Hartono Harimurti
Dalam wawancara dengan pakar kechinaan Prof Dr Abdullah Dahana di kantor Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat UI, Kampus UI Depok, Jawa Barat yang didampingi Yohannes Herlijanto M Si, staf pengajar program studi China Fakulas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, terungkap hal-hal yang berkaitan dengan kechinaan di Indonesia. Berikut petikannya.Imlek jadi ikon penting berkaitan dengan ke-China-an di Indonesia. Apakah Imlek bisa menjadi pintu masuk untuk lebih menyatukan etnis Tionghoa dengan etnis lain di Indonesia?
Imlek itu bisa diartikan sebagai kegiatan atau pesta agama bagi mereka yang menganut agama Konghucu, namun bisa juga kita artikan sebagai pesta budaya orang Tionghoa. Di Indonesia, imlek itu bisa juga diartikan sebagai sebuah pesta multikultural. Kenapa
Lihat saja bagaimana banyak orang menyaksikan imlek, berpartisipasi dalam kegiatan perayaannya, hingga banyak orang mendapat keuntungan karena perayaan itu.
Jadi tidak hanya etnis Tionghoa saja yang merasakan Imlek itu. Dengan Imlek, kita bisa melakukan kepada kebudayaan orang Tionghoa.
Sejak 1998, kita sudah kembali kepada kenyataan bahwa bangsa kita adalah bangsa multikulturalis, dan masyarakat Tionghoa menjadi bagian di dalamnya.
Apakah dengan begitu perayaan Imlek di Indonesia sudah bisa disebut telah berakulturasi dengan budaya lokal ?
Kalau berakulturasi saya rasa sudah, tapi belum bisa dikatakan telah berakulturasi secara penuh. Karena budaya ini berasal dari Tiongkok, maka untuk menjadi budaya yang lepas sepenuhnya dari kesan Tiongkok, ya tidak mungkin. Yang paling mungkin jadi budaya masyarakat Tionghoa khas Indonesia. Kesan Tiongkoknya tidak bisa dihapus, tapi etnis Tionghoa di sini punya perbedaan dengan mereka yanga ada di tanah leluhur atau di negara lain. Sebab, di sini sudah ada akulturasi dengan budaya lokal kita.
Yang jelas, sekarangini imlek menjadi bagian dari budaya bangsa kita. Paling tidak, sudah terasa perbedaannya bila dibandingkan saat Orde Baru.
Bagaimana etnis Tionghoa memandang etnis lain di sini?
Kita tidak bisa menafikan fakta-fakta bahwa selama ini etnis Tionghoa selalu dianggap sebagai orang lain oleh etnis pribumi. Mereka dianggap sebagai orang asing karena meskipun telah puluhan atau ratusan tahun tinggal di Indonesia, mereka masih berorientasi pada Tiongkok.
Saya berpendapat tak ada salahnya orientasi seperti itu selama hanya berkaitan dengan aspek budaya saja, bukan pada soal nasionalisme atau politik yang mengesankan mereka adalah bagian dari Tiongkok. Di luar itu, masyarakat juga memandang mereka sebagai orang eksklusif, pihak yang kaya, penguasa jaringan bisnis yang selalu mengalahkan bisnis pribumi.
Nah, sekarang mereka (etnis Tionghoa-Red) menilai etnis-etnis pribumi juga dengan pendapat beragam. Dengan berbagai kepentingan yang mendasarinya tentunya. Mereka menilai ada masyarakat kita yang bisa diajak bekerja sama, tapi ada juga yang tidak, yang pemalas, tidak mau bekerja keras, tidak hemat dan tidak ulet seperti etnis Tionghoa. Jadi ada yang bisa "klop', ada juga yang tidak. Tapi pada dasarnya, terlepas dari perbedaan-perbedaan yang ada dan juga terjadinya tragedi Mei 1998 di Jakarta, etnis Tionghoa sangat memerlukan etnis pribumi, begitu juga sebaliknya. Hubungannya berupa partnership. Hubungan orang Tionghoa dengan orang Minangkabau di Tanah Abang dalam bisnis kain dan pakaian bisa dijadikan contoh.
Bagaimana orang Tionghoa memandang pemerintah?
Saya sering membaca tulisan-tulisan dari tokoh-tokoh Tionghoa. Pada prinsipnya mereka menghormati pemerintah kita sebagai pemerintah yang sah sehingga harus ditaati segala hukum-hukumnya. Namun mereka juga tidak segan-segan mengritik kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan harapan mereka.
Seperti apa contohnya ?
UU Kewarganegaraan misalnya, mereka menerima itu tapi memberikan juga usulan-usulan untuk perbaikan, karena mereka khawatir masih terjadinya penyimpangan-penyimpangan pada tingkat birokrasi di bawah. Kini juga banyak tokoh-tokoh dari etnis Tionghoa yang juga vokal menyuarakan kepentingan rakyat banyak, bukan lagi sekadar kepentingan etnisnya. Contohnya Alvin Lie, Kwik Kian Gie dan banyak lagi.
Penunjukkan menteri dari etnis Tionghoa juga berarti Presiden mempertimbangkan orang tersebut bisa berbuat banyak untuk memajukan bangsa ini. Jadi kini mereka merasa mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk memajukan kehidupan bangsa Indonesia.
Apa saja peraturan yang masih berkesan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa ?
(Dahana mempersilakan Yohannes menjawab pertanyaan ini). Memang telah terjadi perubahan terhadap aturan tentang kewarganegaraan. Namun masalahnya apakah kemudian itu sudah ditetapkan sebagai staatblad atau belum. Ini perlu ditelusuri karena Indonesia masih menggunakan sistem yang dari zaman kolonial selalu membeda-bedakan warga Timur Asing dengan warga pribumi.
Dan warga pribumi sendiri berdasarkan aturan tersebut juga dibedakan antara yang Muslim dan non-Muslim. Itu nantinya masih terlihat dalam akte kelahiran. Adanya perbedaan ini berpotensi membuka peluang untuk melakukan praktik diskriminasi di level aparat bawah. Sosialisasi yang kurang gencar dilakukan pemerintah membuat banyak masyarakat yang tidak tahu seperti apa perubahan UU tersebut beserta praktiknya di lapangan.
Apa saran Anda agar etnis Tionghoa benar-benar bisa melebur di bumi pertiwi ini?
Semua diskriminasi rasial harus dihapus, juga semua bentuk pengistimewaan. Semua orang ingin diperlakukan sama dalam hak dan kewajiban. Mengapa orangTionghoa tidak diberi kesempatan yang sama untuk menjadi pegawai negeri, tentara, aparat penegak hukum, dan sebagainya? Kita kan jarang melihat polisi reserse dari etnis Tionghoa.
Saat ini yang longgar bagi orang Tionghoa hanya bidang pendidikan atau kesehatan. Yang lainnya banyak yang masih dibatasi. Tapi dengan lebih demokratisnya sistem politik, tampillah Bupati pilihan rakyat dari etnis Tionghoa di Provinsi Bangka Belitung.
Selain itu perlu dikembangkan pula pandangan yang proporsional. Selama ini kan kalau ada kekecewaan ekonomi terhadap pemerintah, yang selalu dijadikan kambing hitam ya etnis Tionghoa yang dianggap kaya dan menguasai ekonomi. Padahal di Jakarta sendiri banyak kampung-kampung Tionghoa miskin. Lihat saja di Tegal Alur, juga kampung "China Benteng" di Tangerang.
Yang terpenting adalah penegakan hukum. Jadi siapa yang melanggar hukum harus ditindak tegas aparat. Tidak ada lagi pengecualian berdasarkan etnis seperti saat ini yang menyebabkan terjadinya kecemburuan antaretnis. Padahal pelaku-pelakunya hanya oknum yang kebetulan beretnis tertentu.(Hartono Harimurti-73)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar