Senin, 30 Juli 2007

Meneladani Inklusivisme Cheng Ho

Muh Kholid AS - Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah Tinggal
di Surabaya

Pada pertengahan Maret 2007 ini, replika kapal Cheng Ho edisi kedua
akan dibangun di Kali Semarang. Selain sebagai penanda kedatangan
Cheng Ho di Semarang, pembangunan replika di depan Kelenteng Tay Kak
Sie ini juga dimaksudkan sebagai daya tarik wisata. Berbeda dengan
replika serupa sebelumnya yang terbuat dari kayu dan sudah dirobohkan,
replika terbaru ini akan dicor dan dikelilingi dengan rangka besi
sehingga konstruksinya bersifat permanen.

Rencana ini sudah tentu harus diapresiasi oleh seluruh warga karena
nilai historis kedatangan Cheng Ho memang cukup bermakna. Namun, lebih
dari pada itu, replika kapal ini sepantasnya juga diikuti dengan
meneladani nilai-nilai luhur yang telah dipraktikkan dan diwariskan
Cheng Ho. Tokoh yang juga dikenal dengan Zheng He, San Bo, dan Sam Po
Kong ini adalah sosok Muslim yang memiliki wawasan dan pemikiran
terbuka terhadap perbedaan. Kendati dia pemeluk Islam, tetapi dia
tetap bersikap toleran terhadap pemeluk agama lain, memberikan suri
teladan, serta berakhlak mulia kepada siapa saja.

Sikap hidup Cheng Ho ini tentu kontekstual diimplementasikan dalam
kehidupan kontemporer, mengingat akhir-akhir ini tidak sedikit
"masalah" sosial yang muncul justru dikarenakan agama sebagai pemicu
maupun sumbernya. Nilai-nilai keadaban agama yang sudah menyatu dengan
kearifan lokalitas keindonesiaan mulai mengalami krisis, dengan
semakin hilangnya komitmen kebersamaan dalam keragaman.

Masyarakat Indonesia yang sebelumnya begitu identik dengan toleransi
kini secara perlahan mulai terkikis dalam kehidupan praksis. Ada di
antara mereka yang tidak segan-segan menganggap diri dan kelompoknya
sebagai sumber kebenaran dan keselamatan, dengan menganggap kelompok
lain yang tidak sepaham sebagai sesat.

Dengan mudah dan cepat, mereka berani memasukkan seseorang/kelompok ke
dalam kategori sesat versus benar, neraka dan surga sesuai dengan
versinya sendiri. Pernyataan sesat-menyesatkan maupun kafir-
mengafirkan belakangan ini bukanlah "barang" yang sulit ditemukan di
negeri yang mayoritas beragama Islam.

Ketika kondisi ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang represif
tampil sebagai basis argumentasi yang dinukil dari teks- teks suci
oleh pemimpin otoritatif, maka banyak manusia yang kehilangan
pemahaman atas ajaran agamanya yang paling mendasar. Ketakutan,
suasana tidak aman, dan kehendak untuk melindungi status quo dapat
mendorong perilaku tribalisme sebagai jalan "pintas" yang
mengatasnamakan agama. Manusia yang "tulus" beragama terlibat dalam
perilaku dehumanisasi, permusuhan, kekerasan, dan menghancurkan,
sebagaimana yang telah diperlihatkan oleh sejarah.

Dalam kualifikasi Charless Kimball (2003), berbagai anomali ini
menyebabkan agama dalam ranah sosial menjadi jahat, busuk, dan korup.
Kekorupan agama ini setidaknya bisa dilihat dari salah satu lima ciri
utamanya. Pertama, agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai yang
mutlak dengan memberlakukan double standard. Kedua, ketaatan buta
kepada pemimpin/pemegang otoritas agama. Ketiga, gandrung merindukan
zaman ideal masa silam dan bertekad merealisasikannya dalam kekinian.
Keempat, membenarkan dan membiarkan terjadinya "tujuan yang
membenarkan segala cara". Kelima, untuk mempertahankan kebenaran agama
dan mengejar tujuannya, agama tidak segan-segan memekikkan perang
suci.

Guna menghindari kelanjutan kekorupan agama, agamawan harus
mengembalikan pesan mendasar agamanya sebagai inspirasi perdamaian.
Agama harus dijadikan sebagai kebijaksanaan dan daya yang bisa
mengusahakan kedamaian, bukan perang, kekerasan, permusuhan, serta
atribut dehumanisme lainnya.

Di sinilah pentingnya masyarakat Indonesia menapak tilas keberagamaan
Cheng Ho dalam sebuah masyarakat yang plural. Cheng Ho secara genuine
memperlakukan perbedaan etnis, agama, maupun peradaban dalam
kesederajatan, setiap perbedaan justru menjadi pendorong lahirnya
sikap saling menghormati dan mengapresiasi. Meski teori sosiologis
menyatakan keragaman sebagai unsur terpenting pemicu konflik, tapi
Cheng Ho mampu menjaga dan membina keragaman ini dalam suasana
kerukunan dan kedamaian.

Bukan hanya tokoh Muslim saja yang mengakui jasa besar Cheng Ho ini,
namun tidak sedikit juga tokoh berbagai agama lain yang tidak
mengingkarinya. Hal ini secara mudah bisa dilihat dari kesepakatan 200-
an tokoh agama yang duduk bersama dalam East Asia Religions Leaders
Forum (EARLF). Dalam peringatan 600 tahun pelayaran Cheng Ho, forum
ini mengeluarkan seruan agar umat beragama menciptakan perdamaian dan
toleransi seperti yang telah diteladankan tokoh dari Tiongkok ini.

Dalam konteks inilah, agama harus dijadikan sebagai kebijaksanaan dan
daya yang mengusahakan kedamaian, bukan perang, kekerasan, permusuhan,
teror, serta atribut dehumanisme lainnya. Agamawan harus menggali
sumber-sumber dan riwayat hidup agamanya yang otentik, dengan misi
awalnya yang universal (spiritual), segmental (multikultural), serta
mampu melintasi perbedaan. Praktik keberagamaan harus dikembalikan
dalam wilayah yang seimbang (tawassut) dan tengah-tengah (i'tidal),
bukan kekerasan (tathorruf) dan teror (irhab).

Agamawan dituntut kearifannya untuk mengkritisi doktrin-doktrin
keagamaannya sebagai upaya rekonstruksi dan reproduksi (Aliya Harb:
1999). Keniscayaan kritik adalah konsekuensi logis dari makna
keberagamaan itu sendiri, yaitu proses yang berjalan secara dinamis
dalam dialektika sejarah dan kehidupan bermasyarakat. Ia bukanlah
sesuatu yang serta-merta ready made turun dari langit, tetapi respons,
pemikiran, dan penafsiran manusia atas wahyu Tuhan. Semoga pembangunan
replika kapal Cheng Ho menjadi inspirasi bagi tegaknya keberagamaan
yang toleran plus humanis.

Tidak ada komentar: