Oleh: Choirul Mahfud
Penulis adalah dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Saat ini Rancangan Undang-Undang Anti Diskriminasi masih dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Keberadaan Undang-Undang ini memang sangat dibutuhkan di tengah maraknya praktek diskriminasi yang terus saja terjadi dari dulu hingga sekarang. Di antara kelompok yang selalu menjadi korban praktik diskrimasi adalah etnis Tionghoa yang sudah merasakan diskriminasi sejak zaman pra-kemerdekaan hingga saat ini.
Sebetulnya, bahasan mengenai etnis Tionghoa bukan masalah baru, tapi hal ini masih penting didiskusikan kembali sebab praktik diskriminasi etnis Tionghoa masih terus terjadi. Lebih dari itu, praktik diskriminasi juga telah lama dijalankan, utamanya di masa Orde Baru (Orba). Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa di masa Orba itu, pintu kebebasan dan saluran komunikasi publik khususnya terhadap etnis Tionghoa sangat tertutup rapat. Tak heran, kalau peran warga etnis Tionghoa dalam berbagai bidang, khususnya politik, sangat terbatas.
Seiring tumbangnya Orba, suasana hidup berbangsa mulai berubah ditandai dengan pintu kebebasan berdemokrasi dan berpendapat mulai dibuka. Namun demikian, pola dan praktik diskriminasi di era reformasi seperti saat ini bukan berarti sudah tidak ada masalah. Justru masih menyisakan masalah. Hanya saja, bentuk dan ragam polanya telah berubah.
Belum lama ini, penulis melakukan wawancara khusus dengan Aliptojo Wongsodihardjo, Ketua Umum Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Jatim. Dalam wawancara itu, Aliptojo mengatakan bahwa beberapa tahun terakhir, di Surabaya, diskriminasi etnis Tionghoa masih terus saja terjadi. Mulai dari diskriminasi oleh pemerintah kota dengan adanya pemberlakuan kebijakan 'tidak adil' yaitu Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dalam urusan kependudukan dan publik meski peraturan perundang-undangan sudah mengatur tapi dalam realitasnya masih saja dilanggar. Meski tak kelihatan secara kasat mata praktik diskriminasi dalam berpolitik juga terjadi. Karenanya, ia berharap praktik diskriminasi bisa dikikis sedikit demi sedikit hingga akhirnya tak ada perbedaan dan praktik diskriminasi (Aliptojo, 2007).
Dalam berpolitik, mengapa warga etnis Tionghoa hingga kini tidak (mau) banyak terjun ke dunia politik bukan karena warga etnis Tionghoa tidak (mau) berpolitik, namun akibat sistem yang diskriminatif yang sesungguhnya membuat etnis ini tidak (bisa) terjun ‘bebas berpolitik’. Tidak saja dalam konteks politik nasional tetapi juga lokal, seperti Pilkada/ Pilgub. Dalam pilkada di Surabaya lalu, misalnya, sangat tampak warga etnis Tionghoa masih 'takut’ dalam berpolitik. Karena, perasaan was-was masih terus menghantui warga etnis ini.
Secara historis, citra negatif etnis Tionghoa memiliki akar yang sangat panjang. Menurut pakar dan peneliti sejarah LIPI, Asvi Warman Adam, mengatakan bahwa secara historis, sejak masa sebelum kedatangan bangsa Eropa, terutama pada masa kolonial. Masalah China (baca: Tiongkok) (Chineesche Kwestie) baru menghangat di koloni ini sejak 1900-an ketika timbul gerakan nasionalisme kaum peranakan China di Indonesia.
Hal berbeda tapi agak serupa diungkap Andjarwati Noordjanah (2004) dalam bukunya “Komunitas Tionghoa di Surabaya”. Andjarwati menengarai praktik diskriminasi terhadap etnis Tionghoa hingga kini masih menggejala baik secara struktural maupun kultural. Secara kultural, dalam benak penduduk “pribumi” nampaknya masih tersimpan stereotip yang memang “sengaja” dibuat sejak berabad-abad silam, bahwa warga etnis Tionghoa adalah warga “kelas dua”.
Anggapan itulah yang bagi warga etnis Tionghoa merupakan satu contoh tindakan diskriminatif yang barangkali tidak disadari oleh warga pribumi. Sebetulnya, penggunaan istilah pribumi dan non-pribumi atau “kelas kedua” di sini tidak tepat, namun karena dalam realitasnya masih saja dipakai, sengaja atau tidak, akibatnya terjadilah stereotiping. Karenanya, barangkali tepat bila istilah-istilah tersebut tidak seharusnya dipakai atau disebut lagi dalam interaksi sosial. Pasalnya, ungkapan-ungkapan semacam itu terasa bisa menyakiti pihak-pihak tertentu.
Berbeda dengan Andjarwati, Aliptojo melihat akar masalah merebaknya praktik diskriminasi di negeri ini, termasuk di Jawa Timur, sesungguhnya bukan lebih disebabkan oleh masyarakat (kultural), tetapi disebabkan oleh faktor struktural di mana negara melalui produk hukumnya yang dianggap masih berbau “kolonial” melanggengkan praktik diskriminasi. Pasalnya, masyarakat Indonesia, khususnya Jawa Timur, meski berbeda suku, budaya, agama, etnis dan bahasa, faktanya justru tidak terlalu mempermasalahkan keragaman tersebut. Masalahnya justru ada pada hukum yang secara langsung maupun tidak mendorong orang untuk menafsirkan pada hal-hal yang mengarah pada pola dan praktik diskriminatif.
Misal saja, secara substansial beberapa di antaranya adalah praktik dan pola diskriminatif dalam undang-undang yang mengatur masalah dispenduk (Dinas Kependudukan). Nah, di sini warga etnis Tionghoa masih saja dipersulit dalam mengurus urusan asal usul dan status kewarganegaraan. Akibatnya, tidak sedikit warga etnis Tionghoa yang belum memiliki status kewarganegaraannya hingga saat ini.
Karena masalahnya lebih pada aspek hukum, maka dalam konteks semacam ini langkah pertama yang harus ditempuh adalah hukum yang berbau diskriminatif itu perlu segera diubah dengan peraturan atau hukum baru yang lebih terbuka dan anti diskriminatif terhadap etnis apapun dan siapapun, khususnya etnis Tionghoa. Anggota dewan tentu saja harus memperhatikan kasus dan masalah ini dalam membahas Rancangan Undang-Undang Anti Diskriminasi yang sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Bagi masyarakat secara umum, barangkali bisa ikut serta dalam menghapus praktik diskriminasi di tanah air dengan tidak berbuat sesuatu yang mengarah pada praktik diskriminatif.
Selain langkah tersebut di atas, jalan lain yang bisa ditempuh adalah melalui penyelenggaraan model pendidikan anti-diskriminatif. Tujuan pendidikan ini adalah memberikan pemahaman bahwa praktik diskriminasi itu tidak baik dan perlu dihindari dengan membiasakan hidup tidak saling bermusuhan dan mendiskriminasi hanya disebabkan karena berbeda suku, etnis, agama dan budaya.
Dalam konteks wawasan nasionalisme, model pendidikan ini juga menanamkan spirit nilai-nilai kebangsaan yang akhir-akhir ini semakin mengikis di tengah praktik cinta tanah air dan bangsa yang mulai hilang dan tampak sangat ritual formalistik. Karenanya, cinta tanah air dan bangsa perlu dipahami dan dipraktikkan mulai sejak dini, terutama usia-usia kanak-kanak dan masyarakat juga bisa membiasakan diri dengan kegiatan yang mengarah pada pola hidup demokratis, multikulturalis, dan nasionalistik.
Singkat kata, pendidikan dan hukum adalah dua entitas penting yang mampu memperkuat terciptanya kesadaran masyarakat. Kesadaran ini menjadi penting sebab kesadaran menuntun pikiran. Pikiran akan menuntun pada tindakan. Jadi, tindakan diskriminasi sesungguhnya akar masalahnya lebih pada basis kesadaran ketimbang yang lain. Hukum tidak lain lahir dimaksudkan karena belum sadarnya masyarakat akan sesuatu hal. Karenanya, dibuatlah aturan-aturan. Demikian pula pendidikan, esensinya barangkali juga karena masyarkatnya belum begitu terdidik dalam pengertian luas.
Akhir kata, hukum dan pendidikan selain mampu berperan sebagai media penyadaran juga sebagai juru selamat bagi seluruh umat manusia yang menjadi korban diskriminasi ras, etnis, agama, bahasa, suku dan status sosial. Hal itu saya kira menjadi pekerjaan rumah (PR) pemerintah yang belum digarap secara baik. Wallahu a’lam.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar