Senin, 30 Juli 2007

SBKRI dan Diskriminasi Etnis di Surabaya

Oleh: Choirul Mahfud
Penulis adalah direktur LKAS Surabaya, aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)

Akhir-akhir ini, penolakan (kembali) terhadap kebijakan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dan segala bentuk diskriminasi etnis di kota Surabaya kembali menguat. Pasalnya, raperda pemerintah kota (pemkot) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) kota Surabaya ditengarai akan memberlakukan kembali SBKRI. Bahkan realita di lapangan masih banyak oknum birokrat, secara sengaja atau tidak, telah mempraktekkannya, utamanya kepada warga Tionghoa. Buktinya, sejumlah warga Tionghoa masih mengeluh dan dipersulit Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Surabaya karena harus menyertakan SBKRI saat akan mengurus kartu tanda penduduk (KTP), kartu keluarga, akta kelahiran, dan surat nikah (Jawa Pos, 7/4/2006).

Bahkan kini Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Surabaya mengharuskan warga keturunan Tionghoa mencantumkan nama marga atau famili dalam dokumen resmi. Akibatnya, nama dalam KTP, kartu kelurga, rekening bank, dan dokumen lain bisa berbeda-beda. Padahal, dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 56 Tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan RI Pasal 1 disebutkan, bahwa “Istri dan anak yang berusia di bawah delapan belas tahun dari seseorang yang memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia melalui proses pewarganegaraan, langsung ikut serta menjadi warga negara RI mengikuti kewarganegaraan suami/ayahnya tersebut.”

Dalam Pasal 5 juga ditegaskan, bahwa dengan berlakunya keputusan presiden ini, maka segala peraturan perundang-undangan untuk kepentingan tertentu mempersyaratkan SBKRI dinyatakan tidak diberlakukan lagi. Dalam era BJ Habibie pun, telah dikeluarkan pula Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 1999 yang intinya menegaskan kembali eksistensi Keppres No 56/1996. Dalam bagian pertama butir a (2) disebutkan, “Untuk kepentingan tertentu yang memerlukan bukti kewarganegaraan RI, istri dan/ atau anak cukup mempergunakan keputusan presiden mengenai pemberian kewarganegaraan suami/ayah atau ibu juga beserta berita acara pengambilan sumpah atau akta kelahiran yang bersangkutan; (3) Bagi warga negara RI yang telah memiliki KTP atau kartu keluarga atau akta kelahiran, pemenuhan kebutuhan persyaratan untuk kepentingan tersebut cukup menggunakan KTP, atau kartu keluarga, atau akta kelahiran tersebut.”

Pertanyaannya adalah kenapa keputusan dari pusat tersebut tidak dijalankan oleh aparat birokrasi di daerah? Padahal, logika aturan di daerah semestinya mengacu pada keputusan di atasnya, dalam hal ini Kepres dan Inpres. Menurut Kepala Subdinas Tata Usaha Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya Imam Sugondo dalam diskusi “Masih perlukah SBKRI?” Beberapa hari lalu di Kompas, dijelaskan beberapa alasan, diantaranya ia mengatakan bahwa Keputusan Presiden (Keppres) No 56/1996 belum bisa diterapkan, karena belum ada surat petunjuk pelaksanaan (juklak) dari Wali Kota Surabaya. Oleh karena itu, aturan dalam Staatsblad 1912 yang merupakan aturan Kolonial Belanda masih terus diterapkan.

Sungguh ironis memang, Surabaya yang dikenal sebagai kota terbesar kedua setelah Jakarta dalam persoalan kebijakan publik dan pelayanan masyarakat masih kurang memuaskan dan bahkan diskriminatif. Tentu ini menjadi bahan koreksi bagi pemkot khususnya dan umumnya anggota masyarakat di kota Pahlawan ini untuk lebih kritis dalam melihat segala bentuk tata aturan yang penuh manipulasi dan diskriminasi

Kebijakan diskriminastif dengan diwajibkannya warga Tionghoa untuk memiliki SBKRI pada awalnya memang latar belakangnya lebih bersifat politik rasialis dan keamanan. Dan sebenarnya kalau dilihat dari landasan politik hukum kewarganegaraan, ketentuan tentang bukti kewarganegaraan wajar saja diberlakukan bagi orang asing yang mau menjadi warga negara dalam suatu negara. Namun amat disayangkan, masalah itu kini sudah beralih menjadi ladang untuk melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan pendiskriminasian etnis tertentu atas nama SBKRI.

Menurut Tomy Su (2004), SBKRI sebenarnya sama saja dengan hantu. Meski berulangkali para penguasa dan pejabat negeri ini menegaskan "SKBRI sudah dihapus", tapi seperti halnya 'hantu', SKBRI memang tidak pernah "mati-mati". Bahkan kalau perlu dilestarikan dan dilembagakan agar tetap terus hidup (baca diberlakukan). Oleh karena itu, bila pemerintah ada kemauan kuat untuk menghapus SBKRI, maka kebijakan tersebut tidak cukup berhenti pada dataran kepres/inpres atau ucapan (seperti ucapan wawali Arief Affandi 7/4 lalu) saja, tetapi juga perlu ditindaklanjuti pada dataran kebijakan di tingkat daerah/kota, kecamatan, hingga kelurahan/desa agar supaya berjalan sukses.

Pertanyaannya, adakah kemauan pemerintah, dan semua elemen masyarakat untuk menggalang gerakan penghapusan (kembali) SBKRI dan segala bentuk diskriminasi hingga akar rumput? Pertanyaan ini patut diajukan mengingat fenomena merebaknya diskriminasi melalui berbagai media sangat dimungkinkan terus terjadi. Persoalan diskriminasi terhadap warga Tionghoa sebetulnya bukan persoalan baru. Masih segar dalam ingatan kita, beberapa tahun terakhir, di Surabaya, diskriminasi etnis Tionghoa masih terus terjadi (Jawa Pos, 24/6/2004). Mulai dari diskriminasi oleh pemerintah kota dengan adanya pemberlakuan kebijakan 'tidak adil' yaitu Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dalam urusan publik, hingga diskriminasi dalam berpolitik (mungkin juga untuk daftar CPNS beberapa waktu lalu?).

Demikian pula dalam aktivitas politik, hingga kini, alasan kenapa warga etnis Tionghoa tidak banyak terjun ke dunia politik bukan karena warga etnis Tionghoa tidak mau berpolitik, namun akibat sistem yang diskriminatif lah yang sesungguhnya membuat etnis ini tidak bisa terjun ‘bebas’. Tidak saja dalam konteks politik nasional tetapi juga lokal, seperti Pilkada. Dalam pilkada di Surabaya lalu, misalnya, sangat tampak warga etnis Tionghoa masih 'takut’ dalam berpolitik. Karena, perasaan was-was masih terus menghantui warga etnis ini.

Akhirnya, bagaimana solusi konkrit untuk menjembatani kesenjangan persepsi tersebut atau dengan lain kata merekonstruksi kembali memori kolektif bangsa Indonesia sejak dulu? Biar tidak ada dengki dan dusta di antara kita. Tentu saja, pemerintah dan masyarakat harus merubah pola pikir dalam melihat warga Tionghoa yang mungkin cenderung negatif. Mengedepankan sikap toleran, hormat menghormati, menjauhkan prasangka buruk (prejudice) dan menghargai perbedaan. Perbedaan tidak dipandang sebagai penghalang untuk berinteraksi sosial, politik, budaya dan bergotong royong demi mewujudkan cita-cita kota, bangsa dan negara bhineka tunggal ika perlu dipraktekkan. Semoga.***

Tidak ada komentar: