Senin, 30 Juli 2007

Memahami Cakrawala Pendidikan Multikultural

Ditulis oleh PMII KOMFAKSYAHUM di/pada Juli 28th, 2007

cover.jpgPeresensi: A. Yusrianto Elga*
Judul Buku: Pendidikan Multikultural
Penulis: Choirul Mahfud
Penerbit: Pustaka Pelajar, Jogjakarta
Cetakan: 1, 2007
Tebal Buku: xxviii + 294 halaman

Meluasnya disintegrasi sosial merupakan salah satu fenomena krusial yang telah membuat negeri ini terbengkalai. Konflik horisontal antarsuku, agama, ras, misalnya, dan berbagai golongan sampai saat ini masih marak terjadi. Tragedi kekerasan antarkelompok yang meledak secara sporadis diakhir tahun 1990-an, misalnya, kemudian konflik kekerasan yang bernuansa politis, etnis dan agama seperti yang terjadi di berbagai wilayah Aceh, Maluku, Kalimantan Barat dan Tengah, merupakan salah satu fakta yang tidak terbantahkan bahwa dalam lingkaran sosial bangsa Indonesia masih kokoh semangat narsistik-egosentrisnya.

Fakta paling mutakhir berkenaan dengan masalah tersebut adalah bergolaknya kembali konflik bernuansa agama di Ambon. Hal itu juga menjadi bukti betapa rapuhnya konstruksi kebangsaan berbasis multikulturalisme di negeri kita. Sehingga tidak heran kalau belakangan ini rasa kebersamaan sudah tidak tampak lagi dan nilai-nilai kebudayaan yang dibangun menjadi terberangus.

Karena itu, buku ini hadir dalam rangka merajut kebersamaan dan saling pengertian antarsesama bangsa dalam bingkai pendidikan berbasis multikulturalisme. Multikulturalisme adalah sebuah paham yang menekankan pada kesederajatan dan kesetaraan budaya-budaya lokal tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya lain. Hal ini sangat penting kita pahami bersama dalam kehidupan masyarakat yang multikultural seperti di Indonesia ini. Sebab bagaimana pun secara riil, bangsa Indonesia memiliki keragaman bahasa, sosial, agama, budaya dan sebagainya. Keragaman tersebut amat kondusif bagi munculnya konflik dalam berbagai dimensi kehidupan (hal.8).

Adanya ketidaksalingpengertian dan pemahaman terhadap realitas kehidupan itulah yang menjadi kajian utama pendidikan multikultural (Multicultural education). Pendidikan multikultural merupakan respons terhadap perkembangan zaman yang semakin kompleks, di mana egosentrisme, etnosentrisme, dan chauvinisme yang pada gilirannya memunculkan klaim kebenaran (truth claim) terus menggejala pada masing-masing individu. Dengan demikian, pada prinsipnya, pendidikan multikultural adalah menghargai perbedaan. Pendidikan multikultural senantiasa menciptakan struktur dan proses di mana setiap kebudayaan bisa melakukan ekspresi.

Hilda Hernandez Dalam Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context, Process, and Content (1989), mengartikan pendidikan multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, sosial, ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan. Atau dengan kata lain, bahwa ruang pendidikan sebagi media transformasi ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) hendaknya mampu memberikan nilai-nilai multikulturalisme dengan cara saling menghargai dan menghormati atas realitas yang beragam (plural), baik latar belakang maupun basis sosio budaya yang melingkupinya.

Hal ini sejalan dengan pemikiran Paulo Freire. Dalam pedagogy of the oppressed, sebagaimana dikutip oleh M. Yunus Firdaus dalam buku: Pendidikan Berbasis Realitas Sosial (2005), Freire mengatakan bahwa pendidikan harus mampu menciptakan harmonisme sosial dalam sebuah kehidupan masyarakat yang beragam secara kultur. Sebab pendidikan bukanlah “menara gading” yang harus menjauhi hiruk-pikuk kehidupan sosial. Apalagi di negara Indonesia yang rentan terjadi konflik. Karena itu, pendidikan berbasis multikulturalisme sudah saatnya dijadikan sebagai paradigma atau pijakan dalam sistem pendidikan kita.

Sebab bagaimana pun juga, pendidikan multikultural dapat memberikan solusi bagi sejumlah permasalahan yang dihadapi Indonesia. Pertama, sebagai sarana alternatif pemecahan konflik. Penyelenggaraan pendidikan multikultural di dunia pendidikan diyakini dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat, khususnya yang kerap terjadi di Indonesia yang secara realitas plural. Spektrum kultur masyarakat Indonesia yang amat beragam menjadi tantangan bagi dunia pendidikan guna mengolah perbedaan tersebut menjadi suatu aset, bukan sumber perpecahan.

Kedua, pendidikan multikultural juga signifikan dalam membina peserta didik supaya tidak tercerabut dari akar budaya yang ia miliki sebelumnya, ketika berhadapan dengan realitas sosial-budaya di era globalisasi. Sebab disadari maupun tidak, dalam era globalisasi saat ini, pertemuan antarbudaya menjadi “ancaman” serius bagi peserta didik. Untuk menyikapi realitas global tersebut, peserta didik hendaknya diberi penyadaran akan pengetahuan yang beragam, sehingga mereka memiliki kompetensi yang luas akan pengetahuan global, termasuk aspek kebudayaan.

Ketiga, sebagai landasan pengembangan kurikulum nasional. Pengembangan kurikulum masa depan yang berdasarkan pendekatan multikulturalisme menjadi sangat penting. Langkah demikian dapat dilakukan setidaknya dengan mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku seragam seperti saat ini menjadi filosofi yang lebih sesuai dengan tujuan, misi, dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan. Filosofi konservatif seperti esensialisme dan perenialisme haruslah dapat diubah ke filosofi yang lebih menekankan pendidikan sebagai upaya mengembangkan kemanusiaan peserta didik. Kemudian, filosofi kurikulum yang progresif seperti humanisme, progresifisme dan rekonstruksi sosial dapat dijadikan sebagai landasan kurikulum (hal.208-210).

Dengan demikian, pendidikan berbasis multikulturalisme pada akhirnya akan memberikan sebuah pencerahan: yakni kearifan untuk melihat keanekaragaman budaya sebagai realitas fundamental dalam kehidupan masyarakat. Kearifan itu muncul seiring dengan adanya keterbukaan untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural sebagai kemestian hidup yang kodrati. Sebagaimana dikatakan oleh Musa Asy’ari (2004), bahwa keanekaragaman dalam realitas kehidupan manusia adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri.

* Peresensi adalah staf redaksi Advokasia Fakultas Syar’iah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
HP. 081804224007

2 komentar:

Natasha-Net mengatakan...

Menurut Anda apa saja point-point penting pendidikan multikultural yang bisa dimasukan atau disusun sebagai kurikulum multikultural di tingkat TK dan SD

Salam,
agnila

lembaga Paramitra mengatakan...

bagaimana cara mendapatkan buku ini ya

maka sig

gozali