Selasa, 31 Juli 2007

Terorisme dan Pemilu Australia

Akh Muzakki
Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya, Kandidat PhD di University of Queensland Australia

Alkisah, seorang dokter Muslim berkebangsaan India yang bekerja di Gold Cost Hospital Queensland, Australia, ditangkap oleh Polisi Federal Australia awal Juli 2007. Dokter pria itu bernama Mohamed Haneef. Penangkapan itu didasarkan pada tuduhan sebagai penyokong aksi dan jaringan terorisme. Dokter Haneef ditangkap di rumahnya tak lama setelah terjadinya bom di London dan Glasgow akhir Juni lalu.

Dalam pemeriksaan terhadap kasus bom itu ditemukan bahwa Dr Sabeel Ahmed, salah seorang yang diindikasikan terlibat dalam peledakan bom tersebut, memiliki handphone dengan SIM card atas nama Haneef. Dalam pelacakan selanjutnya diperoleh data bahwa Haneef telah setahun lebih meninggalkan London dan kini bekerja sebagai dokter salah satu rumah sakit terkenal di Queensland Australia.

Tuduhan yang dilontarkan adalah bahwa Dokter Haneef memiliki kaitan dengan aksi terorisme di London. Meski kini dia berada di Australia, SIM card dari handphone milik individu yang diindikasikan sebagai pelaku peledakan terdaftar atas nama dia dengan sejumlah identitas pribadinya. Dia pun akhirnya dikenai pasal antiterorisme dengan asas ‘kesalahan atas dasar adanya keterkaitan’ (guilt by association).

Rezim penguasa Australia pun seakan menemukan amunisi baru dari kasus Haneef untuk meningkatkan popularitasnya yang terancam oleh kubu oposisi. Karena adanya asas guilt by association dimaksud, penguasa Australia seakan tidak mempedulikan fakta hukum yang disampaikan oleh Haneef dan tim pengacaranya. Menurut versi Haneef, dia memberikan SIM card itu kepada sepupunya di London saat meninggalkan Inggris karena di dalamnya masih terdapat sisa pulsa yang cukup banyak. Hal itu dilakukan oleh Haneef tanpa pretensi apa-apa, apalagi hal-hal yang terkait dengan terorisme. Dalam pernyataan di The Australian (19/07/2007), dia bahkan menentang keras aksi terorisme dalam bentuk apapun. Alih-alih, dia justru meyakini dan mempromosikan Islam yang moderat dan damai.

Publik Australia pun terbelah dalam kasus Haneef ini. Sebagian semakin tersadar bahwa terorisme kini tidak saja dekat kepada mereka, tetapi sudah berada di tengah-tengah mereka. Sebagian yang lain menuduh pemerintah Australia yang berasal dari kubu Partai Liberal telah memanfaatkan kasus Haneef sebagai pendulang keuntungan politik (political expediency) bagi kelanggengan kekuasaannya yang terancam oleh kubu oposisi pimpinan Partai Buruh. Terlepas dari perbedaan respons publik, pertanyaan yang penting untuk diajukan adalah mengapa kasus terorisme menjadi bola politik panas bagi perengkuhan kekuasaan menjelang pemilu di akhir 2007 ini?

Minoritas IslamUntuk kasus Australia, isu terorisme kini menjadi komoditas politik yang bernilai sangat tinggi dibandingkan isu-isu lainnya. Ada dua hal yang menjadi penyebabnya. Pertama, mayoritas penduduk Australia bukan pemeluk Islam. Muslim di Negeri Kanguru ini hanya sekitar satu persen (Abdullah Saeed, 2003). Sedangkan politik kekuasaan adalah persoalan pencitraan. Dan, proses demokrasi yang ada di dalamnya sangat menyadari pentingnya mempertimbangkan suara mayoritas. Karena itu, kebijakan yang menyangkut kelompok minoritas cenderung tidak sesensintif jika menyinggung kepentingan kelompok mayoritas.

Kedua, Australia dikelilingi oleh beberapa negara yang berpenduduk mayoritas Muslim. Sebut saja Indonesia, Afghanistan, dan Pakistan. Oleh karena itu, aksi kekerasan atau terorisme yang pelakunya diidentifikasi sebagai Muslim memberikan konteks yang kuat bahwa Australia sedang berada di tengah ancaman wilayah yang rentan terhadap aksi terorisme. Pengalaman Bom Bali 1, 2, dan Kuningan Jakarta semakin mempertajam persepsi seperti ini di publik Australia.

Karena itu, terorisme bagi publik Australia seakan menjadi ancaman riil bagi kepentingan mereka. Lantaran itu pula, penanganan terhadapnya cenderung menjadi komoditas politik yang berharga mahal. Akibat sensitifnya terorisme bagi kepentingan publik lokal Australia, apapun cenderung akan dilakukan oleh rezim yang sedang berkuasa meskipun kritik dan kecaman tetap dihadirkan oleh berbagai pihak.

Dalam kasus Haneef, misalnya, berbagai kelompok seperti Amnesty International dan sejumlah aktivis hak asasi manusia lainnya menganggap rezim penguasa Australia bersama polisi federalnya telah melanggar hak asasi manusia (HAM). Selain karena perlakuannya yang cenderung kasar, menyiksa dan melanggar HAM, Haneef selaku tertuduh dikenai undang-undang antiterorisme secara membabi buta.

Dalam kaitan ini, perspektif pakar legislasi antiterorisme dari University of Wolonggong Australia, Dr Nadirsyah Hosen, sangat menarik dan penting untuk diperhatikan oleh pemerintah manapun yang mempunyai masalah dengan terorisme, termasuk Australia. Menurut Nadirsyah yang merupakan putera ulama terkemuka Indonesia, Prof Ibrahim Hosen, asas ‘kesalahan atas dasar adanya keterlibatan’ jauh lebih tepat, baik secara teoretis maupun praktis, dibanding guilt by association. Di samping cenderung tidak melanggar HAM, asas dimaksud bisa memberikan kekuatan hukum yang tinggi. Sehingga, penanganan terhadap berbagai bentuk aksi terorisme semakin mudah mengalami pembuktian di muka hukum.

Di tengah terorismeSalah satu kritik keras berbau kecaman yang dilontarkan oleh Partai Buruh selaku kubu oposisi terhadap rezim pimpinan Partai Liberal adalah keterlibatan pasukan militer Australia dalam perang Irak. Argumentasi yang mendasari kecaman itu sangat simpel dan rasional. Yakni, apa keuntungan bagi Australia dengan terlibat bersama Amerika dan Inggris dalam perang Irak?Dalam pandangan kubu Partai Buruh, kalau alasannya adalah ancaman terorisme, penguasa Australia pimpinan John Howard dinilai salah alamat oleh Kevin Rudd, pemimpin Partai Buruh. Rudd menegaskan, kalau memang alasannya adalah ancaman terorisme, mengapa Australia tidak memfokuskan saja perhatiannya pada ancaman terorisme dari wilayah Afghanistan. Mengapa begitu? Karena Usamah bin Ladin yang mengendalikan organisasi Alqaidah disinyalir kuat masih bersembunyi di wilayah itu. Dan, wilayah Afghanistan justru sangat dekat dengan Australia dibanding dengan Irak.

Kritik dan kecaman ini mengangkat popularitas kubu Partai Buruh. Rasionalitas politik publik semakin disadarkan oleh Partai Buruh bahwa penguasa pimpinan Partai Liberal telah melakukan kesalahan besar bagi kepentingan lokal publik Australia serta kepentingan kemanusiaan umum. Sebagai hasilnya, simpati publik pun cenderung semakin diberikan kepada kubu Partai Buruh sebagai pemimpin kubu oposisi.

Partai Liberal pun sadar atas popularitasnya yang terkalahkan oleh Partai Buruh. Dan, penangan atas tuduhan kasus terorisme ala Haneef dijadikan oleh rezim penguasa sebagai jawaban atas kecaman kubu oposisi, serta sekaligus modal perengkuhan simpati publik demi terkereknya popularitas. Akankah kasus Haneef ini akan menjadi penyelamat kubu penguasa pimpinan Partai Liberal dari ancaman kubu oposisi pimpinan Partai Buruh yang popularitasnya sedang tinggi?

Ikhtisar- Isu terorisme telah menjadi alat politik yang baik bagi Partai Buruh Australia untuk mendongkrak citranya.- Lewat isu tersebut, Partai Buruh secara meyakinkan menunjukkan bahwa kebijakan Partai Liberal yang sedang berkuasa itu keliru.- Isu terorisme menjadi efektif karena kebanyakan publik Australia menganggap bahwa terorisme merupakan ancaman riil bagi mereka.

Tidak ada komentar: