Muhammad Kholid AS,
Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah Warga Boyolali
Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, kedatangan tahun 2007 disambut masyarakat dengan perasaan sukacita. Tidak sedikit di antara mereka yang sehikmat mungkin untuk menikmati indahnya awal tahun, agar dalam perjalanan 12 bulan ke depan mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan. Kesuksesan yang memberikan arah baru yang cerah dalam menempuh kehidupan di masa mendatang.
Dalam konteks perjalanan politik Jawa Tengah, 2007 merupakan media sosialisasi politik. Sebab, dalam hitungan mundur, Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2008-2013 yang akan digelar lima bulan sebelum gubernur saat ini lengser, 23 Agustus 2008, hanya menyisakan sekitar 15 bulan. Tidak salah kalau tahun ini menjadi babak baru "safari" para politisi dalam menaikkan pesonanya untuk meraih simpati dari berbagai arah.
Peribahasa mengatakan bahwa di mana ada gula, di situ semut berkerumun. Peribahasa ini memang sangat cocok dalam menggambarkan hubungan kekuasaan dengan politisi. Dalam setiap ajang perebutan kekuasaan apa pun, mereka berbondong-bondong menuju ke arahnya. Tidak terkecuali dalam pilgub ini, semua kekuatan politik dipastikan berpartisipasi di dalamnya. Sebab, keberhasilan dalam memenangkan kompetisi ini dipastikan akan berimplikasi positif pada pemilihan- pemilihan selanjutnya.
Dekatnya pelaksanaan pilgub ini secara otomatis membuat tahun 2007 menjadi arena pertarungan citra bagi politisi dalam meneguhkan eksistensinya di tengah-tengah masyarakat. Politik pencitraan akan dimaksimalkan untuk melegitimasi pencalonannya sebagai kandidat yang layak dipilih oleh masyarakat. Tahun ini dipastikan akan menjadi panggung teatrikal politik, yang ditandai dengan semarak aksi politisi yang "menghipnotis" pemilih.
Secara kronologis, kesadaran "massal" politisi atas krusialnya peran "citra" barulah dimulai sejak pemilihan presiden (pilpres) 2004. Kelebihan citra yang dimiliki Susilo Bambang Yudhoyono mampu mengalahkan berbagai kompatriotnya yang diusung partai besar, meski dirinya hanya diusung berbagai partai "gurem". Fenomena inilah yang menyadarkan politisi bahwa media massa memiliki kemampuan dahsyat dalam mereproduksi citra dan menggiring pilihan publik. Justru aksi politik akan menjadi tidak bernilai apa-apa ketika tidak ada media yang meliput, memberitakan, dan memublikasikannya.
Sejak saat itulah, politik pencitraan menjadi menu wajib bagi politisi dalam merebut maupun mempertahankan kekuasaan. Mereka dituntut mempunyai kemampuan akting yang mumpuni dalam bersandiwara, layaknya artis yang telah malang-melintang di dunia teater, sandiwara, sinetron, ataupun film. Ibarat sebuah pasar, keberadaan politisi haruslah mampu melahirkan brand image yang menguntungkan bagi diri dan kelompoknya. Mereka harus memilih dress code, tampilan wajah, pilihan kosa kata, serta atribut lainnya, yang diharapkan mampu menyedot simpati masyarakat.
Bayangkan saja, mereka harus berganti peran dari elite menjadi wong cilik. Mereka harus pandai-pandai menunjukkan kepada publik bahwa dalam kehidupan sehari-harinya memang terbiasa blusukan ke pasar, naik kereta listrik, makan di warung tegal, mengobrol di pangkalan ojek, masuk terminal, berbaur dengan nelayan yang anyir, menceburkan diri ke sawah, masuk hutan perawan, tampil sempurna pada sejumlah tempat yang akrab dengan wong cilik, serta berbagai perilaku "seakan- akan" lainnya.
Berbagai perilaku politisi tidak ubahnya sebagai pergelaran politik, yang semuanya sudah dirancang berdasarkan prinsip-prinsip dramatikal dan teatrikal (Zainuddin Maliki: 2006). Dalam pertunjukan semacam ini, sudah tentu masyarakat hanya bisa melihat "wajah depan" politisi saja, bukan "wajah belakangnya". Sebab, yang diperlihatkan kepada publik tentang dirinya memang hanyalah "topeng" yang dipenuhi dengan berbagai kebaikan, dengan menyembunyikan wajah yang sesungguhnya. "Wajah belakang" tidak mungkin diperlihatkan karena dianggap potensial menimbulkan bahaya bagi citranya di hadapan masyarakat.
Skenario penampilan
Karena itu, segala aktivitas politisi merupakan bagian dari skenario penampilan yang telah diperhitungkan berdasarkan pertimbangan, konsep, dan rasionalitas tertentu. Pada titik yang ekstrem, teknologi ini bisa berubah menjadi politik pencitraan simulakra (Yasraf Amir Piliang: 2004). Yaitu, sebuah simulasi yang menggiring pada penipuan massa dengan penawaran hutan rimba tanda, citra, dan ikon yang tidak mempunyai pijakan realitas sebenarnya. Artinya, seorang politisi bisa saja menutupi "noda hitam" yang melekat pada diri/lembaganya dengan cara mencitrakan diri dalam citra yang penuh dengan "busa putih".
Dalam politik pencitraan simulakra, seorang politisi akan berusaha sekuat tenaga untuk mencitrakan dirinya sebagai orang yang ramah, santun, jujur, dermawan, manusiawi, pahlawan, religius, serta berbagai atribut kebaikan lainnya, meski dalam kehidupan sehari- harinya berbagai "citra" tersebut tidak (belum) pernah dilakukan. Pencitraan ini dengan sendirinya tidak melukiskan "realitas politik" nyata, melainkan hanyalah mengantarkan pada simulasi yang berbeda dengan politik di ruang nyata (Jean Baudrillard: 1983).
Dalam abad informasi dan digital ini, harus diakui bahwa tanda, citra, dan tontonan memang memainkan peranan penting dalam menentukan sebuah pilihan, preferensi, dan keputusan politik. Namun, jika pencitraannya dipenuhi dengan citra banalitas dan murahan, tentu akan dijauhi, dibenci, bahkan ditinggalkan masyarakat.
Karenanya, teknologi pencitraan politik harus tetap berkaitan langsung dengan kompetensi, kecakapan, dan keterampilan politik elite yang bersangkutan.
Di sinilah politisi diharapkan mau menjadikan politik pencitraan sebagai media pendidikan politik. Artinya, citra itu dapat menarik perhatian dan simpati publik, tetapi di pihak lain ia tidak membohongi dan menipu masyarakat. Sebab, dengan semakin jelinya masyarakat dalam memilah pencitraan politik dan realitas, juga menuntut politisi untuk lebih "ekselen" dalam memainkan politik pencitraan. Di sinilah dibutuhkan adanya kesesuaian antara citra politik dengan realitas politik yang dialami oleh politisi dalam kehidupan nyata.
Dalam kekinian masyarakat sudah bisa melihat mana politisi yang benar-benar tulus membela mereka atau sekadar mencari sensasi. Carut- marutnya kondisi negeri, secara langsung maupun tidak, telah membuat masyarakat lebih dewasa dan cerdas dalam memandang dinamika politik yang terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar