Senin, 30 Juli 2007

Belajar Toleransi dari Kelenteng

Oleh: Muh Kholid As
Penulis adalah Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) Surabaya, Alumnus Pesantren AlMukmin Ngruki Surakarta.

Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) tentang "Toleransi Sosial Masyarakat Indonesia" yang dilaksanakan di 33 provinsi dengan 1.200 responden, menunjukkan tingkat toleransi antarumat beragama di negeri ini cukup rendah. Sebanyak 42,3% responden menyatakan keberatan jika penganut agama lain mendirikan tempat ibadah di lingkungannya. Hanya 38,1% saja yang tidak merasa keberatan. (detik.com, 7 Agustus 2006)

Hasil survei ini menunjukkan bahwa penghargaan masyarakat terhadap keyakinan orang lain yang berbeda dengan mereka masih tergolong rendah. Berbagai konflik bernuansa agama di negeri ini, mengindikasikan bahwa toleransi memang menjadi entitas yang “langka”. Belum lagi ditambah dengan konflik internal agama. Semuanya memperlihatkan bahwa kehidupan beragama di negeri ini belum berkembang secara “dewasa”.

Melihat ketidakharmonisan yang dilandasi alasan agama itu, rasanya tak berlebihan jika masyarakat perlu menengok ke Kelenteng untuk belajar soal toleransi terhadap keyakinan “yang berbeda”. Sebab tempat ini mengajarkan tentang keterbukaan, toleransi, serta menjadi arena percontohan praktik demokrasi yang cukup elegan dalam menjalankan keyakinan agama masing-masing. Di tempat inilah bisa disaksikan betapa harmoninya hubungan antara mayoritas dengan minoritas, dengan tidak adanya ruang bagi tegaknya tirani mayoritas.

Berbeda dengan tempat ibadah agama-agama misionaris, Kelenteng punya karakteristik tersendiri yang unik. Dalam sejarahnya, Kelenteng merupakan tempat ibadah bersama warga Tiongkok yang beragama Tao, Kong Hu Cu, dan Buddha. Di Indonesia, tempat ini juga populer dengan sebutan Kelenteng Tri Dharma, untuk menggambarkan adanya “kolaborasi” tiga agama tersebut. Dikarenakan pengaruh dari ketiga ajaran itu, antara Kelenteng yang satu dengan lainnya memiliki ”patung pemujaan” yang berbeda-beda pula.

Tapi jangan dibayangkan bahwa mereka yang beribadah di dalam Kelenteng adalah penyembah patung-patung. Menurut Sidharta Adhimulya, tokoh agama Tao Indonesia dari Surabaya, patung-patung tersebut tidak lain hanyalah simbolisasi manusia untuk mencapai Tuhan yang memang tidak terdefinisikan, sebagaimana salat dalam tradisi Islam yang menghadap ke Kakbah (kiblat) tidak dimaksudkan untuk menyembah bangunan yang terletak di kota Mekah itu.

Dengan kata lain, Kelenteng sebenarnya juga tempat ibadah agama yang menganut monoteisme sebagaimana agama-agama lain yang memuduhnya agama Tri Dharma sebagai penganut politeisme. Hal ini secara mudah dapat dilihat dari ritual para pengunjung yang dilakukan saat masuk Kelenteng. Sebelum melakukan pemujaan terhadap Dewa/Dewi, mereka selalu mengawalinya dengan menghadap ke langit. Maksudnya adalah memohon lebih dahulu kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang memang seringkali diyakini bersemayam di langit ('Arsy).

Dengan demikian, keberadaan berbagai patung yang ada di dalam Kelenteng tidaklah dimaksudkan untuk disembah sebagai Tuhan, karena kedudukan mereka hanyalah sebagai pelambangan Dewa/Dewi yang diutus oleh-Nya. Implikasi dari posisi ini adalah wujudnya berbagai patung di dalam Kelenteng yang begitu variatif; tergantung orientasi leluhur yang mendirikannya. Namun biasanya, patung yang diabadikan adalah Dewa/Dewi yang berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat sekitar, yang tentunya sangat berkaitan dengan soal keberuntungan hidup.

Hal inilah yang membuat bangunan Kelenteng didominasi oleh warna merah sebagai lambang keberuntungan, dan kuning sebagai simbol kemuliaan. Kedua hal inilah yang memang banyak dicari dan diidam-idamkan oleh manusia dalam kehidupan di dunia. Tokoh-tokoh sejarah nyata yang ikut diabadikan sebagai patung Dewa/Dewi di Kelenteng, tak lain merupakan salah satu cara orang Tionghoa dalam menghormati leluhurnya. Mereka melihat tokohnya tersebut, apa pun agama, ras, atau sukunya, tetaplah leluhur yang layak dihormati. Bahkan, ada semacam keyakinan bahwa tokoh besar yang telah meninggal dunia akan mengalami reinkarnasi seorang Dewa/Dewi, akibat dari amalannya selama menjalani kehidupan dunia.

Makanya, tak mengherankan jika di dalam beberapa Kelenteng terdapat patung Sam Poo Kong atau Laksamana Cheng Ho yang notabene adalah seorang pemeluk Islam yang taat. Terlepas dari identitasnya sebagai seorang muslim, dalam keyakinan masyarakat Tionghoa, dia tidak hanya layak dipuja dan dikagumi sebagai bahariwan, tapi sudah dianggap telah mengalami reinkarnasi menjadi Dewa utusan Tuhan, oleh sebagian. Bahkan Laksamana yang juga manusia itu, dideskripsikan sebagai manusia nyaris sempurna, laiknya di dunia mitologi.

Tapi nuansa toleransi di dalam Kelenteng baru jelas terlihat ketika mengamati altar yang dibangun untuk ibadah. Meski terdapat 3 agama yang menggunakannya untuk “berkomunikasi” dengan Tuhan, dan banyaknya patung Dewa/Dewi di sana, masing-masing agama dan patung-patung itu telah disediakan tempat tersendiri. Jika leluhur yang mendirikannya kebetulan beragama Tao, mungkin saja altar untuk agama Buddha dan Kong Hu Cu berada di sampingnya, dan begitu seterusnya.

Selain itu, kebiasaan “khotbah” yang sering diyakini sebagai “kewajiban” oleh agama misionaris, ternyata tak berlaku di Kelenteng. Tidak ada ajakan-ajakan tokoh agama tertentu yang menganjurkan pengunjungnya untuk berpindah ke agama tertentu dari yang kini dianutnya. Karena itu, tak mengherankan kalau dalam sebuah Kelenteng di Surabaya yang pernah saya kunjungi terdapat penjaga yang tetap teguh memeluk Islam meski telah bertugas di sana selama 14 tahun.

Melihat gambaran sepintas tersebut, tak berlebihan jika menyebut Kelenteng sebagai “negeri impian” dalam menjamin kebebasan menjalankan keyakinan dan agama masing-masing orang. Tidak ada perlakuan istimewa terhadap kalangan mayoritas, sebagaimana tidak adanya diskriminasi yang diberlakukan terhadap minoritas. Ini menunjukkan bahwa Kelenteng mengajarkan agar setiap manusia tak melakukan diskriminasi dan menyuburkan intoleransi yang mengatasnamakan agama atau kepercayaan tertentu.

Kelenteng justru menganjurkan bahwa agama harus dipraktikkan sebagai kegiatan spiritual yang menghadirkan rasa damai dan aman dalam kehidupan sehari-hari, bukan konflik maupun pertikaian.


1 komentar:

Unknown mengatakan...

saya terbaca artikel ni. apa yang bermain difikiran saya tentang agama islam. atau lebih jelas lagi orang indonesia di Malaysia. cuba bapak bapak indonesia fikirkan bagaiman mungkin orang islam indonesia berkahwin dengan orang malaysia yang berlainan agama sebagi contoh islam (perempuan indonesia) berkawin dengan malaysian Hindu yang kebanyakannya pekerja fectory dan pebantu rumah kadangkala yang tidak diketahui statusnya dan namanya masih lagi nama seorang muslim. fikirkan bagaiman kita boleh sekat perkara ini berlaku perlu ada kerja sama indonesia Malaysia. Bapak pemerintah perlu ambil serious dalam perkara ini memandang semakin ramai orang indonesia di Malaysia semacm ini. bertindaklah ....!!!!!!!!!
insan khawatir perkara ini makin buruk dan pastinya Allah akan menurun bala. wassalam