Senin, 30 Juli 2007

Mengakhiri Diskriminasi Tionghoa

Muh Kholid AS

Penulis adalah aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) Surabaya

Dalam perayaan nasional Tahun Baru Imlek 2558, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta masyarakat tidak lagi mengulangi kesalahan masa lalu dengan bersikap diskriminatif terhadap warga Indonesia etnis Tionghoa. Presiden mengajak seluruh elemen bangsa bersama-sama membangun dan memasuki era baru kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmoni dengan semangat dan keikhlasan yang tinggi.

Dalam konteks kehidupan bernegara, tiga presiden sebelum SBY sebenarnya telah memelopori lahirnya berbagai produk hukum yang antidiskriminatif. Diawali pada 16 September 1998, BJ Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) 26/ 1998 yang menghapuskan penggunaan istilah pribumi/non-pribumi. Habibie juga mengeluarkan Inpres 4/1999 tentang penghapusan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), dan diperbolehkannya pelajaran Bahasa Mandarin.

Menindaklanjuti kebijakan progresif tersebut, Presiden Abdurrahman Wahid menerbitkan Keputusan Presiden (Kepres) 6/ 2000 tentang pencabutan Inpres 14/1967 yang mengatur penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat China, tanpa memerlukan izin khusus. Sedikit lebih maju, Presiden Megawati menerbitkan Kepres 19/2002 yang menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional.

Puncak dari langkah revolusioner itu adalah lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan yang disahkan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 11 Juli 2006. Dengan pengesahan UU ini, negara atau pemerintah berupaya mencabut produk hukum yang diskriminatif yang selama ini diterapkan. UU ini menjamin dan menegaskanbahwa para pejabat negara yang berani melakukan praktik diskriminasi, seperti birokrat di imigrasi yang meminta SBKRI, bisa dikenai sanksi hukum satu tahun penjara.

Sayangnya, meski berbagai undang-undang telah menjanjikan hilangnya diskriminasi, tetapi perilaku itu faktanya masih tidak sulit dijumpai, khususnya dalam bentuk stereotip. Sejak era penjajahan, kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru hingga reformasi, disadari atau tidak, etnis ini selalu ditempatkan sebagai "masalah".

Secara kronologis, kondisi mengenaskan Tionghoa ini merupakan imbas dari kebijakan masa lalu yang mengadopsi warisan kolonialisme yang memang cenderung memojokkan Tionghoa. Sebagaimana yang diketahui, rusaknya harmoni antara Tionghoa dan non-Tionghoa di Indonesia dimulai dari kebijakan Belanda yang menerapkan passenstelsel, yaitu surat jalan khusus bagi Tionghoa jika hendak bepergian ke luar distrik mereka tinggal.

Selain itu, Belanda juga menerapkan wijkenstelsel, sebuah larangan bagi Tionghoa untuk tinggal berbaur dengan masyarakat lokal dan mengharuskan membangun kawasan tersendiri (Pecinan). Ditambah lagi dengan politik devide et impera Belanda, maka terbentanglah jarak antara penduduk Tionghoa dengan etnis lain, yang secara otomatis membuatnya semakin "asing".

Fakta itu diperparah lagi dengan adanya penulisan sejarah Indonesia yang cenderung Nerlando-Java centris, sehingga semakin terkucillah peran kesejarahan Tionghoa di republik ini.

Padahal, sebelum kedatangan Belanda, orang-orang Tionghoa di Indonesia hidup berdampingan dengan penduduk setempat secara damai. Mereka datang ke bumi Nusantara jauh hari sebelum kedatangan etnis yang berasal dari benua Eropa itu.

Umumnya mereka datang tidak membawa istri dari negeri asalnya dikarenakan larangan membawa dan mengirim perempuan ke luar dari Tiongkok. Setelah menetap di Indonesia, mereka menikah dengan perempuan pribumi, yang menghasilkan keturunan campuran (peranakan).

Dengan demikian, Tionghoa sebenarnya adalah salah satu etnis penduduk lokal Nusantara yang juga berhak menempelkan term pribumi dalam identitasnya. Titik pangkal munculnya term pribumi maupun nonpribumi hanyalah terletak pada siapa yang lebih dahulu menginjakkan kaki dan menghuni Bumi Pertiwi.

Seiring dengan wacana urgensitas pembangunan civil society, sudah saatnya diskriminasi yang dialami oleh etnis Tionghoa diletakkan sebagai persoalan bersama. Elemen bangsa lainnya, apa pun agama dan etnisnya, saatnya mendorong pemerintah daerah untuk melakukan kebijakan yang memihak kepada etnis ini secara massif.

Pada sisi lain, warga Tionghoa juga harus bisa melebur menjadi integral dari bagian Indonesia. Sikap eksklusif, apatis, isolatif, walau direpresentasikan oleh beberapa orang, layaknya juga dikaji sebagai bahan pertimbangan dalam membangun kebersamaan menuju Indonesia baru.

Selain itu, masyarakat etnis Tionghoa yang selama ini terkesan apatis dalam partisipasi politik, saatnya untuk mengakhiri sikap tersebut. Trauma politik yang mengarah pada sikap apatis terhadap partisipasi pemerintahan selayaknya diakhiri, sejalan dengan dibukanya pintu demokrasi di negeri ini. Etnis Tionghoa harus semakin peduli terhadap pemerintahan dan masyarakat lain, termasuk dengan cara memperbesar peran politik.

Ranah politik sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru bagi etnis Tionghoa dalam sejarah lahirnya Indonesia. Bangsa ini pernah mencatat negarawan semacam Tan Po Gwan, Siauw Giok Tjhan, Ong Eng Die, atau pun Kwik Kwan Gie. Sebelumnya, di zaman kemerdekaan ada negosiator ulung Tjoa Siek In yang menjadi delegasi perundingan USS-Renville, dan Sim Kie Ay sebagai anggota delegasi dan penasihat dalam Konferensi Meja Bundar (KMB).

Akhirnya, jika bangsa ini tidak ingin diskriminatif, segala produk hukum atau praktik hidup yang diskriminatif harus dihapus dan diakhiri. Indonesia yang beragam justru akan menjadi orkestra yang indah, jika masing-masing etnis yang ada saling menghormati perbedaan sambil memberi sumbangan yang signifikan bagi kemajuan bangsa.

Sebagaimana yang dikatakan Presiden SBY dalam perayaan Imlek 2558, Indonesia adalah sebuah mozaik yang indah dan kaya warna karena tumbuh subur berbagai agama dan budaya serta warganya hidup berdampingan damai, rukun dan harmonis selama berabad-abad.***


Tidak ada komentar: