Selasa, 31 Juli 2007

Membumikan Visi Keadilan Sosial Agama

Ahmad Fuad Fanani Presidium Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Peneliti di International Center for Islam and Pluralism (ICIP)

Banyak orang yang berpandangan bahwa agama itu tidak perlu didiskusikan dan diwacanakan, tetapi lebih pas dan tepat untuk diamalkan. Tidak heran jika diskusi agama sering sepi dari peminat karena dianggap tidak menarik dan mengubah keadaan, dan belum tentu mendatangkan pahala.

Jika kita kaji, kemunculan ekstremisme keagamaan dan fanatisme yang mengarah kepada tindakan kekerasan, serta mengancam perdamaian dan demokrasi, adalah salah satu implikasi dari agama yang tidak pernah didiskusikan dan tidak menjadi wacana publik. Sebab, pemahaman keagamaan yang diterima masyarakat menjadi statis, monolitik, mengarah pada klaim kebenaran, dan tidak muncul berbagai alternatif penafsiran. Padahal, sebagaimana ilmu-ilmu lainnya, pengetahuan tentang agama juga harus mengalami evolusi agar dia tidak menjadi beku dan ketinggalan zaman.

Dalam diskusi Lingkar Muda Indonesia (LMI) dan Harian Kompas pada bulan Ramadhan lalu yang mengambil tema "Agama dan Keadilan Sosial dalam Konteks Keindonesiaan", ada pernyataan menarik dari salah sa- tu pembicara, ia mengutip filosof Bernard Russel yang mengatakan bahwa pada dasarnya semua agama itu berbahaya, sebab darinya banyak lahir konflik antaragama, agama dengan ilmu pengetahuan, relasi agama dan negara, dan sebagainya. Kita tentu tidak boleh marah jika pernyataan agama gagal menjawab tantangan kemanusiaan itu benar-benar berangkat dari kenyataan.

Sangat mungkin terjadi yang salah bukan teks agamanya, sebab semua agama pada dasarnya mengajarkan keadilan, keluhuran, dan larangan berbuat kejahatan. Namun, jurang antara agama, idealisme agama, dan pemeluknya yang gagal memahami pesan dasar agamanya memang terjadi di banyak agama. Tidak heran jika agama seringkali menjadi tertuduh atas berbagai konflik sosial, politik, dan kemanusiaan yang terjadi.

Kikir lahirkan pemimpin
Di samping itu, ada satu hal yang menjadi unsur utama dan pertama dalam kehidupan dan keberagamaan kita, namun jarang sekali dihayati dan diimplementasikan, yaitu keadilan sosial yang sesungguhnya menjadi inti dari ajaran semua agama. Keadilan sosial ini memang dengan mudah kita temukan dalam kitab-kitab suci semua agama. Namun, dalam kehidupan nyata ajaran tentang keadilan sosial ini memang jarang dibumikan dalam praktik kehidupan. Bahkan, dalam sistem pemerintahan dan model kekuasaan di hampir semua agama pun jarang sekali yang menjadikan keadilan sosial sebagai ruh perjuangan dan dasar gerak dalam menjalankan kekuasaan. Para agamawan pun, meski banyak juga yang fasih dan gemar menyuarakan keadilan sosial sebagai wirid harian dan tema utama ceramahnya, masih banyak yang belum bisa mentransformasikan soal itu dalam kehidupan sehari-hari guna membentuk moralitas publik yang menjunjung tegaknya kesejahteraan rakyat kecil dan prinsip keadilan.

Hal lain yang menyebabkan agama dan kaum agamawan gagal menjawab tantangan kemanusiaan dan peradaban adalah karena kita tidak membaca dan belajar dari sejarah. Akibat dari tidak membaca sejarah, usaha dalam membina dan membangun bangsa ini bisa gagal. Karenanya, dalam soal lautan kemiskinan yang terbentang luas selama berabad- abad, hingga kini belum banyak para agamawan yang berpikir untuk mencari jalan keluarnya. Pembangunan yang tidak mengacu pada prinsip keadilan sosial pun masih banyak dipertahankan dan menjadi proyek kesayangan para pejabat.

Dan di atas itu semua, masalah kepemimpinan bangsa ini sangat memprihatinkan karena gelombang besarnya keruh. Sebab, yang diurus hanya kekuasaan dan politik masih banyak dijadikan sebagai profesi dan mata pencarian para politisi yang kebanyakan rabun ayam. Rahim bangsa ini masih kikir melahirkan pemimpin yang kreatif. Meski keadaan begitu parah dan memprihatinkan, agama melarang kita untuk berputus asa dan larut dalam kesedihan yang tidak menemukan ujung pangkalnya. Maka, kita harus berbuat sebaik-baiknya, seserius-seriusnya, dan semaksimalnya.

Tegas pemihakannya
Pada keadaan seperti itu, semestinya para agamawan berfungsi dan berdiri paling depan dalam menggelorakan semangat keadilan sosial dalam melindungi kaum miskin, membela rakyat kecil, dan memprotes pemerintah yang korup dan mengejar kepentingan politiknya sendiri. Agama harus mampu menjawab persoalan nyata yang dihadapi rakyat, misalnya kenapa masih banyak yang tidak bisa makan dan tidak bisa sekolah? Maka, jangan sampai para agamawan justru menjadi pelegitimasi rezim dan pemberi stempel terhadap kebijakan yang dikeluarkan orang kaya, negara, dan kelompok masyarakat yang merugikan rakyat kecil.

Para agamawan harus siap dan rela jika menjadi tidak populer, tidak berlimpah materi, jauh dari kekuasaan, serta kuat menahan diri terhadap segala godaan yang kerap datang merayu dan menggoyahkan iman. Perselingkuhan antara politisi, pengusaha, dan agamawan akan membuat masyarakat awam skeptis dan sinis terhadap peran luhur agama. Agamawan justru harus berani mengingatkan penguasa dan pengusaha yang batil.

Farish Noor dalam artikelnya yang berjudul "What is the Victory of Islam? Towards a Different Understanding of the Ummah and Political Success in the Contemporary World"" (2003) menyatakan, kemenangan sebuah agama dan agamawan bukanlah terletak pada bagaimana menampilkan agama yang "murni" dan yang lainnya dianggap salah, namun justru pada komitmennya untuk menjunjung tinggi kemanusiaan, keadilan sosial, pluralisme, dan hak- hak kaum minoritas dan kesetaraan jender.

Oleh karenanya, persoalan agama dan keadilan sosial jangan hanya dijadikan wacana saja, tetapi harus dibumikan dalam kehidupan nyata. Agama dan kaum agamawan harus betul-betul mendukung suasana yang kondusif bagi tegaknya keadilan sosial. Kolusi penguasa-pengusaha yang merugikan kehidupan rakyat jelata harus tak jemu dikecam oleh para pemuka agama.
Jangan sampai ada tokoh agama dan pengikutnya merasa diri paling peduli dan teguh menegakkan keadilan sosial serta menentang kezaliman, padahal mereka sendiri justru berbuat zalim dengan tidak menghargai pemeluk agama lain dan gemar menghakimi keyakinan orang lain. Agama harus betul-betul peduli pada orang yang menderita dan tegas pemihakannya terhadap nasib orang-orang yang papa dan yang termarjinalkan.

Tidak ada komentar: