ulang ini kemudian menghasilkan nama-nama seperti Syaifullah Yusuf, Ali Maschan Moesa, Haris Sudarno, dan Abdul Kahfi.

Dari keempat calon itu, banyak kalangan yang memprediksi Syaifullah Yusuf sebagai cagub PKB untuk bersaing dengan cagub incumbent Imam Utomo dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Tetapi yang mengejutkan, Gus Dur ternyata menolak nama Syaifullah Yusuf, yang saat itu notabenenya Sekjen DPP PKB dan Ketua Umum GP Ansor. Penolakan Gus Dur yang kedua inilah yang kemudian membuat F-KB dan para kiai NU sendiri menjadi bingung, sehingga berujung pada ketidaksolidan FKB dengan mitra koalisinya dalam pilgub.

Kejutan ini tidak hanya berhenti di situ saja karena Gus Dur membuat kejutan baru yang tidak kalah hebohnya, yaitu memilih nama Abdul Kahfi sebagai cagub dari PKB. Meski mantan Wakil Gubernur Jakarta ini bukan kader PKB, bahkan juga bukan NU (alasan penolakan Gus Dur terhadap Imam Utomo), Kahfi akhirnya lolos menjadi cagub dari PKB berpasangan dengan Ridwan Hisjam dari Partai Golkar. Penunjukan ini tertuang dalam surat keputusan 0698/DPP-02/III/A.1/VI/2003, yang berisi tentang penetapan Kahfi sebagai satu-satunya cagub dari PKB.

Kisruh penetapan cagub-cawagub inilah yang secara tidak langsung menjadi faktor kekalahan FKB yang berkoalisi dengan Fraksi Partai Golkar (FPG) dalam pilgub, 17 Juli 2003. Pasangan Abdul Kahfi-Ridwan Hisjam hanya mampu memperoleh 34 suara, meski koalisi keduanya di atas kertas mempunyai 44 suara, 33 dari FKB dan 11 dari FPG. Sebaliknya, duet Imam Utomo- Soenarjo terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur setelah memperoleh 63 suara dari 100 suara (1 abstain dan 2 tidak sah), meski fraksi PDIP DPRD Jatim hanya memiliki 31 kursi.

Kemenangan duet Imam Utomo-Soenarjo ini secara otomatis menghancurkan koalisi FKB-FPG yang sebelum pemilihan terlihat benar-benar all out untuk memenangkankan pasangan Kahfi-Ridwan. Bahkan untuk memperkuat dukungannya, PKB-Golkar tidak hanya melakukan lobi-lobi politik, tetapi juga menghadirkan tokoh spiritual ternama K.H. Muslim Rofi’i Imampuro (Mbah Lim) dari Magelang untuk mendampingi dan mengawal koalisinya sejak dua hari sebelum pemilihan.

Kekalahan PKB dalam pilgub 2003 itu seharusnya menjadi pelajaran bagi PKB agar tidak jatuh kedua kalinya, dengan lebih menyolidkan diri menyambut perhelatan politik regional tersebut. Sangat disayangkan jika partai pemenang pemilihan umum legislatif Jatim 2004 ini tidak "siap" menyambut pilgub, di saat para pesaingnya sudah mulai menebar pesona dan "kampanye" terselubung di seantero Jatim. Lebih disayangkan lagi, karena pilgub 2008 ini adalah kesempatan emas bagi PKB menjadi "tuan" di rumah sendiri untuk pertama kalinya. (muhkholidas@yahoo.com)
MUH KHOLID AS
Peneliti di Institute for Religion and Social Studies (IRSS) Surabaya

Tidak ada komentar: