Selasa, 31 Juli 2007

Problem Metodologis Dalam Kajian Islam

Problem Metodologis Dalam Kajian Islam
Membangun paradigma penelitian keagamaan yang komprehensif

By Masdar Hilmy

Abstract: In depicting religious phenomena, there has been on-going debates bringing up the polarization of the dichotomy between textual and contextual approaches. Basically, the two approaches have methodological weaknesses, for each can not figure out the religion (Islam) comprehensively. The first, the textual approach, tends to view religious phenomena merely on the level of core element. On the other hand, the contextual approach can likely reduce the substantial element of religion, for it tends to view religion on the level of periphery. The weaknesses, thus, open new awareness of religious studies formed in the synthesis of the two approaches. As a result, there arise a textual-contextual approach. Methodologically speaking, this combined-approach enables us to obtain the holistic picture of the religion and to escape from its distorted-meaning.

Kata Kunci: pendekatan tekstual, kontekstual, fenomena agama, polarisasi dikotomis.

Pendahuluan
Kajian holistik dan komprehensif tentang Islam --termasuk di dalamnya dimensi historisitas dan normativitas-- merupakan bidang yang belum tersentuh secara maksimal oleh kalangan ilmuwan, baik Barat maupun Muslim. Kajian holistik dimaksud menunjuk adanya kombinasi ideal antara perspektif tekstual dan kontekstual. Jika pendekatan tekstual penting untuk mengkaji Islam normatif, pendekatan kontekstual urgen dalam rangka menafsirkan Islam normatif tersebut ke dalam wacana kesejarahannya (konteks ruang dan waktu).

Barat, yang selama ini dikenal dengan keunggulan metodologis dan kekritisannya, sejauh ini masih mengandalkan perspektif kontekstual dalam melihat fenomena Islam dengan segala atributnya. Perspektif tadi tidak jarang mengakibatkan terjadinya proses distorsi dan reduksi di kalangan mereka terhadap makna substantif Islam itu sendiri sehingga salah dalam mengambil kesimpulan tentang Islam. Generasi awal orientalis Barat yang sangat mengedepankan perspektif tersebut di antaranya Ignaz Goldziher, Arthur Jeffery, dan Richard Bell. Sementara itu, generasi mutakhir tampaknya sudah menyadari kelemahan mendasar tersebut dan berusaha menutupinya dengan tidak saja menampilkan wajah Islam secara lebih bersahabat dan humanis, melainkan juga terlibat langsung di dalam dinamika Islam sebagai pihak insider. Kalangan orientalis yang termasuk kategori ini adalah Wilfred Cantwell Smith, Frederick M. Denny, Richard C. Martin, dan masih banyak yang lainnya.

Timur, lebih spesifik lagi Muslim, sebagian besar masih melihat fenomena agamanya dari kacamata normatif-doktrinal sehingga tidak jarang melahirkan sikap apologetik (intellectual obstinacy) secara berlebihan. Sikap tersebut, pada taraf tertentu, sampai pada klaim kebenaran (truth claim) yang tidak beralasan. Kaum Muslim yang masih terjebak dalam kubangan perspektif sepihak (one-sided) ini pada umumnya menjustifikasi penafsirannya tentang Islam sebagai yang paling benar sembari menuding kelompok lain --lebih-lebih kalangan "kafir" orientalis--sesat. Sikap seperti ini bukan saja mengerdilkan makna Islam secara substansial, tetapi juga menampik realitas ideologis-historis bahwa Islam adalah agama yang inklusif dan kosmopolitan yeng tidak lepas dari dialektika kesejarahan.

Polarisasi dikotomis di atas jelas akan menimbulkan pemahaman parsial terhadap makna substantif Islam dan, pada gilirannya, melahirkan proses reduksi dan distorsi makna. Satu-satunya cara untuk mengatasi problem epistemologis ini adalah dengan menggabungkan kedua metode atau perspektif di atas dalam satu wacana yang komprehensif dan holistik. Tulisan ini berusaha mengupas urgensi penggabungan kedua metode kajian Islam tersebut dengan memunculkan istilah "tekstual-kontekstual." Pendekatan tekstual-kontekstual itu sendiri pada mulanya dipopulerkan oleh Frederick M. Denny melalui karya-karya kontemporernya tentang Islam, terutama kajian ritual. Signifikansi pendekatan tekstual-kontekstual ini, menurut Denny, terletak pada upaya yang seimbang antara pemahaman normatif-doktrinal di satu sisi, dan kontekstualisasi dengan unsur-unsur kesejarahan di sisi lain. Upaya pertama mengacu kepada teks-teks suci Islam, baik berupa wahyu --al-Qur’a>n dan H{adi>th-- maupun buku-buku klasik karangan para `ulama>’ terdahulu dan kontemporer, sedangkan upaya kedua bergerak pada konteks sosial, politik, dan kultural. Hanya melalui penggabungan tersebut, pemahaman komprehensif tentang Islam bisa dicapai.

