Maulid Nabi Muhammad SAW dalam khazanah tradisi Islam acapkali diperingati dengan beragam ritual-religius. Peringatan dan ritualisme-religius tersebut di satu sisi merupakan cerminan cinta sekaligus penghormatan kaum Muslim kepada sosok pribadi yang memesona, yakni nabi dan rasul terakhir dalam Islam, Muhammad SAW. Di sisi lain, upaya mengingat jejak dan kisah Nabi Muhammad SAW yang biasa diperingati setiap 12 Rabiul Awal itu, seharusnya bukan sekadar menjalankan tradisi dan ritualisme sesaat semata. Juga bukan kesempatan melantunkan kata pujian kepada Baginda Nabi, sebagaimana tertulis dalam Diba’i, Barzanji atau Simtud Durar yang demikian akrab dalam telinga umat Islam di seantero Indonesia.
Lebih dari itu semua, momentum Maulid Nabi kali ini seharusnya perlu dijadikan moment untuk refleksi, koreksi, intropeksi dan revitalisasi ajaran-ajaran nabi Muhammad SAW bagi perubahan sosial. Muaranya adalah tak lain dalam upaya menapaki jalan hidup demi meraih dan merengkuh ridha Allah SWT. Sebab untuk apa merayakan dan memeringati, jika berubah menjadi ajang pelestarian tradisi lokal yang penuh aroma mistis berbau klenik dan terkesan irrasional yang justru bertentangan dengan syara’ dan akidah Islam.
Sebagai kelompok mayoritas, kaum Muslimin di Indonesia hendaknya menyadari dan menghayati (kembali), bahwa spirit Maulid Nabi (seharusnya) bukan pada prosesi ritual yang meriah seperti yang selama ini kita lakukan. Akan tetapi, bagaimana kita bisa memaknai ulang esensi substantifnya dan pada ranah esoteris religiositasnya agar kita bisa meraskan elan vital ajaran Islam bagi kehidupan modern hari ini.
Era globalisasi kini telah merangsang perkembangan di berbagai aspek kehidupan. Belum lagi belakangan selalu muncul bayang-bayang ancaman radikalisme dan terorisme yang selama ini bergulir, bikin hati setiap orang takut dan tidak tenteram. Dalam konteks semacam ini, maka tantangan dakwah Islam yang dihadapi para penggiat dakwah Islam menuntut para da’i untuk mengimbangi kecerdasan objek dakwah dan mencari solusi jitu-nya.
Menuju Social Change
Refleksi atas Maulid Nabi Muhammad kali ini, muncul sebuah pertanyaan yang mendesak untuk segera dijawab, "Benarkah agama (Islam) memiliki spirit perubahan sosial atau justru sebagai instrument yang dapat dimanfaatkan untuk mempertahankan status quo ?"
Manakala kita menelaah sirah nabawiyah, maka kita akan jumpai kisah nabi-nabi utusan Allah senantiasa datang membawa perubahan besar dalam struktur sosial kemasyarakatan di mana nabi itu berada. Agama dan ajaran yang mereka bawa adalah agama pembebasan, agama revolusioner, agama yang terus menerus “meneror” pengikutnya untuk terus menabur benih perjuangan dan perbaikan untuk menjadi pemimpin di muka bumi, dan menegakkan kebaikan, kedamaian, kesejahteraan dan keadilan sosial bagi semua.
Dalam perspektif sosial-politik, kisah Muhammad bisa dilihat dan dipahami sebagai sosok politikus andal, pemimpin adil, egaliter, toleran, humanis, non-diskriminatif dan hegemonik. Beliau mampu membawa tatanan masyarakat sosial Arab kala itu menuju suatu tatanan masyarakat sosial yang sejahtera dan tentram.
Bila disimak proses reformasi sosial-kultural yang berhasil direalisasikan oleh Muhammad dalam tatanan sosial masyarakat Arab kala itu, dengan mengubah citra sosial-kultural masyarakat Arab yang awalnya sarat dengan segala bentuk diskriminasi dan hegemoni sosial-kultral, baik dalam tatanan ras, golongan, jender, bahkan agama menuju suatu tatanan sosial masyarakat Arab yang egaliter.
Sistem sosial-politik yang cenderung merangkul kaum diskriminatif dan mengubah perspektif sosio-kultural negatif masyarakat Arab kala itu, terhadap kaum yang berada dalam strata sosial-ekonomi bawah merupakan salah satu bentuk strategi politik dan ketaladanan sosial-politik sosok Muhammad sebagai seorang pemimpin umat.
Dalam konteks inilah, tak heran bila Michael H Hart, dalam buku fenomenalnya The 100, a Ranking of the Most Influential Persons in History (1978) menempatkan Nabi Muhammad SAW pada urutan pertama sebagai tokoh paling berpengaruh sepanjang sejarah manusia. Menurut Hart, Muhammad adalah satu-satunya orang yang berhasil meraih keberhasilan luar biasa baik dalam hal agama maupun hal duniawi. Dia memimpin bangsa yang awalnya terbelakang dan terpecah belah, menjadi bangsa maju yang bahkan sanggup mengalahkan pasukan Romawi di medan pertempuran.
Nah, dari kisah nabi Muhammad tersebut sebetulnya bisa diambil hikmah bagaimana kita bisa berjihad melakukan perubahan sosial ke arah yang lebih baik, bukan sebalinya ke arah buruk. Tentu saja, jihad mulia ini tidak segampang membalik telapak tangan, akan tetapi akan mudah bila ada kemauan sembari melakukan perbuatan dan tindakan nyata.
Manakala dijumpai kesenjangan jarak antara ranah idealitas dengan realitas yang ada. Maka, masalah sosial keagamaan acapkali terjadi karena ada yang tidak sesuai dengan harapan yang telah ditorehkan dalam iman agama dengan realitas bagaimana agama tersebut diamalkan di tengah-tengah masyarakat. Kita lihat dalam praktiknya -terutama dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia- keberagamaan kita menampilkan wajah ambiguitas. Adanya perbedaan yang signifikan antara keshalehan pribadi dengan keshalehan sosial.
Keshalehan pribadi yang kemudian diharapkan menular, menyebar untuk terciptanya kondisi sosial yang shaleh tidak jua terwujud. Realitas agama hanya terjebak pada dimensi keshalehan pribadi yang berorientasi pada kesucian perorangan. Ukurannya hanya sekedar persembahan belaka, tapi tidak mampu memperbaharui perilaku sosial. Ini terjadi karena pemeluk agama masih terejebak pada persoalan kuantitas keimanan, bukan pada kualitas keimanannya. Agama hanya dihayati sekedar ritual belaka, tetapi dirinya terasing terhadap realitas kehidupan kemasyarakatan.
Itulah realitasnya, penganut agama gagal mempraktikkan agama yang sesungguhnya, agama yang memiliki iman yang memihak pada nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kesejahteraan. Perubahan orientasi keagamaan seharusnya lebih difokuskan pada nilai-nilai kemanusiaan, sehingga spirit perubahan sosial dalam agama benar-benar dapat muncul ke permukaan.
Orang yang benar-benar religius (Islam Kaffah) adalah orang yang memiliki kepekaan dan sensitifitas yang tinggi pada penderitaan kaum miskin yang tertindas. Kemiskinan memang menjadi persoalan krusial yang kemudian wajib untuk diperangi, karena kemiskinan mendekatkan orang pada kekufuran. Maka melawan kemiskinan adalah perintah sekaligus mungkin jihad kabir.
Kualitas religius inilah yang akan membantu umat beragama memiliki kesadaran religiusitas yang berkualitas dan berimplikasi pada perubahan sosial. Kualitas religiusitas semacam ini yang akan bisa membawa nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan semakin nyata. Singkat kata, agama sudah seharusnya menjadi inspirasi untuk melakukan tindakan revolusioner menuju perubahan kehidupan yang lebih bermakna. Semoga.***
Penulis: Choirul Mahfud, pecinta jejak rasululullah, warga Muhammadiyyin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar