Oleh Tom S Saptaatmaja
Penulis adalah seorang teolog dan aktivis Tionghoa Surabaya.
Disahkannya UU Kewarganegaraan yang baru pada 11 Juli lalu tak bisa dilepaskan dari kiprah gerakan multi-etnis di berbagai daerah. Salah satunya yang cukup layak diapresiasi adalah kiprah Gerakan Multietnis di Surabaya yang sejak 2002 lalu ikut mengonsep dan memperjuangkan UU tersebut.
Kiprah dan semangat gerakan multi-etnis di Surabaya agaknya layak digali dan diketengahkan di media. Menurut Prof. Ahmad Syafii Maarif, mantan Ketua Umum PP Muhamadiyah, negeri ini tengah mengalami krisis keteladanan dan sangat butuh keteladanan yang baik dan kontruktif.
Maka jika tulisan ini berangkat dari Gerakan Multi-etnis di Surabaya, ini tentu jauh dari pretensi penulis untuk mengekspos atau hanya menonjolkan peran mereka saja, lalu meremehkan peran organisasi atau kelompok lain. Tentu saja tidak demikian.
Tetapi siapa tahu, dengan tulisan ini, aktivitas mereka bisa memotivasi bagi setiap warga bangsa ini untuk terus berjuang mewujudkan sebuah tatatanan masyarakat yang saling menghargai perbedaaan. Ini senada dengan pandangan Emile Durkheim yang memperkenalkan pendekatan fungsionalisme yang berupaya menelusuri fungsi berbagai organisasasi atau kelompok sosial sebagai pengikat sekaligus pemelihara keteraturan sosial dalam suatu daerah.
Memang sejak era reformasi 1998 hingga saat ini, kiprah berbagai organisasi maupun aktivis multi-etnis di Surabaya cukup membanggakan. Dalam beberapa kasus, peran mereka ternyata memiliki gaung secara nasional, bahkan internasional.
Sebut saja kasus di dekade 90-an ketika perkawinan sepasang kekasih Konghucu asal Surabaya yang sampai mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi PTUN, karena kantor catatan sipil menolak mencatatkan perkawinan mereka. Ketika itu, Gus Dur sampai turun.
Kini perjuangan berbagai tokoh lintas agama dan aktivis multi-etnis di Surabaya atas kasus tersebut justru telah mendorong pemerintah mengakui agama Konghucu secara resmi sejak awal 2006 sehingga perkawinan umat Konghucu bisa dicatat di catatan sipil, sebagaimana pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat perayaan Imlek tahun ini.
RUU Kewarganegaraan
Contoh lain lagi adalah soal Gerakan Reformasi 1998 yang berujung pada lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998, sifatnya juga multi-etnis dan lintas agama. Spanduk yang berisi tuntutan agar Soeharto turun pertama kali bahkan muncul di Surabaya.
Semula spanduk itu dipasang di kampus Unair kemudian terpampang di sudut-sudut jalan protokol di Surabaya. Mengapa di Surabaya tidak ada kerusuhan anti-Tionghoa seperti Tragedi Mei 1998 di Jakarta, itu di antaranya berkat peran dari berbagai aktivis multietnis dan lintas agama seperti KH Ali Maschan Moesa (Muslim), Dede Oetomo (Sekuler), Sidharta Adhimulya (Tao), Rosdiansyah (Muslim), Ongko Digdoyo (Buddha), Bingky Setiawan (Konghucu), dsb.
Contoh terbaru adalah kasus suksesnya RUU Kewarganegaraan yang baru juga tidak lepas dari peran para aktivis di Surabaya seperti sudah disebutkan. Tapi sebagaimana penulis kemukakan di beberapa media kita, UU Kewarganegaraan yang baru masih merupakan langkah awal. Buktinya pasca pengesahan UU Kewarganegaraan 11 Juli lalu, dari Surabaya juga berembus kabar tidak menyenangkan, terkait keharusan pencantuman nama marga dalam akta perkawinan bagi etnis Tionghoa.
Masalah ini sampai dibahas di Komisi A DPRD Surabaya 27 Juli lalu bersama Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispenduk Capil) Kusnowihardjo dan para tokoh Tionghoa Surabaya. Padahal di pemerintahan kota atau kabupaten lain, kebijakan ini sudah ditiadakan.
Untuk itulah, rasanya peran dari para aktivis atau pegiat multi-etnis tidak bisa dianggap remeh. Mereka bisa menjadi pressure group untuk melawan praktik atau kebijakan yang diskriminatif, seperti di Dispenduk Capil Surabaya, juga bisa berperan dalam membidani lahirnya sebuah UU yang fenomenal, seperti UU Kewarganegaraan yang baru.
Hanya yang perlu kita sebutkan di sini, gerakan multi-etnis di Surabaya bukan hanya berjuang di tataran ide atau di ranah politik saja, tetapi jika ada masalah-masalah sosial, seperti tsunami dan gempa, juga banyak yang terpanggil untuk meringankan beban para korban bencana.
Pengusaha Budi Santosa dari Rutan, Arief Budiman dari Agrindo, atau arsitek Johan Silas adalah beberapa nama yang bahkan dikenal di level internasional karena komitmen dan solidaritasnya bagi para korban tsunami Aceh atau Yogyakarta.Masih banyak contoh lain tapi terlalu banyak, jika hendak disebutkan semua.
Tidak Eksklusif
Yang juga menggembirakan organisasi atau gerakan multi-etnis dan lintas agama di Surabaya pada prinsipnya bukan merupakan kelompok eksklusif atau hanya didominasi oleh sosok dari etnis atau agama tertentu. Ini sangat membanggakan, karena dari berbagai latar belakang etnis dan agama yang berbeda, mereka justru bisa berkiprah menjadi semacam “roh” dan motivator yang tak lelah-lelahnya bersuara bahwa perbedaan itu adalah rahmat.
Perbedaan ternyata bisa menghasilkan sesuatu yang positif bagi bangsa dan warga Surabaya. Rata-rata masing-masing aktivis multi-etnis Surabaya memang sungguh menyadari bahwa keragaman etnis dan budaya kita sebenarnya merupakan potensi atau modal positif bagi kemajuan bangsa, meskipun secara sosiologis keragaman bisa menjadi penyulut konflik atau kerusuhan sosial.
Mudah-mudahan semangat mereka mampu menjadi sumber inspirasi sekaligus motivasi bagi semua anak bangsa di negeri ini, lalu kita tumbuh-kembangkan dalam jiwa kita masing-masing sehingga yang mengalir atau menyembul dalam diri kita hanyalah naluri kemanusian kita seperti toleransi, apresiasi dan kehendak baik bagi saudara-saudara kita yang berbeda etnis, keyakinan, dan latar belakang. Dengan demikian, ambisi dan segala perilaku yang anti kemanusian seperti anarkisme dan kekerasan bisa kita sirnakan.
Untuk kota besar lain di luar Surabaya, entah Jakarta, Medan, atau Makasar, dan kota-kota lain di negeri ini yang dihuni beragam etnis dan agama, apa yang dilakukan oleh Gerakan Multi-etnis di Surabaya itu rasanya tidak salah jika ikut diteladani dan dipraktikkan langsung di lapangan.
Sebab bagi negeri yang majemuk seperti Indonesia, semangat atau spirit menghargai perbedaan seperti yang mereka tunjukkan rasanya akan selalu aktual dan kontekstual untuk merawat dan menjaga Indonesia yang telah ngenap 61 tahun merdeka di bulan Agustus ini. Dengan demikian, negeri yang sebenarnya indah dan kaya ini tidak akan mudah dipecah-belah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar