Pradana Boy ZTF
Dosen FAI Universitas Muhammadiyah Malang
Selama 25 tahun terakhir, para analis agama mengidentifikasi agama sebagai kekuatan kelabu (dark force) dalam berbagai urusan kehidupan manusia.
Bagi orang beragama, ungkapan ini terasa ganjil, cenderung menyakitkan. Tetapi, tesis seperti ini lahir dari, setidaknya, dua sumber utama, yaitu terkait stereotipe tentang lahirnya Gerakan Keagamaan Baru (New Religious Movement) di bawah bendera fundamentalisme dan lahirnya kelompok-kelompok keagamaan baru yang beroperasi di luar kelaziman komunitas keagamaan konvensional (Barkun, 2004).
Fenomena keagamaan global ini dengan jelas menemukan pembenarannya dalam konteks Indonesia. Di samping lahirnya gerakan fundamentalisme keagamaan, kehidupan beragama di Indonesia juga ditandai dengan lahirnya gerakan keagamaan baru dalam bentuk kelompok-kelompok keagamaan yang dianggap menyimpang.
Secara sosiologis, fenomena lahirnya kelompok-kelompok keagamaan seperti ini bisa disebut sebagai upaya untuk memperebutkan agama sebagai pasar dominasi sosial. Piere Bourdieu, misalnya, menyebut agama memiliki potensi sebagai arena persaingan, sebagaimana arena-arena kehidupan lainnya, di mana agen dan institusi berlomba melakukan aktivitas produksi, akumulasi dan kontrol atas bentuk yang sah dari kapital, dalam hal ini adalah kapital religius.
Membius masyarakat
Dengan bahasa yang agak berbeda, Max Weber meyakini bahwa agama adalah sumber vital bagi legitimasi kekayaan dan kekuasaan, dan dengan sendirinya adalah dominasi. Sebagai sumber dominasi, agama bisa menjadi media yang paling efektif untuk memengaruhi komunitas sosial tertentu. Efektivitas agama sebagai sumber dominasi ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi bahwa agama sebenarnya juga memiliki potensi untuk membius masyarakat.
Pembiusan terhadap masyarakat dengan menggunakan agama sebagai sumber bisa berjalan ke dua arah (positif dan negatif) tergantung kepada otoritas sang pembius. Jika pembiusan itu dilakukan oleh figur-figur yang berotoritas, massa yang terbius itu justru akan tergiring kepada arah yang positif. Dalam hal ini, pemimpin-pemimpin keagamaan adalah para pembius yang berhasil mengelola bius agama untuk mengarahkan massanya ke arah yang positif. Sebaliknya, jika aktivitas pembiusan itu dilakukan oleh figur-figur yang secara sosial mengalami alienasi dan bermasalah dengan integrasi pada level sosial serta memiliki nalar keagamaan yang penuh anomali, pembiusan itu justru akan bergerak ke arah negatif.
Ironisnya, lahirnya interpretasi dan perilaku keberagamaan baru sebagaimana yang diperkenalkan oleh aliran-aliran keagamaan baru tersebut justru datang dari figur-figur yang alih-alih memiliki otoritas untuk melakukan reformulasi terhadap ajaran agama dalam kemasan yang lebih kontekstual dan membumi, yang terjadi justru figur-figur ini menjadikan ”penyimpangan” terhadap agama sebagai sumber legitimasi mereka dalam percaturan kehidupan sosial.
Weber menyebut bahwa dalam konteks sosiologis keberagamaan masyarakat akan selalu ada apa yang dia sebut sebagai model pasar religius dalam kerangka pasar kultural. Bagi Weber, dalam struktur pasar yang semacam ini, pemuka agama (birokratis), para nabi (yang karismatik) adalah para produsen ”kebaikan simbolik” yang berkompetisi memperebutkan tempat di antara kalangan masyarakat awam.
Sayangnya, sebagai produsen ”kebaikan simbolik”, para pemimpin kelompok-kelompok keagamaan yang dianggap sesat itu justru sama sekali tidak memiliki kualifikasi Weberian sebagai pemuka agama (birokratis), dan terlebih para nabi (yang karismatik). Akibatnya, ”kebaikan simbolik” yang mereka tawarkan tidak bisa menjangkau pasar yang lebih luas, sebaliknya justru memicu reaksi negatif dari massa.
Karena itu, di luar perdebatan apakah secara teologis lahirnya kelompok-kelompok keagamaan seperti itu bisa dibenarkan atau tidak, secara sosiologis, fenomena seperti itu bisa dihubungkan dengan hasrat melahirkan dominasi baru di tengah masyarakat.
Sayangnya, kekuatan baru yang tengah berebut dominasi melalui agama itu memiliki tidak hanya nalar yang menyalahi nalar publik, tetapi juga tidak memiliki ”kapital religius” dan ”kapital sosial” yang cukup memadai. Akibatnya, alih-alih bisa menciptakan dominasi, tindakan itu justru membawa mereka ke dalam jurang alienasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar