Nurrohman, Bandung
After discussions on political Islam with caliphate activists on and off my campus, I've got the impression that their ideal caliphate system is still the same as that described by EIJ Rosenthal in his book Islam in the Modern National State -- that sovereignty belongs to God and authority is vested in the khalifa as the vicegerent of the prophet, the messenger of Allah.
It is the duty of the caliph to implement sharia to defend the faith against heresy and the faithful against attack, and to ensure their ability to live by the prescriptions of sharia and thus attain happiness in this world and in the hereafter.
If it is translated into a state constitution the formulation will be close to Iran's constitution: All legislation for the administration of society will revolve around the Koran and Sunnah. Accordingly, the exercise of meticulous and earnest supervision by just, pious and committed scholars of Islam is an absolute necessity.
In the caliphate system it is the elites, rather than people, who represent God's absolute power. Therefore, in criticizing this system, Khaled Abou El-Fadl, in his book Rebellion and Violence in Islamic Law, said that while Muslims in general, arguably, are God's viceroys on this earth (khulafa fi al-ard), it is the rulers and jurists who traditionally have enjoyed the power to speak for the divine law.
So if the caliphate will be reestablished in Muslim countries the challenges might come not only from non-Muslims but also from Muslims themselves who believe that a democratic and secular or at least neutral state would be more suitable and better for them.
However, the two traditional duties of the caliphate, harasatu al-din (protecting religion) and siyasatu al-dunya (managing the world) might be still relevant if their application is adjusted to the current demand. Harasatu al-din in the current context should be translated into protecting religion in its broader meaning, not merely the religion of the mainstream, which means that every religion or sect has the right to exist and must be protected.
Meanwhile siyasatu al-dunya should be understood as the effort to establish a world order based on peace, equality, justice and welfare for all.
The caliphate should be based on principles agreed upon by all elements in society, as exemplified by the prophet Muhammad through Madina charter. It should be focused on systems rather than figures.
But considering the spirit of nationalism embedded in the heart of every Muslim in various nations, the idea to establish the caliphate as the sole theocratic political system for Muslims in the world is unrealistic if not utopian.
Since the Koran is polyphonic in nature, and since everyone has the inner power that can illuminate from within no one deserves a monopoly on understanding the Koran. In religious matters, the problem faced by Muslims is how they can respect each other by keeping unity in diversity and by leaving the final decision to God.
The main problem faced by Muslim countries in worldly matters is the low quality of human resources, which in turn produce unemployment, poverty and dependency. Muslims, especially in Indonesia, need concrete answers to their economic difficulties not merely political rhetoric such as dengan khilafah hidup menjadi berkah (by the caliphate the life will be blessed). Muslims as well as well non-Muslims should work together to create a better world order.
In discussion with fellow non-Muslims it is difficult to answer when they ask me to show them an example of a sharia state that has successfully brought welfare and social justice to its people. Speaking frankly, I dare not point to Saudi Arabia, Iran or Pakistan as examples of the good governance mandated by Islamic political ideals.
In a democratic atmosphere, it is the right of Hizbut Tahrir Indonesia to promote the caliphate, but it also the right of others to criticizes the content of this concept, particularly that which has no relevance the current situation.
The writer is a lecturer at the Department of Law and Sharia at Bandung State Islamic University. He also manages the Institute for Study and Human Resource Development in Bandung, West Java
Institute for Religion and Social Studies (IRSS) at Surabaya (Multikultural-Transformatif, Mencerahkan-Inklusif dan Progresif-Membebaskan) Address: Jl. Sumber Mulyo V/15 A, Bubutan, Surabaya, Indonesia. Mobile-Phone: 085655123861, email: lkas_surabaya@yahoo.com Website: www.lkassurabaya.blogspot.com
Senin, 27 Agustus 2007
Sabtu, 11 Agustus 2007
Atheis
Agama akan tetap bertahan dalam hidup manusia, tapi layakkah ia dibela? Christopher Hitchens baru-baru ini menarik perhatian ketika bukunya terbit dengan judul God Is Not Great: Religion Poisons Everything. Penulis Inggris ini—yang yakin bahwa Tuhan tidak akbar dan bahwa agama adalah racun—tak bersuara sendirian di awal abad ke-21 ini. Di tahun 2004 terbit The End of Faith, oleh Sam Harris, yang tahun lalu mempertegas posisinya dengan menyerang agama Kristen dalam Letter to a Christian Nation. Yang juga terkenal adalah karya Richard Dawkins, seorang pakar biologi, The God Delusion, yang mengutip satu kalimat pengarang lain: ”Bila seseorang menderita waham, gejala itu akan disebut gila. Bila banyak orang menderita waham, gejala itu akan disebut agama.”
Saya belum khatam membaca buku-buku itu, tapi saya telah merasa setengah terusik, tersinggung, berdebar-debar, terangsang berpikir, tapi juga gembira. Baiklah saya jelaskan kenapa saya gembira: kini datang beberapa orang atheis yang sangat fasih dengan argumen yang seperti pisau bedah. Dengan analisa yang tajam mereka menyerang semua agama, tanpa kecuali, di zaman ketika iman dikibarkan dengan rasa ketakutan, dan rasa ketakutan dengan segera diubah jadi kebencian. Dunia tak bertambah damai karenanya. Maka siapa tahu memang dunia menantikan Hitchens, Harris, dan Dawkins. Siapa tahu para atheis inilah yang akan membuat kalangan agama mengalihkan fokus mereka dan kemudian berhenti bermusuhan.
Apalagi ada benarnya ketika Christopher Hitchens bicara tentang iman dan rasa aman. Sepekan sebelum 11 September 2001, hari yang bersejarah itu, ia ditanya dalam sebuah wawancara radio: ”Bayangkan Anda berada di sebuah kota asing di waktu senjakala, dan sejumlah besar orang datang ke arah Anda. Akan lebih merasa amankah Anda, atau justru merasa kurang aman, bila Anda tahu orang-orang itu baru selesai berkumpul untuk berdoa?”
Hitchens, yang pernah berada di Belfast, Beirut, Bombay, Beograd, Bethlehem, dan Baghdad, menjawab, ”Kurang aman.”
Ia tak bicara dari khayal. Ia telah menyaksikan permusuhan antara orang Katolik dan Protestan di Ulster; Islam dan Kristen di Beirut dan Bethlehem; orang Katolik Kroasia dan orang Gereja Ortodoks Serbia dan orang Islam di bekas Yugoslavia; orang Sunni dan Syiah di Baghdad. Beribu-ribu orang tewas dan cacat dan telantar.
Maka bagi Hitchens, agama adalah ”sebuah pengganda besar”, an enormous multiplier, ”kecurigaan dan kebencian antarpuak”.
Tapi menarik bahwa Hitchens tak menyatakan agama sebagai sumber sikap negatif itu.
Dalam hal ini ia berbeda dari Sam Harris. Bagi Harris, konflik antara umat Katolik dan Protestan yang berdarah di Irlandia—yang bermula baru di abad ke-17—bersumber pada teks Alkitab, tak ada hubungannya dengan politik pertanahan di wilayah kekuasaan Inggris masa itu. Harris tak melihat endapan sejarah dalam tiap tafsir atas akidah—dan dalam hal ini ia mirip seorang fundamentalis Kristen atau Islam. Pandangannya yang menampik sejarah akan bisa mengatakan bahwa doktrin Quran itulah yang membuat sejumlah orang menghancurkan Menara Kembar New York dan membunuh hampir 3.000 manusia pada 11 September 2001. Harris tak akan melihat bahwa hari itu ”Islam” identik dengan amarah karena ada kepahitan kolonialisme di Timur Tengah, Afrika, dan Asia, dan kekalahan dunia Arab di Palestina.
Dari sini, memang ada benarnya apologi yang terkenal itu: bukan agamanya yang salah, melainkan manusianya.
Tapi persoalan tak selesai di situ. Orang-orang atheis semacam Hitchens akan bertanya: Jika faktor manusia yang menyebabkan keburukan tumbuh dalam suatu umat, berarti tak ada peran agama dalam memperbaiki umat itu. Jika demikian, jika akidah ditentukan oleh sejarah, dan bukan sebaliknya, apa guna agama bagi perbaikan dunia?
Mungkin sebuah nol. Bahkan melihat begitu banyak pembunuhan dilakukan atas nama agama hari-hari ini, orang memang mudah sampai kepada atheisme Hitchens dan kesimpulannya: agama meracuni segala hal.
Tapi kita dapat juga sampai pada kesimpulan yang lain: jangan-jangan agama memang tak punya peran bagi perbaikan dunia. Perannya memang bisa lain sama sekali—terutama bila dilihat dari awal lahirnya agama-agama.
Dalam ceramahnya yang diselenggarakan oleh MUIS (Majlis Ugama Islam Singapura) bulan Juni yang lalu, Karen Armstrong mengatakan sesuatu yang tak lazim: agama lahir dari sikap jeri (recoil) atas kekerasan. Juga Islam, yang kini tak urung dihubungkan dengan bom bunuh diri, konflik berdarah di Irak, Afganistan, dan Pakistan. Agama ini hadir sebagai pembangun perdamaian di sekitar Mekah, di tengah suku-suku Arab yang saling galak.
Tapi mungkin juga Karen Armstrong bisa menelusurinya lebih jauh: jika agama memang lahir dari rasa jeri akan kekerasan, rasa jeri itu bertaut dengan kesadaran akan ketakberdayaan. Agama sebab itu tak merasa kuasa untuk memperbaiki dunia; ia justru berada di kancah yang tersisih, menemani mereka yang daif—sebuah posisi yang kian tampak dalam keadaan manusia teraniaya.
Tapi kini, dalam mencoba menyaingi gagahnya modernitas, agama cenderung melupakan ”empati asali”-nya sendiri. Orang-orang Islam merayakan Hijrah bukan dengan rasa setia kawan dan bela rasa kepada mereka yang diteror, walaupun Hijrah bermula dari nasib sekelompok minoritas yang dikejar-kejar. Orang merayakan Hijrah lebih sebagai kemenangan. Mungkin dengan tendensi itu, pengalaman kedaifan sendiri terlupa: pekan lalu atas nama ”Islam” orang-orang mengancam para biarawati Karmel yang hendak berkumpul untuk berdoa di lembah Cikanyere di wilayah Cianjur.
Dalam keadaan lupa kepada yang tak berdaya itulah agama bisa jadi tenaga yang dahsyat. Tapi ia juga bisa jadi tenaga yang tak tahu batas. Di saat seperti itu, bukankah para atheis perlu datang dan bersuara?
~Majalah Tempo Edisi. 23/XXXIIIIII/30 Juli - 05 Agustus 2007~
Saya belum khatam membaca buku-buku itu, tapi saya telah merasa setengah terusik, tersinggung, berdebar-debar, terangsang berpikir, tapi juga gembira. Baiklah saya jelaskan kenapa saya gembira: kini datang beberapa orang atheis yang sangat fasih dengan argumen yang seperti pisau bedah. Dengan analisa yang tajam mereka menyerang semua agama, tanpa kecuali, di zaman ketika iman dikibarkan dengan rasa ketakutan, dan rasa ketakutan dengan segera diubah jadi kebencian. Dunia tak bertambah damai karenanya. Maka siapa tahu memang dunia menantikan Hitchens, Harris, dan Dawkins. Siapa tahu para atheis inilah yang akan membuat kalangan agama mengalihkan fokus mereka dan kemudian berhenti bermusuhan.
Apalagi ada benarnya ketika Christopher Hitchens bicara tentang iman dan rasa aman. Sepekan sebelum 11 September 2001, hari yang bersejarah itu, ia ditanya dalam sebuah wawancara radio: ”Bayangkan Anda berada di sebuah kota asing di waktu senjakala, dan sejumlah besar orang datang ke arah Anda. Akan lebih merasa amankah Anda, atau justru merasa kurang aman, bila Anda tahu orang-orang itu baru selesai berkumpul untuk berdoa?”
Hitchens, yang pernah berada di Belfast, Beirut, Bombay, Beograd, Bethlehem, dan Baghdad, menjawab, ”Kurang aman.”
Ia tak bicara dari khayal. Ia telah menyaksikan permusuhan antara orang Katolik dan Protestan di Ulster; Islam dan Kristen di Beirut dan Bethlehem; orang Katolik Kroasia dan orang Gereja Ortodoks Serbia dan orang Islam di bekas Yugoslavia; orang Sunni dan Syiah di Baghdad. Beribu-ribu orang tewas dan cacat dan telantar.
Maka bagi Hitchens, agama adalah ”sebuah pengganda besar”, an enormous multiplier, ”kecurigaan dan kebencian antarpuak”.
Tapi menarik bahwa Hitchens tak menyatakan agama sebagai sumber sikap negatif itu.
Dalam hal ini ia berbeda dari Sam Harris. Bagi Harris, konflik antara umat Katolik dan Protestan yang berdarah di Irlandia—yang bermula baru di abad ke-17—bersumber pada teks Alkitab, tak ada hubungannya dengan politik pertanahan di wilayah kekuasaan Inggris masa itu. Harris tak melihat endapan sejarah dalam tiap tafsir atas akidah—dan dalam hal ini ia mirip seorang fundamentalis Kristen atau Islam. Pandangannya yang menampik sejarah akan bisa mengatakan bahwa doktrin Quran itulah yang membuat sejumlah orang menghancurkan Menara Kembar New York dan membunuh hampir 3.000 manusia pada 11 September 2001. Harris tak akan melihat bahwa hari itu ”Islam” identik dengan amarah karena ada kepahitan kolonialisme di Timur Tengah, Afrika, dan Asia, dan kekalahan dunia Arab di Palestina.
Dari sini, memang ada benarnya apologi yang terkenal itu: bukan agamanya yang salah, melainkan manusianya.
Tapi persoalan tak selesai di situ. Orang-orang atheis semacam Hitchens akan bertanya: Jika faktor manusia yang menyebabkan keburukan tumbuh dalam suatu umat, berarti tak ada peran agama dalam memperbaiki umat itu. Jika demikian, jika akidah ditentukan oleh sejarah, dan bukan sebaliknya, apa guna agama bagi perbaikan dunia?
Mungkin sebuah nol. Bahkan melihat begitu banyak pembunuhan dilakukan atas nama agama hari-hari ini, orang memang mudah sampai kepada atheisme Hitchens dan kesimpulannya: agama meracuni segala hal.
Tapi kita dapat juga sampai pada kesimpulan yang lain: jangan-jangan agama memang tak punya peran bagi perbaikan dunia. Perannya memang bisa lain sama sekali—terutama bila dilihat dari awal lahirnya agama-agama.
Dalam ceramahnya yang diselenggarakan oleh MUIS (Majlis Ugama Islam Singapura) bulan Juni yang lalu, Karen Armstrong mengatakan sesuatu yang tak lazim: agama lahir dari sikap jeri (recoil) atas kekerasan. Juga Islam, yang kini tak urung dihubungkan dengan bom bunuh diri, konflik berdarah di Irak, Afganistan, dan Pakistan. Agama ini hadir sebagai pembangun perdamaian di sekitar Mekah, di tengah suku-suku Arab yang saling galak.
Tapi mungkin juga Karen Armstrong bisa menelusurinya lebih jauh: jika agama memang lahir dari rasa jeri akan kekerasan, rasa jeri itu bertaut dengan kesadaran akan ketakberdayaan. Agama sebab itu tak merasa kuasa untuk memperbaiki dunia; ia justru berada di kancah yang tersisih, menemani mereka yang daif—sebuah posisi yang kian tampak dalam keadaan manusia teraniaya.
Tapi kini, dalam mencoba menyaingi gagahnya modernitas, agama cenderung melupakan ”empati asali”-nya sendiri. Orang-orang Islam merayakan Hijrah bukan dengan rasa setia kawan dan bela rasa kepada mereka yang diteror, walaupun Hijrah bermula dari nasib sekelompok minoritas yang dikejar-kejar. Orang merayakan Hijrah lebih sebagai kemenangan. Mungkin dengan tendensi itu, pengalaman kedaifan sendiri terlupa: pekan lalu atas nama ”Islam” orang-orang mengancam para biarawati Karmel yang hendak berkumpul untuk berdoa di lembah Cikanyere di wilayah Cianjur.
Dalam keadaan lupa kepada yang tak berdaya itulah agama bisa jadi tenaga yang dahsyat. Tapi ia juga bisa jadi tenaga yang tak tahu batas. Di saat seperti itu, bukankah para atheis perlu datang dan bersuara?
~Majalah Tempo Edisi. 23/XXXIIIIII/30 Juli - 05 Agustus 2007~
Isngadi: Agama dan Bingkai Dunia
Abad ke-21 yang baru kita tapak sekarang ini dapat dikatakan sebagai abad yang paling menyakitkan bagi kaum agamawi. Dikatakan demikian, mengingat komitmen keagamaan kerap kali menjadi faktor sentral dalam eskalasi kekerasan dan kejahatan di seluruh dunia.
Beberapa berita utama surat kabar di seluruh dunia biasa menampilkan judul-judul: "Hindu dan Muslim di Ujung Peperangan Khasmir", "Kristen Serbia Diadili atas Pelaku Tindak Kekerasan terhadap Muslim Bosnia", "Militan Yahudi Membunuh Puluhan Kaum Muslim di Kamp Pengungsian", "Militan Muslim Menewaskan Belasan Orang Israel Melalui Bom Bunuh Diri di Restoran Pizza Yerussalem", "Pemeriksaan Pengadilan Mulai Mengarah kepada Menteri Kristen Fundamentalis dalam Kasus Dokter Aborsi", dan masih banyak lagi.
Dalam koridor semacam ini menjadi sangat beralasan apabila ada kalangan yang mengatakan bahwa agama adalah sumber masalah dari seluruh kekacauan dunia. Pandangan dunia keagamaan yang cenderung bersifat anakronistik (tidak cocok untuk zaman tertentu) memang sangat berpotensi untuk memecah belah dan klaim kebenaran yang saling berlawanan dapat dipastikan akan berujung dengan konflik. Akan tetapi, menyatakan agama semata-mata sebagai sumber masalah jelas tidak arif dan a-historis, karena selama berabad-abad pula orang bisa melihat iman yang memperteguh kehidupan telah menopang dan memberi makna bagi jutaan orang. Maka sungguh tepat apabila ada yang menyatakan kalau berbicara tentang agama berarti berbicara tentang sebuah paradoks.
Hanya saja yang lebih mengkhawatirkan sekarang ini adalah paradoks tersebut berjalan semakin timpang. Beberapa dasawarsa terakhir ini kita dipaksa menyaksikan serangkaian tragedi semisal teror 11 September 2001, bom Bali, kasus gas beracun Aum Shinrikiyo pimpinan Asahara Shoko di Jepang, bom Oklahoma, kehancuran Afganistan, Perang Khasmir, kekerasan tentara Israel atas warga sipil Palestina, bunuh diri massal di Peoples Temple pimpinan Jim Jones di Guyana, gerakan David Koresh di Texas, dan lain sebagainya. Atau dalam spektrum kecil keindonesiaan seperti kasus Poso, Ambon, Papua, Aceh, bom Marriott, bom Natal, dan yang semacamnya. Wajah teduh agama semakin hilang. Yang tersisa hanya keberingasan, dan hari-hari belakangan ini-atas semua peristiwa yang terjadi-agama pun dikenal sebagai sebuah nama yang membuat gentar dan cemas.
Paradoks-paradoks itulah yang dijadikan konteks Kimball dalam menulis buku yang berjudul asli When Religion Becomes Evil ini. Gagasan guru besar agama di Universitas Wake Forest, Amerika Serikat (AS) ini berangkat dari semua jejak historis yang menunjukkan kegagalan agama dalam memberikan keselamatan, cinta, dan perdamaian kepada umat manusia. Akan tetapi Kimball tidak mengajak kita untuk menyerah kepada semua pesimisme itu, sebaliknya dengan optimisme yang agak berlebihan ia malah menunjukkan kalau kita bisa mengolah aneka paradoks yang ada, maka agama dalam milenium baru ini justru akan bisa menjadi jalan dan pemberi keselamatan, cinta, serta perdamaian yang dibutuhkan manusia.
Sebagai kata kunci untuk bisa keluar dari jebakan sifat agama yang cenderung anakronistik dan suka berkonflik tersebut, agama harus kembali pada sifat autentiknya. Itulah modus keberagamaan yang tidak sekadar bersetia dengan doktrin skriptural yang statis, tetapi pada sebuah iman hidup dan menghidupi kemanusiaan universal. Agama autentik di sini harus dipahami sebagai lawan dari agama yang telah mengalami proses pengkorupan dan pembusukan. Proses pembusukan dan pengkorupan ini paling sering dimulai dengan menjadikan komponen religius-yang sebenarnya hanyalah sarana-menjadi tujuannya.
Misalnya agama Yahudi yang menjadikan terciptanya negara bagi bangsa Israel di tanah yang dijanjikan Tuhan, sebagai tujuan agamanya yang berarti harus mengusir bangsa Arab di tanah Palestina. Sedangkan umat Islam di Palestina juga menganggap bahwa melindungi Masjid Al-Aqsa sebagai tujuan agamanya pula. Konflik ini sama persis dengan yang terjadi di India yang memperebutkan masjid bekas kuil Raja Ram di Ayodya. Demikian pula cita-cita terciptanya komunitas Kristiani yang eksklusif bagi agama Kristen di masa awal yang akhirnya berkembang menjadi memusuhi komunitas Yahudi adalah contoh yang lain lagi.
Beberapa problem yang biasa menjadi akar kekerasan religius tersebut dicoba ditelusuri dan dipetakan oleh Kimball sehingga semua sumber konflik itu dapat dijelaskan dengan runtut sekaligus dicarikan beberapa jalan keluar yang agak cerdas. Khusus pada solusi konflik kepentingan politis yang menyeret-nyeret sentimen keagamaan, pakar sejarah dan perbandingan agama semit (Islam, Yahudi, Kristen) ini menyarankan dunia untuk belajar kepada sosok Mahatma Gandhi. Gandhi mempunyai tujuan yang jelas, sesuai dengan ajaran agamanya, namun dalam merealisasikan tujuannya itu ia tidak pernah mengecualikan kelompok mana pun. Ia malah mengajak kelompok lain itu untuk membantu kelompoknya dalam mewujudkan tujuannya. Lebih dari itu, Gandhi tidak pernah mengubah tujuan menjadi sarana, dan memutlakkan sarana menjadi tujuan.
Pada bagian lain Kimball juga melontarkan kritik yang cukup tajam pada beberapa doktrin teologi agama monoteisme. Menurut Kimball, sekarang ini teologi tidak lagi berhak bertanya, apakah umat di luar agamaku diselamatkan atau tidak? Apalagi bertanya bagaimana mereka bisa diselamatkan? Teologi harus meninggalkan perspektif sempit tersebut. Teologi mesti terbuka bahwa Tuhan mempunyai rencana keselamatan umat manusia yang menyeluruh. Rencana itu tak pernah terduga dan mungkin agamaku tidak cukup menyelaminya secara sendirian. Maka teologi mesti mengambil posisi bahwa bisa jadi agama-agama lain mempunyai pengertian dan sumbangan untuk menyelami rencana keselamatan Tuhan tersebut. Dengan demikian teologi pluralisme religius bukan lagi menjadi teologi teoritis, melainkan teologi praktik. Dari sini inilah, menurut Kimball, dialog antar-agama bisa dimulai dengan terbuka dan jujur. Karena harus menyingkirkan keyakinan religiusnya yang paling tinggi (mengakui agamanya tidak sempurna), pendapat Kimball ini tampaknya masih sulit untuk bisa diterima oleh mayoritas kaum agamawi apa pun.
Lepas dari berbagai kontroversi yang menyelubunginya, dalam konteks keindonesiaan buku Kimball ini tampaknya sangat relevan untuk dibaca saat ini, yang sejak reformasi hingga sekarang selalu dihadapkan pada pelbagai krisis yang seakan tanpa solusi. Pelbagai masalah kita hadapi: krisis ekonomi, jurang antara yang kaya dan yang miskin yang semakin lebar, ancaman perpecahan bangsa, merekahnya gerakan-gerakan fundamentalis, dan tindak kekerasan merebak di mana-mana. Walaupun bukan sebagai penyebab satu-atunya, agama sering dituduh sebagai agen yang ikut memperparah semua krisis tersebut. Untuk semua itu, agama harus mawas diri. Menyingkirkan kekorupan dan kebusukannya sehingga bisa kembali pada roh autentiknya dan benar-benar bisa menyumbangkan sesuatu yang paling dituntut untuk mengatasi krisis bangsa ini, yakni perdamaian dan kesatuan antara warga negara. Dalam hal ini buku Tarmizi Taher yang berjudul Membumikan Ajaran Ketuhanan; Agama dalam Tranformasi Bangsa (Hikmah/2003) sangat bermanfaat untuk dijadikan sebagai acuan teknis gagasan Kimball.
Paralel dengan semua pertimbangan yang ada, khusus dari sisi inklusifisme agama, buku Kimball ini menjadi semakin menarik apabila sempat diperbandingkan dengan buku The Heart of Islam karya Seyyed Hossein Nashr (Mizan/ 2003; edisi Indonesia) Khaled Abou el-Fadl, The Place of Tolerance in Islam yang telah diterjemahkan dengan judul Cita dan Fakta Toleransi Islam; Puritanisme Versus Pluralisme (Arasy/2003), dan History of God-nya Karen Armstrong (Mizan/2001).
Agama dan Bingkai Dunia
Judul buku: Kala Agama Jadi Bencana
Penulis: Charles Kimball
Penerjemah: Nurhadi
Pengantar: Sindhunata
Penerbit: Mizan Bandung, Cetakan I Desember 2003
Tebal: 360 halaman
***
Isngadi Marwah Atmadja Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) tinggal di Ngawi, Jawa Timur
Beberapa berita utama surat kabar di seluruh dunia biasa menampilkan judul-judul: "Hindu dan Muslim di Ujung Peperangan Khasmir", "Kristen Serbia Diadili atas Pelaku Tindak Kekerasan terhadap Muslim Bosnia", "Militan Yahudi Membunuh Puluhan Kaum Muslim di Kamp Pengungsian", "Militan Muslim Menewaskan Belasan Orang Israel Melalui Bom Bunuh Diri di Restoran Pizza Yerussalem", "Pemeriksaan Pengadilan Mulai Mengarah kepada Menteri Kristen Fundamentalis dalam Kasus Dokter Aborsi", dan masih banyak lagi.
Dalam koridor semacam ini menjadi sangat beralasan apabila ada kalangan yang mengatakan bahwa agama adalah sumber masalah dari seluruh kekacauan dunia. Pandangan dunia keagamaan yang cenderung bersifat anakronistik (tidak cocok untuk zaman tertentu) memang sangat berpotensi untuk memecah belah dan klaim kebenaran yang saling berlawanan dapat dipastikan akan berujung dengan konflik. Akan tetapi, menyatakan agama semata-mata sebagai sumber masalah jelas tidak arif dan a-historis, karena selama berabad-abad pula orang bisa melihat iman yang memperteguh kehidupan telah menopang dan memberi makna bagi jutaan orang. Maka sungguh tepat apabila ada yang menyatakan kalau berbicara tentang agama berarti berbicara tentang sebuah paradoks.
Hanya saja yang lebih mengkhawatirkan sekarang ini adalah paradoks tersebut berjalan semakin timpang. Beberapa dasawarsa terakhir ini kita dipaksa menyaksikan serangkaian tragedi semisal teror 11 September 2001, bom Bali, kasus gas beracun Aum Shinrikiyo pimpinan Asahara Shoko di Jepang, bom Oklahoma, kehancuran Afganistan, Perang Khasmir, kekerasan tentara Israel atas warga sipil Palestina, bunuh diri massal di Peoples Temple pimpinan Jim Jones di Guyana, gerakan David Koresh di Texas, dan lain sebagainya. Atau dalam spektrum kecil keindonesiaan seperti kasus Poso, Ambon, Papua, Aceh, bom Marriott, bom Natal, dan yang semacamnya. Wajah teduh agama semakin hilang. Yang tersisa hanya keberingasan, dan hari-hari belakangan ini-atas semua peristiwa yang terjadi-agama pun dikenal sebagai sebuah nama yang membuat gentar dan cemas.
Paradoks-paradoks itulah yang dijadikan konteks Kimball dalam menulis buku yang berjudul asli When Religion Becomes Evil ini. Gagasan guru besar agama di Universitas Wake Forest, Amerika Serikat (AS) ini berangkat dari semua jejak historis yang menunjukkan kegagalan agama dalam memberikan keselamatan, cinta, dan perdamaian kepada umat manusia. Akan tetapi Kimball tidak mengajak kita untuk menyerah kepada semua pesimisme itu, sebaliknya dengan optimisme yang agak berlebihan ia malah menunjukkan kalau kita bisa mengolah aneka paradoks yang ada, maka agama dalam milenium baru ini justru akan bisa menjadi jalan dan pemberi keselamatan, cinta, serta perdamaian yang dibutuhkan manusia.
Sebagai kata kunci untuk bisa keluar dari jebakan sifat agama yang cenderung anakronistik dan suka berkonflik tersebut, agama harus kembali pada sifat autentiknya. Itulah modus keberagamaan yang tidak sekadar bersetia dengan doktrin skriptural yang statis, tetapi pada sebuah iman hidup dan menghidupi kemanusiaan universal. Agama autentik di sini harus dipahami sebagai lawan dari agama yang telah mengalami proses pengkorupan dan pembusukan. Proses pembusukan dan pengkorupan ini paling sering dimulai dengan menjadikan komponen religius-yang sebenarnya hanyalah sarana-menjadi tujuannya.
Misalnya agama Yahudi yang menjadikan terciptanya negara bagi bangsa Israel di tanah yang dijanjikan Tuhan, sebagai tujuan agamanya yang berarti harus mengusir bangsa Arab di tanah Palestina. Sedangkan umat Islam di Palestina juga menganggap bahwa melindungi Masjid Al-Aqsa sebagai tujuan agamanya pula. Konflik ini sama persis dengan yang terjadi di India yang memperebutkan masjid bekas kuil Raja Ram di Ayodya. Demikian pula cita-cita terciptanya komunitas Kristiani yang eksklusif bagi agama Kristen di masa awal yang akhirnya berkembang menjadi memusuhi komunitas Yahudi adalah contoh yang lain lagi.
Beberapa problem yang biasa menjadi akar kekerasan religius tersebut dicoba ditelusuri dan dipetakan oleh Kimball sehingga semua sumber konflik itu dapat dijelaskan dengan runtut sekaligus dicarikan beberapa jalan keluar yang agak cerdas. Khusus pada solusi konflik kepentingan politis yang menyeret-nyeret sentimen keagamaan, pakar sejarah dan perbandingan agama semit (Islam, Yahudi, Kristen) ini menyarankan dunia untuk belajar kepada sosok Mahatma Gandhi. Gandhi mempunyai tujuan yang jelas, sesuai dengan ajaran agamanya, namun dalam merealisasikan tujuannya itu ia tidak pernah mengecualikan kelompok mana pun. Ia malah mengajak kelompok lain itu untuk membantu kelompoknya dalam mewujudkan tujuannya. Lebih dari itu, Gandhi tidak pernah mengubah tujuan menjadi sarana, dan memutlakkan sarana menjadi tujuan.
Pada bagian lain Kimball juga melontarkan kritik yang cukup tajam pada beberapa doktrin teologi agama monoteisme. Menurut Kimball, sekarang ini teologi tidak lagi berhak bertanya, apakah umat di luar agamaku diselamatkan atau tidak? Apalagi bertanya bagaimana mereka bisa diselamatkan? Teologi harus meninggalkan perspektif sempit tersebut. Teologi mesti terbuka bahwa Tuhan mempunyai rencana keselamatan umat manusia yang menyeluruh. Rencana itu tak pernah terduga dan mungkin agamaku tidak cukup menyelaminya secara sendirian. Maka teologi mesti mengambil posisi bahwa bisa jadi agama-agama lain mempunyai pengertian dan sumbangan untuk menyelami rencana keselamatan Tuhan tersebut. Dengan demikian teologi pluralisme religius bukan lagi menjadi teologi teoritis, melainkan teologi praktik. Dari sini inilah, menurut Kimball, dialog antar-agama bisa dimulai dengan terbuka dan jujur. Karena harus menyingkirkan keyakinan religiusnya yang paling tinggi (mengakui agamanya tidak sempurna), pendapat Kimball ini tampaknya masih sulit untuk bisa diterima oleh mayoritas kaum agamawi apa pun.
Lepas dari berbagai kontroversi yang menyelubunginya, dalam konteks keindonesiaan buku Kimball ini tampaknya sangat relevan untuk dibaca saat ini, yang sejak reformasi hingga sekarang selalu dihadapkan pada pelbagai krisis yang seakan tanpa solusi. Pelbagai masalah kita hadapi: krisis ekonomi, jurang antara yang kaya dan yang miskin yang semakin lebar, ancaman perpecahan bangsa, merekahnya gerakan-gerakan fundamentalis, dan tindak kekerasan merebak di mana-mana. Walaupun bukan sebagai penyebab satu-atunya, agama sering dituduh sebagai agen yang ikut memperparah semua krisis tersebut. Untuk semua itu, agama harus mawas diri. Menyingkirkan kekorupan dan kebusukannya sehingga bisa kembali pada roh autentiknya dan benar-benar bisa menyumbangkan sesuatu yang paling dituntut untuk mengatasi krisis bangsa ini, yakni perdamaian dan kesatuan antara warga negara. Dalam hal ini buku Tarmizi Taher yang berjudul Membumikan Ajaran Ketuhanan; Agama dalam Tranformasi Bangsa (Hikmah/2003) sangat bermanfaat untuk dijadikan sebagai acuan teknis gagasan Kimball.
Paralel dengan semua pertimbangan yang ada, khusus dari sisi inklusifisme agama, buku Kimball ini menjadi semakin menarik apabila sempat diperbandingkan dengan buku The Heart of Islam karya Seyyed Hossein Nashr (Mizan/ 2003; edisi Indonesia) Khaled Abou el-Fadl, The Place of Tolerance in Islam yang telah diterjemahkan dengan judul Cita dan Fakta Toleransi Islam; Puritanisme Versus Pluralisme (Arasy/2003), dan History of God-nya Karen Armstrong (Mizan/2001).
Agama dan Bingkai Dunia
Judul buku: Kala Agama Jadi Bencana
Penulis: Charles Kimball
Penerjemah: Nurhadi
Pengantar: Sindhunata
Penerbit: Mizan Bandung, Cetakan I Desember 2003
Tebal: 360 halaman
***
Isngadi Marwah Atmadja Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) tinggal di Ngawi, Jawa Timur
Arief Budiman: Gerakan Buruh Sangat Lemah
PERGULATANNYA dalam memperjuangkan demokrasi selama tiga dekade, membuat DR Arief Budiman cukup akrab dengan dinamika yang terjadi di dalam gerakan buruh Indonesia, yang merupakan salah satu aktor penting dalam gerakan demokrasi di Indonesia. Dia memang tidak pernah terlibat langsung dalam gerakan buruh atau bukan bagian dari gerakan buruh manapun di sini. Tetapi pemikirannya tentang gerakan buruh patut disimak. Berikut ini petikan wawancara Arief Ruba'i, seorang pekerja sosial di Semarang, dengan DR. Arief Budiman, pengajar di Universitas Melbourne, Australia.
Arief Ruba'i (AR): Banyak yang mengatakan posisi politis buruh sangat lemah, hingga serikat cenderung melakukan perlawanan ke arah kebijakan dan negara dari pada konfrontasi dengan pengusaha?
Arief Budiman (AB): Kekuatan riil politik gerakan buruh sangat lemah. Pertama, kondisi ekonomi kita lemah, kita sangat tergantung pada investor asing. Kedua, pengangguran tinggi, jadi posisi tawar majikan kuat sekali. Kita lebih butuh mereka dari pada mereka butuh kita. Kalau upah buruh naik atau sering terjadi pemogokan, mereka akan pindah. Apalagi potensi alternatifnya banyak, Vietnam, RRC, India dan lain-lain. Kenyataannya kita harus bertolak dari posisi buruh yang lemah. Ini jadi masalah buat buruh ketika mereka mau melakukan perlawanan menghadapi siapapun. Apakah dia menghadapi majikan atau negara. Padahal negara dari dulu selalu tersandera oleh kondisi ekonomi yang lemah. Sehingga negara lebih butuh investor dari pada membela buruh. Dan mengorbankan buruh resikonya lebih kecil dari pada mengorbankan modal. Inilah akar persoalan buruh, mereka bisa saja mogok, bisa macam-macam tapi penyelesaiannya selalu kalah.
AR: Dalam kondisi seperti ini, kemana strategi perlawanan atau titik serang lebih tepat diarahkan?
AB: Saya tidak mengerti. Posisinya yang sangat lemah ini yang sulit. Orang lemah mau menyerang orang kuat, jadi sulit mencari titik serang. Tapi yang bisa dilakukan sekarang adalah mempersiapkan perjuangan masa depan ketika kondisi ekonomi lebih baik, dimana modal punya kebutuhan pada Indonesia. Yang perlu dilakukan saat ini pertama, memperkuat organisasi buruh, termasuk membangun solidaritas dan melakukan pendidikan. Kedua, membangun solidaritas internasional. Jadi, tekanan terhadap perusahaan, terutama perusahaan asing dilakukan di negara asal perusahaan tersebut, itu biasanya lebih efektif. Kedua hal itu merupakan investasi di masa depan saat kondisi ekonomi membaik.
Kalau pun pemerintah berpihak pada buruh, dia tidak mampu melawan pengusaha. Karena sekarang pemerintah lagi 'nyembah-nyembah' pengusaha supaya modal yang diparkir di LN balik ke dalam. Tentu pengusaha akan bilang, "OK, tapi buruh diberesin dulu". Apalagi nasib buruh terkait dengan berkembangnya dunia usaha di Indonesia karena kita menganut sistem ekonomi kapitalis. Nampaknya semua jalan yang ada saat ini sulit. Mungkin buruh harus mengalah dulu, tapi melakukan investasi untuk masa depan.
AR: Riilnya seperti apa?
AB: Nuntut boleh saja tapi yang realistis. Kita dalam kondisi angin badai, artinya kalau kapal ini bisa selamat saja sudah lumayan, jangan berharap ada peningkatan.
AR: Dalam hal pendidikan dan penguatan organisasi buruh, kira-kira isu apa yang perlu diprioritaskan untuk persiapan ke depan?
AB: Isu utama adalah ketidakadilan, bahwa perusahaan dapat banyak keuntungan dibanding upah buruh yang sangat buruk. Itu yang menjadi bahan pendidikan dan titik serang, buruh disadarkan bahwa mereka dieksploitasi, sehingga timbul gairah perlawanan. Tapi hendaknya jangan terlalu diberi harapan macam-macam, karena keadilan ini sulit dicapai dalam kondisi seperti ini. Paling muncul kader-kader gerakan buruh lokal.
AR: Sekarang banyak serikat buruh, tapi mereka memiliki concern yang berbeda. Ada yang tertarik isu-isu lokal pabrik, ada juga yang mengangkat isu-isu di luar pabrik seperti kebijakan dan anti privatisasi. Menurut anda apa yang membuat isu serikat buruh terpolarisasi?
AB: Sebenarnya dua-duanya perlu. Tapi pada tingkat basis, isu ketidakadilan yang harus dikembangkan. Ketidakadilan upah itulah yang penting, dan itu yang paling dimengerti oleh buruh. Kalau isu-isu 'besar' sulit dimengerti kecuali oleh kader-kader buruh. Isu-isu 'besar' penting bagi kader buruh untuk mengerti posisi mereka dan kekuatan posisi tawar mereka. Untuk memimpin gerakan buruh di tingkat grass root, isu yang kongret adalah: upah, jaminan sosial, cuti dan lain-lain. Dalam pendidikan basis perlu juga menyinggung soal isu-isu besar, tapi dalam gerakannya mesti terbatas, supaya dapat dukungan buruh yang lebih kuat.
Gerakan komunis dan sosialis di Chile masuk ke pabrik dengan isu upah. Buruh mudah diajak bergerak untuk isu upah. Itu memang dikritik Lenin karena buruh hanya tahu soal upah saja. Tapi isu-isu 'besar' bisa disosialisasiakan pada tingkat kader. Yang perlu dimengerti adalah latar belakang teori politiknya. Prakteknya, tergantung pada tingkat mana buruh diorganisir dengan melihat kapasitas buruh.
Tentang pemogokan buruh, saya kritik PRD sejak dulu (red- FNPBI), sesekali buruh mogok dengan isu pabrik seperti upah dan THR, tapi seringkali mereka mengusung spanduk besar-besar: "Turunkan Soeharto", "Hancurkan Orde Baru" dan lain-lain. Setiap kali aksi buruh selalu berhadapan dengan militer, karena dianggap sudah politis. Buruhnya nggak dapat apa-apa, kalau begitu terus mereka akan kehilangan dukungan buruh. Mungkin buat PRD aksi ini dianggap berhasil, tapi tidak buat buruh.
Jadi jangan mengangkat isu yang terlalu tinggi apalagi sudah dikaitkan dengan politik. Buruh tentu saja akan langsung dituduh mau menggulingkan pemerintahan. Padahal Seandainya mengangkat isu sederhana, mungkin negosiasi buruh dengan pengusaha bisa berhasil tanpa mereka harus berhadapan dengan militer. Tuduhan terhadap PRD telah mempolitisir buruh ada benarnya, karena dalam memobilisasi buruh, PRD punya agenda yang lebih jauh, bukan salah ya, membentuk pemerintahan sosialis.
Sistem ekonomi kapitalis sebetulnya memainkan 'tarik-tambang'. Artinya, kalau dia merasa lemah tambang akan dia ulur tapi pertandingan tarik-tambang tak akan pernah selesai. Kecuali dengan mengubah sistem. Sasaran PRD terlalu jauh. Kalau setiap aksi buruh selalu mengalami kegagalan bahkan sampai ditahan, PRD tidak akan populer. Membangun Gerakan Buruh harus proporsional. Saya bukan mengatakan diskusi tentang globalisasi, privatisasi dan kapitalisme tidak penting, tapi hendaknya itu tidak selalu dibawa dalam perjuangan gerakan buruh.
Satu lagi Bahwa gerakan buruh sudah waktunya dikaitkan dengan partai politik, disamping adanya gerakan buruh independen. Sayangnya partai politik masih kacau. Tapi kalau buruh berhubungan dengan parpol, dengan begitu Gerakan buruh bisa berjuang di tingkat parlemen. Pada jaman Soekarno tidak ada gerakan buruh yang independen, misalnya PKI punya SOBSI, PNI punya Buruh Marhain. Barangkali sekarang akan kembali pada partai. Parpol harusnya memiliki interest pada buruh dalam rangka memobilisasi suara, tapi sekaligus buruh punya kaitan ke parlemen, dan punya daya tekan yang lebih kuat. Saya kira di masa depan, kalau partai menyadari bahwa buruh punya potensi, mereka akan terdorong untuk mendirikan serikat buruh. Sekarang partainya masih bego. Mereka nggak sadar pentingnya itu.
AR: Belajar dari pengalaman, kepentingan partai/politik lebih dominan ketimbang kepentingan buruh?
AB: Mestinya, kalau bisa, organisasi buruh membuat partai buruh, yang memperjuangkan kepentingan buruh. Buruh bisa bersatu dan hanya memilih partai yang berpihak pada buruh. Toh partai butuh dukungan suara. Buruh sebenarnya punya potensi besar, terutama di kota, itu merupakan madu buat partai. Buruh hanya bilang, "OK saya bisa memberikan manis madu kepada partai yang membela kepantingan buruh", nanti partai berlomba-lomba bikin program untuk buruh. Di Indonesia jumlah buruh, termasuk buruh tani saya kira besar.
AR: Apa syarat membangun relasi yang sehat antara buruh dan partai?
AB: Buruh harus membangun posisi tawar, kalau terpecah-pecah akan mudah dimanfaatkan partai. Mereka harus sadar bahwa mereka buruh, bukan marhaenisme yang membela soekarnoisme atau membela Golkar atau partai manapun. Itu yang bisa digalang sekarang, bahwa mereka sebagai kelas buruh, kesadaran kelas harus diutamakan dari kepentingan ideolog lain.
Buruh bisa direkrut sebagai anggota dengan dalih setia pada Islam atau yang lain padahal partainya partai majikan. Kesadaran kelas harus dikembangkan meskipun bisa dituduh sebagai komunis. PKI mengira petani/buruh sudah punya kesadaran kelas. Petani yang dirampas tanahnya bisa saja membela kepentingan tuan tanah kalau tuan tanahnya haji, karena mereka bilang kuwalat melawan haji. Padahal haji itu merampas, kalau menurut bahasa marxisnya kesadaran kelasnya kurang.
Tapi pernahkah ada dalam sejarah, bahwa gerakan didasari kesadaran kelas yang tinggi. PKI mencoba untuk itu, tapi tidak berhasil, karena ada faktor kultur aliran. Kebanyakan orang tidak berani konfrontasi dengan tuan tanah yang kiai/santri, selain itu ada hubungan patrimonial. Ini menarik. Yang disebut tuan tanah di Amerika latin atau di Eropa dulu, adalah yang punya tanah luas dan tidak punya hubungan dengan petani. Tapi di sini beda, tuan tanah hanya menguasai sebidang kecil tanah dan hubungan mereka dengan buruh/petani sangat patrimornial.
AR: Tapi ada tidak yang mencoba melakukan kritik soal ini, terutama hambatan kultural dalam proses penanaman kesadaran kelas dan mengabstraksikan sebuah teori yang 'applicable'?
AB: Ada. Salah satunya di Australia, Rex Mortimer. Faktor sosial budaya sangat kuat menghambat munculnya kesadaran kelas. PKI kan mengklaim massanya banyak, tapi saat aksi sepihak tahun 61-62 mereka mengalami kesulian memobilisir orang yang berani melawan tuan tanah. Yang radikal sedikit dan itu yang ditumpas tahun 65. Di sini ada orang Lekra, Kusni Sulam, dia asli orang Dayak yang ganti nama menjadi JJ Kusni. Dia menulis tentang BTI.
AR: Dalam kondisi seperti ini, bagaimana mempersiapkan munculnya gerakan buruh?
AB: Saya kira penguatan organisasi dan pembangunan jaringan yang tadi itu. Sekarang serikat sudah mulai terbuka, jadi penting untuk melakukan pembenahan internal. Sekarang ada SBSI, FNPBI dan lain-lain. Mochtar Pakpahan kapasitas organisasionalnya lemah, di SBSI dia sendiri yang muncul. SBSI itu selalu identik dengan Mochtar Pakpahan. Kalau Islam bisa menggalang buruh, mungkin akan lebih kuat. Kesadaran kelas pada kotak agama bisa lebih kuat, orang mengidentifikasi dirinya melalui agama dan kepentingan kelas. Kalau ada reinterpretasi Islam baru, missalnya Teologi Perburuhan, bisa lebih efektif dengan konteks Indonesia. Bukan memanipulasi agama, tapi membela buruh adalah inti dari agama karena problem keadilan itu.
AR: Negara mana yang dapat dijadikan referensi untuk gerakan buruh Indonesia?
AB: Saya tidak tahu banyak. Saya belajar tentang Chile, tapi kondisi konteks sosial budayanya berbeda. Harusnya ada negara Amerika Latin lain yang pas. Afrika, sama sekali saya tidak tahu. Argentina mungkin menarik, dia punya tokoh seperti Soekarno, dihormati sekali, Sokarnonya Eva Peron tapi, lalu beralih ke Junta Militer. Tapi gerakan nasionalismenya masih kuat. Saya nggak tahu, di sana ada katolik, ada nasionalisme, ada militer, ada buruh juga. Taraf industrinya tidak sehebat Korsel, negaranya besar, terbesar di Amerika Latin. Saya nggak bilang itu contoh tapi paralelnya tinggi dengan Indonesia.
AR: Ada kecurigaan aksi buruh sering ditunggangi kepentingan politis, seperti perebutan kursi di elit kekuasaan. Bagaimana menilai gerakan buruh ditunggangi atau tidak?
AB: Politik itu permainan pragmatis. Seperti ketika Yacob Nuwawea mau menjadi menteri, dia mainkan buruh, ya biar saja, terima aja. Yang penting kepentingan buruh terpenuhi. Contoh lain, saat penggusuran di Jakarta. Untuk permainan politik, silahkan siapa yang mau membela. Mereka akan mendapatkan jasa dan nama baik, ambil saja. Kalau ada yang lain seperti Yacob, partai atau apapun, biar saja. Undang mereka, "Kalau membela buruh, kita akan dukung anda". Buat transaksi, "Saya garuk punggung anda, anda juga garuk punggung saya". Jangan terlalu alergi politik. Politik memang begitu, yang penting kita tidak pada pihak dirugikan. Ini politik modern, transaksi bukan idealis-idealis. Mau membela buruh tapi tak dapat apa-apa.
AR: Apa yang harus disiapkan untuk membangaun persatuan gerakan buruh yang kuat?
AB: Saat ini ada banyak serikat, tapi yang penting adalah mereka harus memilih pemimpin yang mengerti kepentingan kelas buruh. Mereka bisa beda, tapi ketika kepentingan kelas buruh terancam mereka bersatu. Itulah kenapa jaringan dalam dan LN itu penting. Buruh muncul beragam tidak bisa dicegah, tapi selalu ada koordinasi, kalau bisa ada seorang tokoh buruh, 'Soekarno'nya buruh. Meski banyak kelompok, dia yang paling dihormati karena kita percaya dia tidak punya interest pribadi selain kepentingan buruh.
AR: Kenapa kepemimpinan gerakan buruh selalu dipimpin oleh kelas menengah?
AB: Itu perdebatan lama. Gerakan komunis dan gerakan buruh selalu dipimpin oleh kaum intelektual. Saya kira itu tidak bisa dihindari karena yang mampu mengartikulasikan kepentingan buruh biasanya kaum intelektual. Yang penting bahwa orang yang mimpin gerakan buruh itu adalah orang yang selalu berhubungan dengan buruh dan memperjuangkan kepentingan buruh. Saya kira kita lebih baik mempersoalkan pemimpin ini layak atau tidak ketimbang elit atau tidak elit. Fauzi Abdullah, misalnya, juga elit, tapi diakan dekat dengan buruh. Dia memenuhi syarat. Sebenarnya sulit mengatakan dia elit, tapi latar belakangnya mahasiswa UI. Padahal penampilan dan semangatnya buruh. Kalau pemimpin buruh itu harus benar-benar dari buruh atau sekolahnya harus sekolah menengah misalnya, itu agak naif, bahkan malah bisa melumpuhkan gerakan buruh. Tapi Kalau muncul pemimpin dari bawah ya bagus. Elit atau bukan, yang penting mau mendengar buruh, membela kepentingan buruh. Marx seorang akademisi, tidak memimpin buruh, setiap hari di perpustakaan, tapi dia dianggap pemimpin buruh dunia karena pemikirannya menginspirasikan kekuatan buruh.
AR: Organisasi buruh paska 80-90an lahir dari gerakan NGO, bagaimana menghindari relasi buruh-NGO yang kooptatif?
AB: Peran LSM paska reformasi tidak akan besar. Dulu LSM kuat karena partai tidak berfungsi. Sekarang fungsi fasilitasi buruh bisa diambil partai. Partai bisa masuk wilayah kerja LSM, tapi LSM tidak semuanya mampu menjadi partai. Kalau kondisi partai sudah normal, LSM jadi partai saja. Hubungan LSM dengan organisasi buruh, tani, nelayan memang masih mungkin, tapi lebih bagus kalau partai yang melakukannya untuk lebih efektif melakukan pemberdayaan rakyat. Fungsi konfrontasi dengan negara lebih efektif bila dilakukan oleh partai.
AR: Menurut anda peran dan posisi gerakan buruh ke depan bagaimana?
AB: Saya kira tergantung pemulihan ekonominya, saya kira sampai tahun 2004 masih sulit, buruh masih kocar-kacir. Jadi saya kira masih kelabu.
AR: Apakah ada strategi atau kebijakan yang mampu mengendalikan larinya modal?
AB: Ini sistem ekonomi pasar, sistem kapitalis, permainan untung-rugi saja. Kalau modal diinstruksi untuk masuk atau keluar, tidak akan jalan. Tapi kalau dibilang disini lebih untung, mereka akan datang. Caranya menciptakan iklim usaha yang baik, lalu menekan buruh. Ini kapitalisme yang jelas-jelas menguntungkan pengusaha.
AR: Kalau berharap pada peran negara?
AB: Negara tidak mampu melawan pasar. Kecuali negara sosialis yang kuat, yang menjalankan untuk kesejahteraan rakyat. Tapi bahayanya ketika negara jadi otoriter, yang di atas korup. Memang tidak ada sistem yang ideal, tapi dalam kapitalisme, kita harus sadar bahwa pasar itu kuat, pengusaha itu kuat.
AR: Apa tidak ada cara lain?
AB: Bagimana? Saya tidak melihat ada cara lain. Negara seperti Chile, ketika mencoba mengendalikan modal, hanya 'BUMN'nya yang mampu. Ketika mereka melakukan nasionalisasi, AS langsung membekukan uang pemerintah Chile, bank Dunia tidak memberi pinjaman lagi, ekspornya diembargo. Mereka lari ke Soviet, tapi Soviet tak cocok dengan Chile. Negara kacau balau, banyak kerusakan, pemerintah krisis legitimasi, dan rakyat marah.***
Wawancara ini sebelumnya telah dimuat di Sedane Jurnal Kajian Perburuhan vol 1 no 1 Dec 2002.
Arief Ruba'i (AR): Banyak yang mengatakan posisi politis buruh sangat lemah, hingga serikat cenderung melakukan perlawanan ke arah kebijakan dan negara dari pada konfrontasi dengan pengusaha?
Arief Budiman (AB): Kekuatan riil politik gerakan buruh sangat lemah. Pertama, kondisi ekonomi kita lemah, kita sangat tergantung pada investor asing. Kedua, pengangguran tinggi, jadi posisi tawar majikan kuat sekali. Kita lebih butuh mereka dari pada mereka butuh kita. Kalau upah buruh naik atau sering terjadi pemogokan, mereka akan pindah. Apalagi potensi alternatifnya banyak, Vietnam, RRC, India dan lain-lain. Kenyataannya kita harus bertolak dari posisi buruh yang lemah. Ini jadi masalah buat buruh ketika mereka mau melakukan perlawanan menghadapi siapapun. Apakah dia menghadapi majikan atau negara. Padahal negara dari dulu selalu tersandera oleh kondisi ekonomi yang lemah. Sehingga negara lebih butuh investor dari pada membela buruh. Dan mengorbankan buruh resikonya lebih kecil dari pada mengorbankan modal. Inilah akar persoalan buruh, mereka bisa saja mogok, bisa macam-macam tapi penyelesaiannya selalu kalah.
AR: Dalam kondisi seperti ini, kemana strategi perlawanan atau titik serang lebih tepat diarahkan?
AB: Saya tidak mengerti. Posisinya yang sangat lemah ini yang sulit. Orang lemah mau menyerang orang kuat, jadi sulit mencari titik serang. Tapi yang bisa dilakukan sekarang adalah mempersiapkan perjuangan masa depan ketika kondisi ekonomi lebih baik, dimana modal punya kebutuhan pada Indonesia. Yang perlu dilakukan saat ini pertama, memperkuat organisasi buruh, termasuk membangun solidaritas dan melakukan pendidikan. Kedua, membangun solidaritas internasional. Jadi, tekanan terhadap perusahaan, terutama perusahaan asing dilakukan di negara asal perusahaan tersebut, itu biasanya lebih efektif. Kedua hal itu merupakan investasi di masa depan saat kondisi ekonomi membaik.
Kalau pun pemerintah berpihak pada buruh, dia tidak mampu melawan pengusaha. Karena sekarang pemerintah lagi 'nyembah-nyembah' pengusaha supaya modal yang diparkir di LN balik ke dalam. Tentu pengusaha akan bilang, "OK, tapi buruh diberesin dulu". Apalagi nasib buruh terkait dengan berkembangnya dunia usaha di Indonesia karena kita menganut sistem ekonomi kapitalis. Nampaknya semua jalan yang ada saat ini sulit. Mungkin buruh harus mengalah dulu, tapi melakukan investasi untuk masa depan.
AR: Riilnya seperti apa?
AB: Nuntut boleh saja tapi yang realistis. Kita dalam kondisi angin badai, artinya kalau kapal ini bisa selamat saja sudah lumayan, jangan berharap ada peningkatan.
AR: Dalam hal pendidikan dan penguatan organisasi buruh, kira-kira isu apa yang perlu diprioritaskan untuk persiapan ke depan?
AB: Isu utama adalah ketidakadilan, bahwa perusahaan dapat banyak keuntungan dibanding upah buruh yang sangat buruk. Itu yang menjadi bahan pendidikan dan titik serang, buruh disadarkan bahwa mereka dieksploitasi, sehingga timbul gairah perlawanan. Tapi hendaknya jangan terlalu diberi harapan macam-macam, karena keadilan ini sulit dicapai dalam kondisi seperti ini. Paling muncul kader-kader gerakan buruh lokal.
AR: Sekarang banyak serikat buruh, tapi mereka memiliki concern yang berbeda. Ada yang tertarik isu-isu lokal pabrik, ada juga yang mengangkat isu-isu di luar pabrik seperti kebijakan dan anti privatisasi. Menurut anda apa yang membuat isu serikat buruh terpolarisasi?
AB: Sebenarnya dua-duanya perlu. Tapi pada tingkat basis, isu ketidakadilan yang harus dikembangkan. Ketidakadilan upah itulah yang penting, dan itu yang paling dimengerti oleh buruh. Kalau isu-isu 'besar' sulit dimengerti kecuali oleh kader-kader buruh. Isu-isu 'besar' penting bagi kader buruh untuk mengerti posisi mereka dan kekuatan posisi tawar mereka. Untuk memimpin gerakan buruh di tingkat grass root, isu yang kongret adalah: upah, jaminan sosial, cuti dan lain-lain. Dalam pendidikan basis perlu juga menyinggung soal isu-isu besar, tapi dalam gerakannya mesti terbatas, supaya dapat dukungan buruh yang lebih kuat.
Gerakan komunis dan sosialis di Chile masuk ke pabrik dengan isu upah. Buruh mudah diajak bergerak untuk isu upah. Itu memang dikritik Lenin karena buruh hanya tahu soal upah saja. Tapi isu-isu 'besar' bisa disosialisasiakan pada tingkat kader. Yang perlu dimengerti adalah latar belakang teori politiknya. Prakteknya, tergantung pada tingkat mana buruh diorganisir dengan melihat kapasitas buruh.
Tentang pemogokan buruh, saya kritik PRD sejak dulu (red- FNPBI), sesekali buruh mogok dengan isu pabrik seperti upah dan THR, tapi seringkali mereka mengusung spanduk besar-besar: "Turunkan Soeharto", "Hancurkan Orde Baru" dan lain-lain. Setiap kali aksi buruh selalu berhadapan dengan militer, karena dianggap sudah politis. Buruhnya nggak dapat apa-apa, kalau begitu terus mereka akan kehilangan dukungan buruh. Mungkin buat PRD aksi ini dianggap berhasil, tapi tidak buat buruh.
Jadi jangan mengangkat isu yang terlalu tinggi apalagi sudah dikaitkan dengan politik. Buruh tentu saja akan langsung dituduh mau menggulingkan pemerintahan. Padahal Seandainya mengangkat isu sederhana, mungkin negosiasi buruh dengan pengusaha bisa berhasil tanpa mereka harus berhadapan dengan militer. Tuduhan terhadap PRD telah mempolitisir buruh ada benarnya, karena dalam memobilisasi buruh, PRD punya agenda yang lebih jauh, bukan salah ya, membentuk pemerintahan sosialis.
Sistem ekonomi kapitalis sebetulnya memainkan 'tarik-tambang'. Artinya, kalau dia merasa lemah tambang akan dia ulur tapi pertandingan tarik-tambang tak akan pernah selesai. Kecuali dengan mengubah sistem. Sasaran PRD terlalu jauh. Kalau setiap aksi buruh selalu mengalami kegagalan bahkan sampai ditahan, PRD tidak akan populer. Membangun Gerakan Buruh harus proporsional. Saya bukan mengatakan diskusi tentang globalisasi, privatisasi dan kapitalisme tidak penting, tapi hendaknya itu tidak selalu dibawa dalam perjuangan gerakan buruh.
Satu lagi Bahwa gerakan buruh sudah waktunya dikaitkan dengan partai politik, disamping adanya gerakan buruh independen. Sayangnya partai politik masih kacau. Tapi kalau buruh berhubungan dengan parpol, dengan begitu Gerakan buruh bisa berjuang di tingkat parlemen. Pada jaman Soekarno tidak ada gerakan buruh yang independen, misalnya PKI punya SOBSI, PNI punya Buruh Marhain. Barangkali sekarang akan kembali pada partai. Parpol harusnya memiliki interest pada buruh dalam rangka memobilisasi suara, tapi sekaligus buruh punya kaitan ke parlemen, dan punya daya tekan yang lebih kuat. Saya kira di masa depan, kalau partai menyadari bahwa buruh punya potensi, mereka akan terdorong untuk mendirikan serikat buruh. Sekarang partainya masih bego. Mereka nggak sadar pentingnya itu.
AR: Belajar dari pengalaman, kepentingan partai/politik lebih dominan ketimbang kepentingan buruh?
AB: Mestinya, kalau bisa, organisasi buruh membuat partai buruh, yang memperjuangkan kepentingan buruh. Buruh bisa bersatu dan hanya memilih partai yang berpihak pada buruh. Toh partai butuh dukungan suara. Buruh sebenarnya punya potensi besar, terutama di kota, itu merupakan madu buat partai. Buruh hanya bilang, "OK saya bisa memberikan manis madu kepada partai yang membela kepantingan buruh", nanti partai berlomba-lomba bikin program untuk buruh. Di Indonesia jumlah buruh, termasuk buruh tani saya kira besar.
AR: Apa syarat membangun relasi yang sehat antara buruh dan partai?
AB: Buruh harus membangun posisi tawar, kalau terpecah-pecah akan mudah dimanfaatkan partai. Mereka harus sadar bahwa mereka buruh, bukan marhaenisme yang membela soekarnoisme atau membela Golkar atau partai manapun. Itu yang bisa digalang sekarang, bahwa mereka sebagai kelas buruh, kesadaran kelas harus diutamakan dari kepentingan ideolog lain.
Buruh bisa direkrut sebagai anggota dengan dalih setia pada Islam atau yang lain padahal partainya partai majikan. Kesadaran kelas harus dikembangkan meskipun bisa dituduh sebagai komunis. PKI mengira petani/buruh sudah punya kesadaran kelas. Petani yang dirampas tanahnya bisa saja membela kepentingan tuan tanah kalau tuan tanahnya haji, karena mereka bilang kuwalat melawan haji. Padahal haji itu merampas, kalau menurut bahasa marxisnya kesadaran kelasnya kurang.
Tapi pernahkah ada dalam sejarah, bahwa gerakan didasari kesadaran kelas yang tinggi. PKI mencoba untuk itu, tapi tidak berhasil, karena ada faktor kultur aliran. Kebanyakan orang tidak berani konfrontasi dengan tuan tanah yang kiai/santri, selain itu ada hubungan patrimonial. Ini menarik. Yang disebut tuan tanah di Amerika latin atau di Eropa dulu, adalah yang punya tanah luas dan tidak punya hubungan dengan petani. Tapi di sini beda, tuan tanah hanya menguasai sebidang kecil tanah dan hubungan mereka dengan buruh/petani sangat patrimornial.
AR: Tapi ada tidak yang mencoba melakukan kritik soal ini, terutama hambatan kultural dalam proses penanaman kesadaran kelas dan mengabstraksikan sebuah teori yang 'applicable'?
AB: Ada. Salah satunya di Australia, Rex Mortimer. Faktor sosial budaya sangat kuat menghambat munculnya kesadaran kelas. PKI kan mengklaim massanya banyak, tapi saat aksi sepihak tahun 61-62 mereka mengalami kesulian memobilisir orang yang berani melawan tuan tanah. Yang radikal sedikit dan itu yang ditumpas tahun 65. Di sini ada orang Lekra, Kusni Sulam, dia asli orang Dayak yang ganti nama menjadi JJ Kusni. Dia menulis tentang BTI.
AR: Dalam kondisi seperti ini, bagaimana mempersiapkan munculnya gerakan buruh?
AB: Saya kira penguatan organisasi dan pembangunan jaringan yang tadi itu. Sekarang serikat sudah mulai terbuka, jadi penting untuk melakukan pembenahan internal. Sekarang ada SBSI, FNPBI dan lain-lain. Mochtar Pakpahan kapasitas organisasionalnya lemah, di SBSI dia sendiri yang muncul. SBSI itu selalu identik dengan Mochtar Pakpahan. Kalau Islam bisa menggalang buruh, mungkin akan lebih kuat. Kesadaran kelas pada kotak agama bisa lebih kuat, orang mengidentifikasi dirinya melalui agama dan kepentingan kelas. Kalau ada reinterpretasi Islam baru, missalnya Teologi Perburuhan, bisa lebih efektif dengan konteks Indonesia. Bukan memanipulasi agama, tapi membela buruh adalah inti dari agama karena problem keadilan itu.
AR: Negara mana yang dapat dijadikan referensi untuk gerakan buruh Indonesia?
AB: Saya tidak tahu banyak. Saya belajar tentang Chile, tapi kondisi konteks sosial budayanya berbeda. Harusnya ada negara Amerika Latin lain yang pas. Afrika, sama sekali saya tidak tahu. Argentina mungkin menarik, dia punya tokoh seperti Soekarno, dihormati sekali, Sokarnonya Eva Peron tapi, lalu beralih ke Junta Militer. Tapi gerakan nasionalismenya masih kuat. Saya nggak tahu, di sana ada katolik, ada nasionalisme, ada militer, ada buruh juga. Taraf industrinya tidak sehebat Korsel, negaranya besar, terbesar di Amerika Latin. Saya nggak bilang itu contoh tapi paralelnya tinggi dengan Indonesia.
AR: Ada kecurigaan aksi buruh sering ditunggangi kepentingan politis, seperti perebutan kursi di elit kekuasaan. Bagaimana menilai gerakan buruh ditunggangi atau tidak?
AB: Politik itu permainan pragmatis. Seperti ketika Yacob Nuwawea mau menjadi menteri, dia mainkan buruh, ya biar saja, terima aja. Yang penting kepentingan buruh terpenuhi. Contoh lain, saat penggusuran di Jakarta. Untuk permainan politik, silahkan siapa yang mau membela. Mereka akan mendapatkan jasa dan nama baik, ambil saja. Kalau ada yang lain seperti Yacob, partai atau apapun, biar saja. Undang mereka, "Kalau membela buruh, kita akan dukung anda". Buat transaksi, "Saya garuk punggung anda, anda juga garuk punggung saya". Jangan terlalu alergi politik. Politik memang begitu, yang penting kita tidak pada pihak dirugikan. Ini politik modern, transaksi bukan idealis-idealis. Mau membela buruh tapi tak dapat apa-apa.
AR: Apa yang harus disiapkan untuk membangaun persatuan gerakan buruh yang kuat?
AB: Saat ini ada banyak serikat, tapi yang penting adalah mereka harus memilih pemimpin yang mengerti kepentingan kelas buruh. Mereka bisa beda, tapi ketika kepentingan kelas buruh terancam mereka bersatu. Itulah kenapa jaringan dalam dan LN itu penting. Buruh muncul beragam tidak bisa dicegah, tapi selalu ada koordinasi, kalau bisa ada seorang tokoh buruh, 'Soekarno'nya buruh. Meski banyak kelompok, dia yang paling dihormati karena kita percaya dia tidak punya interest pribadi selain kepentingan buruh.
AR: Kenapa kepemimpinan gerakan buruh selalu dipimpin oleh kelas menengah?
AB: Itu perdebatan lama. Gerakan komunis dan gerakan buruh selalu dipimpin oleh kaum intelektual. Saya kira itu tidak bisa dihindari karena yang mampu mengartikulasikan kepentingan buruh biasanya kaum intelektual. Yang penting bahwa orang yang mimpin gerakan buruh itu adalah orang yang selalu berhubungan dengan buruh dan memperjuangkan kepentingan buruh. Saya kira kita lebih baik mempersoalkan pemimpin ini layak atau tidak ketimbang elit atau tidak elit. Fauzi Abdullah, misalnya, juga elit, tapi diakan dekat dengan buruh. Dia memenuhi syarat. Sebenarnya sulit mengatakan dia elit, tapi latar belakangnya mahasiswa UI. Padahal penampilan dan semangatnya buruh. Kalau pemimpin buruh itu harus benar-benar dari buruh atau sekolahnya harus sekolah menengah misalnya, itu agak naif, bahkan malah bisa melumpuhkan gerakan buruh. Tapi Kalau muncul pemimpin dari bawah ya bagus. Elit atau bukan, yang penting mau mendengar buruh, membela kepentingan buruh. Marx seorang akademisi, tidak memimpin buruh, setiap hari di perpustakaan, tapi dia dianggap pemimpin buruh dunia karena pemikirannya menginspirasikan kekuatan buruh.
AR: Organisasi buruh paska 80-90an lahir dari gerakan NGO, bagaimana menghindari relasi buruh-NGO yang kooptatif?
AB: Peran LSM paska reformasi tidak akan besar. Dulu LSM kuat karena partai tidak berfungsi. Sekarang fungsi fasilitasi buruh bisa diambil partai. Partai bisa masuk wilayah kerja LSM, tapi LSM tidak semuanya mampu menjadi partai. Kalau kondisi partai sudah normal, LSM jadi partai saja. Hubungan LSM dengan organisasi buruh, tani, nelayan memang masih mungkin, tapi lebih bagus kalau partai yang melakukannya untuk lebih efektif melakukan pemberdayaan rakyat. Fungsi konfrontasi dengan negara lebih efektif bila dilakukan oleh partai.
AR: Menurut anda peran dan posisi gerakan buruh ke depan bagaimana?
AB: Saya kira tergantung pemulihan ekonominya, saya kira sampai tahun 2004 masih sulit, buruh masih kocar-kacir. Jadi saya kira masih kelabu.
AR: Apakah ada strategi atau kebijakan yang mampu mengendalikan larinya modal?
AB: Ini sistem ekonomi pasar, sistem kapitalis, permainan untung-rugi saja. Kalau modal diinstruksi untuk masuk atau keluar, tidak akan jalan. Tapi kalau dibilang disini lebih untung, mereka akan datang. Caranya menciptakan iklim usaha yang baik, lalu menekan buruh. Ini kapitalisme yang jelas-jelas menguntungkan pengusaha.
AR: Kalau berharap pada peran negara?
AB: Negara tidak mampu melawan pasar. Kecuali negara sosialis yang kuat, yang menjalankan untuk kesejahteraan rakyat. Tapi bahayanya ketika negara jadi otoriter, yang di atas korup. Memang tidak ada sistem yang ideal, tapi dalam kapitalisme, kita harus sadar bahwa pasar itu kuat, pengusaha itu kuat.
AR: Apa tidak ada cara lain?
AB: Bagimana? Saya tidak melihat ada cara lain. Negara seperti Chile, ketika mencoba mengendalikan modal, hanya 'BUMN'nya yang mampu. Ketika mereka melakukan nasionalisasi, AS langsung membekukan uang pemerintah Chile, bank Dunia tidak memberi pinjaman lagi, ekspornya diembargo. Mereka lari ke Soviet, tapi Soviet tak cocok dengan Chile. Negara kacau balau, banyak kerusakan, pemerintah krisis legitimasi, dan rakyat marah.***
Wawancara ini sebelumnya telah dimuat di Sedane Jurnal Kajian Perburuhan vol 1 no 1 Dec 2002.
Orang Miskin Dilarang Sekolah
Benny Susetyo Pr, Sekretaris Eksekutif Komisi HAK, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).
”Saya ingin cucu saya pintar, karenanya saya larang ia sekolah,” kata Margaret Mead suatu ketika. ”Orang miskin dilarang sekolah,” bunyi judul karangan seorang teman di Yogya, Eko Prasetyo. Dua pernyataan ini mewakili secara sungguh-sungguh kenyataan pendidikan kita. Pendidikan kita masih diragukan kemampuannya untuk membuat orang pintar dan dengan demikian mampu melepaskan belenggu masyarakat dari kemiskinan. Di sisi lain, kaum miskin memang menjadi kaum ”terlarang” untuk memasuki kawasan pendidikan tinggi.
Siapa tak heran, wong sudah jelas disaksikan bagaimana angka kemiskinan dan rendahnya pendapatan yang diderita oleh sebagian besar masyarakat, nyatanya itu tak membuat pemerintah bergeming untuk menaikkan harga segala biaya masuk dan biaya perlengkapan pendidikan.
Lalu pendidikan itu akan diperuntukkan siapa? Apakah hanya kelas atas saja —yang jumlahnya sangat kecil, dan kelas bawah tetap dengan ketertindasannya? Tampak terang, kebijakan-kebijakan pendidikan yang direkayasa oleh pemodal dan penguasa ini menjadi cermin betapa buruknya negara ini mengelola pendidikan, betapa tidak warasnya para penguasa ini memperlakukan masyarakat miskin.
Unjuk rasa menolak kenaikan biaya pendidikan, terutama untuk perguruan tinggi, muncul mula-mula ketika diputuskan bahwa perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi badan hukum milik negara (BHMN). Atas kebijakan tersebut, sedikitnya ada tiga alasan atas fenomena yang menjadi perbincangan meluas itu. Pertama, soal keterbatasan anggaran pendidikan yang disediakan negara kepada masyarakat. Kedua, soal deetatisme yang digembar-gemborkan sebagai jalan menuju otonomi kampus sepenuhnya. Ketiga, soal kapitalisme global yang semakin lama semakin pasti mensyaratkan privatisasi berbagai lembaga milik negara untuk dipersaingkan di tengah pasar bebas.
Kegagalan Fungsi Negara
Penjelasan gamblang untuk alasan pertama adalah ketidakmampuan negara untuk memberikan subsidi sebesar-besarnya bagi masyarakat untuk menikmati dan mengenyam pendidikan. Dengan kata lain, ini merupakan kegagalan fungsi negara untuk memberikan pendidikan semurah-murahnya kepada masyarakat.
Atas alasan krisis ekonomi berkepanjangan dengan berbagai aspeknya, negara berpikir tidak lagi perlu memberikan subsidi pendidikan, terutama untuk pendidikan tinggi. Krisis ini diperparah dengan tidak kunjung membaiknya perekonomian Indonesia di tengah-tengah negara-negara lain yang sudah bangkit. Karena itu, seakan-akan absah jika negara menghendaki pemotongan anggaran pendidikan bagi masyarakat.
Penjelasan kedua mengandaikan bahwa di era reformasi ini negara tak boleh lagi mengintervensi kampus sebagai lahan persemaian keilmuan. Dunia akademis dengan segala apa yang ada di dalamnya bersifat otonom. Ilmu memiliki kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri, dan kuasa negara tidak berhak untuk menentukan wacana yang berkembang di dalamnya (sebagai catatan, ini kontradiktif dengan karakter UU Sisdiknas yang baru yang sangat kental semangat etatisme-nya).
Berkaitan dengan penjelasan kedua, penjelasan ketiga mengisyaratkan adanya integrasi institusi-institusi negara ke dalam pasar. Kapitalisme melahirkan arena yang disebut pasar dan ia berfungsi sebagai lahan untuk beradu kekuatan. Konsekuensi dari kompetisi bebas ini adalah tersingkirnya yang lemah dan pongahnya yang kuat. Negara menjadi serba sulit untuk membela kepentingan si lemah. Akibatnya fungsi negara untuk melindungi dan mencerdaskan masyarakat, larut dalam arena pertarungan tanpa batas tersebut.
Dari kasus ini sangat perlu kita sarankan bahwa komersialisasi pendidikan sangatlah mencoreng muka dan nama besar PTN-PTN yang sudah diakui tersebut. Tanpa harus mengeksploitasi dan menciptakan ruang diskriminasi bagi mahasiswa, PTN-PTN tersebut kita yakini masih mampu mencari dana dengan cara yang lebih elegan dan profesional. Masih banyak cara untuk mendanai operasionalisasi pendidikan tanpa harus menjerat leher masyarakat. Jangan perburuk wajah Indonesia dengan melakukan hal-hal yang di luar batas kewajaran.
”Very-very Important Person”
Sudah dipahami masyarakat dan menjadi keprihatinan teramat luas, betapa timpangnya pendidikan kita menyerap anak didiknya. Dalam berbagai PTN, terdapat berbagai kelas khusus, dari yang super-eksekutif untuk very-very important person (VVIP), yang eksekutif untuk very important person (VIP), kelas istimewa, kelas spesial sampai kelas anak jelata.
Pendidikan ternyata tidak mengajarkan bagaimana jurang stratifikasi sosial itu dihentikan dan setiap murid mendapatkan perlakuan yang sama dan wajar. Pendidikan justru jelas-jelas mengajarkan bagaimana diskriminasi dilakukan. Jika tak punya uang, maka benarlah dikatakan bahwa orang miskin terlarang memasuki bangku kuliah.
Ini merupakan cermin nyata dampak integrasi pendidikan dalam pasar bebas. Jelas bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, berangkat dari soal-soal yang dikemukakan di atas, sebenarnya implikasi yang paling logis diterima atas kebijakan itu adalah mahalnya biaya pendidikan. Fenomena ini tentu saja kontradiktif dengan kondisi perekonomian masyarakat yang umumnya tak berdaya baik sebelum maupun sesudah krisis. Dari Orde Baru hingga sekarang, perkembangan perekonomian masyarakat berjalan sangat lambat di satu sisi, meski di sisi lain peredaran korupsi di tingkat elit semakin membabi-buta. Ada kesenjangan yang tidak sulit dipahami dengan mata telanjang, terutama ketika kaum elite berebut kue pembangunan, dan kaum miskin semata-mata tetap menjadi obyek pembangunan.
Terintegrasinya dunia pendidikan ke dalam pasar bebas dengan konsekuensi sebagaimana dipaparkan di atas di satu pihak, adalah fenomena yang tidak sebanding ataupun berlainan sama sekali dengan ketidakberdayaan ekonomi masyarakat di lain pihak. Jika di negara-negara maju, pendidikan yang berbiaya mahal tidak mendapatkan protes adalah karena masyarakatnya yang melihat kemampuan dirinya untuk mengakses dunia pendidikan tersebut. Persoalan kita saat ini dengan demikian adalah bagaimana menyikapi dua hal berbeda yang saling bertolak belakang tersebut?
Ibarat sudah jatuh, masyarakat miskin yang memiliki kemampuan akademik di atas rata-rata, akhirnya tertimpa tangga pula. Tertutup ruang bagi mereka untuk mengembangkan kemampuannya di dalam universitas-universitas berkualitas. Orientasi mereka sudah digeser untuk sekedar mencari uang dan uang, kualifikasi akademis sudah dipinggirkan jauh-jauh. Dan orang miskin memang benar-benar terlarang bersekolah!
”Saya ingin cucu saya pintar, karenanya saya larang ia sekolah,” kata Margaret Mead suatu ketika. ”Orang miskin dilarang sekolah,” bunyi judul karangan seorang teman di Yogya, Eko Prasetyo. Dua pernyataan ini mewakili secara sungguh-sungguh kenyataan pendidikan kita. Pendidikan kita masih diragukan kemampuannya untuk membuat orang pintar dan dengan demikian mampu melepaskan belenggu masyarakat dari kemiskinan. Di sisi lain, kaum miskin memang menjadi kaum ”terlarang” untuk memasuki kawasan pendidikan tinggi.
Siapa tak heran, wong sudah jelas disaksikan bagaimana angka kemiskinan dan rendahnya pendapatan yang diderita oleh sebagian besar masyarakat, nyatanya itu tak membuat pemerintah bergeming untuk menaikkan harga segala biaya masuk dan biaya perlengkapan pendidikan.
Lalu pendidikan itu akan diperuntukkan siapa? Apakah hanya kelas atas saja —yang jumlahnya sangat kecil, dan kelas bawah tetap dengan ketertindasannya? Tampak terang, kebijakan-kebijakan pendidikan yang direkayasa oleh pemodal dan penguasa ini menjadi cermin betapa buruknya negara ini mengelola pendidikan, betapa tidak warasnya para penguasa ini memperlakukan masyarakat miskin.
Unjuk rasa menolak kenaikan biaya pendidikan, terutama untuk perguruan tinggi, muncul mula-mula ketika diputuskan bahwa perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi badan hukum milik negara (BHMN). Atas kebijakan tersebut, sedikitnya ada tiga alasan atas fenomena yang menjadi perbincangan meluas itu. Pertama, soal keterbatasan anggaran pendidikan yang disediakan negara kepada masyarakat. Kedua, soal deetatisme yang digembar-gemborkan sebagai jalan menuju otonomi kampus sepenuhnya. Ketiga, soal kapitalisme global yang semakin lama semakin pasti mensyaratkan privatisasi berbagai lembaga milik negara untuk dipersaingkan di tengah pasar bebas.
Kegagalan Fungsi Negara
Penjelasan gamblang untuk alasan pertama adalah ketidakmampuan negara untuk memberikan subsidi sebesar-besarnya bagi masyarakat untuk menikmati dan mengenyam pendidikan. Dengan kata lain, ini merupakan kegagalan fungsi negara untuk memberikan pendidikan semurah-murahnya kepada masyarakat.
Atas alasan krisis ekonomi berkepanjangan dengan berbagai aspeknya, negara berpikir tidak lagi perlu memberikan subsidi pendidikan, terutama untuk pendidikan tinggi. Krisis ini diperparah dengan tidak kunjung membaiknya perekonomian Indonesia di tengah-tengah negara-negara lain yang sudah bangkit. Karena itu, seakan-akan absah jika negara menghendaki pemotongan anggaran pendidikan bagi masyarakat.
Penjelasan kedua mengandaikan bahwa di era reformasi ini negara tak boleh lagi mengintervensi kampus sebagai lahan persemaian keilmuan. Dunia akademis dengan segala apa yang ada di dalamnya bersifat otonom. Ilmu memiliki kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri, dan kuasa negara tidak berhak untuk menentukan wacana yang berkembang di dalamnya (sebagai catatan, ini kontradiktif dengan karakter UU Sisdiknas yang baru yang sangat kental semangat etatisme-nya).
Berkaitan dengan penjelasan kedua, penjelasan ketiga mengisyaratkan adanya integrasi institusi-institusi negara ke dalam pasar. Kapitalisme melahirkan arena yang disebut pasar dan ia berfungsi sebagai lahan untuk beradu kekuatan. Konsekuensi dari kompetisi bebas ini adalah tersingkirnya yang lemah dan pongahnya yang kuat. Negara menjadi serba sulit untuk membela kepentingan si lemah. Akibatnya fungsi negara untuk melindungi dan mencerdaskan masyarakat, larut dalam arena pertarungan tanpa batas tersebut.
Dari kasus ini sangat perlu kita sarankan bahwa komersialisasi pendidikan sangatlah mencoreng muka dan nama besar PTN-PTN yang sudah diakui tersebut. Tanpa harus mengeksploitasi dan menciptakan ruang diskriminasi bagi mahasiswa, PTN-PTN tersebut kita yakini masih mampu mencari dana dengan cara yang lebih elegan dan profesional. Masih banyak cara untuk mendanai operasionalisasi pendidikan tanpa harus menjerat leher masyarakat. Jangan perburuk wajah Indonesia dengan melakukan hal-hal yang di luar batas kewajaran.
”Very-very Important Person”
Sudah dipahami masyarakat dan menjadi keprihatinan teramat luas, betapa timpangnya pendidikan kita menyerap anak didiknya. Dalam berbagai PTN, terdapat berbagai kelas khusus, dari yang super-eksekutif untuk very-very important person (VVIP), yang eksekutif untuk very important person (VIP), kelas istimewa, kelas spesial sampai kelas anak jelata.
Pendidikan ternyata tidak mengajarkan bagaimana jurang stratifikasi sosial itu dihentikan dan setiap murid mendapatkan perlakuan yang sama dan wajar. Pendidikan justru jelas-jelas mengajarkan bagaimana diskriminasi dilakukan. Jika tak punya uang, maka benarlah dikatakan bahwa orang miskin terlarang memasuki bangku kuliah.
Ini merupakan cermin nyata dampak integrasi pendidikan dalam pasar bebas. Jelas bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, berangkat dari soal-soal yang dikemukakan di atas, sebenarnya implikasi yang paling logis diterima atas kebijakan itu adalah mahalnya biaya pendidikan. Fenomena ini tentu saja kontradiktif dengan kondisi perekonomian masyarakat yang umumnya tak berdaya baik sebelum maupun sesudah krisis. Dari Orde Baru hingga sekarang, perkembangan perekonomian masyarakat berjalan sangat lambat di satu sisi, meski di sisi lain peredaran korupsi di tingkat elit semakin membabi-buta. Ada kesenjangan yang tidak sulit dipahami dengan mata telanjang, terutama ketika kaum elite berebut kue pembangunan, dan kaum miskin semata-mata tetap menjadi obyek pembangunan.
Terintegrasinya dunia pendidikan ke dalam pasar bebas dengan konsekuensi sebagaimana dipaparkan di atas di satu pihak, adalah fenomena yang tidak sebanding ataupun berlainan sama sekali dengan ketidakberdayaan ekonomi masyarakat di lain pihak. Jika di negara-negara maju, pendidikan yang berbiaya mahal tidak mendapatkan protes adalah karena masyarakatnya yang melihat kemampuan dirinya untuk mengakses dunia pendidikan tersebut. Persoalan kita saat ini dengan demikian adalah bagaimana menyikapi dua hal berbeda yang saling bertolak belakang tersebut?
Ibarat sudah jatuh, masyarakat miskin yang memiliki kemampuan akademik di atas rata-rata, akhirnya tertimpa tangga pula. Tertutup ruang bagi mereka untuk mengembangkan kemampuannya di dalam universitas-universitas berkualitas. Orientasi mereka sudah digeser untuk sekedar mencari uang dan uang, kualifikasi akademis sudah dipinggirkan jauh-jauh. Dan orang miskin memang benar-benar terlarang bersekolah!
Burung Merak dan Islam
Ini cerita Ajib Rosidi. Ada kejadian tahuan 1970-an, saat BM (Burung Merak/WS Rendra) ditahan penguasa. Demi solidaritas sesama seniman, berangkatlah Asrul Sani dan Ajib menemui Guberbur DKI (bukan Ali Sadikin yang telah lama jadi pelindung para seniman) mohon agar BM dibebaskan. Sang gubernur cepat bereaksi: ''Apa jasa Rendra terhadap bangsa dan negara ini?'' Asrul yang dikenal cerdas dan biasanya mudah menundukkan lawan bicara, kali ini dihadapkan pada jalan buntu: pembicaraan harus dihentikan.
Setelah mereka meninggalkan kantor gubernur, bertuturlah Asrul kepada Ajib: ''Saya dokter hewan yang mengerti anatomi binatang, tetapi akan halnya hewan yang satu tadi saya tidak bisa memahaminya.'' Maksudnya cara gubernur yang melecehkan Rendra, berada di luar nalar manusia. Begitulah Asrul membaca peta psikologis penguasa yang tidak bisa diajak berdialog.
Di mata gubernur yang berjasa terhadap bangsa ini hanyalah para pejuang fisik di masa revolusi. BM itu hanyalah seorang penyair yang selalu mengkritik rezim yang sedang berkuasa dengan Bengkel Teaternya. Pesan-pesan kemanusiaan BM yang tajam dan dalam tidak dapat dicerna oleh seorang pejabat yang anatomi kejiwaannya sulit dimengerti.
Ketika BM memusatkan latihan dramanya di Patang Puluhan Jogjakarta tahun 1970-an itu, saya sama sekali tidak mengenalnya dari dekat. Maklumlah seorang dosen miskin hampir tidak mungkin bersapaan dengan manusia terkenal. Bila membaca puisi, penonton akan larut dalam gaya dan mimik BM yang memukau. Tiba-tiba, tidak selang berapa lama di tahun 1970-an itu terbetiklah berita bahwa BM telah jadi Muslim. Harapan saya saat itu ialah agar BM berpindah iman dengan penuh kesadaran dan kebebasan. Dan ternyata memang itu yang terjadi.
Dengan bergulirnya waktu, agak jauh sesudah itu, politik di Tanah Air mengalami gejolak dan perubahan dramatis. Rezim otoritarian jatuh, digantikan oleh sistem yang mengagungkan kebebasan dan demokrasi. Entah apa atau siapa yang mengatur, saya diundang oleh seniman Setiawan Djodi untuk memberi sambutan pada sebuah acara di rumahnya sekitar awal abad ke-21. Di malam itulah saya berkenalan langsung dengan BM yang rupanya telah menyebut nama saya sebelum itu.
Terjadilah dialog antara kami, tetapi saya masih agak kikuk. Walaupun alumnus Universitas Chicago, saya baru berkenalan dengan manusia-manusia besar Jakarta, BM salah seorang di antaranya. Karena tidak ada bakat jadi seniman, sejak usia dini cukuplah bagi saya jadi pengagum para penyair dan seniman saja.
Karena bahasa intuisinya melebihi tajamnya mata pedang nalar manusia, bukan sekali dua saya tenggelam dalam puisi seorang penyair. Maka, sejak itu melalui BM saya meluaskan radius pergaulan dengan dunia yang sarat imajinasi ini. Sebenarnya di pertengahan tahun 1960-an, saya sudah bergaul rapat dengan seniman Mohommad Diponegoro dan A Bastari Asnin, tetapi lebih banyak dalam kaitan hubungan kerja di majalah Suara Muhammadiyah, Yogyakarta. Pada waktu itu saya belum juga peka menangkap apa makna pergaulan dengan seniman, sekalipun usia sudah 30-an.
Kembali kepada BM. Saya yang sejak kecil dididik untuk melakukan ibadah harian, jarang sekali berdoa panjang sesudah shalat. Tidak demikian halnya BM. Di suatu sore selesai rapat Akademi Jakarta saya dan BM shalat Maghrib di TIM. Setelah rampung, doa saya singkat saja, BM dengan khusyu' masih mengangkat tangan. Dalam hati kecil saya berkata, jangan-jangan BM lebih beriman ketimbang saya. Saya yang sudah menjalankan shalat sejak usia Sekolah Rakyat, boleh jadi barulah beragama pada tataran ritual formal, sementara BM beragama dengan getaran hati.
Akhir Juli 2007, ketika kolom di sebuah majalah berjudul "Faktor Islam" yang memancarkan kegelisahan saya dibaca BM, komentarnya sederhana: ''Tetapi belum pernah terjadi sepanjang sejarah demikian banyak orang Barat tertarik dengan Islam seperti sekarang ini dan bahkan sebagian menjadi Muslim, sekalipun pemeluk agama ini sedang dihujat di mana-mana dikaitkan dengan terorisme.''
Komentar ini sangat menghibur batin yang cemas. BM membaca dunia Islam dari sisi lain. Lagi asyik berbicara, Pak Rosihan Anwar lalu menyela, "Sudah rampung?"
"Sudah," jawab saya. Lalu wartawan senior itu saya antar dengan mobil ke rumahnya di Jl Surabaya Jakarta. Kesimpulannya: orang harus mampu melihat dunia dari sisi lain agar tidak larut dalam kegelisahan. Dari BM saya banyak belajar.
Oleh : Ahmad Syafii Maarif
Setelah mereka meninggalkan kantor gubernur, bertuturlah Asrul kepada Ajib: ''Saya dokter hewan yang mengerti anatomi binatang, tetapi akan halnya hewan yang satu tadi saya tidak bisa memahaminya.'' Maksudnya cara gubernur yang melecehkan Rendra, berada di luar nalar manusia. Begitulah Asrul membaca peta psikologis penguasa yang tidak bisa diajak berdialog.
Di mata gubernur yang berjasa terhadap bangsa ini hanyalah para pejuang fisik di masa revolusi. BM itu hanyalah seorang penyair yang selalu mengkritik rezim yang sedang berkuasa dengan Bengkel Teaternya. Pesan-pesan kemanusiaan BM yang tajam dan dalam tidak dapat dicerna oleh seorang pejabat yang anatomi kejiwaannya sulit dimengerti.
Ketika BM memusatkan latihan dramanya di Patang Puluhan Jogjakarta tahun 1970-an itu, saya sama sekali tidak mengenalnya dari dekat. Maklumlah seorang dosen miskin hampir tidak mungkin bersapaan dengan manusia terkenal. Bila membaca puisi, penonton akan larut dalam gaya dan mimik BM yang memukau. Tiba-tiba, tidak selang berapa lama di tahun 1970-an itu terbetiklah berita bahwa BM telah jadi Muslim. Harapan saya saat itu ialah agar BM berpindah iman dengan penuh kesadaran dan kebebasan. Dan ternyata memang itu yang terjadi.
Dengan bergulirnya waktu, agak jauh sesudah itu, politik di Tanah Air mengalami gejolak dan perubahan dramatis. Rezim otoritarian jatuh, digantikan oleh sistem yang mengagungkan kebebasan dan demokrasi. Entah apa atau siapa yang mengatur, saya diundang oleh seniman Setiawan Djodi untuk memberi sambutan pada sebuah acara di rumahnya sekitar awal abad ke-21. Di malam itulah saya berkenalan langsung dengan BM yang rupanya telah menyebut nama saya sebelum itu.
Terjadilah dialog antara kami, tetapi saya masih agak kikuk. Walaupun alumnus Universitas Chicago, saya baru berkenalan dengan manusia-manusia besar Jakarta, BM salah seorang di antaranya. Karena tidak ada bakat jadi seniman, sejak usia dini cukuplah bagi saya jadi pengagum para penyair dan seniman saja.
Karena bahasa intuisinya melebihi tajamnya mata pedang nalar manusia, bukan sekali dua saya tenggelam dalam puisi seorang penyair. Maka, sejak itu melalui BM saya meluaskan radius pergaulan dengan dunia yang sarat imajinasi ini. Sebenarnya di pertengahan tahun 1960-an, saya sudah bergaul rapat dengan seniman Mohommad Diponegoro dan A Bastari Asnin, tetapi lebih banyak dalam kaitan hubungan kerja di majalah Suara Muhammadiyah, Yogyakarta. Pada waktu itu saya belum juga peka menangkap apa makna pergaulan dengan seniman, sekalipun usia sudah 30-an.
Kembali kepada BM. Saya yang sejak kecil dididik untuk melakukan ibadah harian, jarang sekali berdoa panjang sesudah shalat. Tidak demikian halnya BM. Di suatu sore selesai rapat Akademi Jakarta saya dan BM shalat Maghrib di TIM. Setelah rampung, doa saya singkat saja, BM dengan khusyu' masih mengangkat tangan. Dalam hati kecil saya berkata, jangan-jangan BM lebih beriman ketimbang saya. Saya yang sudah menjalankan shalat sejak usia Sekolah Rakyat, boleh jadi barulah beragama pada tataran ritual formal, sementara BM beragama dengan getaran hati.
Akhir Juli 2007, ketika kolom di sebuah majalah berjudul "Faktor Islam" yang memancarkan kegelisahan saya dibaca BM, komentarnya sederhana: ''Tetapi belum pernah terjadi sepanjang sejarah demikian banyak orang Barat tertarik dengan Islam seperti sekarang ini dan bahkan sebagian menjadi Muslim, sekalipun pemeluk agama ini sedang dihujat di mana-mana dikaitkan dengan terorisme.''
Komentar ini sangat menghibur batin yang cemas. BM membaca dunia Islam dari sisi lain. Lagi asyik berbicara, Pak Rosihan Anwar lalu menyela, "Sudah rampung?"
"Sudah," jawab saya. Lalu wartawan senior itu saya antar dengan mobil ke rumahnya di Jl Surabaya Jakarta. Kesimpulannya: orang harus mampu melihat dunia dari sisi lain agar tidak larut dalam kegelisahan. Dari BM saya banyak belajar.
Oleh : Ahmad Syafii Maarif
Pendidikan Monokultur Versus Multikultural dalam Politik
Abdul Munir Mulkhan Guru Besar IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
PEMILIHAN presiden (pilpres) tahap kedua 20 September 2004 usai dan hasilnya sudah diketahui publik. Persoalan yang masih tersisa ialah bagaimana menyelesaikan beragam problem kebangsaan dan kemanusiaan sesudah krisis moneter tahun 1997. Kebijakan politik, sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, dan keagamaan berbasis monokultur sering menyebabkan warga kehilangan kecerdasan dan kearifan otentiknya. Dan negeri ini seperti terperangkap lingkaran setan krisis.
Pendidikan monokultur dengan mengabaikan keunikan dan pluralitas seperti yang selama ini dijalankan, memasung pertumbuhan pribadi kritis dan kreatif. Akibatnya, warga bangsa ini hanya memiliki jalan tunggal menjalani hidup kebangsaannya hingga gagal mengatasi problem kehidupan yang kompleks dan terus berkembang. Persoalan sederhana mudah berkembang lebih kompleks akibat ditangani tidak proporsional.
KEUNIKAN tradisi lokal dan pengalaman keagamaan tidak ditempatkan sebagai akar kebangsaan. Kebijakan politik kenegaraan lebih bersumber dari konsep kebangsaan dan nasionalitas berdasar ide monokultur mengatasi tiap keunikan lokal. Bhinneka Tunggal Ika hanya jargon, tak menjadi sumber inspirasi pengembangan tata sosial, politik, ekonomi, budaya, dan keagamaan. Keyakinan atas Tuhan sebagai Aktor Maha Unik gagal memperkaya spiritualitas dan kepekaan kemanusiaan otentik saat kesalehan keagamaan disusun berdasar ide serupa. Praktik kesalehan keagamaan mudah memicu konflik kian kompleks dalam praktik kebangsaan dan sebaliknya.
Karena itu, kesadaran keunikan diri sebagai pengalaman otentik perlu ditempatkan sebagai akar pendidikan, pengembangan politik kebangsaan, dan kesalehan religius. Keunikan adalah basis pribadi kreatif dan kecerdasan setiap orang dengan kemampuan dan sikap hidup berbeda. Sukses belajar, hidup berbangsa, dan berketuhanan ialah jika tiap orang bisa tumbuh berdasar keunikan diri bukan dengan meniru orang lain, meniru sang pemimpin, meniru ulama atau guru. Mengenali diri sendiri adalah akar mengenal Tuhan, alam semesta, dan orang lain. Prinsip inilah yang dalam tradisi sufi dikenal dalam doktrin man arofa nafsahu faqad arofa robbahu (to know your self).
Praktik pendidikan, politik kebangsaan, dan kesalehan berbasis monokultur adalah pemasung daya kritis dan kreatif sebagai akar kecerdasan dan elan vital manusia warga bangsa. Selama ini, keunikan pengalaman keagamaan dan tradisi lokal sering dianggap sebagai ancaman. Konflik akibat perbedaan afiliasi politik dan kepemelukan atau paham keagamaan berbeda menjadi sulit dipecahkan karena tiap orang hanya memiliki jalan tunggal dalam memecahkan semua persoalan yang bersifat plural.
Demokrasi bukan hanya berarti kedaulatan di tangan rakyat, tetapi juga peletakan martabat warga pada keunikan diri dan komunitas lokal. Hasil pilpres putaran kedua lebih mempertegas arti penting kebijakan politik multikultural berbasis keunikan dan komunitas lokal.
Partai politik perlu membangun komunikasi lebih dialogis dengan pendukungnya dan rakyat secara luas. Tidak kalah pentingnya bagi gerakan keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah untuk segera menyadari sikap kritis warga masing-masing atas perannya dalam pentas politik kebangsaan.
PARTAI dan gerakan keagamaan tampak gagal berfungsi sebagai wahana perjuangan warga, selain gagal mengakomodasi kepentingannya. Kekalahan calon PKS merebut kursi Ketua DPRD DKI, memperkuat gejala itu sebagai bagian dari proses demokratisasi di semua bidang kehidupan.
Prinsip utama demokrasi ialah penempatan individu sebagai pemain utama dengan identitas atau ciri khas unik dari tiap aktor. Perbedaan setiap diri individu merupakan unsur terpenting demokrasi dan pendidikan multikultural. Kesadaran atas keunikan diri menumbuhkan kesadaran kolektif yang membuka pintu dialog yang kritis dan terbuka.
Di sini pula pilpres melukiskan pergulatan tajam antara fungsi institusi dan peran aktor, mesin partai dan figur, lembaga partai dan rakyat.
Gejala itu menunjukkan meluasnya kesadaran publik terhadap arti penting diri pribadi, warga negara, atau rakyat berhadapan dengan negara, partai, institusi dan gerakan keagamaan. Hubungan antara institusi pendidikan, guru, dan peserta didik, menghadapi persoalan serupa seperti hubungan antara guru dengan murid, kelas dan peserta didik.
Itulah arti penting perbedaan dan keunikan tiap orang dalam kehidupan bersama masyarakat yang mendunia dan global. Kini, otherness (liyan/lain-an) dipandang lebih penting dari keseragaman atau kesamaan. Seseorang atau sekelompok orang hanya akan tampak penting jika bisa dibedakan dari orang dan kelompok lain. Gagasan seperti ini merupakan kelanjutan atau varian individualisme dan liberalisme dalam bentuknya yang baru dalam berbagai konsep neo-liberalisme, neo-marxisme, neo-kapitalisme, dan neo-religiusisme ritualistik.
Gagasan itu merupakan kritik terhadap modernisme yang dipandang gagal menciptakan kehidupan global berkeadilan, manusiawi, dan berkelanjutan. Dunia mulai menaruh perhatian atas gagasan masyarakat sipil (madani) sebagai kritik peran negara yang cenderung tidak memihak kepentingan publik. Demokratisasi lalu meluas di seluruh belahan dunia sebagai bagian dari globalisasi. Gejala ini antara lain dipicu luas-jangkau dan tinggi frekuensi mobilitas (kepelancongan/pariwisata) manusia dari satu tempat ke tempat lain hampir tanpa batas. Jasa teknologi transportasi dan informasi menumbuhkan pola hubungan baru antarkelompok manusia dengan keragaman budaya bangsa di dunia. Bersamaan itu muncul kesadaran perlunya peneguhan identitas unik dari setiap kelompok masyarakat dan bangsa-bangsa itu.
Kecenderungan itu mengandaikan perlunya kebijakan politik kebangsaan dan praktik kesalehan keagamaan disusun berdasar ide multikultural. Pemecahan krisis dan masa depan demokrasi ditentukan etika multikultural para aktor demokrasi yang bisa dibangun dari kebijakan pendidikan multikultural berbasis keunikan warga dan peserta didik. Pendidikan multikultural merupakan dasar strategis kebangkitan bangsa di mata dunia selain kepentingan pragmatis menggerakkan partisipasi seluruh elemen bangsa bagi penyelesaian krisis multidimensi.
PENDIDIKAN multikultural mengandaikan sekolah dan kelas dikelola sebagai suatu simulasi arena hidup nyata yang plural, terus berubah dan berkembang. Institusi sekolah dan kelas adalah wahana hidup dengan pemeran utama peserta didik di saat guru dan seluruh tenaga kependidikan berperan sebagai fasilitator. Pembelajaran dikelola sebagai dialog dan pengayaan pengalaman hidup unik, sehingga bisa tumbuh pengalaman dan kesadaran kolektif setiap warga dan peserta didik yang kelak menjadi dasar etika politik berbasis etika kewargaan.
Pendidikan multikultural didasari konsep kebermaknaan perbedaan secara unik pada tiap orang dan masyarakat. Kelas disusun dengan anggota kian kecil hingga tiap peserta didik memperoleh peluang belajar semakin besar sekaligus menumbuhkan kesadaran kolektif di antara peserta didik. Pada tahap lanjut menumbuhkan kesadaran kolektif melampaui batas teritori kelas, kebangsaan dan nasionalitas, melampaui teritori teologi keagamaan dari tiap agama berbeda.
Gagasan itu didasari asumsi, tiap manusia memiliki identitas, sejarah, lingkungan, dan pengalaman hidup unik dan berbeda-beda. Perbedaan adalah identitas terpenting dan paling otentik tiap manusia daripada kesamaannya. Kegiatan belajar-mengajar bukan ditujukan agar peserta didik menguasai sebanyak mungkin materi ilmu atau nilai, tetapi bagaimana tiap peserta didik mengalami sendiri proses berilmu dan hidup di ruang kelas dan lingkungan sekolah.
Karena itu, guru tidak lagi ditempatkan sebagai aktor tunggal terpenting sebagai kamus berjalan yang serba tahu dan serba bisa. Guru yang afisien dan produktif ialah jika bisa menciptakan situasi sehingga tiap peserta didik belajar dengan cara sendiri yang unik. Kelas disusun bukan untuk mengubur identitas personal, tetapi memperbesar peluang tiap peserta didik mengaktualkan kedirian masing-masing. Pendidikan sebagai transfer ilmu dan nilai tidak memadai, namun bagaimana tiap peserta didik menemukan dan mengalami situasi beriptek dan berkehidupan otentik.
GAGASAN pendidikan multikultural bersumber dari prinsip martabat keuniknan diri tiap peserta didik. Pendidikan formal (sekolah) diletakkan dalam ide deschooling Ivan Illich seperti demokrasi yang meletakkan suara rakyat sebagai suara Tuhan. Rakyat sebagai diri lebih penting dari realitas negara dan partai seperti dalam masyarakat sipil atau madani. Kegiatan belajar-mengajar bukan sebagai alat sosialisasi atau indoktrinasi guru, tetapi wahana dialog dan belajar bersama. Di saat yang sama institusi negara dan partai dikembangkan sebagai wahana aktualisasi dan representasi kepentingan rakyat.
Soalnya ialah bagaimana memanipulasi kelas sebagai wahana kehidupan nyata dan membuat simulasi sehingga tiap peserta didik berpengalaman berteori ilmu dan menyusun sendiri nilai kebaikan. Guru tidak lagi sebagai gudang (bankir) ilmu dan nilai yang tiap saat siap diberikan kepada peserta didik, tetapi sebagai teman dialog dan partner menciptakan situasi beriptek dan bersosial. Pembelajaran di kelas disusun sebagai simulasi kehidupan nyata sehingga peserta didik berpengalaman hidup sebagai warga masyarakatnya.
Praktik politik akan bisa berfungsi sebagai pengayaan kecerdasan kemanusiaan otentik jika dilakukan sebagai pendidikan multikultural. Praktik kesalehan keagamaan akan mempertajam kepekaan kemanusiaan saat dilakukan berbasis pengalaman lokal yang unik dari tiap pemeluk agama. Dari sini pula partai politik, gerakan keagamaan, dan lembaga pendidikan, bisa menjalankan fungsi edukatifnya membangun warga sosial dan warga bangsa yang sadar atas keunikan dirinya untuk hidup bersama orang lain.
PEMILIHAN presiden (pilpres) tahap kedua 20 September 2004 usai dan hasilnya sudah diketahui publik. Persoalan yang masih tersisa ialah bagaimana menyelesaikan beragam problem kebangsaan dan kemanusiaan sesudah krisis moneter tahun 1997. Kebijakan politik, sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, dan keagamaan berbasis monokultur sering menyebabkan warga kehilangan kecerdasan dan kearifan otentiknya. Dan negeri ini seperti terperangkap lingkaran setan krisis.
Pendidikan monokultur dengan mengabaikan keunikan dan pluralitas seperti yang selama ini dijalankan, memasung pertumbuhan pribadi kritis dan kreatif. Akibatnya, warga bangsa ini hanya memiliki jalan tunggal menjalani hidup kebangsaannya hingga gagal mengatasi problem kehidupan yang kompleks dan terus berkembang. Persoalan sederhana mudah berkembang lebih kompleks akibat ditangani tidak proporsional.
KEUNIKAN tradisi lokal dan pengalaman keagamaan tidak ditempatkan sebagai akar kebangsaan. Kebijakan politik kenegaraan lebih bersumber dari konsep kebangsaan dan nasionalitas berdasar ide monokultur mengatasi tiap keunikan lokal. Bhinneka Tunggal Ika hanya jargon, tak menjadi sumber inspirasi pengembangan tata sosial, politik, ekonomi, budaya, dan keagamaan. Keyakinan atas Tuhan sebagai Aktor Maha Unik gagal memperkaya spiritualitas dan kepekaan kemanusiaan otentik saat kesalehan keagamaan disusun berdasar ide serupa. Praktik kesalehan keagamaan mudah memicu konflik kian kompleks dalam praktik kebangsaan dan sebaliknya.
Karena itu, kesadaran keunikan diri sebagai pengalaman otentik perlu ditempatkan sebagai akar pendidikan, pengembangan politik kebangsaan, dan kesalehan religius. Keunikan adalah basis pribadi kreatif dan kecerdasan setiap orang dengan kemampuan dan sikap hidup berbeda. Sukses belajar, hidup berbangsa, dan berketuhanan ialah jika tiap orang bisa tumbuh berdasar keunikan diri bukan dengan meniru orang lain, meniru sang pemimpin, meniru ulama atau guru. Mengenali diri sendiri adalah akar mengenal Tuhan, alam semesta, dan orang lain. Prinsip inilah yang dalam tradisi sufi dikenal dalam doktrin man arofa nafsahu faqad arofa robbahu (to know your self).
Praktik pendidikan, politik kebangsaan, dan kesalehan berbasis monokultur adalah pemasung daya kritis dan kreatif sebagai akar kecerdasan dan elan vital manusia warga bangsa. Selama ini, keunikan pengalaman keagamaan dan tradisi lokal sering dianggap sebagai ancaman. Konflik akibat perbedaan afiliasi politik dan kepemelukan atau paham keagamaan berbeda menjadi sulit dipecahkan karena tiap orang hanya memiliki jalan tunggal dalam memecahkan semua persoalan yang bersifat plural.
Demokrasi bukan hanya berarti kedaulatan di tangan rakyat, tetapi juga peletakan martabat warga pada keunikan diri dan komunitas lokal. Hasil pilpres putaran kedua lebih mempertegas arti penting kebijakan politik multikultural berbasis keunikan dan komunitas lokal.
Partai politik perlu membangun komunikasi lebih dialogis dengan pendukungnya dan rakyat secara luas. Tidak kalah pentingnya bagi gerakan keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah untuk segera menyadari sikap kritis warga masing-masing atas perannya dalam pentas politik kebangsaan.
PARTAI dan gerakan keagamaan tampak gagal berfungsi sebagai wahana perjuangan warga, selain gagal mengakomodasi kepentingannya. Kekalahan calon PKS merebut kursi Ketua DPRD DKI, memperkuat gejala itu sebagai bagian dari proses demokratisasi di semua bidang kehidupan.
Prinsip utama demokrasi ialah penempatan individu sebagai pemain utama dengan identitas atau ciri khas unik dari tiap aktor. Perbedaan setiap diri individu merupakan unsur terpenting demokrasi dan pendidikan multikultural. Kesadaran atas keunikan diri menumbuhkan kesadaran kolektif yang membuka pintu dialog yang kritis dan terbuka.
Di sini pula pilpres melukiskan pergulatan tajam antara fungsi institusi dan peran aktor, mesin partai dan figur, lembaga partai dan rakyat.
Gejala itu menunjukkan meluasnya kesadaran publik terhadap arti penting diri pribadi, warga negara, atau rakyat berhadapan dengan negara, partai, institusi dan gerakan keagamaan. Hubungan antara institusi pendidikan, guru, dan peserta didik, menghadapi persoalan serupa seperti hubungan antara guru dengan murid, kelas dan peserta didik.
Itulah arti penting perbedaan dan keunikan tiap orang dalam kehidupan bersama masyarakat yang mendunia dan global. Kini, otherness (liyan/lain-an) dipandang lebih penting dari keseragaman atau kesamaan. Seseorang atau sekelompok orang hanya akan tampak penting jika bisa dibedakan dari orang dan kelompok lain. Gagasan seperti ini merupakan kelanjutan atau varian individualisme dan liberalisme dalam bentuknya yang baru dalam berbagai konsep neo-liberalisme, neo-marxisme, neo-kapitalisme, dan neo-religiusisme ritualistik.
Gagasan itu merupakan kritik terhadap modernisme yang dipandang gagal menciptakan kehidupan global berkeadilan, manusiawi, dan berkelanjutan. Dunia mulai menaruh perhatian atas gagasan masyarakat sipil (madani) sebagai kritik peran negara yang cenderung tidak memihak kepentingan publik. Demokratisasi lalu meluas di seluruh belahan dunia sebagai bagian dari globalisasi. Gejala ini antara lain dipicu luas-jangkau dan tinggi frekuensi mobilitas (kepelancongan/pariwisata) manusia dari satu tempat ke tempat lain hampir tanpa batas. Jasa teknologi transportasi dan informasi menumbuhkan pola hubungan baru antarkelompok manusia dengan keragaman budaya bangsa di dunia. Bersamaan itu muncul kesadaran perlunya peneguhan identitas unik dari setiap kelompok masyarakat dan bangsa-bangsa itu.
Kecenderungan itu mengandaikan perlunya kebijakan politik kebangsaan dan praktik kesalehan keagamaan disusun berdasar ide multikultural. Pemecahan krisis dan masa depan demokrasi ditentukan etika multikultural para aktor demokrasi yang bisa dibangun dari kebijakan pendidikan multikultural berbasis keunikan warga dan peserta didik. Pendidikan multikultural merupakan dasar strategis kebangkitan bangsa di mata dunia selain kepentingan pragmatis menggerakkan partisipasi seluruh elemen bangsa bagi penyelesaian krisis multidimensi.
PENDIDIKAN multikultural mengandaikan sekolah dan kelas dikelola sebagai suatu simulasi arena hidup nyata yang plural, terus berubah dan berkembang. Institusi sekolah dan kelas adalah wahana hidup dengan pemeran utama peserta didik di saat guru dan seluruh tenaga kependidikan berperan sebagai fasilitator. Pembelajaran dikelola sebagai dialog dan pengayaan pengalaman hidup unik, sehingga bisa tumbuh pengalaman dan kesadaran kolektif setiap warga dan peserta didik yang kelak menjadi dasar etika politik berbasis etika kewargaan.
Pendidikan multikultural didasari konsep kebermaknaan perbedaan secara unik pada tiap orang dan masyarakat. Kelas disusun dengan anggota kian kecil hingga tiap peserta didik memperoleh peluang belajar semakin besar sekaligus menumbuhkan kesadaran kolektif di antara peserta didik. Pada tahap lanjut menumbuhkan kesadaran kolektif melampaui batas teritori kelas, kebangsaan dan nasionalitas, melampaui teritori teologi keagamaan dari tiap agama berbeda.
Gagasan itu didasari asumsi, tiap manusia memiliki identitas, sejarah, lingkungan, dan pengalaman hidup unik dan berbeda-beda. Perbedaan adalah identitas terpenting dan paling otentik tiap manusia daripada kesamaannya. Kegiatan belajar-mengajar bukan ditujukan agar peserta didik menguasai sebanyak mungkin materi ilmu atau nilai, tetapi bagaimana tiap peserta didik mengalami sendiri proses berilmu dan hidup di ruang kelas dan lingkungan sekolah.
Karena itu, guru tidak lagi ditempatkan sebagai aktor tunggal terpenting sebagai kamus berjalan yang serba tahu dan serba bisa. Guru yang afisien dan produktif ialah jika bisa menciptakan situasi sehingga tiap peserta didik belajar dengan cara sendiri yang unik. Kelas disusun bukan untuk mengubur identitas personal, tetapi memperbesar peluang tiap peserta didik mengaktualkan kedirian masing-masing. Pendidikan sebagai transfer ilmu dan nilai tidak memadai, namun bagaimana tiap peserta didik menemukan dan mengalami situasi beriptek dan berkehidupan otentik.
GAGASAN pendidikan multikultural bersumber dari prinsip martabat keuniknan diri tiap peserta didik. Pendidikan formal (sekolah) diletakkan dalam ide deschooling Ivan Illich seperti demokrasi yang meletakkan suara rakyat sebagai suara Tuhan. Rakyat sebagai diri lebih penting dari realitas negara dan partai seperti dalam masyarakat sipil atau madani. Kegiatan belajar-mengajar bukan sebagai alat sosialisasi atau indoktrinasi guru, tetapi wahana dialog dan belajar bersama. Di saat yang sama institusi negara dan partai dikembangkan sebagai wahana aktualisasi dan representasi kepentingan rakyat.
Soalnya ialah bagaimana memanipulasi kelas sebagai wahana kehidupan nyata dan membuat simulasi sehingga tiap peserta didik berpengalaman berteori ilmu dan menyusun sendiri nilai kebaikan. Guru tidak lagi sebagai gudang (bankir) ilmu dan nilai yang tiap saat siap diberikan kepada peserta didik, tetapi sebagai teman dialog dan partner menciptakan situasi beriptek dan bersosial. Pembelajaran di kelas disusun sebagai simulasi kehidupan nyata sehingga peserta didik berpengalaman hidup sebagai warga masyarakatnya.
Praktik politik akan bisa berfungsi sebagai pengayaan kecerdasan kemanusiaan otentik jika dilakukan sebagai pendidikan multikultural. Praktik kesalehan keagamaan akan mempertajam kepekaan kemanusiaan saat dilakukan berbasis pengalaman lokal yang unik dari tiap pemeluk agama. Dari sini pula partai politik, gerakan keagamaan, dan lembaga pendidikan, bisa menjalankan fungsi edukatifnya membangun warga sosial dan warga bangsa yang sadar atas keunikan dirinya untuk hidup bersama orang lain.
Jumat, 10 Agustus 2007
Kelas Menengah Islam dan Multikulturalisme
DARI sudut pandang apa kita hendak memahami pluralisme? Sudah tentu banyak perspektif. Hal itu antara lain tentang pentingnya menghargai perbedaan dan juga memberikan hak bahwa setiap kelompok masyarakat diperbolehkan untuk menjaga keragaman identitasnya secara kultural maupun politik.
Namun, lebih dari itu, lebih dari sekadar mengembangkan sikap toleransi, pluralisme tentu saja tidak bisa dipisahkan dengan konsep tentang identitas kita sebagai warga negara (identity as citizens). Maksud saya, apa yang lebih penting berkaitan dengan isu pluralisme tidaklah kita bicarakan pada kenyataan empiris bahwa keragaman itu memang begitulah adanya, tetapi ini semua sesungguhnya adalah pencarian nilai, a social imaginary tentang horizon makna yang menjadi rujukan mencari kebebasan dan kesetaraan dalam prinsip demokrasi modern.
Sejalan dengan itu, pertanyaan yang lebih mendasar lagi ialah apakah kita akan menerima perspektif pluralisme itu dalam bentuknya yang total yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan individual seperti tercermin dalam filosofi humanisme yang liberal? Ini adalah bagian pertanyaan politik yang membingungkan, memang, sebab dalam pencarian politik identitas, masih ada masalah apakah dalam representasi demokrasi dan dalam meneruskan cita-cita kuatnya civil society berhadapan dengan negara dalam tradisi the new social movement, pentingkah kita membangun kesadaran kolektif ’We’ untuk melawan ’them’, yaitu mereka yang menindas, yang melakukan hegemoni terhadap ketidakadilan. Sebab, bagaimanapun, societas yang merupakan a civil association itu dalam kenyataannya tak mungkin dipisahkan dengan dialektika saat terjadi perebutan kepentingan dalam publik dan sumber-sumber sosial.
Saya ingin menegaskan bahwa dalam konteks tradisi emansipatoris, politik identitas tidak hanya penting dalam pengertian mendudukkan setiap subyek sebagai pelaku yang abstrak dengan menafikan terjadinya konflik, misalnya antagonisme kelas sosial sebagai kenyataan hidup sehari-hari. Dengan demikian, tatkala kita berbicara tentang the public sphere sebagai ruang sosial yang demokratis bukanlah menempatkan civil society sebagai the realm of cultural pluralism yang ditolak oleh Marx karena hanya merupakan the real ’theatre of all history’, lebih penting dari itu dalam ketidakadilan kapitalisme mutakhir ini kita perlu merumuskan hubungan antara: the state; civil society; dan economy secara kritis.
HAL itu tidak berarti bahwa saya ingin mengecilkan pembicaraan tentang misalnya soal hubungan antara kelompok mayoritas dan minoritas, atau pentingnya membangun perspektif Islam yang lebih inklusif berkenaan dengan iman orang lain, atau betapa dalam masyarakat yang patriarkis ini perlunya menumbuhkan kesadaran jender, tetapi semua itu yang harus kita rumuskan apakah artikulasi perbedaan lebih penting ketimbang pembebasan. Tatkala hal ini, soal orang yang lapar secara masif, soal orang yang kehilangan pekerjaan yang menambah alienasi sosial setiap hari jumlahnya semakin banyak dan hal seperti ini tidak mungkin bisa kita pahami lagi dari segi hubungan antar-agama, atau dari segi perspektif multikulturalisme yang alami.
Oleh sebab itu, wacana dan tafsir Islam yang kita butuhkan adalah berkaitan dengan bagaimana menumbuhkan kesadaran kritis, lebih dari kesadaran agama yang menghidupkan sikap keterbukaan yang romantis tanpa peka terhadap mata-rantai kekuasaan yang eksploitatif. Islamisasi yang terjadi pada kalangan kelas menengah sejak Orde Baru sesungguhnya harus kita lihat dari ukuran moralitas ideologis seperti itu, bagaimana mereka mencari identitas agama dan apa makna agama bagi pencarian hidup bersama yang lebih baik.
Inilah kriteria dasar untuk memahami keberagamaan mereka, yang dalam pengamatan saya bahwa pencarian keislaman mereka sekarang lebih dibentuk oleh pembentukan kesalehan, kemodernan, dan gaya hidup. Hal ini misalnya bisa kita lihat dari moda interpretasi Islam yang dikemukakan oleh para dai dan ustadz mereka yang pada intinya menekankan bahwa makna ketakwaan atau makna kesalehan itu tidak lain intinya menyangkut soal bagaimana pentingnya bersedekah, bahkan kini secara ilustratif dalam era media visual, pengungkapan secara kolektif ketakwaan itu di kalangan kelas menengah perkotaan sering kali dimunculkan dalam intensitas ritual seperti zikir publik, yakni menangis kepada Allah SWT di depan kamera televisi umum.
Saya bukan bermaksud sinikal untuk menyebutnya contoh tersebut. Namun, kalau kita berharap bahwa kelas menengah Islam hendak diharapkan menjadi agen perubahan dan demokratisasi yang peduli terhadap pentingnya distribusi sosial dan ekonomi, rasanya dibutuhkan waktu yang agak panjang, terutama bagaimana melakukan intervensi dakwah agama yang lebih transformatif, yakni mengetengahkan pedagogis agama yang lebih dialektikal terhadap soal kemiskinan sebagai kemungkaran yang menjadi musuh keimanan. Inilah soal yang lebih ideologis dari sekadar pertanyaan apakah kelas menengah Islam mendukung gagasan politik multikulturalisme sebab sesungguhnya mereka beragama dalam a-politis dalam arti tidak mempunyai kesadaran kritis emansipatoris tersebut.
Sebagai layaknya kelas menengah, jika ide multikulturalisme diletakkan sebagai bagian kemapanan dan keamanan warga negara untuk memperoleh perlindungan hukum terhadap kebebasan dan perbedaan, saya kira, itulah ideologi kelas menengah di mana pun. Namun, jika kita berbicara tentang perlunya perubahan, barangkali soalnya menjadi lain. Kelas menengah baru di Indonesia yang lebih saleh sekarang ini sesungguhnya lahir dari proteksi dan koneksi kekuasaan Orde Baru yang tentu saja tidak mungkin diharapkan memiliki sikap otonom, apalagi mampu menjalankan sikap oposisi terhadap negara dan pasar. Oleh sebab itu, saya kira bisa dipahami kalau mereka lebih tertarik mengambil agama sebagai selimut spiritual dan penguat jiwa dibanding Islam sebagai kritik sosial dan nahyi anil-munkar.
Saya sependapat, kita sedang menyaksikan bahwa sekarang ini Islam sedang menjadi identitas yang plural karena telah memasuki semua aliran dan kelompok masyarakat. Islam tidak hanya menjadi identitas kaum santri lama, apakah mereka itu yang dulu dikatakan sebagai Islam tradisionalis pedesaan maupun Islam modernis perkotaan. Kita memang pernah berharap seolah-olah Islamisasi kelas menengah adalah identik dengan munculnya kultur Islam yang baru yang disemangati dengan gagasan-gagasan pembaharuan.
Oleh karena itu, tidak terlalu salah jika tentang berdirinya ICMI, pengamat seperti Hefner (1993) dan Nakamura (1993) mencoba menjelaskan, itulah gejala munculnya watak Islam yang lebih inklusif, toleran, dan terbuka. Biarpun akhirnya kita mencatat bahwa ICMI tidak lain adalah bagian dari kooptasi politik dan tidak lain sebenarnya bukan representasi yang identik dengan munculnya kelas menengah yang lebih saleh itu sendiri.
SEMENTARA itu, bersamaan dengan era reformasi, munculnya regrouping politik sesungguhnya tidak lebih merupakan lahirnya kembali batas-batas politik aliran Islam yang di zaman Orde Baru telah ditekan. Kita melihat kelas menengah Islam yang saleh ini tidak jelas ke mana arah referensi kesadaran politiknya dan ternyata mereka tetap memilih sikap menunggu sampai lebih jelas, untuk memutuskan lebih baik lewat mana memperjuangkan hak-hak politik mereka, tetapi yang jelas bahwa mereka bukanlah pendukung civil Islam yang "resmi", yang sekarang ini menjadi wacana politik yang sentral bagi kalangan aktivis sehari-hari.
Dunia sosial mereka seolah-olah lebih banyak dipengaruhi bagaimana menjadi partisipan pasar yang baik dan bukanlah menjadi warga negara yang kritis. Bahkan, dalam kesan saya, sebenarnya mereka lebih sadar bagaimana menjadi consoumer citizen yang saleh dibanding mau mengambil risiko untuk bergabung dengan kekuatan perubahan.
Penulis: Moeslim Abdurrahman, Antropolog dan Ketua Al-Maun Foundation
Namun, lebih dari itu, lebih dari sekadar mengembangkan sikap toleransi, pluralisme tentu saja tidak bisa dipisahkan dengan konsep tentang identitas kita sebagai warga negara (identity as citizens). Maksud saya, apa yang lebih penting berkaitan dengan isu pluralisme tidaklah kita bicarakan pada kenyataan empiris bahwa keragaman itu memang begitulah adanya, tetapi ini semua sesungguhnya adalah pencarian nilai, a social imaginary tentang horizon makna yang menjadi rujukan mencari kebebasan dan kesetaraan dalam prinsip demokrasi modern.
Sejalan dengan itu, pertanyaan yang lebih mendasar lagi ialah apakah kita akan menerima perspektif pluralisme itu dalam bentuknya yang total yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan individual seperti tercermin dalam filosofi humanisme yang liberal? Ini adalah bagian pertanyaan politik yang membingungkan, memang, sebab dalam pencarian politik identitas, masih ada masalah apakah dalam representasi demokrasi dan dalam meneruskan cita-cita kuatnya civil society berhadapan dengan negara dalam tradisi the new social movement, pentingkah kita membangun kesadaran kolektif ’We’ untuk melawan ’them’, yaitu mereka yang menindas, yang melakukan hegemoni terhadap ketidakadilan. Sebab, bagaimanapun, societas yang merupakan a civil association itu dalam kenyataannya tak mungkin dipisahkan dengan dialektika saat terjadi perebutan kepentingan dalam publik dan sumber-sumber sosial.
Saya ingin menegaskan bahwa dalam konteks tradisi emansipatoris, politik identitas tidak hanya penting dalam pengertian mendudukkan setiap subyek sebagai pelaku yang abstrak dengan menafikan terjadinya konflik, misalnya antagonisme kelas sosial sebagai kenyataan hidup sehari-hari. Dengan demikian, tatkala kita berbicara tentang the public sphere sebagai ruang sosial yang demokratis bukanlah menempatkan civil society sebagai the realm of cultural pluralism yang ditolak oleh Marx karena hanya merupakan the real ’theatre of all history’, lebih penting dari itu dalam ketidakadilan kapitalisme mutakhir ini kita perlu merumuskan hubungan antara: the state; civil society; dan economy secara kritis.
HAL itu tidak berarti bahwa saya ingin mengecilkan pembicaraan tentang misalnya soal hubungan antara kelompok mayoritas dan minoritas, atau pentingnya membangun perspektif Islam yang lebih inklusif berkenaan dengan iman orang lain, atau betapa dalam masyarakat yang patriarkis ini perlunya menumbuhkan kesadaran jender, tetapi semua itu yang harus kita rumuskan apakah artikulasi perbedaan lebih penting ketimbang pembebasan. Tatkala hal ini, soal orang yang lapar secara masif, soal orang yang kehilangan pekerjaan yang menambah alienasi sosial setiap hari jumlahnya semakin banyak dan hal seperti ini tidak mungkin bisa kita pahami lagi dari segi hubungan antar-agama, atau dari segi perspektif multikulturalisme yang alami.
Oleh sebab itu, wacana dan tafsir Islam yang kita butuhkan adalah berkaitan dengan bagaimana menumbuhkan kesadaran kritis, lebih dari kesadaran agama yang menghidupkan sikap keterbukaan yang romantis tanpa peka terhadap mata-rantai kekuasaan yang eksploitatif. Islamisasi yang terjadi pada kalangan kelas menengah sejak Orde Baru sesungguhnya harus kita lihat dari ukuran moralitas ideologis seperti itu, bagaimana mereka mencari identitas agama dan apa makna agama bagi pencarian hidup bersama yang lebih baik.
Inilah kriteria dasar untuk memahami keberagamaan mereka, yang dalam pengamatan saya bahwa pencarian keislaman mereka sekarang lebih dibentuk oleh pembentukan kesalehan, kemodernan, dan gaya hidup. Hal ini misalnya bisa kita lihat dari moda interpretasi Islam yang dikemukakan oleh para dai dan ustadz mereka yang pada intinya menekankan bahwa makna ketakwaan atau makna kesalehan itu tidak lain intinya menyangkut soal bagaimana pentingnya bersedekah, bahkan kini secara ilustratif dalam era media visual, pengungkapan secara kolektif ketakwaan itu di kalangan kelas menengah perkotaan sering kali dimunculkan dalam intensitas ritual seperti zikir publik, yakni menangis kepada Allah SWT di depan kamera televisi umum.
Saya bukan bermaksud sinikal untuk menyebutnya contoh tersebut. Namun, kalau kita berharap bahwa kelas menengah Islam hendak diharapkan menjadi agen perubahan dan demokratisasi yang peduli terhadap pentingnya distribusi sosial dan ekonomi, rasanya dibutuhkan waktu yang agak panjang, terutama bagaimana melakukan intervensi dakwah agama yang lebih transformatif, yakni mengetengahkan pedagogis agama yang lebih dialektikal terhadap soal kemiskinan sebagai kemungkaran yang menjadi musuh keimanan. Inilah soal yang lebih ideologis dari sekadar pertanyaan apakah kelas menengah Islam mendukung gagasan politik multikulturalisme sebab sesungguhnya mereka beragama dalam a-politis dalam arti tidak mempunyai kesadaran kritis emansipatoris tersebut.
Sebagai layaknya kelas menengah, jika ide multikulturalisme diletakkan sebagai bagian kemapanan dan keamanan warga negara untuk memperoleh perlindungan hukum terhadap kebebasan dan perbedaan, saya kira, itulah ideologi kelas menengah di mana pun. Namun, jika kita berbicara tentang perlunya perubahan, barangkali soalnya menjadi lain. Kelas menengah baru di Indonesia yang lebih saleh sekarang ini sesungguhnya lahir dari proteksi dan koneksi kekuasaan Orde Baru yang tentu saja tidak mungkin diharapkan memiliki sikap otonom, apalagi mampu menjalankan sikap oposisi terhadap negara dan pasar. Oleh sebab itu, saya kira bisa dipahami kalau mereka lebih tertarik mengambil agama sebagai selimut spiritual dan penguat jiwa dibanding Islam sebagai kritik sosial dan nahyi anil-munkar.
Saya sependapat, kita sedang menyaksikan bahwa sekarang ini Islam sedang menjadi identitas yang plural karena telah memasuki semua aliran dan kelompok masyarakat. Islam tidak hanya menjadi identitas kaum santri lama, apakah mereka itu yang dulu dikatakan sebagai Islam tradisionalis pedesaan maupun Islam modernis perkotaan. Kita memang pernah berharap seolah-olah Islamisasi kelas menengah adalah identik dengan munculnya kultur Islam yang baru yang disemangati dengan gagasan-gagasan pembaharuan.
Oleh karena itu, tidak terlalu salah jika tentang berdirinya ICMI, pengamat seperti Hefner (1993) dan Nakamura (1993) mencoba menjelaskan, itulah gejala munculnya watak Islam yang lebih inklusif, toleran, dan terbuka. Biarpun akhirnya kita mencatat bahwa ICMI tidak lain adalah bagian dari kooptasi politik dan tidak lain sebenarnya bukan representasi yang identik dengan munculnya kelas menengah yang lebih saleh itu sendiri.
SEMENTARA itu, bersamaan dengan era reformasi, munculnya regrouping politik sesungguhnya tidak lebih merupakan lahirnya kembali batas-batas politik aliran Islam yang di zaman Orde Baru telah ditekan. Kita melihat kelas menengah Islam yang saleh ini tidak jelas ke mana arah referensi kesadaran politiknya dan ternyata mereka tetap memilih sikap menunggu sampai lebih jelas, untuk memutuskan lebih baik lewat mana memperjuangkan hak-hak politik mereka, tetapi yang jelas bahwa mereka bukanlah pendukung civil Islam yang "resmi", yang sekarang ini menjadi wacana politik yang sentral bagi kalangan aktivis sehari-hari.
Dunia sosial mereka seolah-olah lebih banyak dipengaruhi bagaimana menjadi partisipan pasar yang baik dan bukanlah menjadi warga negara yang kritis. Bahkan, dalam kesan saya, sebenarnya mereka lebih sadar bagaimana menjadi consoumer citizen yang saleh dibanding mau mengambil risiko untuk bergabung dengan kekuatan perubahan.
Penulis: Moeslim Abdurrahman, Antropolog dan Ketua Al-Maun Foundation
Intelektual, Masyarakat, dan Negara
Hasan Basri Peneliti pada Lembaga Studi Islam Progresif (LSIP) dan P3M Jakarta
Pertemuan beberapa tokoh intelektual dalam rangka perlawanan dan advokasi diskursif bagi penggusuran yang sering terjadi amat menarik dilihat dalam bingkai komitmen intelektual Indonesia. Hadir dalam pertemuan itu, Prof Dr Franz Magnis-Suseno, Prof Dr Saparinah Sadli, Prof Dr Toety Heraty, Dr B Herry-Priyono, dan lainnya, seperti ditulis Kompas (13/11/2003).
Pertanyaan mendasar muncul, bagaimana kita membaca peristiwa penggusuran? Akankah peristiwa yang menjadi tradisi tahunan negara (baca: kekuasaan) itu sebagai sesuatu yang layak disebut hal "biasa" yang wajar lewat begitu saja dalam keseharian kita berbangsa? Benarkah peristiwa itu hanya seremoni kekuasaan ketimbang tragedi kemanusiaan di Indonesia? Tidakkah amsal ini meneguhkan label bangsa ini sebagai sebuah nurani yang bisu dan tidak pernah mau belajar dari "mistik keseharian" ?
Makna lahiriah atau makna permukaan sebuah peristiwa sering menjadi penghalang guna memahami banyak hal dalam tingkatan makna selanjutnya. Peristiwa penggusuran, tiadanya advokasi bagi tenaga kerja wanita dan kian terpuruknya korban sipil di Aceh membuktikan hilangnya sense of humanism masyarakat kita.
Negara sebagai institusi tertinggi dalam kontrak sosial manusia sudah disakralkan dengan segala teater penindasan yang dipertontonkannya. Negara menjadi legitimasi bagi semua tindakan yang keluar dari garis cita-citanya sendiri. Para pemegang kebijakan negara adalah manusia lain dan memiliki hak istimewa dibanding makna manusia yang melekat dalam diri mereka yang diberi label rakyat. Sudah tidak ada kejernihan melihat status, tepatnya identitas, manusia saat ini. Makna manusia disinonimkan dengan kata "siapa". Bila ada "pejabat", Anda adalah manusia yang lebih berhak atas aset makna manusia ketimbang mereka yang ada di jalanan, kampung, pinggir kali, dan kamp pengungsian.
PEMIKIR muslim asal Aljazair yang menetap di Perancis, Mohammed Arkoun, dalam bukunya, Aina Huwa Al-fikr Al-islami Al-mu’ashir mengatakan, seluruh khazanah pemikiran manusia sepanjang zaman terserap oleh tiga terma penting: negara, lembaga, serta masyarakat dan individu. Artinya, individu selalu hilang dalam tiga unsur lainnya. Makna keseorangan tertutup identitas kolektif yang berarti mengambangkan makna jernih dari manusia. Pada masyarakat yang tidak mempunyai pandangan dunia tentang pentingnya makna manusia dan kebebasannya secara otomatis penelikungan dan penindasan bukan suatu hal yang meragukan. Suara individu itu ada pada kantong intelektual.
Pemikir dan aktivis kemanusiaan asal Amerika Serikat, Noam Chomsky, dan karibnya, almarhum Edward Said, menyepakati, dalam tiap masyarakat selalu ada dua golongan intelektual. Pertama, kelompok yang bisu terhadap kasus kemanusiaan dengan alasan pragmatisme, seperti kepakaran (expertism), akademisme, legalisme, risiko, dan pastilah kepentingan jangka pendek.
Kedua, golongan minoritas yang tidak jarang perorangan yang mengaitkan dirinya terlibat langsung advokasi kemanusiaan. Masalah ini selalu didengungkan keduanya dalam banyak tulisan mereka. Konteks dari proposisi keduanya tentu saja totalitarianisme AS sebagai sebuah negara adidaya.
Contoh riil, Edward Said sering menyerang pemerintah dan intelektual AS dengan gigih dan tidak jarang emosional. Para pengkritik menyambutnya dengan penuh reaksi dan sensitivitas. Padahal, bukan masyarakat dan makna bangsa AS yang diserangnya, tetapi para kapitalis, kelompok kepentingan dan sekelompok pakar yang merumuskan semua peristiwa destruksi kemanusiaan di hampir semua belahan dunia. Alas kritiknya jelas, yakni advokasi kemanusiaan.
KEMBALI soal pertemuan sejumlah tokoh intelektual. Romo Franz Magnis Suseno, misalnya, beberapa waktu lalu menyuarakan dengan lantang, "hentikan penggusuran!" dalam tulisannya di harian ini. Asas legal formal amat sulit diterima sebagai alasan mensahkan penindasan masyarakat lemah. Apalagi pada kenyataannya, aparat negara sangat-bukan saja seakan-akan-ambigu dalam hal keberpihakan. Rakyat dipilah-pilah berdasar nilai materialnya. Mereka yang memiliki uang dan kekuasaan diberi hak untuk menguasai tanah meski itu melanggar tata ruang yang ditetapkan. Hal berbeda jika yang melakukan adalah masyarakat lemah.
Selain tergambar terjadinya degradasi kemanusiaan, sebenarnya bangsa ini sudah terjerumus dalam kubangan materialisme yang parah. Pandangan dunia masyarakat akan materialisme sudah menjadi tradisi sepanjang sejarah yang saat ini sangat dilematis, ketika negara sebagai benteng terakhir bagi perlindungan rakyat berbalik menjadi musuh rakyat karena negara terbukti tidak melakukan pembelaan apa-apa terhadap semua kasus kemanusiaan yang terjadi yang menimpa masyaraktnya.
Negara ini amat tepat diibaratkan dengan seorang anak kos yang kehabisan uang untuk makan dan bayar kos. Namun, ia bisa bertahan karena memiliki seni tidak malu meminjam uang. Dan tak jarang berani menggadaikan barang atau harga dirinya, bila ia anak putri. Ini adalah sebuah alegori kemiskinan mental dari para pemangku negara. Kebangkrutan negara sudah tidak mungkin ditutupi. Penyebabnya pada mereka yang ada di balik semua institusi yang bertindak atas nama negara. Jangankan mengurus orang di luar struktur, pendapatan negara saja tidak cukup untuk membiayai kebutuhan dari sikap rakus mereka.
DI TENGAH kebangkrutan negara yang berimplikasi terhadap keberpihakan kepada masyarakat yang mengadakannya, kepada siapa lagi masyarakat mengharapkan pembelaan? Di sinilah peran intelektual Indonesia dipertanyakan. Di manakah posisi para pemegang otoritas profetik dalam situasi ini? Akankah mereka hanya pragmatis dalam menyikapi semuanya?
Tentu saja, para intelektual, aktivis, dan agamawan menjadi tumpuan masyarakat. Kerja sama intelektual dengan meninggalkan basis primordial mereka amat bermakna dalam melakukan penyelamatan terhadap kemanusiaan dan bangsa ini. Komitmen keilmuwan harus diletakkan dalam kerangka advokasi kemanusiaan, bukan dalam ambiguitas wacana dan kepakaran yang tidak terkait dengan problem kemasyarakatan.
Letak menariknya isu keterlibatan kaum intelektual adalah ketika ranah pemikiran selama beberapa dakade terakhir kehilangan figur-figur yang bisa menjadi teladan dan pemelihara nalar sehat, saat para intelektual Tanah Air tidak pernah memiliki tradisi keterlibatan pasca-Hatta, Soedjatmoko, dan lainnya. Atau saat kaum intelektual menjadi kelompok yang menempati tempat "tenang" karena sejahtera sehingga memberi mereka keyakinan untuk berdiam dan lepas komitmen dengan masyarakat. Setelah puncak pencapaian berpikir berakhir dengan menerima anugerah, funding, dan lainnya.
Sekali lagi, seperti diungkap Said, sebuah figur teladan (examplary person) adalah kebutuhan tiap masyarakat tanpa melihat tingkat pencapaian mereka dalam pembangunan dan figur itu lahir dari komitmen yang jelas pada masyarakat lemah dan advokasi terhadap humanitas.
Selain sebagai teladan, bukankah tidak salah menjadi oposisi atau pemberontak atas dasar advokasi kemanusiaan. Kata intelektual hanyalah tanda dan penandanya adalah "pemberontak", kata Said.
Sumber: https://www.kompas.com/kompas-cetak/0311/21/opini/695669.htm
Pertemuan beberapa tokoh intelektual dalam rangka perlawanan dan advokasi diskursif bagi penggusuran yang sering terjadi amat menarik dilihat dalam bingkai komitmen intelektual Indonesia. Hadir dalam pertemuan itu, Prof Dr Franz Magnis-Suseno, Prof Dr Saparinah Sadli, Prof Dr Toety Heraty, Dr B Herry-Priyono, dan lainnya, seperti ditulis Kompas (13/11/2003).
Pertanyaan mendasar muncul, bagaimana kita membaca peristiwa penggusuran? Akankah peristiwa yang menjadi tradisi tahunan negara (baca: kekuasaan) itu sebagai sesuatu yang layak disebut hal "biasa" yang wajar lewat begitu saja dalam keseharian kita berbangsa? Benarkah peristiwa itu hanya seremoni kekuasaan ketimbang tragedi kemanusiaan di Indonesia? Tidakkah amsal ini meneguhkan label bangsa ini sebagai sebuah nurani yang bisu dan tidak pernah mau belajar dari "mistik keseharian" ?
Makna lahiriah atau makna permukaan sebuah peristiwa sering menjadi penghalang guna memahami banyak hal dalam tingkatan makna selanjutnya. Peristiwa penggusuran, tiadanya advokasi bagi tenaga kerja wanita dan kian terpuruknya korban sipil di Aceh membuktikan hilangnya sense of humanism masyarakat kita.
Negara sebagai institusi tertinggi dalam kontrak sosial manusia sudah disakralkan dengan segala teater penindasan yang dipertontonkannya. Negara menjadi legitimasi bagi semua tindakan yang keluar dari garis cita-citanya sendiri. Para pemegang kebijakan negara adalah manusia lain dan memiliki hak istimewa dibanding makna manusia yang melekat dalam diri mereka yang diberi label rakyat. Sudah tidak ada kejernihan melihat status, tepatnya identitas, manusia saat ini. Makna manusia disinonimkan dengan kata "siapa". Bila ada "pejabat", Anda adalah manusia yang lebih berhak atas aset makna manusia ketimbang mereka yang ada di jalanan, kampung, pinggir kali, dan kamp pengungsian.
PEMIKIR muslim asal Aljazair yang menetap di Perancis, Mohammed Arkoun, dalam bukunya, Aina Huwa Al-fikr Al-islami Al-mu’ashir mengatakan, seluruh khazanah pemikiran manusia sepanjang zaman terserap oleh tiga terma penting: negara, lembaga, serta masyarakat dan individu. Artinya, individu selalu hilang dalam tiga unsur lainnya. Makna keseorangan tertutup identitas kolektif yang berarti mengambangkan makna jernih dari manusia. Pada masyarakat yang tidak mempunyai pandangan dunia tentang pentingnya makna manusia dan kebebasannya secara otomatis penelikungan dan penindasan bukan suatu hal yang meragukan. Suara individu itu ada pada kantong intelektual.
Pemikir dan aktivis kemanusiaan asal Amerika Serikat, Noam Chomsky, dan karibnya, almarhum Edward Said, menyepakati, dalam tiap masyarakat selalu ada dua golongan intelektual. Pertama, kelompok yang bisu terhadap kasus kemanusiaan dengan alasan pragmatisme, seperti kepakaran (expertism), akademisme, legalisme, risiko, dan pastilah kepentingan jangka pendek.
Kedua, golongan minoritas yang tidak jarang perorangan yang mengaitkan dirinya terlibat langsung advokasi kemanusiaan. Masalah ini selalu didengungkan keduanya dalam banyak tulisan mereka. Konteks dari proposisi keduanya tentu saja totalitarianisme AS sebagai sebuah negara adidaya.
Contoh riil, Edward Said sering menyerang pemerintah dan intelektual AS dengan gigih dan tidak jarang emosional. Para pengkritik menyambutnya dengan penuh reaksi dan sensitivitas. Padahal, bukan masyarakat dan makna bangsa AS yang diserangnya, tetapi para kapitalis, kelompok kepentingan dan sekelompok pakar yang merumuskan semua peristiwa destruksi kemanusiaan di hampir semua belahan dunia. Alas kritiknya jelas, yakni advokasi kemanusiaan.
KEMBALI soal pertemuan sejumlah tokoh intelektual. Romo Franz Magnis Suseno, misalnya, beberapa waktu lalu menyuarakan dengan lantang, "hentikan penggusuran!" dalam tulisannya di harian ini. Asas legal formal amat sulit diterima sebagai alasan mensahkan penindasan masyarakat lemah. Apalagi pada kenyataannya, aparat negara sangat-bukan saja seakan-akan-ambigu dalam hal keberpihakan. Rakyat dipilah-pilah berdasar nilai materialnya. Mereka yang memiliki uang dan kekuasaan diberi hak untuk menguasai tanah meski itu melanggar tata ruang yang ditetapkan. Hal berbeda jika yang melakukan adalah masyarakat lemah.
Selain tergambar terjadinya degradasi kemanusiaan, sebenarnya bangsa ini sudah terjerumus dalam kubangan materialisme yang parah. Pandangan dunia masyarakat akan materialisme sudah menjadi tradisi sepanjang sejarah yang saat ini sangat dilematis, ketika negara sebagai benteng terakhir bagi perlindungan rakyat berbalik menjadi musuh rakyat karena negara terbukti tidak melakukan pembelaan apa-apa terhadap semua kasus kemanusiaan yang terjadi yang menimpa masyaraktnya.
Negara ini amat tepat diibaratkan dengan seorang anak kos yang kehabisan uang untuk makan dan bayar kos. Namun, ia bisa bertahan karena memiliki seni tidak malu meminjam uang. Dan tak jarang berani menggadaikan barang atau harga dirinya, bila ia anak putri. Ini adalah sebuah alegori kemiskinan mental dari para pemangku negara. Kebangkrutan negara sudah tidak mungkin ditutupi. Penyebabnya pada mereka yang ada di balik semua institusi yang bertindak atas nama negara. Jangankan mengurus orang di luar struktur, pendapatan negara saja tidak cukup untuk membiayai kebutuhan dari sikap rakus mereka.
DI TENGAH kebangkrutan negara yang berimplikasi terhadap keberpihakan kepada masyarakat yang mengadakannya, kepada siapa lagi masyarakat mengharapkan pembelaan? Di sinilah peran intelektual Indonesia dipertanyakan. Di manakah posisi para pemegang otoritas profetik dalam situasi ini? Akankah mereka hanya pragmatis dalam menyikapi semuanya?
Tentu saja, para intelektual, aktivis, dan agamawan menjadi tumpuan masyarakat. Kerja sama intelektual dengan meninggalkan basis primordial mereka amat bermakna dalam melakukan penyelamatan terhadap kemanusiaan dan bangsa ini. Komitmen keilmuwan harus diletakkan dalam kerangka advokasi kemanusiaan, bukan dalam ambiguitas wacana dan kepakaran yang tidak terkait dengan problem kemasyarakatan.
Letak menariknya isu keterlibatan kaum intelektual adalah ketika ranah pemikiran selama beberapa dakade terakhir kehilangan figur-figur yang bisa menjadi teladan dan pemelihara nalar sehat, saat para intelektual Tanah Air tidak pernah memiliki tradisi keterlibatan pasca-Hatta, Soedjatmoko, dan lainnya. Atau saat kaum intelektual menjadi kelompok yang menempati tempat "tenang" karena sejahtera sehingga memberi mereka keyakinan untuk berdiam dan lepas komitmen dengan masyarakat. Setelah puncak pencapaian berpikir berakhir dengan menerima anugerah, funding, dan lainnya.
Sekali lagi, seperti diungkap Said, sebuah figur teladan (examplary person) adalah kebutuhan tiap masyarakat tanpa melihat tingkat pencapaian mereka dalam pembangunan dan figur itu lahir dari komitmen yang jelas pada masyarakat lemah dan advokasi terhadap humanitas.
Selain sebagai teladan, bukankah tidak salah menjadi oposisi atau pemberontak atas dasar advokasi kemanusiaan. Kata intelektual hanyalah tanda dan penandanya adalah "pemberontak", kata Said.
Sumber: https://www.kompas.com/kompas-cetak/0311/21/opini/695669.htm
Hentikan Penggusuran
Sejak tiga minggu buldoser-buldoser DKI meratakan rumah-rumah. Rumah dari kardus, papan kayu, dan yang semipermanen. Rumah-rumah itu adalah tempat tinggal saudara- saudari kita yang paling miskin. Ribuan orang mendadak kehilangan atap di atas kepalanya, sebagian bertahan, linglung seperti terkena shock. Mereka ada di pinggir jalan, duduk-duduk, di pinggir jalan, duduk-duduk di atas kursi yang mereka selamatkan dan berharap tak ada hujan. Berapa ribu lagi yang masih akan digusur? Sepuluh ribu? Lebih?
Seharusnya hal itu tidak terjadi! Dalam tulisan ini saya mau menegaskan, setiap orang secara asasi berhak atas tempat tinggal. Karena itu-tanpa menyangkal kompleksitas masalahnya-pembuangan orang ke pinggir jalan secara obyektif merupakan kejahatan yang amat memalukan dilakukan pemerintahan yang menganggap diri beradab. Saya juga mau menunjukkan, hak asasi atas perumahan itu mengancam institusi hak milik.
Hak asasi manusia
Pasal 25 pernyataan PBB tentang Hak- hak Asasi Manusia berbunyi, "Setiap orang berhak atas taraf hidup yang menjamin kesehatan dan kesejahteraan untuk dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian, perumahan dan seterusnya." Sidang Istimewa MPR 1998 juga menetapkan, tiap orang berhak untuk bertempat tinggal (Tap MPR No XVII/ MPR/1998, Pasal 27 tentang Hak-hak Asasi Manusia. Bila Pasal 34 UUD 1945 menyatakan "fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara oleh negara", hal ini sekurang-kurangnya menyatakan, negara tidak mengusir mereka dari tempat tinggal mereka!
Perhatikan, hak asasi atas tempat tinggal yang layak ini sedikit pun tidak mensyaratkan orang harus memiliki hak atas tanah dan rumah yang didiaminya! Yang dinyatakan, hak setiap orang atas tempat tinggal. Apakah hak itu dapat dituntut dari negara di pengadilan, dalam arti tuntutan agar negara segera menyediakan tempat tinggal bagi yang tidak mempunyainya, menjadi kontroversi antara para ahli hukum dan ahli filsafat. Namun, tidak perlu hal ini ditelaah di sini.
Yang langsung jelas terkandung sebagai implikasi hak asasi atas perumahan adalah seseorang tidak boleh diusir dari rumah yang digunakan, kecuali hak itu tetap dijamin, artinya, kecuali disediakan perumahan lain. Hak itu menyatakan, tiap usaha menghilangkan tempat tinggal dari seseorang sebagai pelanggaran hak asasinya, tidak tergantung apakah ia berhak atas tempat tinggal itu atau tidak!
Jadi, mengusir orang dari rumah yang didiaminya tanpa disediakan perumahan lain-dengan alasan mereka menduduki tanah yang bukan miliknya-adalah tindakan kasar yang melanggar HAM yang paling penting. Hak dasar itu overriding terhadap hak pemilik atas tempat. Begitu misalnya di New Delhi orang yang mendiami gubuk selama dua tahun, meski didirikan di kaki lima di jalan umum, ia tidak boleh diusir lagi. Hak milik atas sebidang tanah, sebagai hak hukum positif, kalah terhadap hak asasi setiap orang di bumi atas tempat kediamannya. Jadi, DKI melanggar hak asasi manusia dengan mengusir orang-orang yang menduduki tanah Pertamina atau lainnya.
Tak berperikemanusiaan
Ada baiknya kita tidak hanya berpegang pada bahasa agak abstrak etika hukum dan hak asasi. Hak asasi atas tempat tinggal jelas merupakan salah satu hak asasi paling berarti yang dimiliki manusia. Gubuk paling sederhana pun, entah dari kardus atau plywood, masih lebih baik daripada hidup di bawah langit terbuka. Pakai saja sedikit fantasi untuk membayangkan seandainya kita sendiri dengan sedikit perabot rumah, surat-surat penting dan lain-lain, tanpa apa-apa ada di pinggir jalan. Kita menjadi sadar, betapa barbar, tidak berperikemanusiaan dan jahat pengusiran orang dari tempat tinggalnya itu. Secara sederhana, orang beradab tidak berbuat seperti itu!
Kita hidup di dalam sebuah kota metropolitan yang mengeluarkan miliaran rupiah untuk pelbagai hiasan, di mana ribuan penduduk mengendarai mobil- mobil yang harganya bisa puluhan kali pendapatan tahunan sebagian penduduk sekota. Kita mempunyai sebuah "DPRD" yang tak malu mengisi kantongnya dengan "uang pakaian", "uang perjalanan", dan sogokan lain. Sekaligus kita mengusir orang yang hampir tidak memiliki apa pun dari sedikit yang mereka punyai, yaitu gubuk-gubuk kumuh, namun mereka sudah puas dan gembira karena mereka, meski amat sederhana, bahkan miskin, dapat tidur dan menyimpan barang-barangnya. Tegasnya, penggusuran yang sedang berlangsung merupakan sebuah kejahatan yang tidak pantas dilakukan di kota orang beradab. Rasanya malu menjadi warga kota seperti itu.
Namun, saya sendiri ikut bersalah, juga banyak dari antara kita. Kita tinggal aman di rumah-rumah kita dan menundukkan kepala bila pemerintahan melakukan kekejaman di sekitar kita. Kita sendiri kan tidak kena dan daerah kumuh seperti yang dibongkar itu memang bukan pemandangan menyenangkan. Tentu para politisi, para pemimpin, hanya berani berbuat sebrutal itu karena kita menutup mata, karena mereka tahu bahwa kita diam tidak keberatan.
Jadi, bukan hanya pimpinan pemerintahan DKI yang kurang berperikemanusiaan, semua warga DKI yang mapan, yang dengan diamnya memberi sinyal bahwa mereka tidak keberatan, berpartisipasi dalam kebiadaban itu.
Merusak tata tertib sosial?
Namun, apa kita harus membiarkan tiap orang yang berhasil menduduki tanah yang tidak dimilikinya tetap tinggal di situ? Bila hak milik dikalahkan oleh hak asasi manusia, bukankah kita membuka pintu bagi perebutan, pemaksaan, dan kekerasan yang akan makin merusak tata tertib sosial di masyarakat kita? Bukankah ketidakpastian hukum yang kini sudah menggerogoti segala usaha bangsa Indonesia akan kian merajalela? Bukankah hal itu akhirnya akan memukul mereka yang lemah dalam masyarakat?
Namun, tunggu dulu. Hak asasi atas perumahan tentu tidak menuntut agar tiap perebutan tanah oleh orang kecil dilegitimasikan. Tiap pihak yang melanggar hak hukum, negara wajib menindak. Orang yang membangun gubuk di atas tanah milik orang lain, entah orang kaya, gelandangan, atau negara, atas pengaduan pemilik, wajib diusir.
Lain halnya bila pemilik membiarkan pendudukan itu. Yang menentukan adalah faktor waktu. Misalnya, sekelompok orang sudah bermukim tanpa kekerasan (dari pihak mereka) selama 24 bulan tanpa usaha serius pemilik untuk mengusirnya, hak asasi mereka atas atap di atas kepala mengalahkan hak milik abstrak, karena rupanya tidak menjadi kebutuhan sehingga dibiarkan terlanggar.
Apalagi bila yang memiliki adalah negara, BUMN, atau badan hukum. Fakta bahwa Pemerintah DKI membiarkan bertahun-tahun orang-orang itu tinggal dan membangun tempat tinggal di tanah-tanah itu-peringatan lisan tidak mengubah "pembiaran" (apalagi bila mereka dipungut pembayaran)-itulah yang harus dipersalahkan. Setelah orang-orang itu dibiarkan bertahun-tahun, pengusiran melanggar hak asasi mereka sebagai manusia dan karena itu harus dihentikan. Bahwa tanah tinggal mereka milik negara atau instansi lain, tidak relevan. Orang berhak atas tempat tinggal.
Hentikan!
Maka sekali lagi harus dikatakan, penggusuran yang kini digalakkan Pemerintah DKI, menjelang permulaan masa puasa umat Islam, seakan-akan mau memakai kesempatan di mana perhatian orang tertawan oleh masalah-masalah lain. Ini tak lain sebuah kejahatan dan kebiadaban yang tak boleh dibiarkan. Hendaknya penggusuran itu langsung dihentikan, atau mereka disediakan tempat tinggal yang wajar. Tak ada excuse yang bisa membenarkan untuk melemparkan ribuan saudara dan saudari termiskin komunitas kita ke pinggir jalan. Hentikan sekarang juga!
Penulis: Franz Magnis-Suseno Rohaniwan, Guru Besar Filsafat Sosial Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta
Seharusnya hal itu tidak terjadi! Dalam tulisan ini saya mau menegaskan, setiap orang secara asasi berhak atas tempat tinggal. Karena itu-tanpa menyangkal kompleksitas masalahnya-pembuangan orang ke pinggir jalan secara obyektif merupakan kejahatan yang amat memalukan dilakukan pemerintahan yang menganggap diri beradab. Saya juga mau menunjukkan, hak asasi atas perumahan itu mengancam institusi hak milik.
Hak asasi manusia
Pasal 25 pernyataan PBB tentang Hak- hak Asasi Manusia berbunyi, "Setiap orang berhak atas taraf hidup yang menjamin kesehatan dan kesejahteraan untuk dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian, perumahan dan seterusnya." Sidang Istimewa MPR 1998 juga menetapkan, tiap orang berhak untuk bertempat tinggal (Tap MPR No XVII/ MPR/1998, Pasal 27 tentang Hak-hak Asasi Manusia. Bila Pasal 34 UUD 1945 menyatakan "fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara oleh negara", hal ini sekurang-kurangnya menyatakan, negara tidak mengusir mereka dari tempat tinggal mereka!
Perhatikan, hak asasi atas tempat tinggal yang layak ini sedikit pun tidak mensyaratkan orang harus memiliki hak atas tanah dan rumah yang didiaminya! Yang dinyatakan, hak setiap orang atas tempat tinggal. Apakah hak itu dapat dituntut dari negara di pengadilan, dalam arti tuntutan agar negara segera menyediakan tempat tinggal bagi yang tidak mempunyainya, menjadi kontroversi antara para ahli hukum dan ahli filsafat. Namun, tidak perlu hal ini ditelaah di sini.
Yang langsung jelas terkandung sebagai implikasi hak asasi atas perumahan adalah seseorang tidak boleh diusir dari rumah yang digunakan, kecuali hak itu tetap dijamin, artinya, kecuali disediakan perumahan lain. Hak itu menyatakan, tiap usaha menghilangkan tempat tinggal dari seseorang sebagai pelanggaran hak asasinya, tidak tergantung apakah ia berhak atas tempat tinggal itu atau tidak!
Jadi, mengusir orang dari rumah yang didiaminya tanpa disediakan perumahan lain-dengan alasan mereka menduduki tanah yang bukan miliknya-adalah tindakan kasar yang melanggar HAM yang paling penting. Hak dasar itu overriding terhadap hak pemilik atas tempat. Begitu misalnya di New Delhi orang yang mendiami gubuk selama dua tahun, meski didirikan di kaki lima di jalan umum, ia tidak boleh diusir lagi. Hak milik atas sebidang tanah, sebagai hak hukum positif, kalah terhadap hak asasi setiap orang di bumi atas tempat kediamannya. Jadi, DKI melanggar hak asasi manusia dengan mengusir orang-orang yang menduduki tanah Pertamina atau lainnya.
Tak berperikemanusiaan
Ada baiknya kita tidak hanya berpegang pada bahasa agak abstrak etika hukum dan hak asasi. Hak asasi atas tempat tinggal jelas merupakan salah satu hak asasi paling berarti yang dimiliki manusia. Gubuk paling sederhana pun, entah dari kardus atau plywood, masih lebih baik daripada hidup di bawah langit terbuka. Pakai saja sedikit fantasi untuk membayangkan seandainya kita sendiri dengan sedikit perabot rumah, surat-surat penting dan lain-lain, tanpa apa-apa ada di pinggir jalan. Kita menjadi sadar, betapa barbar, tidak berperikemanusiaan dan jahat pengusiran orang dari tempat tinggalnya itu. Secara sederhana, orang beradab tidak berbuat seperti itu!
Kita hidup di dalam sebuah kota metropolitan yang mengeluarkan miliaran rupiah untuk pelbagai hiasan, di mana ribuan penduduk mengendarai mobil- mobil yang harganya bisa puluhan kali pendapatan tahunan sebagian penduduk sekota. Kita mempunyai sebuah "DPRD" yang tak malu mengisi kantongnya dengan "uang pakaian", "uang perjalanan", dan sogokan lain. Sekaligus kita mengusir orang yang hampir tidak memiliki apa pun dari sedikit yang mereka punyai, yaitu gubuk-gubuk kumuh, namun mereka sudah puas dan gembira karena mereka, meski amat sederhana, bahkan miskin, dapat tidur dan menyimpan barang-barangnya. Tegasnya, penggusuran yang sedang berlangsung merupakan sebuah kejahatan yang tidak pantas dilakukan di kota orang beradab. Rasanya malu menjadi warga kota seperti itu.
Namun, saya sendiri ikut bersalah, juga banyak dari antara kita. Kita tinggal aman di rumah-rumah kita dan menundukkan kepala bila pemerintahan melakukan kekejaman di sekitar kita. Kita sendiri kan tidak kena dan daerah kumuh seperti yang dibongkar itu memang bukan pemandangan menyenangkan. Tentu para politisi, para pemimpin, hanya berani berbuat sebrutal itu karena kita menutup mata, karena mereka tahu bahwa kita diam tidak keberatan.
Jadi, bukan hanya pimpinan pemerintahan DKI yang kurang berperikemanusiaan, semua warga DKI yang mapan, yang dengan diamnya memberi sinyal bahwa mereka tidak keberatan, berpartisipasi dalam kebiadaban itu.
Merusak tata tertib sosial?
Namun, apa kita harus membiarkan tiap orang yang berhasil menduduki tanah yang tidak dimilikinya tetap tinggal di situ? Bila hak milik dikalahkan oleh hak asasi manusia, bukankah kita membuka pintu bagi perebutan, pemaksaan, dan kekerasan yang akan makin merusak tata tertib sosial di masyarakat kita? Bukankah ketidakpastian hukum yang kini sudah menggerogoti segala usaha bangsa Indonesia akan kian merajalela? Bukankah hal itu akhirnya akan memukul mereka yang lemah dalam masyarakat?
Namun, tunggu dulu. Hak asasi atas perumahan tentu tidak menuntut agar tiap perebutan tanah oleh orang kecil dilegitimasikan. Tiap pihak yang melanggar hak hukum, negara wajib menindak. Orang yang membangun gubuk di atas tanah milik orang lain, entah orang kaya, gelandangan, atau negara, atas pengaduan pemilik, wajib diusir.
Lain halnya bila pemilik membiarkan pendudukan itu. Yang menentukan adalah faktor waktu. Misalnya, sekelompok orang sudah bermukim tanpa kekerasan (dari pihak mereka) selama 24 bulan tanpa usaha serius pemilik untuk mengusirnya, hak asasi mereka atas atap di atas kepala mengalahkan hak milik abstrak, karena rupanya tidak menjadi kebutuhan sehingga dibiarkan terlanggar.
Apalagi bila yang memiliki adalah negara, BUMN, atau badan hukum. Fakta bahwa Pemerintah DKI membiarkan bertahun-tahun orang-orang itu tinggal dan membangun tempat tinggal di tanah-tanah itu-peringatan lisan tidak mengubah "pembiaran" (apalagi bila mereka dipungut pembayaran)-itulah yang harus dipersalahkan. Setelah orang-orang itu dibiarkan bertahun-tahun, pengusiran melanggar hak asasi mereka sebagai manusia dan karena itu harus dihentikan. Bahwa tanah tinggal mereka milik negara atau instansi lain, tidak relevan. Orang berhak atas tempat tinggal.
Hentikan!
Maka sekali lagi harus dikatakan, penggusuran yang kini digalakkan Pemerintah DKI, menjelang permulaan masa puasa umat Islam, seakan-akan mau memakai kesempatan di mana perhatian orang tertawan oleh masalah-masalah lain. Ini tak lain sebuah kejahatan dan kebiadaban yang tak boleh dibiarkan. Hendaknya penggusuran itu langsung dihentikan, atau mereka disediakan tempat tinggal yang wajar. Tak ada excuse yang bisa membenarkan untuk melemparkan ribuan saudara dan saudari termiskin komunitas kita ke pinggir jalan. Hentikan sekarang juga!
Penulis: Franz Magnis-Suseno Rohaniwan, Guru Besar Filsafat Sosial Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta
Mewaspadai Ideologisasi Agama
OLEH; Prof Dr Nur Syam MSi
Guru Besar Sosiologi IAIN Sunan Ampel
Akhir-akhir ini, keinginan untuk menjadikan agama sebagai dasar negara kembali menguat. Pasca penerapan syariah Islam di Nangroe Aceh Darusalam, lalu muncullah berbagai Perda Syariat yang intinya adalah penerapan syariah Islam untuk mengatur masyarakat. Di antaranya adalah di Tangerang, Sumatera Barat, Cianjur, Solok, Padang Pariaman, Padang, Enrekang. Dan yang terakhir adalah Raperda berbasis Injil di Manokwari.
Munculnya Perda-perda tersebut berkorelasi dengan suburnya berbagai gagasan praksis mengenai penerapan syariah secara kaffah dan keinginan untuk membangkitkan dan mendirikan khilafah Islamiyah dalam negara yang diindikasikan belum Islami. Hubungan antara agama dan negara memang mengalami pasang surut. Jika di masa Orde Baru hubungan agama dengan negara berada di dalam kondisi antagonistik, maka pasca reformasi hubungan tersebut bercorak terbuka. Di era inilah, relasi agama dan negara bercorak substansial sedang berada di dalam nuansa pengujian.
Relasi Substantif
Dalam khasanah pemikiran Islam klasik, hubungan agama dan negara ditipologikan menjadi tiga hal, yaitu: pertama, pemikiran al-Maududi dan Hasan al-Banna tentang hubungan agama dan negara yang integrated. Agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Agama sebagai sebuah aturan sudah memuat seluruh persoalan kehidupan manusia, termasuk mengatur negara. Yang dilakukan oleh Nabi sudah final. Nabi Muhammad adalah rasul dan pemimpin negara sekaligus. Kedua, pemikiran al-Mawardi dan al-Ghazali tentang hubungan agama dan negara yang bercorak simbiotik mutualistik, artinya agama dan negara saling membutuhkan. Agama perlu landasan etik untuk mengatur masyarakat dan agama membutuhkan negara sebagai tempat untuk mengembangkannya. Ketiga, pemikiran Thaha Hussein tentang hubungan agama dan negara yang bercorak sekular. Agama dan negara adalah dua entitas yang berbeda. Ada wilayah agama dan ada wilayah negara.
Dalam banyak hal, Indonesia dianggap menganut paham kedua, yaitu hubungan antara agama dan negara yang bercorak simbiotik-mutualistik. Tidak kurang misalnya Dien Syamsudin (1994) juga menyatakan bahwa pilihan Indonesia untuk menentukan corak hubungan agama dan negara seperti itu sangat tepat. Mengingat bahwa Indonesia bukan negara agama tetapi juga bukan negara sekuler. Seperti pernyataan KHA Wahab Hasbullah bahwa hubungan antara negara dan agama itu seperti gula dan manisnya (Adam Schwarz, 1994). Dalam praktik, hubungan agama dan negara itu seperti satu coin mata uang. Di satu sisi agama dan di sisi lain negara. Sebuah corak hubungan yang melebur. Menjadi substansial, bukan saling mengatasi.
Model pemikiran tersebut, selama ini dikembangkan oleh organisasi Muhammadiyah dan NU dalam percaturan kenegaraan di Indonesia. Makanya, hampir tidak pernah dijumpai arus konfrontatif antara keduanya dengan negara di sisi lain. Corak pemikiran dari organisasi khas Indonesia ini memang sangat kontekstual. Artinya, memang menggunakan tolok ukur “lokalitas” dalam memahami hubungan antara masyarakat, agama dan negara. Semenjak kemerdekaan hingga sekarang, corak pemikiran inilah yang dominan di kalangan orang NU yang berbasis pondok pesantren dan orang Muhammadiyah yang berbasis sekolahan.
Perubahan pun terus berlangsung. Ketika orang NU mengenal sekolahan dan demikian pula orang Muhammadiyah, maka penerapan konsep relasi agama dan negara tampaknya tetap tidak berubah. Ini menandakan, ada kedewasaan pemikiran keagamaan di antara keduanya. Bahkan ketika orang NU banyak sekolah ke Timur Tengah dan demikian pula orang Muhammadiyah, maka ketika kembali ke pangkuan organisasinya, maka corak pemikiran agama Timur Tengah pun disaringnya. Tidak ingin ditransplantasikan apa adanya. Sikap fundamental Timur Tengah pun dieliminasi sedemikian rupa.
Sikap kedewasaan beragama seperti ini telah teruji selama 62 tahun, semenjak kemerdekaan, 17 Agustus 1945 hingga sekarang. Masyarakat beragama di Indonesia telah mempraktikkan hubungan agama dan negara yang substansial. Hampir seluruh organisasi sosial keagamaan yang bercorak khas Indonesia, yang mengusung Islam substansial, bersepakat untuk menjadi bagian dari bangsa Indonesia dengan Pancasila dan NKRI-nya. Dewasa ini sedang bergerak dengan cepat perubahan sosial yang digerakkan oleh mesin ideologi agama. Ketika agama diideologikan, maka ketika itu telah terjadi proses formalisasi agama dalam tataran praksis, sehingga akan berakibat pada proses resistensi kelompok lain yang merasa berada di luarnya. Formalisasi agama dalam kehidupan negara pasti akan memunculkan resistensi. Makanya tidak salah jika di kemudian hari akan muncul perda berbasis agama-agama, di mana agama tertentu menjadi mayoritas.
Masalah baru
Gerakan keagamaan yang mengusung ideologi agama sudah menjadi realitas empiris. Bukan hanya wacana tetapi sudah dalam praksis. Sistem cell yang dikembangkan oleh gerakan ini telah memasuki ruang-ruang di dalam berbagai golongan masyarakat. Di mana-mana terjadi “perebutan” umat, sehingga tidak tertutup kemungkinan akan terjadi polarisasi di antara umat beragama. Militansi keagamaan yang tidak didasari oleh semangat mentoleransi perbedaan faham keagamaan dan truth claimed yang berlebihan seringkali menjadikan mereka terjebak di dalam kubangan pembenaran diri sendiri secara berlebihan.
Tak hanya itu, gerakan ini juga telah memasuki ”kawasan-kawasan” baru seperti perumahan-perumahan baru. Segmen masyarakat seperti ini menjadi sasaran utama. Kebanyakan mereka adalah masyarakat Islam baru yang secara umum berpendidikan tinggi dengan semangat memahami Islam yang tinggi pula. Di kawasan tersebut, “pertarungan” dalam perebutan sumber daya organisasi sering tidak bisa dihindarkan. Di setiap “kawasan” pasti terdapat agen-agen yang sudah memiliki paham keagamaan yang mapan, sehingga ketika terdapat paham baru yang akan menggerogoti paham keagamaannya, maka dipastikan akan terjadi rivalitas-rivalitas. Tinggi rendahnya rivalitas sangat tergantung pada tingkat intensitas benturan yang terjadi.
Mencermati terhadap berbagai corak konfliktual tersebut, tampaknya konsepsi Ralf Dahrendorf (1994) akan relevan digunakan untuk membacanya. Konflik dalam tataran masyarakat apapun lebih banyak difasilitasi oleh otoritas atau kewenangan. Konflik bukan disebabkan oleh disparitas sosial, klas dan majikan, akan tetapi oleh kewenangan siapa atas apa, atau otoritas siapa kepada siapa. Islam sebagaimana dipahami oleh kaum pergerakan ideologisasi Islam adalah Islam dalam coraknya yang sangat tekstual. Islam sebagaimana asalnya dan penafsiran dari sananya. Tidak ada Islam lokal, seperti Islam Jawa, Islam Madura, Islam Sunda, Islam Sumatera dan sebagainya. Yang ada adalah Islam universal. Islam satu, yang ya’lu wa yu’la alaihi. Makanya, hanya ada satu sistem kekhalifahan. Hanya ada satu sistem syari’ah dan hanya ada satu umat atau ummatan wahidah.
Dalam memandang sistem pemerintahan, maka Islam yang benar adalah yang menerapkan praksis khilafah Islamiyah. Sistem demokrasi sebagaimana yang diterapkan oleh banyak negara tidak compatible dengan sistem khilafah yang sudah teruji di zaman Nabi Muhammad saw. Jadi, dalam banyak hal, sistem pemerintahan tersebut tidak akan dapat menjamin terlaksananya syariah Islam secara kaffah. Pertarungan dalam praksis Islam muncul dari otoritas penafsiran teks historis negara Madinah di masa lalu. Jadi, pertarungan otoritas tampaknya dipahami dari siapa yang dapat menafsirkan dan melaksanakan apa. Di dalam hal ini, hanya proses rekayasa sosial melalui sistem kenegaraan Islami sajalah yang bisa dianggap sebagai satu-satunya yang benar.
Di era sekarang, pertarungan otoritas itu tidak hanya di dalam realitas keberagamaan ansich, tetapi juga memasuki kawasan lainnya yang lebih besar, yaitu bagaimana agama dapat menjadi ideologi yang nyata di dalam sistem kenegaraan. Resistensi tentu akan selalu muncul, sebab pengalaman sejarah membuktikan bahwa di dalam masyarakat yang plural dan multikultural seperti Indonesia, maka hegemoni atas nama apapun hanya akan menambah masalah dan bukan menyelesaikan masalah. Dengan demikian, diskursus dan keinginan memformalkan agama dalam kehidupan negara hakikatnya justru akan menambah deretan masalah menjadi lebih panjang. Jika demikian halnya, maka mewaspadainya perlu dikedepankan. Wallahu a’lam. []
Guru Besar Sosiologi IAIN Sunan Ampel
Akhir-akhir ini, keinginan untuk menjadikan agama sebagai dasar negara kembali menguat. Pasca penerapan syariah Islam di Nangroe Aceh Darusalam, lalu muncullah berbagai Perda Syariat yang intinya adalah penerapan syariah Islam untuk mengatur masyarakat. Di antaranya adalah di Tangerang, Sumatera Barat, Cianjur, Solok, Padang Pariaman, Padang, Enrekang. Dan yang terakhir adalah Raperda berbasis Injil di Manokwari.
Munculnya Perda-perda tersebut berkorelasi dengan suburnya berbagai gagasan praksis mengenai penerapan syariah secara kaffah dan keinginan untuk membangkitkan dan mendirikan khilafah Islamiyah dalam negara yang diindikasikan belum Islami. Hubungan antara agama dan negara memang mengalami pasang surut. Jika di masa Orde Baru hubungan agama dengan negara berada di dalam kondisi antagonistik, maka pasca reformasi hubungan tersebut bercorak terbuka. Di era inilah, relasi agama dan negara bercorak substansial sedang berada di dalam nuansa pengujian.
Relasi Substantif
Dalam khasanah pemikiran Islam klasik, hubungan agama dan negara ditipologikan menjadi tiga hal, yaitu: pertama, pemikiran al-Maududi dan Hasan al-Banna tentang hubungan agama dan negara yang integrated. Agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Agama sebagai sebuah aturan sudah memuat seluruh persoalan kehidupan manusia, termasuk mengatur negara. Yang dilakukan oleh Nabi sudah final. Nabi Muhammad adalah rasul dan pemimpin negara sekaligus. Kedua, pemikiran al-Mawardi dan al-Ghazali tentang hubungan agama dan negara yang bercorak simbiotik mutualistik, artinya agama dan negara saling membutuhkan. Agama perlu landasan etik untuk mengatur masyarakat dan agama membutuhkan negara sebagai tempat untuk mengembangkannya. Ketiga, pemikiran Thaha Hussein tentang hubungan agama dan negara yang bercorak sekular. Agama dan negara adalah dua entitas yang berbeda. Ada wilayah agama dan ada wilayah negara.
Dalam banyak hal, Indonesia dianggap menganut paham kedua, yaitu hubungan antara agama dan negara yang bercorak simbiotik-mutualistik. Tidak kurang misalnya Dien Syamsudin (1994) juga menyatakan bahwa pilihan Indonesia untuk menentukan corak hubungan agama dan negara seperti itu sangat tepat. Mengingat bahwa Indonesia bukan negara agama tetapi juga bukan negara sekuler. Seperti pernyataan KHA Wahab Hasbullah bahwa hubungan antara negara dan agama itu seperti gula dan manisnya (Adam Schwarz, 1994). Dalam praktik, hubungan agama dan negara itu seperti satu coin mata uang. Di satu sisi agama dan di sisi lain negara. Sebuah corak hubungan yang melebur. Menjadi substansial, bukan saling mengatasi.
Model pemikiran tersebut, selama ini dikembangkan oleh organisasi Muhammadiyah dan NU dalam percaturan kenegaraan di Indonesia. Makanya, hampir tidak pernah dijumpai arus konfrontatif antara keduanya dengan negara di sisi lain. Corak pemikiran dari organisasi khas Indonesia ini memang sangat kontekstual. Artinya, memang menggunakan tolok ukur “lokalitas” dalam memahami hubungan antara masyarakat, agama dan negara. Semenjak kemerdekaan hingga sekarang, corak pemikiran inilah yang dominan di kalangan orang NU yang berbasis pondok pesantren dan orang Muhammadiyah yang berbasis sekolahan.
Perubahan pun terus berlangsung. Ketika orang NU mengenal sekolahan dan demikian pula orang Muhammadiyah, maka penerapan konsep relasi agama dan negara tampaknya tetap tidak berubah. Ini menandakan, ada kedewasaan pemikiran keagamaan di antara keduanya. Bahkan ketika orang NU banyak sekolah ke Timur Tengah dan demikian pula orang Muhammadiyah, maka ketika kembali ke pangkuan organisasinya, maka corak pemikiran agama Timur Tengah pun disaringnya. Tidak ingin ditransplantasikan apa adanya. Sikap fundamental Timur Tengah pun dieliminasi sedemikian rupa.
Sikap kedewasaan beragama seperti ini telah teruji selama 62 tahun, semenjak kemerdekaan, 17 Agustus 1945 hingga sekarang. Masyarakat beragama di Indonesia telah mempraktikkan hubungan agama dan negara yang substansial. Hampir seluruh organisasi sosial keagamaan yang bercorak khas Indonesia, yang mengusung Islam substansial, bersepakat untuk menjadi bagian dari bangsa Indonesia dengan Pancasila dan NKRI-nya. Dewasa ini sedang bergerak dengan cepat perubahan sosial yang digerakkan oleh mesin ideologi agama. Ketika agama diideologikan, maka ketika itu telah terjadi proses formalisasi agama dalam tataran praksis, sehingga akan berakibat pada proses resistensi kelompok lain yang merasa berada di luarnya. Formalisasi agama dalam kehidupan negara pasti akan memunculkan resistensi. Makanya tidak salah jika di kemudian hari akan muncul perda berbasis agama-agama, di mana agama tertentu menjadi mayoritas.
Masalah baru
Gerakan keagamaan yang mengusung ideologi agama sudah menjadi realitas empiris. Bukan hanya wacana tetapi sudah dalam praksis. Sistem cell yang dikembangkan oleh gerakan ini telah memasuki ruang-ruang di dalam berbagai golongan masyarakat. Di mana-mana terjadi “perebutan” umat, sehingga tidak tertutup kemungkinan akan terjadi polarisasi di antara umat beragama. Militansi keagamaan yang tidak didasari oleh semangat mentoleransi perbedaan faham keagamaan dan truth claimed yang berlebihan seringkali menjadikan mereka terjebak di dalam kubangan pembenaran diri sendiri secara berlebihan.
Tak hanya itu, gerakan ini juga telah memasuki ”kawasan-kawasan” baru seperti perumahan-perumahan baru. Segmen masyarakat seperti ini menjadi sasaran utama. Kebanyakan mereka adalah masyarakat Islam baru yang secara umum berpendidikan tinggi dengan semangat memahami Islam yang tinggi pula. Di kawasan tersebut, “pertarungan” dalam perebutan sumber daya organisasi sering tidak bisa dihindarkan. Di setiap “kawasan” pasti terdapat agen-agen yang sudah memiliki paham keagamaan yang mapan, sehingga ketika terdapat paham baru yang akan menggerogoti paham keagamaannya, maka dipastikan akan terjadi rivalitas-rivalitas. Tinggi rendahnya rivalitas sangat tergantung pada tingkat intensitas benturan yang terjadi.
Mencermati terhadap berbagai corak konfliktual tersebut, tampaknya konsepsi Ralf Dahrendorf (1994) akan relevan digunakan untuk membacanya. Konflik dalam tataran masyarakat apapun lebih banyak difasilitasi oleh otoritas atau kewenangan. Konflik bukan disebabkan oleh disparitas sosial, klas dan majikan, akan tetapi oleh kewenangan siapa atas apa, atau otoritas siapa kepada siapa. Islam sebagaimana dipahami oleh kaum pergerakan ideologisasi Islam adalah Islam dalam coraknya yang sangat tekstual. Islam sebagaimana asalnya dan penafsiran dari sananya. Tidak ada Islam lokal, seperti Islam Jawa, Islam Madura, Islam Sunda, Islam Sumatera dan sebagainya. Yang ada adalah Islam universal. Islam satu, yang ya’lu wa yu’la alaihi. Makanya, hanya ada satu sistem kekhalifahan. Hanya ada satu sistem syari’ah dan hanya ada satu umat atau ummatan wahidah.
Dalam memandang sistem pemerintahan, maka Islam yang benar adalah yang menerapkan praksis khilafah Islamiyah. Sistem demokrasi sebagaimana yang diterapkan oleh banyak negara tidak compatible dengan sistem khilafah yang sudah teruji di zaman Nabi Muhammad saw. Jadi, dalam banyak hal, sistem pemerintahan tersebut tidak akan dapat menjamin terlaksananya syariah Islam secara kaffah. Pertarungan dalam praksis Islam muncul dari otoritas penafsiran teks historis negara Madinah di masa lalu. Jadi, pertarungan otoritas tampaknya dipahami dari siapa yang dapat menafsirkan dan melaksanakan apa. Di dalam hal ini, hanya proses rekayasa sosial melalui sistem kenegaraan Islami sajalah yang bisa dianggap sebagai satu-satunya yang benar.
Di era sekarang, pertarungan otoritas itu tidak hanya di dalam realitas keberagamaan ansich, tetapi juga memasuki kawasan lainnya yang lebih besar, yaitu bagaimana agama dapat menjadi ideologi yang nyata di dalam sistem kenegaraan. Resistensi tentu akan selalu muncul, sebab pengalaman sejarah membuktikan bahwa di dalam masyarakat yang plural dan multikultural seperti Indonesia, maka hegemoni atas nama apapun hanya akan menambah masalah dan bukan menyelesaikan masalah. Dengan demikian, diskursus dan keinginan memformalkan agama dalam kehidupan negara hakikatnya justru akan menambah deretan masalah menjadi lebih panjang. Jika demikian halnya, maka mewaspadainya perlu dikedepankan. Wallahu a’lam. []
Praktik Demokrasi di Dunia Islam
ISU tentang Islam dan demokrasi adalah isu yang masih selalu relevan untuk dibicarakan. Terlebih jika menengok pada perkembangan politik di dunia Islam akhir-akhir ini, maka pembicaraan seputar Islam dan demokrasi tidak akan terhindarkan. Dalam konteks Indonesia, gerakan-gerakan Islam politik yang lahir belakangan ini justru memiliki resistensi yang lumayan besar terhadap demokrasi dengan asumsi bahwa demokrasi berakar dari tradisi Barat yang tidak 'islami'. Hizbut Tahrir sebagai contoh, memiliki cita-cita kenegaraan yang cenderung utopis karena mereka hendak menjadikan sebuah sistem kenegaraan yang benar-benar islami, setidaknya dalam konteks formal.
Atas dasar semacam itulah, maka mereka memilih untuk tidak terlibat dalam aktivitas politik meskipun mereka memiliki agenda politik. Ini semata-mata disebabkan oleh adanya anggapan bahwa sistem di luar Islam tidak boleh diikuti. Sebaliknya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai contoh lain, mengambil posisi yang agak moderat dengan turut serta memainkan peran politik dalam konteks kenegaraan.
Meskipun demikian, bukan berarti penerimaan PKS terhadap demokrasi juga bulat, sebagaimana tekad mereka ikut dalam sistem kepartaian negara yang justru diharamkan oleh Hizbut Tahrir. Dalam konteks semacam inilah, menjadi menarik untuk menurunkan tesis Olivier Roy (2004) bahwa kerangka konseptual partai Islam ternyata tidak mampu menyediakan sebuah gambaran yang efektif bagi negara Islam. Sehingga partai-partai Islam semacam itu, sekarang ini justru berada di persimpangan jalan, maka pilihan mereka adalah: memilih melakukan normalisasi politik dalam kerangka negara bangsa modern, ataukah memilih mengembangkan, apa yang oleh Olivier Roy diistilahkan dengan neofundamentalisme.
Dengan menggunakan kerangka teori Roy ini, maka apa yang dilakukan oleh PKS adalah pilihan pertama, sementara apa yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir adalah pilihan kedua. Meskipun demikian, dalam kaitannya dengan demokrasi, keduanya bisa dikatakan serupa, bahwa demokrasi tidak memiliki akar dalam Islam, karena dalam sejarahnya ia berkembang dari Barat. Sehingga mesti dilakukan pertimbangan matang jika ingin mengadopsinya, jika tidak malah melakukan penolakan sama sekali.
Pelacakan terhadap perkembangan wacana Islam dan demokrasi sering kali diawali dengan mengetahui wacana klasik tentang hubungan Islam dan pemerintahan seperti yang ditulis oleh para ulama masa lalu. Wacana klasik itu menyebutkan adanya tiga sistem politik yang dianut (Abou el-Fadhl, 2004). Pertama, apa yang dideskripsikan sebagai sistem natural (natural system), di mana kelompok yang paling kuat akan memainkan peran penting dan mengendalikan komunitas. Dalam sistem kemasyarakatan yang semacam ini, hukum sama sekali belum berlaku, dan sebagai ganti hukum, maka adat menjadi penentu. Sebagaimana tidak adanya hukum, maka pemerintah pun tidak ada, peran pemerintah digantikan oleh keberadaan tetua adat, yang hanya akan dipatuhi sepanjang mereka memiliki kekuatan fisik. Kedua, adalah sistem yang dijalankan oleh raja, di mana perkataannya menjadi hukum. Karena hukum ditentukan oleh kehendak sewenang-wenang penguasa, maka orang menjadi patuh bukan karena wajib, dan ini mengarah kepada kekuasaan yang tiran dan illegitimated. Ketiga, sistem kekhalifahan yang didasarkan kepada Alquran dan Sunah. Pendasaran pada kedua sumber hukum Islam itulah yang menjadikan sistem khilafah dianggap mampu melindungi manusia dari kesewenang-wenangan. Sehingga khilafah sering diklaim sebagai sistem yang paling superior.
Dengan melihat pada perkembangan sistem pemerintahan modern, maka tipe ketiga ini sebenarnya bisa dianggap sebagai bibit-bibit praktik demokrasi dalam Islam, setidaknya dua elemen demokrasi modern, yaitu aturan hukum dan peran pemerintah yang terbatas, telah diberlakukan pada masa itu. Karena dengan mendasarkan praktik pemerintahan pada Alquran dan Sunah dengan sendirinya penguasa memiliki batasan-batasan tertentu untuk tidak sewenang-wenang.
Penolakan terhadap demokrasi dalam Islam juga bersumber dari pandangan bahwa dalam sebuah negara Islam, Tuhan adalah pemberi hukum. Karena Tuhan adalah pemberi hukum maka Tuhan bersifat sovereign, dan menjadi sumber mutlak dari hukum yang juga mutlak, sehingga dalam pandangan ini, bagaimana mungkin pandangan Islam yang semacam ini mesti dipertemukan dengan gagasan demokrasi yang menekankan pada aspek suara mayoritas. Terhadap pandangan seperti ini, Muqtader Khan menjelaskan bahwa cara pandang yang salah terhadap demokrasi maupun kedaulatan Tuhan inilah yang, pada praktiknya, justru dijadikan sebagai slogan bagi para Islamis yang menentang demokrasi. Padahal, demokrasi mengandung banyak hal, dan bukan hanya persoalan suara dan aturan mayoritas. Demokrasi konstitusional justru memiliki sejumlah jaminan yang akan melindungi hak-hak individu dari tirani mayoritas.
Penolakan demokrasi dengan dalih bahwa Tuhan memiliki kedaulatan penuh dalam menentukan hukum dan bahwa jika demokrasi diberlakukan, manusia sama dengan mengambil alih peran Tuhan sebenarnya juga bersumber dari cara pandang yang sempit terhadap teks-teks Alquran. Benar bahwa Tuhan adalah pemberi hukum yang mutlak, tetapi Tuhan telah mendelegasikan tugas itu kepada manusia untuk menjalankan tugasnya sebagai pencipta hukum di bumi (Q.S. 2: 30). Dalam kondisi semacam inilah, Muqtader Khan memperingatkan pentingnya umat Islam untuk bisa membedakan kedaulatan secara de jure dan kedaulatan secara de facto. Secara de facto, maka manusia adalah pemegang kedaulatan hukum itu, baik terjadi dalam sebuah negara demokrasi maupun negara Islam. Sebaliknya, jika kedaulatan Tuhan menjelma dalam konteks de facto itu yang terjadi adalah adanya sekelompok kecil kaum muslim yang merasa memiliki kewenangan untuk berbicara atas nama Tuhan. Padahal dalam sebuah negara Islam yang demokratis, setiap manusia adalah penjelmaan dari Tuhan dan karena itu berhak bertindak atas nama Tuhan, sepanjang tindakannya itu tidak bertentangan dengan hukum-hukum Tuhan yang telah didelegasikan kepada manusia.
Maka pada saat bersamaan, secara filosofis, demokrasi sebenarnya memberikan penghargaan yang sangat tinggi kepada manusia dan memberikan tempat yang suprim kepada Tuhan. Dengan menempatkan Tuhan sebagai pemilik kewenangan de jure, sama artinya dengan mengagungkan Tuhan pada posisi yang sangat tinggi. Justru nilai suprim Tuhan menjadi tereduksi manakala Tuhan harus turun sendiri ke bumi untuk mengatur persoalan-persoalan yang bisa didelegasikan kepada manusia. Sehingga adopsi praktik demokrasi tidak harus selalu dianggap sebagai 'melangkahi' kewenangan Tuhan. Karena sebagaimana yang diyakini oleh al-Maududi, Tuhanlah yang berhak memberikan hukum sebuah negara.
Dengan demikian, apa yang dikhawatirkan bahwa demokrasi adalah langkah menuju sekularisasi politik Islam menjadi sesuatu yang berlebihan. Lahirnya pemikir-pemikir muslim yang memiliki concern pada demokrasi, di luar perbedaan yang melekat pada masing-masing diri mereka, sebenarnya menekankan pada nilai-nilai universal yang sama, seperti keadilan, kemuliaan dan kesetaraan manusia, aturan hukum, peran rakyat dalam memilih pemimpin, dan nilai-nilai pluralisme. Jika dilihat pada nilai-nilai dasar yang hendak diwujudkan dalam sistem demokrasi ini, sebenarnya semuanya mengacu kepada nilai-nilai Islam. Sehingga penolakan demokrasi atas nama Islam, sebenarnya justru mereduksi makna Islam sendiri, dan dengan sendirinya telah menjadikan Islam sebagai tameng untuk melanggengkan otoritarianisme.***
Penulis:
Pradana Boy ZTF, Alumnus The Australian National University Canberra, Australia.
Dosen Universitas Muhammadiyah Malang
Atas dasar semacam itulah, maka mereka memilih untuk tidak terlibat dalam aktivitas politik meskipun mereka memiliki agenda politik. Ini semata-mata disebabkan oleh adanya anggapan bahwa sistem di luar Islam tidak boleh diikuti. Sebaliknya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai contoh lain, mengambil posisi yang agak moderat dengan turut serta memainkan peran politik dalam konteks kenegaraan.
Meskipun demikian, bukan berarti penerimaan PKS terhadap demokrasi juga bulat, sebagaimana tekad mereka ikut dalam sistem kepartaian negara yang justru diharamkan oleh Hizbut Tahrir. Dalam konteks semacam inilah, menjadi menarik untuk menurunkan tesis Olivier Roy (2004) bahwa kerangka konseptual partai Islam ternyata tidak mampu menyediakan sebuah gambaran yang efektif bagi negara Islam. Sehingga partai-partai Islam semacam itu, sekarang ini justru berada di persimpangan jalan, maka pilihan mereka adalah: memilih melakukan normalisasi politik dalam kerangka negara bangsa modern, ataukah memilih mengembangkan, apa yang oleh Olivier Roy diistilahkan dengan neofundamentalisme.
Dengan menggunakan kerangka teori Roy ini, maka apa yang dilakukan oleh PKS adalah pilihan pertama, sementara apa yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir adalah pilihan kedua. Meskipun demikian, dalam kaitannya dengan demokrasi, keduanya bisa dikatakan serupa, bahwa demokrasi tidak memiliki akar dalam Islam, karena dalam sejarahnya ia berkembang dari Barat. Sehingga mesti dilakukan pertimbangan matang jika ingin mengadopsinya, jika tidak malah melakukan penolakan sama sekali.
Pelacakan terhadap perkembangan wacana Islam dan demokrasi sering kali diawali dengan mengetahui wacana klasik tentang hubungan Islam dan pemerintahan seperti yang ditulis oleh para ulama masa lalu. Wacana klasik itu menyebutkan adanya tiga sistem politik yang dianut (Abou el-Fadhl, 2004). Pertama, apa yang dideskripsikan sebagai sistem natural (natural system), di mana kelompok yang paling kuat akan memainkan peran penting dan mengendalikan komunitas. Dalam sistem kemasyarakatan yang semacam ini, hukum sama sekali belum berlaku, dan sebagai ganti hukum, maka adat menjadi penentu. Sebagaimana tidak adanya hukum, maka pemerintah pun tidak ada, peran pemerintah digantikan oleh keberadaan tetua adat, yang hanya akan dipatuhi sepanjang mereka memiliki kekuatan fisik. Kedua, adalah sistem yang dijalankan oleh raja, di mana perkataannya menjadi hukum. Karena hukum ditentukan oleh kehendak sewenang-wenang penguasa, maka orang menjadi patuh bukan karena wajib, dan ini mengarah kepada kekuasaan yang tiran dan illegitimated. Ketiga, sistem kekhalifahan yang didasarkan kepada Alquran dan Sunah. Pendasaran pada kedua sumber hukum Islam itulah yang menjadikan sistem khilafah dianggap mampu melindungi manusia dari kesewenang-wenangan. Sehingga khilafah sering diklaim sebagai sistem yang paling superior.
Dengan melihat pada perkembangan sistem pemerintahan modern, maka tipe ketiga ini sebenarnya bisa dianggap sebagai bibit-bibit praktik demokrasi dalam Islam, setidaknya dua elemen demokrasi modern, yaitu aturan hukum dan peran pemerintah yang terbatas, telah diberlakukan pada masa itu. Karena dengan mendasarkan praktik pemerintahan pada Alquran dan Sunah dengan sendirinya penguasa memiliki batasan-batasan tertentu untuk tidak sewenang-wenang.
Penolakan terhadap demokrasi dalam Islam juga bersumber dari pandangan bahwa dalam sebuah negara Islam, Tuhan adalah pemberi hukum. Karena Tuhan adalah pemberi hukum maka Tuhan bersifat sovereign, dan menjadi sumber mutlak dari hukum yang juga mutlak, sehingga dalam pandangan ini, bagaimana mungkin pandangan Islam yang semacam ini mesti dipertemukan dengan gagasan demokrasi yang menekankan pada aspek suara mayoritas. Terhadap pandangan seperti ini, Muqtader Khan menjelaskan bahwa cara pandang yang salah terhadap demokrasi maupun kedaulatan Tuhan inilah yang, pada praktiknya, justru dijadikan sebagai slogan bagi para Islamis yang menentang demokrasi. Padahal, demokrasi mengandung banyak hal, dan bukan hanya persoalan suara dan aturan mayoritas. Demokrasi konstitusional justru memiliki sejumlah jaminan yang akan melindungi hak-hak individu dari tirani mayoritas.
Penolakan demokrasi dengan dalih bahwa Tuhan memiliki kedaulatan penuh dalam menentukan hukum dan bahwa jika demokrasi diberlakukan, manusia sama dengan mengambil alih peran Tuhan sebenarnya juga bersumber dari cara pandang yang sempit terhadap teks-teks Alquran. Benar bahwa Tuhan adalah pemberi hukum yang mutlak, tetapi Tuhan telah mendelegasikan tugas itu kepada manusia untuk menjalankan tugasnya sebagai pencipta hukum di bumi (Q.S. 2: 30). Dalam kondisi semacam inilah, Muqtader Khan memperingatkan pentingnya umat Islam untuk bisa membedakan kedaulatan secara de jure dan kedaulatan secara de facto. Secara de facto, maka manusia adalah pemegang kedaulatan hukum itu, baik terjadi dalam sebuah negara demokrasi maupun negara Islam. Sebaliknya, jika kedaulatan Tuhan menjelma dalam konteks de facto itu yang terjadi adalah adanya sekelompok kecil kaum muslim yang merasa memiliki kewenangan untuk berbicara atas nama Tuhan. Padahal dalam sebuah negara Islam yang demokratis, setiap manusia adalah penjelmaan dari Tuhan dan karena itu berhak bertindak atas nama Tuhan, sepanjang tindakannya itu tidak bertentangan dengan hukum-hukum Tuhan yang telah didelegasikan kepada manusia.
Maka pada saat bersamaan, secara filosofis, demokrasi sebenarnya memberikan penghargaan yang sangat tinggi kepada manusia dan memberikan tempat yang suprim kepada Tuhan. Dengan menempatkan Tuhan sebagai pemilik kewenangan de jure, sama artinya dengan mengagungkan Tuhan pada posisi yang sangat tinggi. Justru nilai suprim Tuhan menjadi tereduksi manakala Tuhan harus turun sendiri ke bumi untuk mengatur persoalan-persoalan yang bisa didelegasikan kepada manusia. Sehingga adopsi praktik demokrasi tidak harus selalu dianggap sebagai 'melangkahi' kewenangan Tuhan. Karena sebagaimana yang diyakini oleh al-Maududi, Tuhanlah yang berhak memberikan hukum sebuah negara.
Dengan demikian, apa yang dikhawatirkan bahwa demokrasi adalah langkah menuju sekularisasi politik Islam menjadi sesuatu yang berlebihan. Lahirnya pemikir-pemikir muslim yang memiliki concern pada demokrasi, di luar perbedaan yang melekat pada masing-masing diri mereka, sebenarnya menekankan pada nilai-nilai universal yang sama, seperti keadilan, kemuliaan dan kesetaraan manusia, aturan hukum, peran rakyat dalam memilih pemimpin, dan nilai-nilai pluralisme. Jika dilihat pada nilai-nilai dasar yang hendak diwujudkan dalam sistem demokrasi ini, sebenarnya semuanya mengacu kepada nilai-nilai Islam. Sehingga penolakan demokrasi atas nama Islam, sebenarnya justru mereduksi makna Islam sendiri, dan dengan sendirinya telah menjadikan Islam sebagai tameng untuk melanggengkan otoritarianisme.***
Penulis:
Pradana Boy ZTF, Alumnus The Australian National University Canberra, Australia.
Dosen Universitas Muhammadiyah Malang
Langganan:
Postingan (Atom)