Islam Sebagai Sebuah Sistem
Jika dikehendaki gambaran yang utuh, Islam harus dilihat dari kacamata yang utuh pula. Sebagai sebuah sistem, Islam tersusun dari dua elemen dasar yang membentuk sebuah entitas tunggal; masing-masing tidak bisa dipisah-pisah. Elemen tersebut adalah doktrin atau kredo yang bersifat dogmatik dan berperan sebagai elemen inti (core element) di satu sisi, dan peradaban yang bersifat historis dan kontekstual sebagai elemen permukaan (peripheral element) di sisi lain. Disebut elemen inti karena ia menjadi ruh substantif dari sebuah agama (Islam) yang tanpa kehadirannya agama tidak akan mempunyai arti apa-apa, sementara peradaban menempati posisi permukaan mengingat bentuknya yang secara fisik bisa diobservasi oleh kasat mata bila tampak ke wilayah permukaan. Kombinasi ini barangkali bisa dianalogkan dengan sebuah jasad hidup yang disemangati oleh eksistensi ruh yang bersemayam di dalamnya yang kondisinya bisa saja berubah sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu.

Sekalipun analogi ruh-jasad di atas mungkin saja tidak terlalu tepat sebagai alat untuk mengilustrasikan hubungan antara doktrin dan peradaban Islam, watak dasar agama –Islam-- sebagai sebuah sistem cukup terwakili oleh paradigma dialektis ini. Dari segi doktrinal, Islam membawa pesan-pesan transendental yang permanen dan tidak berubah-ubah, namun ketika pesan-pesan transendental tersebut sampai ke tangan umatnya, wajah Islam bisa beragam sejalan dengan beragamnya interpretasi akibat perbedaan persepsi. Perbedaan interpretasi beserta segala konsekuensinya itu belakangan membentuk peradaban Islam yang sangat heterogen dan dinamis, memenuhi konteks ruang dan waktu. Aspek yang terakhir ini menjadi faktor signifikan bagi proses pembentukan identitas Islam secara sosial, politik, dan kultural yang memiliki dialektika sejarah berbeda-beda, namun secara prinsipil memiliki semangat teologis yang sama.

Dengan demikian, Islam harus dilihat sebagai sebuah sistem dialektis yang meliputi aspek idealitas dan realitas; mencakup dimensi belief (creed) yang berupa tawh}i>d dan diimplementasikan ke dalam dimensi praxis yang meliputi ritual, budaya, dan tradisi keislaman lainnya. Sebagai pangkal dari seluruh rangkaian ibadah dalam Islam, tawh}i>d bukan saja menyangkut persoalan proposisi-proposisi teologis semata, melainkan juga sebuah implikasi logis yang bersifat kreatif, dinamis, dan menyejarah: pengakuan satu Tuhan yang direfleksikan dengan sikap pasrah dan pelayanan konkret (`iba>dah).

Sebagai konsekuensi lebih jauh dari pemahaman di atas, aspek idealitas Islam sering disebut sebagai, meminjam istilah Fazlur Rahman, "Islam normatif" atau, istilah Richard C. Martin, "Islam formal" yang ketentuannya tertuang secara eksplisit di dalam teks-teks Islam primer. Sementara itu, aspek praxis menyangkut dimensi kesejarahan umat Islam yang beraneka ragam sesuai dengan keragaman faktor eksternal yang melingkupinya. Aspek yang terakhir ini bersifat subyektif sebagai akibat dari akumulasi pengetahuan Muslim secara turun-temurun dan dialog akulturatif antara "Islam formal" dan budaya lokal Muslim tertentu.

Itulah sebabnya Islam tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang saja seraya menafikan sudut pandang lainnya. Apabila Islam hanya dilihat dari satu sisi saja, akibat yang ditimbulkan mudah ditebak: reduksi dan distorsi makna. Adanya pihak "luar" yang selama ini menciptakan stereotipe negatif tentang Islam, hemat penulis, salah satunya disebabkan oleh faktor ini. Di dalam kelompok intern umat Islam sendiri, yang dalam sejarahnya selalu diwarnai oleh perang klaim kebenaran berkepanjangan, juga akrab dengan faktor one-sidedness ini. Sebagai akibatnya, gambaran Islam yang utuh –tanpa diwarnai oleh sikap apologetik dan truth claim-- rasanya akan sulit dicapai. Untuk mengatasi problem ini, sekali lagi, tidak lain adalah dengan kerangka pikir terpadu melalui pendekatan tekstual dan kontekstual sekaligus.

Pendekatan Tekstual
Disebut pendekatan tekstual karena ia menekankan signifikansi teks-teks sebagai sentra kajian Islam dengan merujuk kepada sumber-sumber suci (pristine sources) dalam Islam, terutama al-Qur’a>n dan H{adi>th. Pendekatan ini sangat penting ketika kita ingin melihat realitas Islam normatif yang tertulis, baik secara eksplisit maupun implisit, dalam kedua sumber suci di atas. Selain al-Qur’a>n dan H{adi>th, kajian tekstual juga tidak menafikan eksistensi teks-teks lainnya sebagaimana ditulis oleh para intelektual dan `ulama>’ besar Muslim terdahulu dan kontemporer.

Selain tawh}i>d sebagai pilar paling penting dalam Islam, `iba>dah mah}d}ah (dimensi vertikal) merupakan bagian dari Islam normatif yang ketentuan hukumnya sudah diatur secara jelas (qat}’i>) dalam kedua teks suci Islam. `Iba>dah mah}d}ah tidak memerlukan ijtihad untuk mencari penafsiran lebih jauh; ia hanya perlu diamalkan oleh kaum Muslim. Dalam bahasa ritualnya, ia sering disebut sebagai arka>n al-Isla>m yang meliputi shaha>dah, s}ala>t, puasa, zakat dan ibadah haji bagi yang mampu. Bukan saja rukun Islam yang membentuk Islam normatif, kesalehan teologis lainnya yang tertuang dalam al-Qur’a>n dan H{adi>th juga sering menjadi rujukan utama ibadah dalam Islam dan, dengan begitu, bisa dilihat dengan menggunakan pendekatan pertama ini.

Dalam aplikasinya, pendekatan tekstual barangkali tidak menemui kendala yang cukup berarti ketika dipakai untuk melihat dimensi Islam normatif yang bersifat qat}’i> sebagaimana tersebut di atas. Persoalan baru muncul ketika pendekatan ini dihadapkan pada realitas ibadah umat Islam yang tidak tertulis secara eksplisit, baik di dalam al-Qur’a>n maupun H{adi>th, namun kehadirannya diakui dan, bahkan, diamalkan oleh komunitas Muslim tertentu secara luas. Contoh yang paling nyata adalah adanya ritual tertentu dalam komunitas Muslim yang sudah mentradisi secara turun-temurun seperti slametan (tahlilan atau kenduren).

Cukup dilematis, memang, bagi pendekatan tekstual untuk sekadar menjustifikasi bahwa ritual-ritual tersebut merupakan bagian dari ajaran Islam atau tidak. Sebagai bagian dari diskursus akademis, tujuan mengkaji ritual-ritual populer dalam Islam memang bukan untuk membuktikan apakah mereka merupakan bagian dari ajaran Islam atau tidak. Diskursus semacam ini tentu saja sudah out of date untuk tetap dikedepankan dalam konteks analisis ilmiah-akademis dan, oleh karenanya, tidak perlu dipertahankan dalam tradisi intelektual. Sebaliknya, yang menjadi concern akademis di sini adalah bagaimana menempatkan ritual populer tersebut dalam kerangka proporsional yang tidak berbuntut klaim atau pembenaran sepihak.

Untuk menjawab persoalan di atas, barangkali ada baiknya menengok ancangan tentatif yang disusun oleh Mark R. Woodward dalam menjawab disparitas distingtif antara Islam normatif/formal dan Islam populer/lokal. Ancangan tersebut tersusun secara kronologis atas empat unsur dasar. Pertama, Islam universalis. Alasan mengapa Islam universalis menempati urutan tertinggi adalah karena di dalamnya tercakup ajaran-ajaran Islam yang secara qat}’i> sudah digariskan di dalam al-Qur’a>n dan H{adi>th. Masuk ke dalam kategori ini adalah arka>n al-Isla>m, tawh}i>d dan kredo religius lainnya yang bersifat taken for granted. Terhadap kategori ini, umat Islam pada umumnya sepakat meyakininya sebagai ultimate truth yang tidak memerlukan ta’wi>l lebih jauh.

Kedua, Islam esensialis. Penggunaan terma "esensialis" ini pada mulanya dipinjam oleh Woodward dari Richard C. Martin untuk menunjuk modus praktik-praktik ritual yang sekalipun tidak dimandatkan secara eksplisit oleh teks-teks universalis (al-Qur’a>n dan H{adi>th), namun secara luas diamalkan oleh umat Islam atas dasar justifikasi substansial dari semangat kedua sumber suci tersebut. Masuk ke dalam kategori ini adalah upacara tahunan mawli>d al-nabi>, bacaan-bacaan dhikr yang diamalkan oleh h}alaqah-h}alaqah s}u>fi>, perayaan kaum Shi>‘ah di setiap bulan Muh}arram untuk memperingati kematian H{usayn, juga modus-modus ritual yang secara mentradisi dipraktikkan untuk memuliakan para wali>, ziarah ke tempat-tempat suci, serta tradisi kenduren/slametan/tahlilan yang tersebar luas di negara-negara Muslim seperti India, Malaysia, Bangladesh, Pakistan, dan Indonesia. Islam esensial, dengan begitu, merupakan kategori Islam yang sangat inklusif.

Ketiga, Received Islam. Secara harfiah, received Islam bisa diterjemahkan sebagai Islam --sebagaimana-- yang diterima atau dipahami. Secara jujur, Woodward tidak menghadirkan deskripsi yang memuaskan tentang kategori yang ketiga ini. Ia hanya menyebut bahwa received Islam menjadi jembatan antara kategori universalis dan esensialis dengan Islam lokal. Lebih jauh, ia menambahkan bahwa contoh konkret dari kategori ini adalah dominasi ajaran s}u>fi> yang mempengaruhi perkembangan Islam lokal di Jawa. Islam jenis ini bersifat dinamis; ia berubah seiring dengan perubahan pengetahuan atau penafsiran terhadap teks-teks esensialis.
Keempat, Islam lokal. Islam lokal bisa didefinisikan sebagai seperangkat teks tertulis, tradisi oral atau ritual yang kehadirannya tidak dikenal di daerah asal turunnya Islam (Saudi Arabia). Menurut Woodward, naskah-naskah atau tradisi mistik kejawen merupakan contoh paling jelas adanya Islam jenis ini serta merupakan implikasi logis sebagai hasil interaksi antara kebudayaan lokal dan received Islam. Signifikansi H{adi>th di Indonesia dan kenyataan bahwa sebagian elemen-elemen penting budaya Jawa berasal dari sumber-sumber historis pra-Islam merupakan bukti kuat adanya interaksi kebudayaan lokal dengan Islam universalis dan esensialis.

Dari ancangan yang diberikan oleh Woodward di atas ada kesan bahwa pendekatan tekstual terkesan tidak memiliki batasan yang jelas untuk membedakan mana yang disebut "Islami" dan mana yang tidak. Justru dari sini muncul kesan seolah-olah pendekatan ini bisa diaplikasikan di wilayah mana saja sepanjang masih dalam lingkup ritual Islam. Ketidakjelasan batasan mengenai Islam ini bisa jadi merupakan kelemahan pendekatan tekstual, dan bisa pula sebaliknya, keistimewaan. Disebut kelemahan karena pendekatan tadi tidak menawarkan jawaban yang pasti terhadap diskursus keislaman tertentu. Namun demikian, dalam tataran akademis, batasan definitif untuk menarik garis demarkasi antara mana yang Islami dan mana yang tidak bukan merupakan persoalan mendasar. Justru yang menjadi persoalan penting dalam konteks ini adalah bagaimana sebuah fenomena ritual dalam Islam –dari ritual formal sampai ritual lokal/populer-- bisa dipahami secara proporsional sehingga tidak memunculkan klaim teologis sepihak.

Pendekatan Kontekstual
Kehadiran pendekatan kontekstual penting untuk memahami Islam dalam kerangka konteksnya, baik ruang dan waktu. Pendekatan yang pertama kali dipopulerkan oleh D. Eickelman ini merupakan perangkat komplementer yang bisa menjelaskan motif-motif kesejarahan dalam –ritual-- Islam untuk memperkuat asumsi bahwa Islam merupakan entitas komprehensif yang melingkupi elemen normatif dan elemen praxis. Terutama dalam rangka memahami fenomena ritual lokal/populer dalam Islam, teori-teori sosio-kultural berikut menjadi bagian penting dari pendekatan kontekstual.

Pertama, Teori Fungsional. Teori yang dikembangkan oleh B. Malinowski ini mengasumsikan adanya hubungan dialektis antara agama dengan fungsinya yang diaplikasikan melalui ritual. Secara garis besar, fungsi dasar agama diarahkan kepada sesuatu yang supernatural atau, dalam bahasa Rudolf Otto, "Powerful Other." Partisipan yang terlibat dalam sebuah ritual bisa melihat kemanjuran agama sebagai sarana meningkatkan hubungan spiritualnya dengan Tuhan karena pada dasarnya manusia secara naluriah memiliki kebutuhan spiritual.

Dengan demikian, teori fungsional melihat setiap ritual dalam agama memiliki signifikansi teologis, baik dari dimensi psikologis maupun sosial. Aspek-aspek teologis dari sebuah ritual keagamaan seringkali bisa ditarik benang merahnya dari simbol-simbol religius sebagai bahasa maknawiah. Pemaknaan terhadap simbol-simbol keagamaan tersebut sangat bergantung kepada kualitas dan arah performa ritual serta keadaan internal partisipan hingga sebuah ritual bisa ditujukan untuk "memuaskan" Tuhan atau kebutuhan spiritualnya sendiri.

Dalam konteks sosiologis, sebuah ritual juga merupakan manifestasi dari apa yang disebut oleh Durkheim sebagai "alat memperkuat solidaritas sosial" melalui performa dan pengabdian. Tradisi slametan merupakan contoh paling konkret dari ritual jenis ini sebagai alat untuk memperkuat keseimbangan masyarakat (social equilibrium), yakni menciptakan situasi rukun –setidaknya-- di kalangan para partisipan. Kalangan fungsionalis yang mengakui asumsi ini adalah Clifford Geertz, James Peacock, Robert W. Hefner, Koentjaraningrat, dan masih banyak lagi.

Pendek kata, teori fungsional melihat fungsi ritual (agama) dalam konteks yang lebih luas, baik dalam konteks spiritual maupun esksistensi kemanusiaan. Ia bisa dipahami sebagai sebuah jawaban terhadap pertanyaan mengapa ritual (agama) itu ada atau diadakan. Jawaban tersebut tentu saja muncul karena umat Islam membutuhkannya sebagai perangkat untuk mendapatkan berkah suci dari Tuhan.

Kedua, Rite de Passage. Secara harfiah, teori yang dikembangkan oleh Arnold van Gennep ini bisa diartikan sebagai "ritual penahapan" yang menandai perpindahan status seseorang dari yang satu ke yang lain, baik perubahan status sosial maupun transformasi spiritual. Ritual jenis ini melibatkan perubahan, baik status eksternal maupun internal, rekonfirmasi sebuah kondisi sebagaimana yang diharapkan tetapi belum sempat dialami atau diartikulasikan dalam hidup seseorang.

Sejalan dengan perspektif rite de passage di atas, slametan bisa juga dipahami sebagai ritual yang menandai perpindahan status seseorang sepanjang hidupnya, mulai dari kelahiran, akikah, khitan, perkawinan, dan kematian. Setiap penahapan dalam hidup manusia menandai perubahan status sosial dari yang satu ke yang lain. Sebagai misal, ritual perkawinan menandai perubahan status sosial dari masa lajang menuju masa keluarga; ritual kematian menandai perpindahan status manusia dari alam dunia ke alam barzakh, dan seterusnya.

Ketiga, Teori Struktrual. Di mata kalangan strukturalis, terutama Claude Lévi-Strauss sebagai salah seorang pelopornya, ritual (agama) diasumsikan memiliki hubungan struktural dengan mitos-mitos lokal tertentu. Terlepas dari persoalan orisinalitas antara mitos dengan ritual, pendekatan ini melihat keduanya memiliki hubungan resiprokal; mitos eksis pada dataran konsepsi dan ritual pada dataran aksi –atau "homology," dalam bahasa Lévi-Strauss. Dengan demikian, strukturalisme melihat ritual sebagai bagian dari sebuah logical order dalam bangunan sistem kultural; ia mengikuti struktur formal dari sebuah sistem tertutup. Dalam konteks ini, teori model of ("model dari") dan model for ("model bagi") Geertz bisa diterapkan untuk lebih memperjelas perspektif teori ini. Jika Lévi-Strauss melihat mitos dan ritual bisa saling berganti posisi satu sama lain, Geertz melihat mitos sebagai wujud dari teori model of sebuah ritual dan ritual sendiri menjadi model for-nya mitos.

Tradisi slametan, lagi-lagi, menjadi sebuah fenomena menarik untuk memperkuat aplikasi teori ini yang mengasumsikan adanya hubungan struktural antara slametan itu sendiri dengan mitos-mitos lokal tertentu sehingga ia menjadi bagian integral dari kebudayaan Islam Jawa. Sebagaimana yang pernah diteliti oleh Woodward, tradisi ritual slametan terkait erat dengan mitos Majapahit-Demak sehubungan dengan memburuknya kondisi agrikultur di awal masa kerajaan Demak. Menurut hasil penelitian Woodward di wilayah Yogyakarta pada awal dekade 1980-an, tradisi slametan pernah dipraktikkan oleh masyarakat Jawa jauh sebelum Islam hadir di tanah Jawa, terutama pada masa Majapahit. Tradisi slametan itu muncul sebagai sarana ampuh untuk "meminta" kepada "sang Pencipta" agar hasil-hasil pertaniannya bisa melimpah dan tidak menemui kendala. Ketika Jawa dikuasai oleh kerajaan Demak, praktik slametan ini tidak dilanjutkan. Namun demikian, pemutusan tradisi slametan ini ternyata tidak memenuhi harapan masyarakat, bahkan fenomena kelaparan tidak mampu untuk dielakkan meski tradisi itu diputus. Atas perintah sultan, Sunan Kalijaga kemudian menghidupkan kembali tradisi slametan dengan mengganti formatnya dengan komponen-komponen yang lebih Islami serta dijadikan sarana efektif untuk mengajarkan Islam kepada khalayak ramai. Dari situlah kemudian slametan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan –Islam—Jawa dan menjadi media akulturasi antara Islam dengan budaya setempat.

Penutup
Dalam konteks diskursus keislaman, pendekatan tekstual merupakan pilihan prioritas yang kehadirannya tidak bisa ditawar-tawar lagi. Ia merupakan conditio sine quanon dalam rangka melihat wajah Islam dari sumber-sumber teks suci, terutama al-Qur’a>n dan H{adi>th. Kehadiran teks-teks yang ditulis oleh intelektual atau `ulama>’ kenamaan di bidang tertentu dalam Islam juga tak kalah pentingnya, terutama ketika ditemukan justifikasi dari kedua teks suci tersebut terhadap sebuah ritual.

Namun demikian, kehadiran kajian tekstual akan lebih berbobot bila klaim-klaimnya bisa ditopang oleh kajian-kajian kontekstual, bukan untuk mencari klaim sepihak, melainkan untuk menempatkannya secara proporsional dalam konteks akademis an-sich. Memang harus diakui, pendekatan yang disebut terakhir bukan merupakan produk murni umat Islam, tetapi bisa dipakai untuk melihat nuansa "lain" dari wajah Islam dengan tanpa mereduksi makna keislaman seorang Muslim. Pendekatan kontekstual diperlukan sekadar untuk memperkuat asumsi bahwa di dunia ini tidak hanya berlaku satu versi saja, melainkan banyak versi yang menggambarkan tentang Islam. Karena itu, sikap yang terjebak ke dalam kubangan truth claim apologetik bisa dihindarkan.

Tidak ada komentar: