Selasa, 31 Juli 2007

Aliansi Peradaban

Oleh: Azyumardi Azra

Aliansi peradaban-peradaban (alliance of civilizations/AoC). Inilah yang agaknya kian diperlukan umat manusia kini dan di masa depan. Jika kita berharap adanya kehidupan yang lebih berdasarkan saling pengertian dan saling menghargai, yang pada gilirannya dapat menciptakan dunia yang lebih harmonis, aman, dan damai, maka upaya penggalangan dan pemberdayaan aliansi peradaban tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Aliansi peradaban-peradaban baik langsung ataupun tidak, merupakan kontraargumen dan kontraaksi terhadap 'teori' benturan peradaban-peradaban (clash of civilizations), gagasan ahli ilmu politik Samuel Huntington pada 1990-an atau lebih awal lagi sejarawan Bernard Lewis. Ketika peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat terjadi, yang kemudian diikuti penyerbuan Afghanistan dan war on terror oleh AS dan sekutu-sekutunya, maka teori clash of civilizations seolah menjadi self-fulfilling prophecy, ramalan yang mewujudkan dirinya sendiri.

AoC mulai menemukan momentumnya sejak PM Spanyol, Jose Luis Rodriguez Zapatero, mengajukan proposal bagi Aliansi Peradaban-peradaban pada September 2004. Hasilnya, atas sponsor Pemerintah Spanyol dan Turki, Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, memaklumkan AoC pada September 2005. Sejak itu, berbagai pertemuan, konferensi, dan lokakarya aliansi peradaban baik pada tingkat internasional maupun regional, telah diselenggarakan berbagai negara dan pihak yang memiliki kepedulian khusus terhadap masalah ini. Terakhir adalah Simposium Tingkat Tinggi Aliansi Peradaban-peradaban yang berlangsung pada 23-24 Mei di Auckland, Selandia Baru, dengan sponsor Pemerintah Selandia Baru dan Norwegia.

PM Selandia Baru, Helen Clark, yang memimpin langsung High Level Meeting AoC menyatakan penolakannya atas self-fulfilling prophecy tentang benturan peradaban. Bagi dia, pengalaman bangsa Selandia Baru yang multikultural memberikan pelajaran, bahwa sangat mungkin pada tingkat internasional untuk membangun dunia yang menghargai dan mengakomodasi perbedaan. Ketegangan, konflik, dan bahkan perang yang muncul dari ketidaktahuan dan ketidakpedulian; dan kurangnya pengertian dapat diatasi melalui dialog, pendidikan, dan kesediaan untuk belajar satu sama lain, dan sedia menerima dan toleran terhadap orang dan masyarakat lain yang berbeda.

Ali Alatas, mantan menteri Luar Negeri RI, yang juga anggota High Level Group AoC menyatakan, Aliansi Peradaban-peradaban menegaskan kembali bahwa seluruh bangsa dan masyarakat saling interdependen dan bahkan terkait satu sama lain dalam pembangunan, keamanan, dan kesejahteraan. AoC berusaha membangun saling menghargai dan menempa kemauan politik, serta langkah terencana dan terpadu pada tingkat pemerintah, institusional, dan masyarakat madani untuk mengatasi prasangka, mispersepsi, dan ketidakpercayaan.

Dengan cara begitu, AoC diharapkan dapat memberikan kontribusi penting kepada gerakan terbesar masyarakat manusia untuk menolak ekstremisme yang ada dalam setiap masyarakat; dan sebaliknya menghargai keragaman kultural dan keagamaan. Dengan kerangka seperti itu, AoC merumuskan empat bidang pokok aksi: pendidikan, kepemudaan, migrasi, dan media. Pengembangan program yang terencana dalam keempat bidang ini krusial dan dapat memainkan peran kritis untuk mengurangi ketegangan antarbudaya dan peradaban; dan membangun jembatan di antara masyarakat yang berbeda.

Mengikuti simposium Auckland, hemat saya, AoC merupakan inisiatif sangat penting di tengah masih berlanjutnya ketegangan dan bahkan perang dalam masyarakat dunia, seperti di Afghanistan, Irak, dan Palestina. Memang, AoC bukan merupakan jalan instan untuk memecahkan semua masalah mendasar yang menjadi sumber ketegangan dan konflik; tetapi setidaknya, AoC merupakan terobosan dalam membangun aliansi di antara berbagai negara dan masyarakat untuk terus-menerus menyuarakan pentingnya saling menghargai dan menempuh cara damai dalam mengatasi berbagai perbedaan, ketegangan, dan konflik.

Dalam pandangan saya, AoC memberikan penekanan terlalu kuat pada ketegangan dan konflik di antara peradaban Barat dan 'Islam'; sebuah kategori binari yang tidak tepat sama sekali, karena yang pertama mengacu kepada wilayah geografis, sementara yang kedua merupakan kategori keagamaan. Atau mungkin lebih baik, peradaban Barat dan peradaban Dunia Muslim, meski harus segera dipahami, bahwa peradaban kedua belah pihak ini tidak monolitik dan juga tidak eksklusif satu sama lain.

Sebab itu, perlu perluasan Aliansi Peradaban-peradaban ini, untuk juga mencakup peradaban lain, seperti Cina, India, Amerika Latin, dan bahkan Afrika. Peradaban-peradaban ini bukan tidak mungkin mengandung potensi konflik satu sama lain. Tetapi, lebih penting lagi, dapat pula menjadi kekuatan mediasi dan jembatan, dalam tensi, ketegangan, dan konflik terjadi di muka bumi ini.

Demokrasi dan Kesadaran Manusia

Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Setelah enam bulan menjabat Presiden Ceko-Slovakia, Vaclav Havel, pada 29 Juni 1990 menyampaikan pidato di depan Parlemen Federal negara itu tentang demokrasi. "Sesuai dengan tradisi, semangat mengubah kesadaran manusia adalah bagian dari demokrasi yang sesungguhnya dan hal itu tidak akan berfungsi dengan baik tanpa ada sistem ekonomi." (Vaclav Havel, Menata Negeri Dari Kehancuran, terj. Biro Penerjemah PP dan A.Rahman Zainuddin. Jakarta: Dian Rakyat-Yayasan Obor Indonesia, 1995, hlm 256-257).

Kutipan itu mengatakan dua syarat pokok yang harus dipenuhi untuk berhasilnya sebuah demokrasi, yaitu terwujudnya perubahan kesadaran manusia pendukung dan adanya sistem ekonomi yang mantap yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Sekalipun Havel berangkat dari realitas Ceska yang ketika itu baru saja terlepas dari penjara komunisme yang sekian lama membunuh kesadaran warga, nilai universal pernyataan itu tidak diragukan lagi.
Untuk Indonesia, para politisi dengan partainya masing-masing adalah komponen yang paling bertanggung jawab bagi berhasil atau gagalnya pelaksanaan demokrasi, karena konstitusi kita memang diarahkan ke sana. Akibatnya kekuatan independen, kecuali di Aceh, menemui jalan buntu untuk berhak maju sebagai calon untuk jabatan eksekutif. Di mata Havel, demokrasi menuntut perubahan kesadaran manusia, di samping adanya sistem ekonomi yang efektif sebagai penunjangnya. Pada kedua ranah ini Indonesia masih sangat lemah, jika bukan rapuh.

Tengoklah kelakuan sebagian besar politisi kita yang belum siuman akan tanggung jawabnya untuk membela rakyat yang diwakilinya. Kesadaran mereka tentang kondisi abnormal bangsa ini hampir nol. Korupsi yang masih merajalela, lautan kemiskinan yang terbentang luas, dan jaringan narkoba yang sedang mengepung bangsa ini, belum cukup kuat untuk menggugah kesadaran politisi kita, dari pucuk sampai ke akar, keadaannya hampir tak berbeda.

Suasana mental yang semacam itulah yang menjadi salah satu sebab mengapa Indonesia masih saja berjalan seperti keong dalam mengurus dirinya. Bukan karena kesalahan demokrasi sebagai sistem politik, tetapi karena kualitas politisi kita yang rata-rata berada di bawah standar minimum. Sistem politik otoritarian masa lampau telah menutup pintu bagi munculnya politisi berkualitas sebagai tangga awal untuk menjadi negarawan.

Bersamaan dengan itu sistem ekonomi sejak kita merdeka tidak pernah berpihak kepada rakyat kecil sebagai penghuni terbesar nusantara ini. Tahun 1950-an muncul Gerakan Asaat untuk membela pribumi yang miskin itu, tetapi kandas di awal kebangkitannya. Kecenderungan ekonomi kapitalistik menjadi faktor utama mengapa gerakan prorakyat itu harus dipukul. Di era Orba, yang muncul justru kapitalisme semu dalam format kongkalikong antara pengusaha dan penguasa. Tren semacam ini masih belum juga berubah sampai hari ini. Aset negara menjadi sasaran rebutan para oportunis ini.

Memang bencana alam telah datang silih berganti plus bencana Lapindo yang membuat rakyat yang terkena musibah menjadi putus asa. Tetapi, jika demokrasi dan sistem ekonomi kita berpihak kepada rakyat, tidak ada masalah besar yang tidak dapat diselesaikan. Kesadaran untuk berpihak inilah yang belum juga muncul dari hati dan kepala para elite bangsa ini yang masih saja senang berkicau di atas panggung politik dari pemilu ke pemilu. Jika borok politik ini tidak juga sembuh dalam tempo dekat, maka rasa muak dan bahkan benci terhadap demokrasi akan bermunculan, dikira demokrasilah yang menjadi biang kerok dari segala ketidakpastian ini.

Sebab itu, kesadaran untuk berubah ke arah sikap mental yang berpihak menjadi syarat mutlak bagi terciptanya sebuah bangunan demokrasi yang sehat dan kuat. Di luar itu, cita-cita mulia demokrasi yang menghormati hak asasi dan kebebasan manusia akan tetap saja menggantung di awan tinggi, sementara warga di bumi berjalan sempoyongan karena kelaparan dan janji-janji kosong setelah lebih 60 tahun kita merdeka. Inilah Indonesia, sebuah negeri elok di sekitar katulistiwa, tetapi menemukan para petualang yang sarat dengan dosa dan dusta, manusia tuna kesadaran.

Islam, Negara, dan Masa Depan Syariah

Oleh : Azyumardi Azra

Subjek tentang Islam dan negara --khususnya negara 'sekuler'-- tidak ragu lagi merupakan salah satu tema diskusi dan perdebatan yang hangat tidak hanya di antara para pemikir dan cendekiawan Muslim, tetapi juga bahkan di kalangan parpol dan politisi Muslim.

Sekadar mengingatkan, pada dasarnya ada dua aliran mengenai subjek ini; mereka yang menolak negara Islam atau integrasi resmi Islam ke dalam negara, dan mereka yang menuntut amalgamasi Islam ke dalam negara dan kekuasaan politik. Bagi kelompok kedua, pola seperti itu memungkinkan penerapan syariah dengan kekuatan negara. Menurut argumen mereka, tanpa kekuatan negara, maka penerapan syariah tidak akan efektif.

Bagi mereka, penerapan syariah merupakan alternatif satu-satunya bagi pemecahan berbagai masalah yang dihadapi negara-negara Muslim, termasuk Indonesia. Karena itu, kelompok ini berusaha melakukan berbagai upaya agar negara dapat secara resmi mengadopsi syariah.
Di tengah diskusi itu, sangat menarik membaca buku terbaru guru besar Emory University, Atlanta, Abdullahi Ahmed an-Naim, Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah (Bandung: Mizan, 2007). Penerbitan edisi bahasa Indonesia simultan dengan edisi Inggris berbarengan diskusi dengan pengarangnya yang diselenggarakan Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Jakarta.

Tujuan utama buku ini, menurut an-Naim, adalah mempromosikan masa depan syariah sebagai sistem normatif Islam di kalangan umat Muslimin, tetapi bukan melalui penerapan prinsip secara paksa oleh kekuatan negara. Hal ini karena dari sifat dan tujuannya, syariah hanya bisa dijalankan secara sukarela oleh para penganutnya. Sebaliknya, prinsip syariah kehilangan otoritas dan nilai agamanya apabila dipaksakan negara. Karena itu, pemisahan Islam dan negara secara kelembagaan sangat perlu agar syariah bisa berperan positif dan mencerahkan bagi umat Islam. Pendapat ini disebut an-Naim sebagai 'netralitas negara terhadap agama'.

Lebih jauh an-Naim berargumen, syariah memiliki masa depan yang cerah dalam kehidupan publik masyarakat Islam, karena dapat berperan dalam menyiapkan anak-anak untuk hidup beragama, bermasyarakat; membina lembaga dan hubungan sosial. Syariah akan terus memainkan peran penting dalam membentuk dan mengembangkan norma dan nilai etika yang direfleksikan dalam perundangan dan kebijakan publik melalui politik demokratis.

Tapi penting dicatat, dengan tarikan napas yang sama, an-Naim berpendapat, prinsip dan aturan syariah tidak dapat diberlakukan dan diterapkan secara formal oleh negara sebagai hukum dan kebijakan publik hanya karena alasan bahwa prinsip dan aturan syariah itu merupakan bagian daripada syariah. Apabila pemberlakuan syariah seperti itu diusahakan, hal itu merupakan kehendak politik negara dan bukan hukum Islam. Menurut an-Naim, adanya klaim elite penguasa yang kadang-kadang melegitimasi kekuasaan negara atas nama syariah tidak lantas berarti bahwa klaim itu benar atau mungkin dilaksanakan.

Namun, menurut an-Naim, ini tidak berarti bahwa Islam -yang merupakan induk syariah-- harus dikeluarkan dari kebijakan publik umumnya. Sebaliknya, negara tidak perlu berusaha menerapkan syariah secara formal agar umat Islam benar-benar dapat menjalankan keyakinan Islamnya secara sungguh-sungguh, sebagai bagian daripada kewajiban beragama, bukan karena paksaan negara.

Alasan an-Naim ini berangkat dari asumsi, umat Islam di manapun --baik sebagai mayoritas maupun minoritas-- dituntut menjalankan syariah Islam sebagai bagian daripada kewajiban keagamaan. Tuntutan ini dapat diwujudkan sebaik-baiknya manakala negara bersikap netral terhadap semua doktrin keagamaan; dan tidak berusaha menerapkan prinsip-prinsip syariah sebagai kebijakan atau perundangan negara.

Namun, ini tidak berarti negara tidak dapat atau harus sepenuhnya bersikap netral, karena ia merupakan lembaga politik yang sudah tentu dipengaruhi kepentingan warga negara. Perundangan dan kebijakan publik memang seharusnya mencerminkan keyakinan dan nilai-nilai warga negara, termasuk nilai-nilai agama. Tapi penting digarisbawahi, tulis an-Naim, bahwa hal itu tidak dilakukan atas nama agama tertentu.

Sebab, jika negara melakukan hal itu, maka dapat membahayakan perdamaian, stabilitas, dan perkembangan yang sehat seluruh masyarakat. Karena, mereka yang terabaikan haknya memperoleh pelayanan dan perlindungan negara serta berpartisipasi aktif dalam politik dan kehidupan publik akan menarik diri; bahkan terdorong melakukan tindakan kekerasan karena merasa tidak ada cara-cara lain untuk menyelesaikan masalah.

Dalam konteks Indonesia yang pada dasarnya 'netral' terhadap semua agama, pemikiran an-Naim sangat relevan dan kontekstual. Karena itu, tidak ragu lagi, pemikiran an-Naim merupakan kontribusi penting bagi negara-bangsa Indonesia. Bagi kelompok-kelompok di Tanah Air yang sampai hari ini memandang syariah sebagai satu-satunya solusi; dan memperlakukan syariah sebagai 'obat cespleng' untuk menyelesaikan masalah, buku an-Naim ini patut dipertimbangkan dengan pikiran yang tenang dan jernih

Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam

Oleh: Ulil Abshar-Abdalla

Agama adalah suatu kebaikan buat umat manusia; dan karena manusia adalah organisme yang terus berkembang, baik secara kuantitatif dan kualitatif, maka agama juga harus bisa mengembangkan diri sesuai kebutuhan manusia itu sendiri. Yang ada adalah hukum manusia, bukan hukum Tuhan, karena manusialah stake holder yang berkepentingan dalam semua perbincangan soal agama ini.

SAYA meletakkan Islam pertama-tama sebagai sebuah "organisme" yang hidup; sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia. Islam bukan sebuah monumen mati yang dipahat pada abad ke-7 Masehi, lalu dianggap sebagai "patung" indah yang tak boleh disentuh tangan sejarah.

Saya melihat, kecenderungan untuk "me-monumen-kan" Islam amat menonjol saat ini. Sudah saatnya suara lantang dikemukakan untuk menandingi kecenderungan ini.
Saya mengemukakan sejumlah pokok pikiran di bawah ini sebagai usaha sederhana menyegarkan kembali pemikiran Islam yang saya pandang cenderung membeku, menjadi "paket" yang sulit didebat dan dipersoalkan: paket Tuhan yang disuguhkan kepada kita semua dengan pesan sederhana, take it or leave it! Islam yang disuguhkan dengan cara demikian, amat berbahaya bagi kemajuan Islam itu sendiri.

Jalan satu-satunya menuju kemajuan Islam adalah dengan mempersoalkan cara kita menafsirkan agama ini. Untuk menuju ke arah itu, kita memerlukan beberapa hal.
Pertama, penafsiran Islam yang non-literal, substansial, kontekstual, dan sesuai denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah.

Kedua, penafsiran Islam yang dapat memisahkan mana unsur-unsur di dalamnya yang merupakan kreasi budaya setempat, dan mana yang merupakan nilai fundamental. Kita harus bisa membedakan mana ajaran dalam Islam yang merupakan pengaruh kultur Arab dan mana yang tidak.

Islam itu kontekstual, dalam pengertian, nilai-nilainya yang universal harus diterjemahkan dalam konteks tertentu, misalnya konteks Arab, Melayu, Asia Tengah, dan seterusnya. Tetapi, bentuk-bentuk Islam yang kontekstual itu hanya ekspresi budaya, dan kita tidak diwajibkan mengikutinya.

Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab, misalnya, tidak usah diikuti. Contoh, soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab.
Yang harus diikuti adalah nilai-nilai universal yang melandasi praktik-praktik itu. Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (public decency). Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan kebudayaan manusia. Begitu seterusnya.

Ketiga, umat Islam hendaknya tidak memandang dirinya sebagai "masyarakat" atau "umat" yang terpisah dari golongan yang lain. Umat manusia adalah keluarga universal yang dipersatukan oleh kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan adalah nilai yang sejalan, bukan berlawanan, dengan Islam.
Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi. Quran sendiri tidak pernah dengan tegas melarang itu, karena Quran menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk hukum Islam klasik yang membedakan antara kedudukan orang Islam dan non-Islam harus diamandemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan ini.

Keempat, kita membutuhkan struktur sosial yang dengan jelas memisahkan mana kekuasaan politik dan mana kekuasaan agama. Agama adalah urusan pribadi; sementara pengaturan kehidupan publik adalah sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat melalui prosedur demokrasi. Nilai-nilai universal agama tentu diharapkan ikut membentuk nilai-nilai publik, tetapi doktrin dan praktik peribadatan agama yang sifatnya partikular adalah urusan masing-masing agama.

Menurut saya, tidak ada yang disebut "hukum Tuhan" dalam pengertian seperti dipahami kebanyakan orang Islam. Misalnya, hukum Tuhan tentang pencurian, jual beli, pernikahan, pemerintahan, dan sebagainya. Yang ada adalah prinsip-prinsip umum yang universal yang dalam tradisi pengkajian hukum Islam klasik disebut sebagai maqashidusy syari'ah, atau tujuan umum syariat Islam.
Nilai-nilai itu adalah perlindungan atas kebebasan beragama, akal, kepemilikan, keluarga/keturunan, dan kehormatan (honor). Bagaimana nilai-nilai itu diterjemahkan dalam konteks sejarah dan sosial tertentu, itu adalah urusan manusia Muslim sendiri.
***

BAGAIMANA meletakkan kedudukan Rasul Muhammad SAW dalam konteks pemikiran semacam ini? Menurut saya, Rasul Muhammad SAW adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).

Bagaimana mengikuti Rasul? Di sini, saya mempunyai perbedaan dengan pandangan dominan. Dalam usaha menerjemahkan Islam dalam konteks sosial-politik di Madinah, Rasul tentu menghadapi banyak keterbatasan. Rasul memang berhasil menerjemahkan cita-cita sosial dan spiritual Islam di Madinah, tetapi Islam sebagaimana diwujudkan di sana adalah Islam historis, partikular, dan kontekstual.
Kita tidak diwajibkan mengikuti Rasul secara harfiah, sebab apa yang dilakukan olehnya di Madinah adalah upaya menegosiasikan antara nilai-nilai universal Islam dengan situasi sosial di sana dengan seluruh kendala yang ada. Islam di Madinah adalah hasil suatu trade-off antara "yang universal" dengan "yang partikular".

Umat Islam harus ber-ijtihad mencari formula baru dalam menerjemahkan nilai-nilai itu dalam konteks kehidupan mereka sendiri. "Islam"-nya Rasul di Madinah adalah salah satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang universal di muka Bumi; ada kemungkinan lain untuk menerjemahkan Islam dengan cara lain, dalam konteks yang lain pula. Islam di Madinah adalah one among others, salah satu jenis Islam yang hadir di muka Bumi.
Oleh karena itu, umat Islam tidak sebaiknya mandek dengan melihat contoh di Madinah saja, sebab kehidupan manusia terus bergerak menuju perbaikan dan penyempurnaan. Bagi saya, wahyu tidak berhenti pada zaman Nabi; wahyu terus bekerja dan turun kepada manusia. Wahyu verbal memang telah selesai dalam Quran, tetapi wahyu nonverbal dalam bentuk ijtihad akal manusia terus berlangsung.

Temuan-temuan besar dalam sejarah manusia sebagai bagian dari usaha menuju perbaikan mutu kehidupan adalah wahyu Tuhan pula, karena temuan-temuan itu dilahirkan oleh akal manusia yang merupakan anugerah Tuhan. Karena itu, seluruh karya cipta manusia, tidak peduli agamanya, adalah milik orang Islam juga; tidak ada gunanya orang Islam membuat tembok ketat antara peradaban Islam dan peradaban Barat: yang satu dianggap unggul, yang lain dianggap rendah. Sebab, setiap peradaban adalah hasil karya manusia, dan karena itu milik semua bangsa, termasuk milik orang Islam.

Umat Islam harus mengembangkan suatu pemahaman bahwa suatu penafsiran Islam oleh golongan tertentu bukanlah paling benar dan mutlak, karena itu harus ada kesediaan untuk menerima dari semua sumber kebenaran, termasuk yang datangnya dari luar Islam. Setiap golongan hendaknya menghargai hak golongan lain untuk menafsirkan Islam berdasarkan sudut pandangnya sendiri; yang harus di-"lawan" adalah setiap usaha untuk memutlakkan pandangan keagamaan tertentu.
Saya berpandangan lebih jauh lagi: setiap nilai kebaikan, di mana pun tempatnya, sejatinya adalah nilai Islami juga. Islam-seperti pernah dikemukakan Cak Nur dan sejumlah pemikir lain-adalah "nilai generis" yang bisa ada di Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, Taoisme, agama dan kepercayaan lokal, dan sebagainya. Bisa jadi, kebenaran "Islam" bisa ada dalam filsafat Marxisme.

Saya tidak lagi memandang bentuk, tetapi isi. Keyakinan dan praktik keIslam-an yang dianut oleh orang-orang yang menamakan diri sebagai umat Islam hanyalah "baju" dan forma; bukan itu yang penting. Yang pokok adalah nilai yang tersembunyi di baliknya.
Amat konyol umat manusia bertikai karena perbedaan "baju" yang dipakai, sementara mereka lupa, inti "memakai baju" adalah menjaga martabat manusia sebagai makhluk berbudaya. Semua agama adalah baju, sarana, wasilah, alat untuk menuju tujuan pokok: penyerahan diri kepada Yang Maha Benar.

Ada periode di mana umat beragama menganggap, "baju" bersifat mutlak dan segalanya, lalu pertengkaran muncul karena perbedaan baju itu. Tetapi, pertengkaran semacam itu tidak layak lagi untuk dilanggengkan kini.
***

MUSUH semua agama adalah "ketidakadilan". Nilai yang diutamakan Islam adalah keadilan.
Misi Islam yang saya anggap paling penting sekarang adalah bagaimana menegakkan keadilan di muka Bumi, terutama di bidang politik dan ekonomi (tentu juga di bidang budaya), bukan menegakkan jilbab, mengurung kembali perempuan, memelihara jenggot, memendekkan ujung celana, dan tetek bengek masalah yang menurut saya amat bersifat furu'iyyah. Keadilan itu tidak bisa hanya dikhotbahkan, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk sistem dan aturan main, undang-undang, dan sebagainya, dan diwujudkan dalam perbuatan.

Upaya menegakkan syariat Islam, bagi saya, adalah wujud ketidakberdayaan umat Islam dalam menghadapi masalah yang mengimpit mereka dan menyelesaikannya dengan cara rasional. Umat Islam menganggap, semua masalah akan selesai dengan sendirinya manakala syariat Islam, dalam penafsirannya yang kolot dan dogmatis, diterapkan di muka Bumi.
Masalah kemanusiaan tidak bisa diselesaikan dengan semata-mata merujuk kepada "hukum Tuhan" (sekali lagi: saya tidak percaya adanya "hukum Tuhan"; kami hanya percaya pada nilai-nilai ketuhanan yang universal), tetapi harus merujuk kepada hukum-hukum atau sunnah yang telah diletakkan Allah sendiri dalam setiap bidang masalah. Bidang politik mengenal hukumnya sendiri, bidang ekonomi mengenal hukumnya sendiri, bidang sosial mengenal hukumnya sendiri, dan seterusnya.

Kata Nabi, konon, man aradad dunya fa'alihi bil 'ilmi, wa man aradal akhirata fa 'alihi bil 'ilmi; barang siapa hendak mengatasi masalah keduniaan, hendaknya memakai ilmu, begitu juga yang hendak mencapai kebahagiaan di dunia "nanti", juga harus pakai ilmu. Setiap bidang ada aturan, dan tidak bisa semena-mena merujuk kepada hukum Tuhan sebelum mengkajinya lebih dulu. Setiap ilmu pada masing-masing bidang juga terus berkembang, sesuai perkembangan tingkat kedewasaan manusia. Sunnah Tuhan, dengan demikian, juga ikut berkembang.
Sudah tentu hukum-hukum yang mengatur masing-masing bidang kehidupan itu harus tunduk kepada nilai primer, yaitu keadilan. Karena itu, syariat Islam, hanya merupakan sehimpunan nilai-nilai pokok yang sifatnya abstrak dan universal; bagaimana nilai-nilai itu menjadi nyata dan dapat memenuhi kebutuhan untuk menangani suatu masalah dalam periode tertentu, sepenuhnya diserahkan kepada ijtihad manusia itu sendiri.

Pandangan bahwa syariat adalah suatu "paket lengkap" yang sudah jadi, suatu resep dari Tuhan untuk menyelesaikan masalah di segala zaman, adalah wujud ketidaktahuan dan ketidakmampuan memahami sunnah Tuhan itu sendiri. Mengajukan syariat Islam sebagai solusi atas semua masalah adalah sebentuk kemalasan berpikir, atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari masalah; sebentuk eskapisme dengan memakai alasan hukum Tuhan.
Eskapisme inilah yang menjadi sumber kemunduran umat Islam di mana-mana. Saya tidak bisa menerima "kemalasan" semacam ini, apalagi kalau ditutup-tutupi dengan alasan, itu semua demi menegakkan hukum Tuhan. Jangan dilupakan: tak ada hukum Tuhan, yang ada adalah sunnah Tuhan serta nilai-nilai universal yang dimiliki semua umat manusia.
Musuh Islam paling berbahaya sekarang ini adalah dogmatisme, sejenis keyakinan yang tertutup bahwa suatu doktrin tertentu merupakan obat mujarab atas semua masalah, dan mengabaikan bahwa kehidupan manusia terus berkembang, dan perkembangan peradaban manusia dari dulu hingga sekarang adalah hasil usaha bersama, akumulasi pencapaian yang disangga semua bangsa.

Setiap doktrin yang hendak membangun tembok antara "kami" dengan "mereka", antara hizbul Lah (golongan Allah) dan hizbusy syaithan (golongan setan) dengan penafsiran yang sempit atas dua kata itu, antara "Barat" dan "Islam"; doktrin demikian adalah penyakit sosial yang akan menghancurkan nilai dasar Islam itu sendiri, nilai tentang kesederajatan umat manusia, nilai tentang manusia sebagai warga dunia yang satu.

Pemisah antara "kami" dan "mereka" sebagai akar pokok dogmatisme, mengingkari kenyataan bahwa kebenaran bisa dipelajari di mana-mana, dalam lingkungan yang disebut "kami" itu, tetapi juga bisa di lingkungan "mereka". Saya berpandangan, ilmu Tuhan lebih besar dan lebih luas dari yang semata-mata tertera di antara lembaran-lembaran Quran.

Ilmu Tuhan adalah penjumlahan dari seluruh kebenaran yang tertera dalam setiap lembaran "Kitab Suci" atau "Kitab-Tak-Suci", lembaran-lembaran pengetahuan yang dihasilkan akal manusia, serta kebenaran yang belum sempat terkatakan, apalagi tertera dalam suatu kitab apa pun. Kebenaran Tuhan, dengan demikian, lebih besar dari Islam itu sendiri sebagai agama yang dipeluk oleh entitas sosial yang bernama umat Islam. Kebenaran Tuhan lebih besar dari Quran, Hadis dan seluruh korpus kitab tafsir yang dihasilkan umat Islam sepanjang sejarah.
Oleh karena itu, Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah "proses" yang tak pernah selesai, ketimbang sebuah "lembaga agama" yang sudah mati, baku, beku, jumud, dan mengungkung kebebasan. Ayat Innaddina 'indal Lahil Islam (QS 3:19), lebih tepat diterjemahkan sebagai, "Sesungguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses-yang-tak-pernah-selesai menuju ketundukan (kepada Yang Maha Benar)."

Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.
Maka, fastabiqul khairat, kata Quran (QS 2:148); berlombalah-lombalah dalam menghayati jalan religiusitas itu.

Syarat dasar memahami Islam yang tepat adalah dengan tetap mengingat, apa pun penafsiran yang kita bubuhkan atas agama itu, patokan utama yang harus menjadi batu uji adalah maslahat manusia itu sendiri.
Agama adalah suatu kebaikan buat umat manusia; dan karena manusia adalah organisme yang terus berkembang, baik secara kuantitatif dan kualitatif, maka agama juga harus bisa mengembangkan diri sesuai kebutuhan manusia itu sendiri. Yang ada adalah hukum manusia, bukan hukum Tuhan, karena manusialah stake holder yang berkepentingan dalam semua perbincangan soal agama ini.

Jika Islam hendak diseret kepada suatu penafsiran yang justru berlawanan dengan maslahat manusia itu sendiri, atau malah menindas kemanusiaan itu, maka Islam yang semacam ini adalah agama fosil yang tak lagi berguna buat umat manusia.
Mari kita cari Islam yang lebih segar, lebih cerah, lebih memenuhi maslahat manusia. Mari kita tinggalkan Islam yang beku, yang menjadi sarang dogmatisme yang menindas maslahat manusia itu sendiri. []

Ber-Islam Di Era Multikulturalisme

Ber-Islam Di Era Multikulturalisme
Oleh Zakiyuddin Baidhawy, Peneliti Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhamadiyyah Solo (UMS)

Satu pelajaran berharga dari evolusi kebudayaan adalah bahwa realitas multikultural secara langsung dipengaruhi oleh pola pikir manusia sendiri. Dalam konteks ini, spirit sawa' memperoleh momentumnya kembali untuk lahir dengan wajah baru. Tentu saja, melalui pembacaan ulang dan memperdengarkan kembali secara produktif untuk menghadirkan kedalaman makna yang menggairahkan dan mencerahkan kehidupan bersama.

Rentang historis peradaban dunia membawa Islam terus berupaya mencari jalan untuk mengembangkan teknologi yang efektif bagi kehidupan majemuk. Berbagai tradisi filsafat, spiritualitas dan fiqhiyah telah memberi kontribusi penting untuk kemajuan dan pencarian bersama ini. Namun, evolusi kebudayaan sering menjelaskan bahwa gerakan yang diniatkan tidak selalu sesuai dengan cita-cita sosial umat Islam.

Pada faktanya relasi antar agama, antar etnik dan antar budaya – bahkan antar sesama Muslim itu sendiri -- terus mengalami kehancuran ketika perbedaan perspektif, pandangan dan ideologi saling konfrontasi dan berebut kepentingan. Kunci utama agar tetap bertahan tergantung pada cara kita belajar mengelola keragaman dan konflik. Nyata bahwa prioritas untuk menghadapi pluralitas dan multikulturalitas bangsa yang semakin canggih dan percepatannya melalui globalisasi, hanya memperoleh solusi praktis secara kreatif ketika berbagai pandangan dunia Islam dan non-Islam dapat saling berjumpa.

Islam perlu memanfaatkan momentum kebangkitan agama-agama di dunia yang terjadi sejak dekade 70-an, yang berbeda bentuk dan substansinya dari perkembangan pada pertengahan pertama abad 20. Dari segi bentuknya, agama-agama semakin menunjukkan kecenderungan semakin luwes dan umum (general) sebagai lawan dari agama-agama konfesional yang partikular. Dari segi substansinya, agama-agama mulai mengupayakan realisasi komunitas global universal dengan visi dan nasib bersama.

Dalam konteks ini, Islam seyogyanya muncul sebagai agama universal, agama general yang visible dalam penyebaran wacana dan gerakan perdamaian dan peduli terhadap lingkungan hidup. Kesempatan ini pula yang tidak boleh diabaikan Islam untuk menjadi pemain utama arus perubahan dunia menuju kedamaian sejati. Kita berharap, abad 21 akan menyaksikan sebuah kebangkitan religius-spiritual global baik dalam wilayah publik dan privat, meskipun peran marginal dari institusi-institusi keagamaan tradisional masih dapat dilihat dalam kehidupan ini. Di sinilah pentingnya setiap agama mengembangkan dan menguji kembali tradisi masing-masing dalam rangka merespon tantangan ini, tak terkecuali Islam sebagai agama mayoritas.

Belajar dari kegagalan politik penguasa dalam mengelola masyarakat multikultural, paradigma etis Islam multikultural sudah saatnya menjadi sumber kehidupan berbangsa dan bernegara. Islam multikultural adalah sebentuk perspektif teologis tentang penghargaan terhadap keragaman dan "sang lian" (the other). Suatu assessment teologis mengenai agama lain, kultur lain, dan etnik lain, dan penempatannya secara layak dalam wilayah tatanan publik etis. Ia merupakan teologi qur'ani yang membolehkan "sang lian" menjadi "yang lain" sebagai realitas yang secara etis diperkenankan atau bahkan keniscayaan. Inilah perspektif teologis abad 21 yang berkomunikasi melampaui bahasa dan tradisi partikular.

Meminjam istilah Abdulaziz Sachedina, ini merupakan "sensibilitas ekumene" dari teologi multikulturalis yang menggambarkan perhatian dan kepedulian terhadap penduduk dunia, mempengaruhi kehidupan mereka melampaui batas-batas komunitas-komunitas keagamaan dan kultural. Tujuan luhur teologi multikulturalis (summum bonum) adalah pembebasan dari belenggu kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, kezaliman, dan ketidakadilan sebagai akibat dari relasi kolonial atas-bawah, dominasi-subordinasi, superior-inferior, menindas-tertindas baik dalam hubungan antaragama, etnik dan budaya.

Sulam Ragam Rajut Harmoni
Islam pada intinya adalah seruan pada semua umat manusia menuju cita-cita bersama kesatuan kemanusiaan tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan dan agama. Ini berarti bahwa dominasi ras dan diskriminasi atas nama apapun merupakan kekuatan antitesis terhadap tauhid, dan karenanya harus dikecam sebagai kemusyrikan dan sekaligus kejahatan atas kemanusiaan. Pesan disinyalir al-Qur'an 3:64: "Katakanlah: Wahai semua penganut agama (dan kebudayaan)! Mantapkanlah manifesto kesetaraan dan keadilan (melalui dialog) antara kami dan kamu".

Dialog bukan semata percakapan bahkan pertemuan dua pikiran dan hati mengenai persoalan bersama, dengan komitmen untuk saling belajar dapat berubah dan berkembang. "Berubah" artinya dialog terbuka, jujur dan simpatik dapat membawa pada kesepahaman melalui mana prasangka, stereotip, dan celaan dapat dikurangi dan dieliminir. "Tumbuh" karena dialog mengantarkan pada informasi, klarifikasi dari sumber primer dan dapat mendiskusikannya secara terbuka dan tulus. Dialog merupakan pangkal pencerahan nurani dan akal pikiran menuju kematangan cara beragama yang menghargai "kelainan" (the otherness).

Dengan demikian, nilai sawa' adalah menyangkut cara manusia melakukan perjumpaan dengan dan memahami diri sendiri dan dunia lain pada tingkat terdalam, membuka kemungkinan-kemungkinan untuk menggali dan menggapai selaksa makna fundamental kehidupan secara individual dan kolektif dengan berbagai dimensinya.

Secara eksperimental, sawa' tampil ke permukaan dan menjangkau perjumpaan antar dunia multikultural yang begitu luas. Ketika manusia hidup melalui perjumpaan agama-agama, seolah kita mendapatkan pengalaman antarkultural (intercultural experiences). Seperti kita berjuang dengan pola-pola sejarah pertentangan berbagai pandangan dunia. Seperti kita melibatkan secara kreatif kekuatan-kekuatan besar dalam kehidupan sipil di mana pertempuran ideologi dan kehidupan terjadi. Pengalaman multikultural ini membuat kita mampu bangkit dan sadar dengan perspektif baru yang lebih memadai.

Pluralitas dan multikulturalitas untuk dialog, bukan pertentangan, adalah teknologi masa depan yang muncul dari pandangan rasional otentik berbasis wahyu progresif yang merupakan dasar bagi semua pengalaman keagamaan dan kultural. Dialog membawa pada pandangan dunia keagamaan dan kultural yang tidak parsial atau ideologi sipil yang tidak diskriminatif.

Sekali lagi, dialog adalah jiwa universal yang melampaui pertempuran agama-agama, konfrontasi pandangan ilmiah dengan kehidupan agama dan spiritual, alienasi dunia etnik yang destruktif, fragmentasi dan disintegrasi kehidupan batin individu, frustrasi kebudayaan-kebudayaan sekuler. Ini dalam upaya membuka ruang dan waktu publik di mana pluralitas pandangan dunia, perspektif, dan ideologi dapat maju bersama-sama dengan spirit perdamaian, rekonsiliasi, pengampunan, nirkekerasan dan berkeadaban.

Penemuan sangat nyata atas pengalaman multikultural yang demikian intensif merupakan suatu keharusan dan kebutuhan yang tak terelakkan. Penemuan ini adalah dasar dan sumber utama diluar perbedaan dan keragaman (diversity) pandangan dunia dan perspektif. Dengan memperoleh akses pada sumber bagi seluruh kehidupan kultural dan mengalaminya, menjadi sangat jelas bahwa umat manusia sedang berada di tengah-tengah transformasi diri yang mendalam dan kematangan kemanusiaan.

Satu pelajaran berharga dari evolusi kebudayaan adalah bahwa realitas multikultural secara langsung dipengaruhi oleh pola pikir manusia sendiri. Bangsa besar yang kedodoran ini telah terkunci dalam pola pikir egosentris. Pola pikir monolog yang membuat kita menderita dan mengalami kegagalan terbesar dalam mengelola pluralitas dan multikulturalitas. Kita merasakan betapa pedihnya kekerasan dan kehancuran relasi antara sesama atas nama etnik, budaya, politik, ideologi dan bahkan agama.

Dalam konteks ini, spirit sawa' memperoleh momentumnya kembali untuk lahir dengan wajah baru. Tentu saja, melalui pembacaan ulang dan memperdengarkan kembali secara produktif untuk menghadirkan kedalaman makna yang menggairahkan dan mencerahkan kehidupan bersama. Spirit sawa' perlu ditumbuhkan kembali sebagai wahana transformasi diri dan transformasi sosial serta membangkitkan pola pikir dan pola hidup dialogis agar lebih dapat meraih kesejahteraan dan kedamaian dalam kehidupan personal dan komunal. Seluruh kemajuan agama, spiritual, rasional, moral, dan politik dalam evolusi kebudayaan harus dikonstruk dalam kematangan dialog dan perjumpaan multikultural secara kreatif.

Bangkitnya "Second" Muhammadiyah

Zuly Qodir Presidium Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Peserta Tadarus Pemikiran Islam Kaum Muda Muhammadiyah

TANGGAL 18-20 November ini di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) kaum muda Muhammadiyah menggelar "Tadarus Pemikiran Islam: Kembali ke Al Quran, Menafsir Makna Zaman" bisa dikatakan sebagai gebrakan baru di kalangan muda Muhammadiyah sepanjang sejarah berdirinya. Ini merupakan peristiwa kultural yang jarang terjadi buat organisasi Islam yang sangat hegemonik dan formalis.

Perhelatan ini menjadi semakin gereget sebab diadakan oleh komunitas yang menamakan dirinya Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), sebuah komunitas baru yang tidak ada hubungan secara struktural dengan Muhammadiyah, sekalipun personal-personal JIMM notabene aktivis di lingkungan Muhammadiyah. Ini merupakan peristiwa langka yang akan sangat monumental jika nanti benar-benar menemukan bentuknya yang paling terang, yakni sebagai gerakan kultural yang dicirikan oleh kaum intelektual.

Tiga alasan
Sekurang-kurangnya ada tiga alasan mengapa kaum muda Muhammadiyah bangkit. Pertama, melepaskan dominasi kaum konservatif dalam Muhammadiyah. Kaum konservatif telah menjadikan Muhammadiyah sebagai organisasi kader yang kegemukan, namun tidak lagi progresif menangkap tanda-tanda zaman. Muhammadiyah konservatif telah terjebak dalam aktivitas amal usaha praktis yang menjadi semacam ritual dalam Muhammadiyah. Amal usaha dalam Muhammadiyah seakan-akan tanpa kendali sehingga tidak memperhatikan kendali mutu dan paradigma keilmuan yang jelas.

Dalam kasus ini berlomba-lombanya organisasi Muhammadiyah di wilayah maupun daerah mendirikan sekolah, mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi merupakan bukti konkret yang sulit dibantah. Muhammadiyah wilayah maupun daerah berlomba-lomba mendirikan lembaga pendidikan, tetapi tidak jelas mau diapakan dan ke mana setelah berdiri tidak terpikirkan dengan baik. Slogan yang paling santer berkembang adalah yang penting membuat dahulu, soal mengurus belakangan. Ini penyakit yang terjadi di lingkungan Muhammadiyah, apalagi merasa bahwa saat inilah kesempatan bagi Muhammadiyah karena Menteri Pendidikan Nasional adalah orang Muhammadiyah, Prof Malik Fadjar.

Tentu saja berlomba-lomba dalam amal usaha tidak salah, tetapi jika hal ini menjadi ritual organisasi Muhammadiyah menjadi sangat mengkhawatirkan kualitas mutu yang hendak diemban. Di situlah hemat saya karena dalam Muhammadiyah belakangan demikian dominannya "mazhab konservatif" sehingga amal usaha dalam arti fisik menjadi nomor satu, sementara peningkatan sumber daya berkaitan dengan kapasitas keilmuan agak terabaikan.

Karena alasan inilah kaum muda Muhammadiyah mengambil "jalan lain" dari mazhab konservatif, dengan berinisiatif bererak pada level tradisi pemikiran sehingga wajar jika nanti mungkin akan terjadi benturan-benturan dengan kaum konservatif dalam Muhammadiyah. Anak muda Muhammadiyah, bila boleh disederhanakan, sebenarnya berada dalam mazhab progresif-liberatif. Mereka ingin lepas dari dominasi kaum konservatif dengan melakukan kritik internal terhadap Muhammadiyah. Hemat saya, ini sebetulnya bukti kecintaan anak-anak muda Muhammadiyah akan "ibu kandungnya" agar tidak terjebak dalam ritual formalisme organisasi.
Kedua, pertemuan antargenerasi Muhammadiyah dengan generasi di luar Muhammadiyah. Pertemuan yang demikian intensif dalam pertukaran wacana keilmuan, dalam perdebatan yang dikemas dengan santai namun berbobot tentang suatu peristiwa menyebabkan tradisi saling belajar, saling kritik, bahkan saling mengejek menumbuhkan semangat intelektualisme dalam tubuh anak muda.

Pertemuan antargenerasi ini bahkan bukan saja terjadi sesama organisasi atau generasi Muslim, tetapi dengan semua pihak. Mereka dari NGOs, organisasi Kristiani, Buddhis, Hindu, Konghucu, bahkan mereka yang acapkali dianggap kiri telah menumbuhkan apa yang oleh Gramsci disebut sebagai "intelektual organik". Mereka muncul di tengah-tengah masyarakat dengan mengusung tema populis yang sebelumnya agak jarang diangkat ke permukaan oleh kaum tua atau mazhab konservatif dalam Muhammadiyah.

Masalah seperti kesetaraan jender, pluralisme agama, hubungan antaragama, HAM, politik Islam, demokrasi, sampai dengan neoliberalisme menjadi bagian kajian kaum muda antargenerasi ini. Sementara kaum konservatif biasanya lebih memilih tema ibadah ritual (ibadah khusus) yang lebih berorientasi praksis dan amalan sehari-hari. Tentu pilihan kaum konservatif tidak salah, hanya saja hemat saya tidak cukup dengan membahas masalah klasik semacam itu, padahal telah demikian banyak buku/kitab membahas tentang tema tersebut.
Dengan pilihan tema yang tampaknya oposisi biner ini, sudah bisa dipastikan akan terjadi gesekan antara kaum konservatif dengan kaum muda progresif-liberal, sebagaimana di atas saya kemukakan. Tetapi, mengapa kaum muda Muhammadiyah memilih tema yang lebih populis, sebenarnya itulah yang mestinya menjadi perhatian kaum konservatif Muhammadiyah agar kaum konservatif Muhammadiyah tidak menghakimi dan menuduh kaum muda Muhammadiyah sebagai komunitas yang tidak sesuai dengan "suara resmi" Muhammadiyah.

Ketiga, perkembangan wacana keislaman yang demikian pesat. Perkembangan wacana pemikiran Islam yang demikian cepat semakin menjelaskan bahwa dengan gaya konservatif tidak lagi memadai untuk merespons masalah aktual yang terus bergulir maju. Lambatnya, kaum konservatif Muhammadiyah merespons masalah-masalah aktual yang berkembang, salah satunya disebabkan belakangan Muhammadiyah terseret dan sibuk dengan masalah low politics ketimbang high politics. Low politics memang tidak menjadi mazhab terbesar dalam Muhammadiyah, namun "suaranya" lebih lantang dari yang mazhab high politics.

Kaum konservatif lebih mencerminkan dirinya sebagai mazhab Islam murni, sementara mazhab progresif-liberal berada pada Islam kultural atau non-Islam murni. Islam murni memang terkesan lebih rigid dengan ibadah karena didominasi dengan paham fikih, sementara mazhab progresif-liberal tidak rigid dengan fikih. Di situlah acapkali mazhab kaum kultural disebut heretik, bidah, bahkan "kafir".

Mazhab Islam murni menganggap mazhab kultural tidak ar ruju’ ila quran dan As Sunah sehingga amalannya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Bahkan, yang lebih memprihatinkan beberapa bagian dari Islam murni menjadikan Himpunan Putusan Tarjih berada di atas segala-galanya. HPT mutlak tidak bisa dikritik, sekalipun tidak mengerti proses perdebatan yang terjadi dalam Manhaj Tarjih.

Penutup
Di situlah hemat saya kaum muda Muhammadiyah terutama mazhab kultural melakukan terobosan dengan mengangkat gerakan intelektual di tengah arus perubahan politik yang demikian cepat. Anak muda Muhammadiyah ingin mewarnai kembali tradisi progresif-liberatif KH Ahmad Dahlan dalam membawa Muhammadiyah. Kaum muda Muhammadiyah ingin melanjutkan ijtihad kaum modernis pada level yang lebih populis, merespons masalah aktual dan kultural sehari-hari di masyarakat.

Apakah mereka akan berhasil? Terutama dan pertama tergantung semangat ijtihad yang diemban, di samping respons atau dukungan positif kaum konservatif Muhammadiyah. Namun, seandainya kaum konservatif tidak mendukung dengan suara positif, maka kaum muda Muhammadiyah dengan melakukan Tadarus Pemikiran Islam ini telah memulai sebuah gerakan intelektual pada zamannya.

Gerakan intelektual ini akan menjadi tapak-tapak publik bagi orang Muhammadiyah sendiri dan Islam Indonesia. Mereka nanti akan menjadi sebuah kebangkitan second Muhammadiyah pada zamannya. Semoga.

Membumikan Visi Keadilan Sosial Agama

Ahmad Fuad Fanani Presidium Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Peneliti di International Center for Islam and Pluralism (ICIP)

Banyak orang yang berpandangan bahwa agama itu tidak perlu didiskusikan dan diwacanakan, tetapi lebih pas dan tepat untuk diamalkan. Tidak heran jika diskusi agama sering sepi dari peminat karena dianggap tidak menarik dan mengubah keadaan, dan belum tentu mendatangkan pahala.

Jika kita kaji, kemunculan ekstremisme keagamaan dan fanatisme yang mengarah kepada tindakan kekerasan, serta mengancam perdamaian dan demokrasi, adalah salah satu implikasi dari agama yang tidak pernah didiskusikan dan tidak menjadi wacana publik. Sebab, pemahaman keagamaan yang diterima masyarakat menjadi statis, monolitik, mengarah pada klaim kebenaran, dan tidak muncul berbagai alternatif penafsiran. Padahal, sebagaimana ilmu-ilmu lainnya, pengetahuan tentang agama juga harus mengalami evolusi agar dia tidak menjadi beku dan ketinggalan zaman.

Dalam diskusi Lingkar Muda Indonesia (LMI) dan Harian Kompas pada bulan Ramadhan lalu yang mengambil tema "Agama dan Keadilan Sosial dalam Konteks Keindonesiaan", ada pernyataan menarik dari salah sa- tu pembicara, ia mengutip filosof Bernard Russel yang mengatakan bahwa pada dasarnya semua agama itu berbahaya, sebab darinya banyak lahir konflik antaragama, agama dengan ilmu pengetahuan, relasi agama dan negara, dan sebagainya. Kita tentu tidak boleh marah jika pernyataan agama gagal menjawab tantangan kemanusiaan itu benar-benar berangkat dari kenyataan.

Sangat mungkin terjadi yang salah bukan teks agamanya, sebab semua agama pada dasarnya mengajarkan keadilan, keluhuran, dan larangan berbuat kejahatan. Namun, jurang antara agama, idealisme agama, dan pemeluknya yang gagal memahami pesan dasar agamanya memang terjadi di banyak agama. Tidak heran jika agama seringkali menjadi tertuduh atas berbagai konflik sosial, politik, dan kemanusiaan yang terjadi.

Kikir lahirkan pemimpin
Di samping itu, ada satu hal yang menjadi unsur utama dan pertama dalam kehidupan dan keberagamaan kita, namun jarang sekali dihayati dan diimplementasikan, yaitu keadilan sosial yang sesungguhnya menjadi inti dari ajaran semua agama. Keadilan sosial ini memang dengan mudah kita temukan dalam kitab-kitab suci semua agama. Namun, dalam kehidupan nyata ajaran tentang keadilan sosial ini memang jarang dibumikan dalam praktik kehidupan. Bahkan, dalam sistem pemerintahan dan model kekuasaan di hampir semua agama pun jarang sekali yang menjadikan keadilan sosial sebagai ruh perjuangan dan dasar gerak dalam menjalankan kekuasaan. Para agamawan pun, meski banyak juga yang fasih dan gemar menyuarakan keadilan sosial sebagai wirid harian dan tema utama ceramahnya, masih banyak yang belum bisa mentransformasikan soal itu dalam kehidupan sehari-hari guna membentuk moralitas publik yang menjunjung tegaknya kesejahteraan rakyat kecil dan prinsip keadilan.

Hal lain yang menyebabkan agama dan kaum agamawan gagal menjawab tantangan kemanusiaan dan peradaban adalah karena kita tidak membaca dan belajar dari sejarah. Akibat dari tidak membaca sejarah, usaha dalam membina dan membangun bangsa ini bisa gagal. Karenanya, dalam soal lautan kemiskinan yang terbentang luas selama berabad- abad, hingga kini belum banyak para agamawan yang berpikir untuk mencari jalan keluarnya. Pembangunan yang tidak mengacu pada prinsip keadilan sosial pun masih banyak dipertahankan dan menjadi proyek kesayangan para pejabat.

Dan di atas itu semua, masalah kepemimpinan bangsa ini sangat memprihatinkan karena gelombang besarnya keruh. Sebab, yang diurus hanya kekuasaan dan politik masih banyak dijadikan sebagai profesi dan mata pencarian para politisi yang kebanyakan rabun ayam. Rahim bangsa ini masih kikir melahirkan pemimpin yang kreatif. Meski keadaan begitu parah dan memprihatinkan, agama melarang kita untuk berputus asa dan larut dalam kesedihan yang tidak menemukan ujung pangkalnya. Maka, kita harus berbuat sebaik-baiknya, seserius-seriusnya, dan semaksimalnya.

Tegas pemihakannya
Pada keadaan seperti itu, semestinya para agamawan berfungsi dan berdiri paling depan dalam menggelorakan semangat keadilan sosial dalam melindungi kaum miskin, membela rakyat kecil, dan memprotes pemerintah yang korup dan mengejar kepentingan politiknya sendiri. Agama harus mampu menjawab persoalan nyata yang dihadapi rakyat, misalnya kenapa masih banyak yang tidak bisa makan dan tidak bisa sekolah? Maka, jangan sampai para agamawan justru menjadi pelegitimasi rezim dan pemberi stempel terhadap kebijakan yang dikeluarkan orang kaya, negara, dan kelompok masyarakat yang merugikan rakyat kecil.

Para agamawan harus siap dan rela jika menjadi tidak populer, tidak berlimpah materi, jauh dari kekuasaan, serta kuat menahan diri terhadap segala godaan yang kerap datang merayu dan menggoyahkan iman. Perselingkuhan antara politisi, pengusaha, dan agamawan akan membuat masyarakat awam skeptis dan sinis terhadap peran luhur agama. Agamawan justru harus berani mengingatkan penguasa dan pengusaha yang batil.

Farish Noor dalam artikelnya yang berjudul "What is the Victory of Islam? Towards a Different Understanding of the Ummah and Political Success in the Contemporary World"" (2003) menyatakan, kemenangan sebuah agama dan agamawan bukanlah terletak pada bagaimana menampilkan agama yang "murni" dan yang lainnya dianggap salah, namun justru pada komitmennya untuk menjunjung tinggi kemanusiaan, keadilan sosial, pluralisme, dan hak- hak kaum minoritas dan kesetaraan jender.

Oleh karenanya, persoalan agama dan keadilan sosial jangan hanya dijadikan wacana saja, tetapi harus dibumikan dalam kehidupan nyata. Agama dan kaum agamawan harus betul-betul mendukung suasana yang kondusif bagi tegaknya keadilan sosial. Kolusi penguasa-pengusaha yang merugikan kehidupan rakyat jelata harus tak jemu dikecam oleh para pemuka agama.
Jangan sampai ada tokoh agama dan pengikutnya merasa diri paling peduli dan teguh menegakkan keadilan sosial serta menentang kezaliman, padahal mereka sendiri justru berbuat zalim dengan tidak menghargai pemeluk agama lain dan gemar menghakimi keyakinan orang lain. Agama harus betul-betul peduli pada orang yang menderita dan tegas pemihakannya terhadap nasib orang-orang yang papa dan yang termarjinalkan.

Terorisme dan Pemilu Australia

Akh Muzakki
Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya, Kandidat PhD di University of Queensland Australia

Alkisah, seorang dokter Muslim berkebangsaan India yang bekerja di Gold Cost Hospital Queensland, Australia, ditangkap oleh Polisi Federal Australia awal Juli 2007. Dokter pria itu bernama Mohamed Haneef. Penangkapan itu didasarkan pada tuduhan sebagai penyokong aksi dan jaringan terorisme. Dokter Haneef ditangkap di rumahnya tak lama setelah terjadinya bom di London dan Glasgow akhir Juni lalu.

Dalam pemeriksaan terhadap kasus bom itu ditemukan bahwa Dr Sabeel Ahmed, salah seorang yang diindikasikan terlibat dalam peledakan bom tersebut, memiliki handphone dengan SIM card atas nama Haneef. Dalam pelacakan selanjutnya diperoleh data bahwa Haneef telah setahun lebih meninggalkan London dan kini bekerja sebagai dokter salah satu rumah sakit terkenal di Queensland Australia.

Tuduhan yang dilontarkan adalah bahwa Dokter Haneef memiliki kaitan dengan aksi terorisme di London. Meski kini dia berada di Australia, SIM card dari handphone milik individu yang diindikasikan sebagai pelaku peledakan terdaftar atas nama dia dengan sejumlah identitas pribadinya. Dia pun akhirnya dikenai pasal antiterorisme dengan asas ‘kesalahan atas dasar adanya keterkaitan’ (guilt by association).

Rezim penguasa Australia pun seakan menemukan amunisi baru dari kasus Haneef untuk meningkatkan popularitasnya yang terancam oleh kubu oposisi. Karena adanya asas guilt by association dimaksud, penguasa Australia seakan tidak mempedulikan fakta hukum yang disampaikan oleh Haneef dan tim pengacaranya. Menurut versi Haneef, dia memberikan SIM card itu kepada sepupunya di London saat meninggalkan Inggris karena di dalamnya masih terdapat sisa pulsa yang cukup banyak. Hal itu dilakukan oleh Haneef tanpa pretensi apa-apa, apalagi hal-hal yang terkait dengan terorisme. Dalam pernyataan di The Australian (19/07/2007), dia bahkan menentang keras aksi terorisme dalam bentuk apapun. Alih-alih, dia justru meyakini dan mempromosikan Islam yang moderat dan damai.

Publik Australia pun terbelah dalam kasus Haneef ini. Sebagian semakin tersadar bahwa terorisme kini tidak saja dekat kepada mereka, tetapi sudah berada di tengah-tengah mereka. Sebagian yang lain menuduh pemerintah Australia yang berasal dari kubu Partai Liberal telah memanfaatkan kasus Haneef sebagai pendulang keuntungan politik (political expediency) bagi kelanggengan kekuasaannya yang terancam oleh kubu oposisi pimpinan Partai Buruh. Terlepas dari perbedaan respons publik, pertanyaan yang penting untuk diajukan adalah mengapa kasus terorisme menjadi bola politik panas bagi perengkuhan kekuasaan menjelang pemilu di akhir 2007 ini?

Minoritas IslamUntuk kasus Australia, isu terorisme kini menjadi komoditas politik yang bernilai sangat tinggi dibandingkan isu-isu lainnya. Ada dua hal yang menjadi penyebabnya. Pertama, mayoritas penduduk Australia bukan pemeluk Islam. Muslim di Negeri Kanguru ini hanya sekitar satu persen (Abdullah Saeed, 2003). Sedangkan politik kekuasaan adalah persoalan pencitraan. Dan, proses demokrasi yang ada di dalamnya sangat menyadari pentingnya mempertimbangkan suara mayoritas. Karena itu, kebijakan yang menyangkut kelompok minoritas cenderung tidak sesensintif jika menyinggung kepentingan kelompok mayoritas.

Kedua, Australia dikelilingi oleh beberapa negara yang berpenduduk mayoritas Muslim. Sebut saja Indonesia, Afghanistan, dan Pakistan. Oleh karena itu, aksi kekerasan atau terorisme yang pelakunya diidentifikasi sebagai Muslim memberikan konteks yang kuat bahwa Australia sedang berada di tengah ancaman wilayah yang rentan terhadap aksi terorisme. Pengalaman Bom Bali 1, 2, dan Kuningan Jakarta semakin mempertajam persepsi seperti ini di publik Australia.

Karena itu, terorisme bagi publik Australia seakan menjadi ancaman riil bagi kepentingan mereka. Lantaran itu pula, penanganan terhadapnya cenderung menjadi komoditas politik yang berharga mahal. Akibat sensitifnya terorisme bagi kepentingan publik lokal Australia, apapun cenderung akan dilakukan oleh rezim yang sedang berkuasa meskipun kritik dan kecaman tetap dihadirkan oleh berbagai pihak.

Dalam kasus Haneef, misalnya, berbagai kelompok seperti Amnesty International dan sejumlah aktivis hak asasi manusia lainnya menganggap rezim penguasa Australia bersama polisi federalnya telah melanggar hak asasi manusia (HAM). Selain karena perlakuannya yang cenderung kasar, menyiksa dan melanggar HAM, Haneef selaku tertuduh dikenai undang-undang antiterorisme secara membabi buta.

Dalam kaitan ini, perspektif pakar legislasi antiterorisme dari University of Wolonggong Australia, Dr Nadirsyah Hosen, sangat menarik dan penting untuk diperhatikan oleh pemerintah manapun yang mempunyai masalah dengan terorisme, termasuk Australia. Menurut Nadirsyah yang merupakan putera ulama terkemuka Indonesia, Prof Ibrahim Hosen, asas ‘kesalahan atas dasar adanya keterlibatan’ jauh lebih tepat, baik secara teoretis maupun praktis, dibanding guilt by association. Di samping cenderung tidak melanggar HAM, asas dimaksud bisa memberikan kekuatan hukum yang tinggi. Sehingga, penanganan terhadap berbagai bentuk aksi terorisme semakin mudah mengalami pembuktian di muka hukum.

Di tengah terorismeSalah satu kritik keras berbau kecaman yang dilontarkan oleh Partai Buruh selaku kubu oposisi terhadap rezim pimpinan Partai Liberal adalah keterlibatan pasukan militer Australia dalam perang Irak. Argumentasi yang mendasari kecaman itu sangat simpel dan rasional. Yakni, apa keuntungan bagi Australia dengan terlibat bersama Amerika dan Inggris dalam perang Irak?Dalam pandangan kubu Partai Buruh, kalau alasannya adalah ancaman terorisme, penguasa Australia pimpinan John Howard dinilai salah alamat oleh Kevin Rudd, pemimpin Partai Buruh. Rudd menegaskan, kalau memang alasannya adalah ancaman terorisme, mengapa Australia tidak memfokuskan saja perhatiannya pada ancaman terorisme dari wilayah Afghanistan. Mengapa begitu? Karena Usamah bin Ladin yang mengendalikan organisasi Alqaidah disinyalir kuat masih bersembunyi di wilayah itu. Dan, wilayah Afghanistan justru sangat dekat dengan Australia dibanding dengan Irak.

Kritik dan kecaman ini mengangkat popularitas kubu Partai Buruh. Rasionalitas politik publik semakin disadarkan oleh Partai Buruh bahwa penguasa pimpinan Partai Liberal telah melakukan kesalahan besar bagi kepentingan lokal publik Australia serta kepentingan kemanusiaan umum. Sebagai hasilnya, simpati publik pun cenderung semakin diberikan kepada kubu Partai Buruh sebagai pemimpin kubu oposisi.

Partai Liberal pun sadar atas popularitasnya yang terkalahkan oleh Partai Buruh. Dan, penangan atas tuduhan kasus terorisme ala Haneef dijadikan oleh rezim penguasa sebagai jawaban atas kecaman kubu oposisi, serta sekaligus modal perengkuhan simpati publik demi terkereknya popularitas. Akankah kasus Haneef ini akan menjadi penyelamat kubu penguasa pimpinan Partai Liberal dari ancaman kubu oposisi pimpinan Partai Buruh yang popularitasnya sedang tinggi?

Ikhtisar- Isu terorisme telah menjadi alat politik yang baik bagi Partai Buruh Australia untuk mendongkrak citranya.- Lewat isu tersebut, Partai Buruh secara meyakinkan menunjukkan bahwa kebijakan Partai Liberal yang sedang berkuasa itu keliru.- Isu terorisme menjadi efektif karena kebanyakan publik Australia menganggap bahwa terorisme merupakan ancaman riil bagi mereka.

Problem Metodologis Dalam Kajian Islam

Problem Metodologis Dalam Kajian Islam
Membangun paradigma penelitian keagamaan yang komprehensif

By Masdar Hilmy

Abstract: In depicting religious phenomena, there has been on-going debates bringing up the polarization of the dichotomy between textual and contextual approaches. Basically, the two approaches have methodological weaknesses, for each can not figure out the religion (Islam) comprehensively. The first, the textual approach, tends to view religious phenomena merely on the level of core element. On the other hand, the contextual approach can likely reduce the substantial element of religion, for it tends to view religion on the level of periphery. The weaknesses, thus, open new awareness of religious studies formed in the synthesis of the two approaches. As a result, there arise a textual-contextual approach. Methodologically speaking, this combined-approach enables us to obtain the holistic picture of the religion and to escape from its distorted-meaning.

Kata Kunci: pendekatan tekstual, kontekstual, fenomena agama, polarisasi dikotomis.

Pendahuluan
Kajian holistik dan komprehensif tentang Islam --termasuk di dalamnya dimensi historisitas dan normativitas-- merupakan bidang yang belum tersentuh secara maksimal oleh kalangan ilmuwan, baik Barat maupun Muslim. Kajian holistik dimaksud menunjuk adanya kombinasi ideal antara perspektif tekstual dan kontekstual. Jika pendekatan tekstual penting untuk mengkaji Islam normatif, pendekatan kontekstual urgen dalam rangka menafsirkan Islam normatif tersebut ke dalam wacana kesejarahannya (konteks ruang dan waktu).

Barat, yang selama ini dikenal dengan keunggulan metodologis dan kekritisannya, sejauh ini masih mengandalkan perspektif kontekstual dalam melihat fenomena Islam dengan segala atributnya. Perspektif tadi tidak jarang mengakibatkan terjadinya proses distorsi dan reduksi di kalangan mereka terhadap makna substantif Islam itu sendiri sehingga salah dalam mengambil kesimpulan tentang Islam. Generasi awal orientalis Barat yang sangat mengedepankan perspektif tersebut di antaranya Ignaz Goldziher, Arthur Jeffery, dan Richard Bell. Sementara itu, generasi mutakhir tampaknya sudah menyadari kelemahan mendasar tersebut dan berusaha menutupinya dengan tidak saja menampilkan wajah Islam secara lebih bersahabat dan humanis, melainkan juga terlibat langsung di dalam dinamika Islam sebagai pihak insider. Kalangan orientalis yang termasuk kategori ini adalah Wilfred Cantwell Smith, Frederick M. Denny, Richard C. Martin, dan masih banyak yang lainnya.

Timur, lebih spesifik lagi Muslim, sebagian besar masih melihat fenomena agamanya dari kacamata normatif-doktrinal sehingga tidak jarang melahirkan sikap apologetik (intellectual obstinacy) secara berlebihan. Sikap tersebut, pada taraf tertentu, sampai pada klaim kebenaran (truth claim) yang tidak beralasan. Kaum Muslim yang masih terjebak dalam kubangan perspektif sepihak (one-sided) ini pada umumnya menjustifikasi penafsirannya tentang Islam sebagai yang paling benar sembari menuding kelompok lain --lebih-lebih kalangan "kafir" orientalis--sesat. Sikap seperti ini bukan saja mengerdilkan makna Islam secara substansial, tetapi juga menampik realitas ideologis-historis bahwa Islam adalah agama yang inklusif dan kosmopolitan yeng tidak lepas dari dialektika kesejarahan.

Polarisasi dikotomis di atas jelas akan menimbulkan pemahaman parsial terhadap makna substantif Islam dan, pada gilirannya, melahirkan proses reduksi dan distorsi makna. Satu-satunya cara untuk mengatasi problem epistemologis ini adalah dengan menggabungkan kedua metode atau perspektif di atas dalam satu wacana yang komprehensif dan holistik. Tulisan ini berusaha mengupas urgensi penggabungan kedua metode kajian Islam tersebut dengan memunculkan istilah "tekstual-kontekstual." Pendekatan tekstual-kontekstual itu sendiri pada mulanya dipopulerkan oleh Frederick M. Denny melalui karya-karya kontemporernya tentang Islam, terutama kajian ritual. Signifikansi pendekatan tekstual-kontekstual ini, menurut Denny, terletak pada upaya yang seimbang antara pemahaman normatif-doktrinal di satu sisi, dan kontekstualisasi dengan unsur-unsur kesejarahan di sisi lain. Upaya pertama mengacu kepada teks-teks suci Islam, baik berupa wahyu --al-Qur’a>n dan H{adi>th-- maupun buku-buku klasik karangan para `ulama>’ terdahulu dan kontemporer, sedangkan upaya kedua bergerak pada konteks sosial, politik, dan kultural. Hanya melalui penggabungan tersebut, pemahaman komprehensif tentang Islam bisa dicapai.

Islam Sebagai Sebuah Sistem
Jika dikehendaki gambaran yang utuh, Islam harus dilihat dari kacamata yang utuh pula. Sebagai sebuah sistem, Islam tersusun dari dua elemen dasar yang membentuk sebuah entitas tunggal; masing-masing tidak bisa dipisah-pisah. Elemen tersebut adalah doktrin atau kredo yang bersifat dogmatik dan berperan sebagai elemen inti (core element) di satu sisi, dan peradaban yang bersifat historis dan kontekstual sebagai elemen permukaan (peripheral element) di sisi lain. Disebut elemen inti karena ia menjadi ruh substantif dari sebuah agama (Islam) yang tanpa kehadirannya agama tidak akan mempunyai arti apa-apa, sementara peradaban menempati posisi permukaan mengingat bentuknya yang secara fisik bisa diobservasi oleh kasat mata bila tampak ke wilayah permukaan. Kombinasi ini barangkali bisa dianalogkan dengan sebuah jasad hidup yang disemangati oleh eksistensi ruh yang bersemayam di dalamnya yang kondisinya bisa saja berubah sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu.

Sekalipun analogi ruh-jasad di atas mungkin saja tidak terlalu tepat sebagai alat untuk mengilustrasikan hubungan antara doktrin dan peradaban Islam, watak dasar agama –Islam-- sebagai sebuah sistem cukup terwakili oleh paradigma dialektis ini. Dari segi doktrinal, Islam membawa pesan-pesan transendental yang permanen dan tidak berubah-ubah, namun ketika pesan-pesan transendental tersebut sampai ke tangan umatnya, wajah Islam bisa beragam sejalan dengan beragamnya interpretasi akibat perbedaan persepsi. Perbedaan interpretasi beserta segala konsekuensinya itu belakangan membentuk peradaban Islam yang sangat heterogen dan dinamis, memenuhi konteks ruang dan waktu. Aspek yang terakhir ini menjadi faktor signifikan bagi proses pembentukan identitas Islam secara sosial, politik, dan kultural yang memiliki dialektika sejarah berbeda-beda, namun secara prinsipil memiliki semangat teologis yang sama.

Dengan demikian, Islam harus dilihat sebagai sebuah sistem dialektis yang meliputi aspek idealitas dan realitas; mencakup dimensi belief (creed) yang berupa tawh}i>d dan diimplementasikan ke dalam dimensi praxis yang meliputi ritual, budaya, dan tradisi keislaman lainnya. Sebagai pangkal dari seluruh rangkaian ibadah dalam Islam, tawh}i>d bukan saja menyangkut persoalan proposisi-proposisi teologis semata, melainkan juga sebuah implikasi logis yang bersifat kreatif, dinamis, dan menyejarah: pengakuan satu Tuhan yang direfleksikan dengan sikap pasrah dan pelayanan konkret (`iba>dah).

Sebagai konsekuensi lebih jauh dari pemahaman di atas, aspek idealitas Islam sering disebut sebagai, meminjam istilah Fazlur Rahman, "Islam normatif" atau, istilah Richard C. Martin, "Islam formal" yang ketentuannya tertuang secara eksplisit di dalam teks-teks Islam primer. Sementara itu, aspek praxis menyangkut dimensi kesejarahan umat Islam yang beraneka ragam sesuai dengan keragaman faktor eksternal yang melingkupinya. Aspek yang terakhir ini bersifat subyektif sebagai akibat dari akumulasi pengetahuan Muslim secara turun-temurun dan dialog akulturatif antara "Islam formal" dan budaya lokal Muslim tertentu.

Itulah sebabnya Islam tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang saja seraya menafikan sudut pandang lainnya. Apabila Islam hanya dilihat dari satu sisi saja, akibat yang ditimbulkan mudah ditebak: reduksi dan distorsi makna. Adanya pihak "luar" yang selama ini menciptakan stereotipe negatif tentang Islam, hemat penulis, salah satunya disebabkan oleh faktor ini. Di dalam kelompok intern umat Islam sendiri, yang dalam sejarahnya selalu diwarnai oleh perang klaim kebenaran berkepanjangan, juga akrab dengan faktor one-sidedness ini. Sebagai akibatnya, gambaran Islam yang utuh –tanpa diwarnai oleh sikap apologetik dan truth claim-- rasanya akan sulit dicapai. Untuk mengatasi problem ini, sekali lagi, tidak lain adalah dengan kerangka pikir terpadu melalui pendekatan tekstual dan kontekstual sekaligus.

Pendekatan Tekstual
Disebut pendekatan tekstual karena ia menekankan signifikansi teks-teks sebagai sentra kajian Islam dengan merujuk kepada sumber-sumber suci (pristine sources) dalam Islam, terutama al-Qur’a>n dan H{adi>th. Pendekatan ini sangat penting ketika kita ingin melihat realitas Islam normatif yang tertulis, baik secara eksplisit maupun implisit, dalam kedua sumber suci di atas. Selain al-Qur’a>n dan H{adi>th, kajian tekstual juga tidak menafikan eksistensi teks-teks lainnya sebagaimana ditulis oleh para intelektual dan `ulama>’ besar Muslim terdahulu dan kontemporer.

Selain tawh}i>d sebagai pilar paling penting dalam Islam, `iba>dah mah}d}ah (dimensi vertikal) merupakan bagian dari Islam normatif yang ketentuan hukumnya sudah diatur secara jelas (qat}’i>) dalam kedua teks suci Islam. `Iba>dah mah}d}ah tidak memerlukan ijtihad untuk mencari penafsiran lebih jauh; ia hanya perlu diamalkan oleh kaum Muslim. Dalam bahasa ritualnya, ia sering disebut sebagai arka>n al-Isla>m yang meliputi shaha>dah, s}ala>t, puasa, zakat dan ibadah haji bagi yang mampu. Bukan saja rukun Islam yang membentuk Islam normatif, kesalehan teologis lainnya yang tertuang dalam al-Qur’a>n dan H{adi>th juga sering menjadi rujukan utama ibadah dalam Islam dan, dengan begitu, bisa dilihat dengan menggunakan pendekatan pertama ini.

Dalam aplikasinya, pendekatan tekstual barangkali tidak menemui kendala yang cukup berarti ketika dipakai untuk melihat dimensi Islam normatif yang bersifat qat}’i> sebagaimana tersebut di atas. Persoalan baru muncul ketika pendekatan ini dihadapkan pada realitas ibadah umat Islam yang tidak tertulis secara eksplisit, baik di dalam al-Qur’a>n maupun H{adi>th, namun kehadirannya diakui dan, bahkan, diamalkan oleh komunitas Muslim tertentu secara luas. Contoh yang paling nyata adalah adanya ritual tertentu dalam komunitas Muslim yang sudah mentradisi secara turun-temurun seperti slametan (tahlilan atau kenduren).

Cukup dilematis, memang, bagi pendekatan tekstual untuk sekadar menjustifikasi bahwa ritual-ritual tersebut merupakan bagian dari ajaran Islam atau tidak. Sebagai bagian dari diskursus akademis, tujuan mengkaji ritual-ritual populer dalam Islam memang bukan untuk membuktikan apakah mereka merupakan bagian dari ajaran Islam atau tidak. Diskursus semacam ini tentu saja sudah out of date untuk tetap dikedepankan dalam konteks analisis ilmiah-akademis dan, oleh karenanya, tidak perlu dipertahankan dalam tradisi intelektual. Sebaliknya, yang menjadi concern akademis di sini adalah bagaimana menempatkan ritual populer tersebut dalam kerangka proporsional yang tidak berbuntut klaim atau pembenaran sepihak.

Untuk menjawab persoalan di atas, barangkali ada baiknya menengok ancangan tentatif yang disusun oleh Mark R. Woodward dalam menjawab disparitas distingtif antara Islam normatif/formal dan Islam populer/lokal. Ancangan tersebut tersusun secara kronologis atas empat unsur dasar. Pertama, Islam universalis. Alasan mengapa Islam universalis menempati urutan tertinggi adalah karena di dalamnya tercakup ajaran-ajaran Islam yang secara qat}’i> sudah digariskan di dalam al-Qur’a>n dan H{adi>th. Masuk ke dalam kategori ini adalah arka>n al-Isla>m, tawh}i>d dan kredo religius lainnya yang bersifat taken for granted. Terhadap kategori ini, umat Islam pada umumnya sepakat meyakininya sebagai ultimate truth yang tidak memerlukan ta’wi>l lebih jauh.

Kedua, Islam esensialis. Penggunaan terma "esensialis" ini pada mulanya dipinjam oleh Woodward dari Richard C. Martin untuk menunjuk modus praktik-praktik ritual yang sekalipun tidak dimandatkan secara eksplisit oleh teks-teks universalis (al-Qur’a>n dan H{adi>th), namun secara luas diamalkan oleh umat Islam atas dasar justifikasi substansial dari semangat kedua sumber suci tersebut. Masuk ke dalam kategori ini adalah upacara tahunan mawli>d al-nabi>, bacaan-bacaan dhikr yang diamalkan oleh h}alaqah-h}alaqah s}u>fi>, perayaan kaum Shi>‘ah di setiap bulan Muh}arram untuk memperingati kematian H{usayn, juga modus-modus ritual yang secara mentradisi dipraktikkan untuk memuliakan para wali>, ziarah ke tempat-tempat suci, serta tradisi kenduren/slametan/tahlilan yang tersebar luas di negara-negara Muslim seperti India, Malaysia, Bangladesh, Pakistan, dan Indonesia. Islam esensial, dengan begitu, merupakan kategori Islam yang sangat inklusif.

Ketiga, Received Islam. Secara harfiah, received Islam bisa diterjemahkan sebagai Islam --sebagaimana-- yang diterima atau dipahami. Secara jujur, Woodward tidak menghadirkan deskripsi yang memuaskan tentang kategori yang ketiga ini. Ia hanya menyebut bahwa received Islam menjadi jembatan antara kategori universalis dan esensialis dengan Islam lokal. Lebih jauh, ia menambahkan bahwa contoh konkret dari kategori ini adalah dominasi ajaran s}u>fi> yang mempengaruhi perkembangan Islam lokal di Jawa. Islam jenis ini bersifat dinamis; ia berubah seiring dengan perubahan pengetahuan atau penafsiran terhadap teks-teks esensialis.
Keempat, Islam lokal. Islam lokal bisa didefinisikan sebagai seperangkat teks tertulis, tradisi oral atau ritual yang kehadirannya tidak dikenal di daerah asal turunnya Islam (Saudi Arabia). Menurut Woodward, naskah-naskah atau tradisi mistik kejawen merupakan contoh paling jelas adanya Islam jenis ini serta merupakan implikasi logis sebagai hasil interaksi antara kebudayaan lokal dan received Islam. Signifikansi H{adi>th di Indonesia dan kenyataan bahwa sebagian elemen-elemen penting budaya Jawa berasal dari sumber-sumber historis pra-Islam merupakan bukti kuat adanya interaksi kebudayaan lokal dengan Islam universalis dan esensialis.

Dari ancangan yang diberikan oleh Woodward di atas ada kesan bahwa pendekatan tekstual terkesan tidak memiliki batasan yang jelas untuk membedakan mana yang disebut "Islami" dan mana yang tidak. Justru dari sini muncul kesan seolah-olah pendekatan ini bisa diaplikasikan di wilayah mana saja sepanjang masih dalam lingkup ritual Islam. Ketidakjelasan batasan mengenai Islam ini bisa jadi merupakan kelemahan pendekatan tekstual, dan bisa pula sebaliknya, keistimewaan. Disebut kelemahan karena pendekatan tadi tidak menawarkan jawaban yang pasti terhadap diskursus keislaman tertentu. Namun demikian, dalam tataran akademis, batasan definitif untuk menarik garis demarkasi antara mana yang Islami dan mana yang tidak bukan merupakan persoalan mendasar. Justru yang menjadi persoalan penting dalam konteks ini adalah bagaimana sebuah fenomena ritual dalam Islam –dari ritual formal sampai ritual lokal/populer-- bisa dipahami secara proporsional sehingga tidak memunculkan klaim teologis sepihak.

Pendekatan Kontekstual
Kehadiran pendekatan kontekstual penting untuk memahami Islam dalam kerangka konteksnya, baik ruang dan waktu. Pendekatan yang pertama kali dipopulerkan oleh D. Eickelman ini merupakan perangkat komplementer yang bisa menjelaskan motif-motif kesejarahan dalam –ritual-- Islam untuk memperkuat asumsi bahwa Islam merupakan entitas komprehensif yang melingkupi elemen normatif dan elemen praxis. Terutama dalam rangka memahami fenomena ritual lokal/populer dalam Islam, teori-teori sosio-kultural berikut menjadi bagian penting dari pendekatan kontekstual.

Pertama, Teori Fungsional. Teori yang dikembangkan oleh B. Malinowski ini mengasumsikan adanya hubungan dialektis antara agama dengan fungsinya yang diaplikasikan melalui ritual. Secara garis besar, fungsi dasar agama diarahkan kepada sesuatu yang supernatural atau, dalam bahasa Rudolf Otto, "Powerful Other." Partisipan yang terlibat dalam sebuah ritual bisa melihat kemanjuran agama sebagai sarana meningkatkan hubungan spiritualnya dengan Tuhan karena pada dasarnya manusia secara naluriah memiliki kebutuhan spiritual.

Dengan demikian, teori fungsional melihat setiap ritual dalam agama memiliki signifikansi teologis, baik dari dimensi psikologis maupun sosial. Aspek-aspek teologis dari sebuah ritual keagamaan seringkali bisa ditarik benang merahnya dari simbol-simbol religius sebagai bahasa maknawiah. Pemaknaan terhadap simbol-simbol keagamaan tersebut sangat bergantung kepada kualitas dan arah performa ritual serta keadaan internal partisipan hingga sebuah ritual bisa ditujukan untuk "memuaskan" Tuhan atau kebutuhan spiritualnya sendiri.

Dalam konteks sosiologis, sebuah ritual juga merupakan manifestasi dari apa yang disebut oleh Durkheim sebagai "alat memperkuat solidaritas sosial" melalui performa dan pengabdian. Tradisi slametan merupakan contoh paling konkret dari ritual jenis ini sebagai alat untuk memperkuat keseimbangan masyarakat (social equilibrium), yakni menciptakan situasi rukun –setidaknya-- di kalangan para partisipan. Kalangan fungsionalis yang mengakui asumsi ini adalah Clifford Geertz, James Peacock, Robert W. Hefner, Koentjaraningrat, dan masih banyak lagi.

Pendek kata, teori fungsional melihat fungsi ritual (agama) dalam konteks yang lebih luas, baik dalam konteks spiritual maupun esksistensi kemanusiaan. Ia bisa dipahami sebagai sebuah jawaban terhadap pertanyaan mengapa ritual (agama) itu ada atau diadakan. Jawaban tersebut tentu saja muncul karena umat Islam membutuhkannya sebagai perangkat untuk mendapatkan berkah suci dari Tuhan.

Kedua, Rite de Passage. Secara harfiah, teori yang dikembangkan oleh Arnold van Gennep ini bisa diartikan sebagai "ritual penahapan" yang menandai perpindahan status seseorang dari yang satu ke yang lain, baik perubahan status sosial maupun transformasi spiritual. Ritual jenis ini melibatkan perubahan, baik status eksternal maupun internal, rekonfirmasi sebuah kondisi sebagaimana yang diharapkan tetapi belum sempat dialami atau diartikulasikan dalam hidup seseorang.

Sejalan dengan perspektif rite de passage di atas, slametan bisa juga dipahami sebagai ritual yang menandai perpindahan status seseorang sepanjang hidupnya, mulai dari kelahiran, akikah, khitan, perkawinan, dan kematian. Setiap penahapan dalam hidup manusia menandai perubahan status sosial dari yang satu ke yang lain. Sebagai misal, ritual perkawinan menandai perubahan status sosial dari masa lajang menuju masa keluarga; ritual kematian menandai perpindahan status manusia dari alam dunia ke alam barzakh, dan seterusnya.

Ketiga, Teori Struktrual. Di mata kalangan strukturalis, terutama Claude Lévi-Strauss sebagai salah seorang pelopornya, ritual (agama) diasumsikan memiliki hubungan struktural dengan mitos-mitos lokal tertentu. Terlepas dari persoalan orisinalitas antara mitos dengan ritual, pendekatan ini melihat keduanya memiliki hubungan resiprokal; mitos eksis pada dataran konsepsi dan ritual pada dataran aksi –atau "homology," dalam bahasa Lévi-Strauss. Dengan demikian, strukturalisme melihat ritual sebagai bagian dari sebuah logical order dalam bangunan sistem kultural; ia mengikuti struktur formal dari sebuah sistem tertutup. Dalam konteks ini, teori model of ("model dari") dan model for ("model bagi") Geertz bisa diterapkan untuk lebih memperjelas perspektif teori ini. Jika Lévi-Strauss melihat mitos dan ritual bisa saling berganti posisi satu sama lain, Geertz melihat mitos sebagai wujud dari teori model of sebuah ritual dan ritual sendiri menjadi model for-nya mitos.

Tradisi slametan, lagi-lagi, menjadi sebuah fenomena menarik untuk memperkuat aplikasi teori ini yang mengasumsikan adanya hubungan struktural antara slametan itu sendiri dengan mitos-mitos lokal tertentu sehingga ia menjadi bagian integral dari kebudayaan Islam Jawa. Sebagaimana yang pernah diteliti oleh Woodward, tradisi ritual slametan terkait erat dengan mitos Majapahit-Demak sehubungan dengan memburuknya kondisi agrikultur di awal masa kerajaan Demak. Menurut hasil penelitian Woodward di wilayah Yogyakarta pada awal dekade 1980-an, tradisi slametan pernah dipraktikkan oleh masyarakat Jawa jauh sebelum Islam hadir di tanah Jawa, terutama pada masa Majapahit. Tradisi slametan itu muncul sebagai sarana ampuh untuk "meminta" kepada "sang Pencipta" agar hasil-hasil pertaniannya bisa melimpah dan tidak menemui kendala. Ketika Jawa dikuasai oleh kerajaan Demak, praktik slametan ini tidak dilanjutkan. Namun demikian, pemutusan tradisi slametan ini ternyata tidak memenuhi harapan masyarakat, bahkan fenomena kelaparan tidak mampu untuk dielakkan meski tradisi itu diputus. Atas perintah sultan, Sunan Kalijaga kemudian menghidupkan kembali tradisi slametan dengan mengganti formatnya dengan komponen-komponen yang lebih Islami serta dijadikan sarana efektif untuk mengajarkan Islam kepada khalayak ramai. Dari situlah kemudian slametan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan –Islam—Jawa dan menjadi media akulturasi antara Islam dengan budaya setempat.

Penutup
Dalam konteks diskursus keislaman, pendekatan tekstual merupakan pilihan prioritas yang kehadirannya tidak bisa ditawar-tawar lagi. Ia merupakan conditio sine quanon dalam rangka melihat wajah Islam dari sumber-sumber teks suci, terutama al-Qur’a>n dan H{adi>th. Kehadiran teks-teks yang ditulis oleh intelektual atau `ulama>’ kenamaan di bidang tertentu dalam Islam juga tak kalah pentingnya, terutama ketika ditemukan justifikasi dari kedua teks suci tersebut terhadap sebuah ritual.

Namun demikian, kehadiran kajian tekstual akan lebih berbobot bila klaim-klaimnya bisa ditopang oleh kajian-kajian kontekstual, bukan untuk mencari klaim sepihak, melainkan untuk menempatkannya secara proporsional dalam konteks akademis an-sich. Memang harus diakui, pendekatan yang disebut terakhir bukan merupakan produk murni umat Islam, tetapi bisa dipakai untuk melihat nuansa "lain" dari wajah Islam dengan tanpa mereduksi makna keislaman seorang Muslim. Pendekatan kontekstual diperlukan sekadar untuk memperkuat asumsi bahwa di dunia ini tidak hanya berlaku satu versi saja, melainkan banyak versi yang menggambarkan tentang Islam. Karena itu, sikap yang terjebak ke dalam kubangan truth claim apologetik bisa dihindarkan.

Mengikis Praktik Diskriminasi Etnis Tionghoa

Oleh: Choirul Mahfud
Penulis adalah dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya.

Saat ini Rancangan Undang-Undang Anti Diskriminasi masih dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Keberadaan Undang-Undang ini memang sangat dibutuhkan di tengah maraknya praktek diskriminasi yang terus saja terjadi dari dulu hingga sekarang. Di antara kelompok yang selalu menjadi korban praktik diskrimasi adalah etnis Tionghoa yang sudah merasakan diskriminasi sejak zaman pra-kemerdekaan hingga saat ini.

Sebetulnya, bahasan mengenai etnis Tionghoa bukan masalah baru, tapi hal ini masih penting didiskusikan kembali sebab praktik diskriminasi etnis Tionghoa masih terus terjadi. Lebih dari itu, praktik diskriminasi juga telah lama dijalankan, utamanya di masa Orde Baru (Orba). Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa di masa Orba itu, pintu kebebasan dan saluran komunikasi publik khususnya terhadap etnis Tionghoa sangat tertutup rapat. Tak heran, kalau peran warga etnis Tionghoa dalam berbagai bidang, khususnya politik, sangat terbatas.

Seiring tumbangnya Orba, suasana hidup berbangsa mulai berubah ditandai dengan pintu kebebasan berdemokrasi dan berpendapat mulai dibuka. Namun demikian, pola dan praktik diskriminasi di era reformasi seperti saat ini bukan berarti sudah tidak ada masalah. Justru masih menyisakan masalah. Hanya saja, bentuk dan ragam polanya telah berubah.

Belum lama ini, penulis melakukan wawancara khusus dengan Aliptojo Wongsodihardjo, Ketua Umum Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Jatim. Dalam wawancara itu, Aliptojo mengatakan bahwa beberapa tahun terakhir, di Surabaya, diskriminasi etnis Tionghoa masih terus saja terjadi. Mulai dari diskriminasi oleh pemerintah kota dengan adanya pemberlakuan kebijakan 'tidak adil' yaitu Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dalam urusan kependudukan dan publik meski peraturan perundang-undangan sudah mengatur tapi dalam realitasnya masih saja dilanggar. Meski tak kelihatan secara kasat mata praktik diskriminasi dalam berpolitik juga terjadi. Karenanya, ia berharap praktik diskriminasi bisa dikikis sedikit demi sedikit hingga akhirnya tak ada perbedaan dan praktik diskriminasi (Aliptojo, 2007).

Dalam berpolitik, mengapa warga etnis Tionghoa hingga kini tidak (mau) banyak terjun ke dunia politik bukan karena warga etnis Tionghoa tidak (mau) berpolitik, namun akibat sistem yang diskriminatif yang sesungguhnya membuat etnis ini tidak (bisa) terjun ‘bebas berpolitik’. Tidak saja dalam konteks politik nasional tetapi juga lokal, seperti Pilkada/ Pilgub. Dalam pilkada di Surabaya lalu, misalnya, sangat tampak warga etnis Tionghoa masih 'takut’ dalam berpolitik. Karena, perasaan was-was masih terus menghantui warga etnis ini.

Secara historis, citra negatif etnis Tionghoa memiliki akar yang sangat panjang. Menurut pakar dan peneliti sejarah LIPI, Asvi Warman Adam, mengatakan bahwa secara historis, sejak masa sebelum kedatangan bangsa Eropa, terutama pada masa kolonial. Masalah China (baca: Tiongkok) (Chineesche Kwestie) baru menghangat di koloni ini sejak 1900-an ketika timbul gerakan nasionalisme kaum peranakan China di Indonesia.

Hal berbeda tapi agak serupa diungkap Andjarwati Noordjanah (2004) dalam bukunya “Komunitas Tionghoa di Surabaya”. Andjarwati menengarai praktik diskriminasi terhadap etnis Tionghoa hingga kini masih menggejala baik secara struktural maupun kultural. Secara kultural, dalam benak penduduk “pribumi” nampaknya masih tersimpan stereotip yang memang “sengaja” dibuat sejak berabad-abad silam, bahwa warga etnis Tionghoa adalah warga “kelas dua”.

Anggapan itulah yang bagi warga etnis Tionghoa merupakan satu contoh tindakan diskriminatif yang barangkali tidak disadari oleh warga pribumi. Sebetulnya, penggunaan istilah pribumi dan non-pribumi atau “kelas kedua” di sini tidak tepat, namun karena dalam realitasnya masih saja dipakai, sengaja atau tidak, akibatnya terjadilah stereotiping. Karenanya, barangkali tepat bila istilah-istilah tersebut tidak seharusnya dipakai atau disebut lagi dalam interaksi sosial. Pasalnya, ungkapan-ungkapan semacam itu terasa bisa menyakiti pihak-pihak tertentu.

Berbeda dengan Andjarwati, Aliptojo melihat akar masalah merebaknya praktik diskriminasi di negeri ini, termasuk di Jawa Timur, sesungguhnya bukan lebih disebabkan oleh masyarakat (kultural), tetapi disebabkan oleh faktor struktural di mana negara melalui produk hukumnya yang dianggap masih berbau “kolonial” melanggengkan praktik diskriminasi. Pasalnya, masyarakat Indonesia, khususnya Jawa Timur, meski berbeda suku, budaya, agama, etnis dan bahasa, faktanya justru tidak terlalu mempermasalahkan keragaman tersebut. Masalahnya justru ada pada hukum yang secara langsung maupun tidak mendorong orang untuk menafsirkan pada hal-hal yang mengarah pada pola dan praktik diskriminatif.

Misal saja, secara substansial beberapa di antaranya adalah praktik dan pola diskriminatif dalam undang-undang yang mengatur masalah dispenduk (Dinas Kependudukan). Nah, di sini warga etnis Tionghoa masih saja dipersulit dalam mengurus urusan asal usul dan status kewarganegaraan. Akibatnya, tidak sedikit warga etnis Tionghoa yang belum memiliki status kewarganegaraannya hingga saat ini.

Karena masalahnya lebih pada aspek hukum, maka dalam konteks semacam ini langkah pertama yang harus ditempuh adalah hukum yang berbau diskriminatif itu perlu segera diubah dengan peraturan atau hukum baru yang lebih terbuka dan anti diskriminatif terhadap etnis apapun dan siapapun, khususnya etnis Tionghoa. Anggota dewan tentu saja harus memperhatikan kasus dan masalah ini dalam membahas Rancangan Undang-Undang Anti Diskriminasi yang sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Bagi masyarakat secara umum, barangkali bisa ikut serta dalam menghapus praktik diskriminasi di tanah air dengan tidak berbuat sesuatu yang mengarah pada praktik diskriminatif.

Selain langkah tersebut di atas, jalan lain yang bisa ditempuh adalah melalui penyelenggaraan model pendidikan anti-diskriminatif. Tujuan pendidikan ini adalah memberikan pemahaman bahwa praktik diskriminasi itu tidak baik dan perlu dihindari dengan membiasakan hidup tidak saling bermusuhan dan mendiskriminasi hanya disebabkan karena berbeda suku, etnis, agama dan budaya.

Dalam konteks wawasan nasionalisme, model pendidikan ini juga menanamkan spirit nilai-nilai kebangsaan yang akhir-akhir ini semakin mengikis di tengah praktik cinta tanah air dan bangsa yang mulai hilang dan tampak sangat ritual formalistik. Karenanya, cinta tanah air dan bangsa perlu dipahami dan dipraktikkan mulai sejak dini, terutama usia-usia kanak-kanak dan masyarakat juga bisa membiasakan diri dengan kegiatan yang mengarah pada pola hidup demokratis, multikulturalis, dan nasionalistik.

Singkat kata, pendidikan dan hukum adalah dua entitas penting yang mampu memperkuat terciptanya kesadaran masyarakat. Kesadaran ini menjadi penting sebab kesadaran menuntun pikiran. Pikiran akan menuntun pada tindakan. Jadi, tindakan diskriminasi sesungguhnya akar masalahnya lebih pada basis kesadaran ketimbang yang lain. Hukum tidak lain lahir dimaksudkan karena belum sadarnya masyarakat akan sesuatu hal. Karenanya, dibuatlah aturan-aturan. Demikian pula pendidikan, esensinya barangkali juga karena masyarkatnya belum begitu terdidik dalam pengertian luas.

Akhir kata, hukum dan pendidikan selain mampu berperan sebagai media penyadaran juga sebagai juru selamat bagi seluruh umat manusia yang menjadi korban diskriminasi ras, etnis, agama, bahasa, suku dan status sosial. Hal itu saya kira menjadi pekerjaan rumah (PR) pemerintah yang belum digarap secara baik. Wallahu a’lam.***

Advancing sharia for symbols or welfare?

Mohammad Yazid, Jakarta

In the name of sharia, and after saying a greeting, several youths claiming to be students of an Islamic boarding school in North Aceh tried to spray paint on the tight pants of several women. They accused the visitors at Cafe SC in front of Cut Meutia Buket Rata General Hospital, Blang Mangat district, of violating Islamic law by not wearing Muslim women's clothes.

The raid, which occurred earlier this month, met with the cafe owner's resistance, and one of the youths was injured. Local police captured some of the other youths later in the day.
In retaliation, the next day hundreds of Islamic students traveling in three trucks attacked the cafe, destroying some equipment and a sedan parked outside. The cafe owner was injured in the incident, Serambi Indonesia reported.

Taking the law into one's hands in the name of Islam is nothing new among some members of the Muslim community. Such incidents have taken place not only in Aceh, where sharia law prevails, but also in other areas.

From legal point of view, such actions can never be accepted, even with the excuse of the lack of stern measures on the part of law enforcers. Any action bent on anarchy considerably damages Islam's image as a peaceful religion.

Many of those who act in the name of Islam think of the following the teaching of Prophet Muhammad in one of his hadiths (words and deeds): "Anyone of you who sees something unbecoming, should change it with your hands, if you fail do it with your words, and if you fail again do it with your heart, which is the most temperate faith." They interpret the phrase "should change it with your hands" as a justification to commit violence.

In the same way, those who manage entertainment places to make a living are not to blame either because seeking a fortune also constitutes an obligation in Islam. The problem is that both teachings in Islam can be in conflict with each other. While the security apparatus cannot fully perform its duties and rules are not properly observed by the society, there are at least some indications contributing to the fact.

First, against the background of group interests, certain Muslims are trapped in an overly simplistic comprehension of hadiths, thus creating the impression of Islam permitting violence. In fact, the teaching "(you) should change it with your hands" signifies a suggestion to guide people with wrongful behavior to the right path, instead of doing a violent act. The phrase "with your words" means the use of a wise reminder at the right time, rather than harsh remarks uttered emotionally, despite the yells Allah Akbar (God is great) to give an Islamic impression.
Second, the issue of entertainment centers providing gambling and prostitution arenas is more affected by difficulties arising from socio-economic origins. It is an urban phenomenon found not only in both poor and rich countries but also in countries with Muslim and non-Muslim populations.

Therefore, the approach to be adopted should be socio-economic in nature, such as the need to localize entertainment places as once proposed by Ali Sadikin, then governor of Jakarta, in spite of the criticism launched by the Muslim community, branding him a maksiat (immorally oriented) governor. Malaysia can serve as a model of a Muslim-majority country with successful localization of gambling dens.

The religious approach that relies on the emphasis that some deeds are wrong or right proves to be less effective, much less so the assumption that people with wrongful deeds must be scrapped as junk by force. It is because they also have a simple argument corroborated by daily realities, as Jakartans say, Mencari yang haram saja susah apalagi yang halal (It's hard to make even an indecent living, let alone doing a decent job). Though the entertainment world in Aceh and other major cities involves a lot of Muslims, a religious approach finds it difficult to change them.

The tension prevailing between those opposed to entertainment spots and the people involved in this world has reflected the confusion experienced by the Muslim community in practicing Islamic teachings and dealing with realities of life. On the one hand, part of the Muslim community has to struggle for Islamic values strictly followed. On the other, amid the difficulties resulting from the economic crisis and poverty now plaguing the country, some people, including Muslims, have no choice but to be involved in prostitution and gambling.

Ironically still, some Muslims are considerably worried that they are not regarded as an Islamic group, as long as their community remains involved in practices assumed to spoil Islamic symbols, like prostitution and gambling. Conversely, they are less concerned about corruption, which has a greater impact on living conditions through problems such as widespread poverty and poor quality of education and health. Likewise, minimum attention is given to legal observance, solidarity and mutual respect among citizens, which are stressed in Islamic teachings.

Consequently, it is only proper to conclude that the Islamic community today gives priority to symbols over the essence of religion. This is noticed in the application of sharia law with greater emphasis on Islamic symbols like the ability to recite Koran becoming a requirement for the selection of civil servants and gubernatorial candidates, and the obligation to wear head scarves, which is actually more affected by faith rather than coercive regulations.

Meanwhile, the most fundamental problems in Aceh and other cities are poverty and uneven education. Furthermore, the most important essence of the application of Islamic values is to create justice, prosperity and appreciation for pluralism, which should unnecessarily utilize symbols or names in an Islamic tone. It is an inadequate understanding of this essence of Islamic values that frequently gives rise to the controversial application of sharia in society, let alone in areas outside Aceh.

The writer is a staff member of The Jakarta Post's opinion desk. He can be reached at yazid@thejakartapost.com.

Senin, 30 Juli 2007

Mengkaji Ulang Islam Multikultural

Choirul Mahfud
*Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS) Surabaya; yang telah menulis buku Pendidikan Multikultural (Pustaka Pelajar;2006).


Pascatragedi 11 September 2001, diskursus Islam terus menjadi topik aktual dan menarik perhatian banyak kalangan di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Di tanah air, misalnya, pertarungan wacana dan ideologi Islam kembali mencuat ke permukaan yang diwakili dua kutub yang saling berseberangan: antara kubu fundamental di satu pihak dan kubu liberal di lain pihak.

Dalam perdebatan wacana ini, tentu saja beda pendapat dan konflik sosial pun acapkali tidak bisa dihindari. Bahkan, klaim kebenaran (truth claim), tuduh-menuduh, penghakiman dan pengkafiran seolah menjadi santapan sehari-hari dalam kehidupan beragama di negeri ini.

Potret di atas merupakan realitas empirik yang sering dijumpai beberapa tahun lalu, meski akhir-akhir ini wacana tersebut agak redup akibat kalah isu dengan wacana politik, infotainment selebriti dan peristiwa bencana alam di berbagai pelosok tanah air. Namun begitu, bukan berarti perdebatan Islam di nusantara menjadi stagnan, justru dengan ramainya wacana tersebut menjadikan perdebatan agama terus menguat dan kian ramai. Setidaknya hal itu ditandai dengan munculnya banyak kelompok kajian, aliran keagamaan, dan golongan-golongan dalam semua agama, khususnya di Islam.

Islam Multikultural
Dalam konteks tersebut, memperbincangkan diskursus Islam multikultural di Indonesia menemukan momentumnya. Sebab, selama ini Islam secara realitas seringkali ditafsirkan tunggal bukan jamak atau multikultural. Padahal, di Nusantara realitas Islam multikultural sangat kental, baik secara sosio-historis maupun glokal (global-lokal). Secara lokal, misalnya, Islam di nusantara dibagi oleh Clifford Geertz dalam trikotomi: santri, abangan dan priyayi; atau dalam perspektif dikotomi Deliar Noer, yaitu Islam tradisional dan modern; dan masih banyak lagi pandangan lain seperti liberal, fundamental, moderat, radikal dan sebagainya. Secara sosio-historis, hadirnya Islam di Indonesia juga tidak bisa lepas dari konteks multikultural sebagaimana yang bisa dibaca dalam sejarah masuknya Islam ke Nusantara yang dibawa oleh Walisongo.

Kini, realitas multikultural tersebut kadangkala menantang kita untuk bisa bersikap lebih arif dan bijak. Di satu sisi, misalnya, mungkin kita merasa bangga dengan munculnya banyak aliran, kelompok dan golongan dalam Islam, sehingga dengan leluasa bisa memilih dan bergabung dengan aliran yang banyak tersebut. Tetapi, pada sisi lain sebagian kita pasti ada yang bingung dan resah akibat munculnya ragam kelompok dalam Islam di Indonesia belakangan ini, seperti Ahmadiyah, Lia Eden, Yusman Roy, JIL, JIMM, Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir dan sebagainya.

Memang, perbincangan Islam multikultural bukan wacana baru karena sebelumnya sudah banyak pakar Muslim telah melakukan kajian ini. Dalam buku Democratic Pluralism in Islam, misalnya, Abdul Aziz Sachedina pernah merekam dan mengungkap wajah pluralistik Islam baik secara normatif maupun historis. Bagi dia, secara normatif, sumber ajaran Islam yakni Al-Qur’an dan Hadits telah menjelaskan perlunya kenal-mengenal (ta`aruf) antarsuku bangsa dan agama (Q.S. al-Hujurat:13). Bahkan, Hassan Hanafi pernah melontarkan kritik yang dituangkan dalam buku al-Yasar al-Islami (Kiri Islam), tentang perlunya rekonstruksi pemikiran Islam dan pemihakan kaum tertindas akibat perbedaan status, gender dan kultur.

Selanjutnya, menjadikan Islam multikultural sebagai topik atau wacana masih menarik dan perlu disebar-luaskan. Hal ini setidaknya karena tiga alasan. Pertama, situasi dan kondisi konflik. Di tengah-tengah keadaan yang sering konflik, Islam multikultural menghendaki terwujudnya masyarakat Islam yang cinta damai, harmonis dan toleran. Karenanya, cita-cita untuk menciptakan dan mendorong terwujudnya situasi dan kondisi yang damai, tertib dan harmonis menjadi agenda penting bagi masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Di tanah air, kasus konflik sosial di Poso, Ambon, Papua dan daerah lain merupakan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan bersama.

Kedua, realitas yang bhinneka. Ke-bhinneka-an agama, etnis, suku, dan bahasa menjadi keharusan untuk disikapi oleh semua pihak, terutama umat Islam di Indonesia. Sebab, tanggung jawab sosial bukan hanya ada pada pemerintah tapi juga umat beragama. Dengan lain kata, damai-konfliknya masyarakat juga bergantung pada kontribusi penciptaan suasana damai oleh umat beragama, termasuk kaum Muslimin di negeri ini. Robert N. Bellah, sosiolog agama dari Amerika serikat, mengatakan bahwa melalui Nabi Muhammad SAW di Jazirah Arab, Islam telah menjadi peradaban multikultural yang amat besar, dahsyat dan mengagumkan hingga melampaui kebesaran negeri lahirnya Islam sendiri, yaitu Jazirah Arab. Pada konteks ini, toleransi dan sikap saling menghargai karena perbedaan agama, sebagaimana diungkap Wilfred Cantwell Smith, perlu terus dijaga dan dibudayakan.

Ketiga, norma agama. Sebagai sebuah ajaran luhur tentu agama menjadi dasar yang kuat bagi kaum agamawan pada umumnya untuk membuat kondisi agar tidak carut-marut. Dalam hal ini, tafsir agama diharapkan bukan semata-mata mendasarkan pada teks, tetapi juga konteks agar maksud teks bisa ditangkap sesuai makna zaman. Perdebatan antara aliran ta`aqqully yang mendasarkan pada kekuatan rasio/akal dan aliran ta`abbudy yang menyandarkan pada aspek teks telah diwakili oleh dua aliran besar, yaitu Mu`tazilah dan Asy`ariyah, bisa menjadi pelajaran masa lalu yang amat menarik.


Prospek ke Depan
Di tengah situasi konflik akhir-akhir ini, masa depan Islam multikultural tampaknya bisa menjadi wacana alternatif atas problematika Islam kontemporer. Lebih-lebih di Indonesia yang masyarakatnya majemuk, plural dan beragam dalam berbagai hal, wacana Islam multikultural bisa dikatakan strategis untuk ditawarkan.

Keberadaan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, NU dan organisasi keagamaan lainnya di era multikultural seperti saat ini sudah seharusnya memposisikan diri sebagai koordinator bukan instruktur. Fungsi koordinatif ketimbang instruktif bagi lembaga keagamaan di negeri ini menjadi penting karena dominasi salah satu pihak atas organisasi keagamaan akan menimbulkan konflik dan awal munculnya diskriminasi social, dan secara langsung atau tidak langsung telah menghilangkan eksistensi salah satu pihak.


Penghargaan atas pihak lain dengan jalan membuka dialog bersama guna membuat dan memutuskan kebijakan (decision making) menjadi penting. Tentu saja hal itu dilakukan dalam persoalan-persoalan yang relevan dan berkaitan erat dengan masalah dan kepentingan hidup bersama.

Selain itu, pihak negara sudah seharusnya tidak banyak ikut terlibat dalam urusan-urusan agama dan keluarga hingga yang sangat pribadi, seperti soal poligami. Isu poligami yang ramai kembali akibat berita A’a Gym menikah dengan Teh Rini membuat negara ikut-ikutan campur tangan. Menurut hemat penulis, biarlah persoalan agama lebih banyak diserahkan kepada kaum agamawan, sedangkan pemerintah sebaiknya hanya memberi pelayanan sebaik-baiknya dalam urusan-urusan publik, bukan malah ikut campur tangan dalam masalah agama hingga persoalan kecil.

Negara dan agama sudah seharusnya tetap menjalin komunikasi dan sinergi dalam mengelola realitas multikultural di negeri ini. Komunikasi merupakan jalan dialog sebagai upaya saling mengenal dan memahami maksud-tujuan eksistensi dan relasi agama-negara. Hal itu juga merupakan sinergi sebagai gerakan bersama dalam mewujudkan cita-cita masyarakat berkeadilan dan berkesetaraan, sesuai visi UUD 1945 dan Pancasila.

Akhirnya, gagasan Islam multikultural menghendaki kesediaan menerima perbedaan lain (others), baik perbedaan kelompok, aliran, etnis, suku, budaya dan agama. Lebih dari sekadar merayakan perbedaan (more than celebrate multiculturalism), Islam multikultural juga mendorong sinergi untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, damai, toleran, harmonis dan sejahtera. Pertanyaan akhir sebagai penutup tulisan ini adalah, beranikah kita ber-Islam secara multikultural?[]