Zuly Qodir Presidium Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Peserta Tadarus Pemikiran Islam Kaum Muda Muhammadiyah
TANGGAL 18-20 November ini di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) kaum muda Muhammadiyah menggelar "Tadarus Pemikiran Islam: Kembali ke Al Quran, Menafsir Makna Zaman" bisa dikatakan sebagai gebrakan baru di kalangan muda Muhammadiyah sepanjang sejarah berdirinya. Ini merupakan peristiwa kultural yang jarang terjadi buat organisasi Islam yang sangat hegemonik dan formalis.
Perhelatan ini menjadi semakin gereget sebab diadakan oleh komunitas yang menamakan dirinya Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), sebuah komunitas baru yang tidak ada hubungan secara struktural dengan Muhammadiyah, sekalipun personal-personal JIMM notabene aktivis di lingkungan Muhammadiyah. Ini merupakan peristiwa langka yang akan sangat monumental jika nanti benar-benar menemukan bentuknya yang paling terang, yakni sebagai gerakan kultural yang dicirikan oleh kaum intelektual.
Tiga alasan
Sekurang-kurangnya ada tiga alasan mengapa kaum muda Muhammadiyah bangkit. Pertama, melepaskan dominasi kaum konservatif dalam Muhammadiyah. Kaum konservatif telah menjadikan Muhammadiyah sebagai organisasi kader yang kegemukan, namun tidak lagi progresif menangkap tanda-tanda zaman. Muhammadiyah konservatif telah terjebak dalam aktivitas amal usaha praktis yang menjadi semacam ritual dalam Muhammadiyah. Amal usaha dalam Muhammadiyah seakan-akan tanpa kendali sehingga tidak memperhatikan kendali mutu dan paradigma keilmuan yang jelas.
Dalam kasus ini berlomba-lombanya organisasi Muhammadiyah di wilayah maupun daerah mendirikan sekolah, mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi merupakan bukti konkret yang sulit dibantah. Muhammadiyah wilayah maupun daerah berlomba-lomba mendirikan lembaga pendidikan, tetapi tidak jelas mau diapakan dan ke mana setelah berdiri tidak terpikirkan dengan baik. Slogan yang paling santer berkembang adalah yang penting membuat dahulu, soal mengurus belakangan. Ini penyakit yang terjadi di lingkungan Muhammadiyah, apalagi merasa bahwa saat inilah kesempatan bagi Muhammadiyah karena Menteri Pendidikan Nasional adalah orang Muhammadiyah, Prof Malik Fadjar.
Tentu saja berlomba-lomba dalam amal usaha tidak salah, tetapi jika hal ini menjadi ritual organisasi Muhammadiyah menjadi sangat mengkhawatirkan kualitas mutu yang hendak diemban. Di situlah hemat saya karena dalam Muhammadiyah belakangan demikian dominannya "mazhab konservatif" sehingga amal usaha dalam arti fisik menjadi nomor satu, sementara peningkatan sumber daya berkaitan dengan kapasitas keilmuan agak terabaikan.
Karena alasan inilah kaum muda Muhammadiyah mengambil "jalan lain" dari mazhab konservatif, dengan berinisiatif bererak pada level tradisi pemikiran sehingga wajar jika nanti mungkin akan terjadi benturan-benturan dengan kaum konservatif dalam Muhammadiyah. Anak muda Muhammadiyah, bila boleh disederhanakan, sebenarnya berada dalam mazhab progresif-liberatif. Mereka ingin lepas dari dominasi kaum konservatif dengan melakukan kritik internal terhadap Muhammadiyah. Hemat saya, ini sebetulnya bukti kecintaan anak-anak muda Muhammadiyah akan "ibu kandungnya" agar tidak terjebak dalam ritual formalisme organisasi.
Kedua, pertemuan antargenerasi Muhammadiyah dengan generasi di luar Muhammadiyah. Pertemuan yang demikian intensif dalam pertukaran wacana keilmuan, dalam perdebatan yang dikemas dengan santai namun berbobot tentang suatu peristiwa menyebabkan tradisi saling belajar, saling kritik, bahkan saling mengejek menumbuhkan semangat intelektualisme dalam tubuh anak muda.
Pertemuan antargenerasi ini bahkan bukan saja terjadi sesama organisasi atau generasi Muslim, tetapi dengan semua pihak. Mereka dari NGOs, organisasi Kristiani, Buddhis, Hindu, Konghucu, bahkan mereka yang acapkali dianggap kiri telah menumbuhkan apa yang oleh Gramsci disebut sebagai "intelektual organik". Mereka muncul di tengah-tengah masyarakat dengan mengusung tema populis yang sebelumnya agak jarang diangkat ke permukaan oleh kaum tua atau mazhab konservatif dalam Muhammadiyah.
Masalah seperti kesetaraan jender, pluralisme agama, hubungan antaragama, HAM, politik Islam, demokrasi, sampai dengan neoliberalisme menjadi bagian kajian kaum muda antargenerasi ini. Sementara kaum konservatif biasanya lebih memilih tema ibadah ritual (ibadah khusus) yang lebih berorientasi praksis dan amalan sehari-hari. Tentu pilihan kaum konservatif tidak salah, hanya saja hemat saya tidak cukup dengan membahas masalah klasik semacam itu, padahal telah demikian banyak buku/kitab membahas tentang tema tersebut.
Dengan pilihan tema yang tampaknya oposisi biner ini, sudah bisa dipastikan akan terjadi gesekan antara kaum konservatif dengan kaum muda progresif-liberal, sebagaimana di atas saya kemukakan. Tetapi, mengapa kaum muda Muhammadiyah memilih tema yang lebih populis, sebenarnya itulah yang mestinya menjadi perhatian kaum konservatif Muhammadiyah agar kaum konservatif Muhammadiyah tidak menghakimi dan menuduh kaum muda Muhammadiyah sebagai komunitas yang tidak sesuai dengan "suara resmi" Muhammadiyah.
Ketiga, perkembangan wacana keislaman yang demikian pesat. Perkembangan wacana pemikiran Islam yang demikian cepat semakin menjelaskan bahwa dengan gaya konservatif tidak lagi memadai untuk merespons masalah aktual yang terus bergulir maju. Lambatnya, kaum konservatif Muhammadiyah merespons masalah-masalah aktual yang berkembang, salah satunya disebabkan belakangan Muhammadiyah terseret dan sibuk dengan masalah low politics ketimbang high politics. Low politics memang tidak menjadi mazhab terbesar dalam Muhammadiyah, namun "suaranya" lebih lantang dari yang mazhab high politics.
Kaum konservatif lebih mencerminkan dirinya sebagai mazhab Islam murni, sementara mazhab progresif-liberal berada pada Islam kultural atau non-Islam murni. Islam murni memang terkesan lebih rigid dengan ibadah karena didominasi dengan paham fikih, sementara mazhab progresif-liberal tidak rigid dengan fikih. Di situlah acapkali mazhab kaum kultural disebut heretik, bidah, bahkan "kafir".
Mazhab Islam murni menganggap mazhab kultural tidak ar ruju’ ila quran dan As Sunah sehingga amalannya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Bahkan, yang lebih memprihatinkan beberapa bagian dari Islam murni menjadikan Himpunan Putusan Tarjih berada di atas segala-galanya. HPT mutlak tidak bisa dikritik, sekalipun tidak mengerti proses perdebatan yang terjadi dalam Manhaj Tarjih.
Penutup
Di situlah hemat saya kaum muda Muhammadiyah terutama mazhab kultural melakukan terobosan dengan mengangkat gerakan intelektual di tengah arus perubahan politik yang demikian cepat. Anak muda Muhammadiyah ingin mewarnai kembali tradisi progresif-liberatif KH Ahmad Dahlan dalam membawa Muhammadiyah. Kaum muda Muhammadiyah ingin melanjutkan ijtihad kaum modernis pada level yang lebih populis, merespons masalah aktual dan kultural sehari-hari di masyarakat.
Apakah mereka akan berhasil? Terutama dan pertama tergantung semangat ijtihad yang diemban, di samping respons atau dukungan positif kaum konservatif Muhammadiyah. Namun, seandainya kaum konservatif tidak mendukung dengan suara positif, maka kaum muda Muhammadiyah dengan melakukan Tadarus Pemikiran Islam ini telah memulai sebuah gerakan intelektual pada zamannya.
Gerakan intelektual ini akan menjadi tapak-tapak publik bagi orang Muhammadiyah sendiri dan Islam Indonesia. Mereka nanti akan menjadi sebuah kebangkitan second Muhammadiyah pada zamannya. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar