Senin, 30 Juli 2007

Jalan Berliku Memberantas Terorisme

Oleh Muh Kholid AS
Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)

Setelah melewati pengejaran yang melelahkan, polisi akhirnya mampu meringkus buronan teroris terkemuka Abu Dujana, di Banyumas, Jawa Tengah. Berselang enam jam kemudian, penangkapan pimpinan sayap militer Kelompok Jamaah Islamiyah ini diikuti dengan pembekukan pimpinan darurat KJI Zarkasih di Sleman, Yogyakarta. Penangkapan dua "tokoh" ini menambah daftar panjang teroris yang berhasil dilumpuhkan polisi menjadi 405 orang, dengan 48 di antaranya sudah bebas dari penjara.

Meski demikian, harus disadari bahwa keberhasilan polisi dalam menangkap para teroris ini bukanlah keberhasilan dalam memberantas terorisme di Indonesia secara keseluruhan. Sepak terjang kepolisian yang tidak bosan-bosan mengamankan para teroris, bahkan dengan membentuk unit khusus, hanyalah menunda sesaat terjadinya tindak kekerasan. Ibarat kata pepatah "patah satu tumbuh seribu", penangkapan teroris tetap akan melahirkan para teroris baru selama akar masalah kejahatan ini belum dipecahkan.

Sebagaimana yang dikatakan mantan Ketua Mantiqi III KJI Nasir Abbas, salah satu kekuatan utama organisasi rahasia (tandzim al- sirri) ini adalah dahsyatnya solidaritas sesama anggota. Bahkan, solidaritas ini bisa melebihi keterikatan seseorang dengan keluarga inti sendiri, termasuk istri dan anak kandung. Sehingga tidak heran jika Abu Dujana tetap merahasiakan aksi terornya kepada keluarganya, bahkan dia juga mengatakan rela andaikan keluarganya menjadi korban aksi bom yang dilakukan Noordin M Top.

Melihat keteguhan para teroris dalam meyakini "perjuangannya" tersebut, tidak dipungkiri bahwa upaya menghentikan terorisme di negeri ini harus melalui jalan yang panjang dan berliku. Sudah tentu tugas ini bukan tanggung jawab aparat kepolisian semata, melainkan tanggung jawab semua masyarakat yang mempunyai nurani dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan.

Upaya masif ini mutlak digalakkan karena bibit-bibit teroris baru di Indonesia bukanlah sesuatu yang mengada-ada. Menurut survei yang dilakukan The Wahid Institute dan Indo Barometer tentang persepsi Muslim Indonesia terhadap agama Islam dan terorisme, terdapat kalangan yang mendukung aksi terorisme, bahkan bersedia terlibat di dalamnya (21/6). Ketika 1.047 responden diberi pertanyaan apakah terorisme diperbolehkan dalam ajaran Islam, 97,3 mayoritas percaya terorisme tidak dibolehkan dalam ajaran Islam, dan "hanya" 2,7 persen yang percaya sebaliknya.

Angka 2,7 persen ini sepintas memang terlihat sangat kecil dan tak seberapa, tetapi angka ini sesungguhnya sangat mencengangkan jika merujuk pada jumlah penduduk di Indonesia secara keseluruhan. Jika penduduk dewasa di Indonesia mencapai 160 juta orang, dengan 87 persen di antaranya Muslim, maka kalangan yang setuju terhadap teroris berjumlah 3,76 juta. Bisa dibayangkan jika "hanya" 10 persen dari 2,7 persen ini benar-benar menjadi teroris baru, maka Indonesia mungkin menjadi negara "kiamat". Aparat keamanan saja kesulitan untuk memberantas aksi teror yang hanya dilakukan segelintir orang yang tidak mencapai 1.000, apalagi jika terorisnya berjumlah hingga ratusan ribu, bahkan jutaan?

Berdasarkan pada asumsi ini, maka perlawanan terhadap terorisme memang tidak bisa ditempuh kecuali dengan jalan dan pengetahuan yang komprehensif tentang terorisme itu sendiri. M Asfar dalam bukunya Agama, Terorisme, dan Radikalisme (2004) menjelaskan latar belakang munculnya terorisme pada tiga kategori, yaitu struktural, psikologis, dan pilihan rasional. Teori struktural menjelaskan sebab terjadinya terorisme dalam konteks lingkungan, politik, sosial, dan ekonomi masyarakat.

Teori psikologis mempertanyakan mengapa individu tertarik bergabung dengan organisasi teroris, bahkan rela berkorban jiwa dengan cara bunuh diri. Sementara, teori pilihan rasional (rational choice) menjelaskan partisipasi teroris dalam aksinya dengan kalkulasi untung rugi.

Berdasarkan pada pengakuan para teroris yang sudah tertangkap, terlihat bahwa tindakan teror yang dilakukan secara tidak langsung dipicu oleh akumulasi kekecewaan terhadap ekses negatif dari modernisasi, serta kegagalan elite pemerintah (Muslim) dalam mewujudkan pembangunan negara, pengembangan sosial ekonomi, dan kekuatan militer.

Kondisi ini semakin diperparah dengan berbagai faktor pemercepat yang terjadi di dalam negeri, seperti tersumbatnya partisipasi politik (powerlessness), ketidakadilan ekonomi, ketimpangan sosial, lemahnya penegakan hukum, maraknya korupsi, dan kegagalan elite- elite Muslim dalam menerjemahkan ajaran Islam, dan lain-lainnya. Praktik seimbang

Berdasarkan latar belakang munculnya terorisme ini, maka solusi untuk memberantas terorisme dalam jangka panjang adalah mengajak dialog dan tukar pikiran kepada agen-agen yang berpotensi menanamkan radikalisme. Berbagai pusat kawah candradimuka (polycentrism) fundamentalis yang sebenarnya bisa dilihat secara kasatmata di negeri ini harus diajak berbicara tentang teks keagamaan dalam konteks realitas yang profan. Sebab, lahirnya para teroris yang mencomot ayat-ayat Tuhan dalam melakukan kekerasan tersebut juga tidak terlepas dari kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang melingkupinya.

Dalam konteks ini, sungguh tepat jika Islam moderat "bergegas" melakukan penyadaran terhadap masyarakat untuk mengembalikan keberagamaan sebagai praktik yang seimbang (tawassut) dan tengah- tengah (i'tidal), bukan kekerasan (tathorruf) dan teror (irhab). Sudah saatnya kalangan Islam moderat kembali mengampanyekan keberagamaan yang santun untuk menghadang tumbuhnya ideologi radikalisme yang menghalalkan cara-cara kekerasan dalam mencapai tujuan. Harus ada upaya yang intensif dengan segala macam aktivitas yang bervariatif, dari yang sifatnya remeh sampai ideologisasi, baik melalui jalur pendidikan, politik, ekonomi, keamanan, budaya, maupun pembaruan teologi.

Dengan demikian, selain memerangi secara intensif tindakan teror sebagaimana yang dilakukan aparat keamanan, dialog dan bertukar pikiran dengan tokoh-tokoh fundamentalis memang harus lebih diprioritaskan. Justru cara-cara yang demokratis, baik melalui pendidikan, persuasi, dialog, tukar pikiran, proses sosialisasi pikiran-pikiran Islam modern, dan lain-lain, sangat mungkin akan membuka cakrawala pengetahuan yang lebih luas. Keterbukaan pintu dialog sangat mungkin akan mengurangi pemahaman kalangan skriptural untuk lebih memerhatikan konteks kesejarahan. Allahu A'lam bi al- Shawab.

Tidak ada komentar: