Jumat, 21 Maret 2008

Dahlan Iskan: Revolusi Manajemen Haji ala Maftuh Basyuni

Ketika banyak pihak mengecam Departemen Agama yang dianggap bertanggung jawab atas musibah kelaparan jamaah haji Indonesia di tanah suci tahun ini, ada satu tulisan di media yang mengungkap gebrakan revolusi Menteri Agama di departemennya. Tulisan yang ditulis oleh Dahlan Iskan, chairman PT Jawa Pos itu bercerita tentang perubahan-perubahan yang berusaha dibuat oleh Maftuh Basyuni, Menteri Agama, untuk membersihkan korupsi, permainan dan fasilitas bagi pejabat. Termasuk sekelumit cerita di balik kasus katering jamaah haji Indonesia.

Catatan: Dahlan Iskan
Saya tidak akrab dengan Menteri Agama Maftuh Basyuni. Hanya sekali ngobrol ketika sama-sama dalam pesawat kepresidenan ke luar negeri dan ketika minggu lalu hanya sempat bersalaman saat bersama-sama makan soto mi di Istana Merdeka setelah pertemuan dengan presiden dan wakil presiden.

Tapi, saya terkesan dengan "revolusi" yang dia lakukan di departemennya. Segala macam yang berbau korupsi, permainan, dan fasilitas, dia bersihkan. Tentu banyak sekali yang sakit hati -setidaknya ngedumel.

Bahkan, tokoh-tokoh yang dulu bisa mendapatkan dana dari Departemen Agama untuk kepentingan organisasi mereka, kini tidak bisa lagi. Dia tidak peduli terhadap permintaan fasilitas dari siapa pun. Termasuk dari tokoh-tokoh nasional sekali pun. Dia juga tidak mau menaikkan haji para kiai, ulama, pejabat-pejabat pemerintah atas fasilitas Departemen Agama. Tidak ada lagi istilah Haji Abidin (atas biaya dinas).

Semua katebelece tidak ada artinya di zaman menteri yang satu ini. Dari mana pun datangnya katebelece itu. Banyak sekali orang yang menilai, Maftuh sebagai "sableng" dan "sok jagoan". Tapi, dia memang merasa malu kalau Departemen Agama tidak bisa memberikan contoh sebagai departemen yang bersih. Apalagi, kalau sampai pejabatnya masuk penjara karena korupsi -yang dilarang agama itu.

Rupanya, menteri tidak hanya ingin melakukan "revolusi" di dalam negeri. Dia juga ingin mencoba "revolusi" di luar negeri. Tentu karena dia pernah begitu lama tinggal di Arab Saudi sehingga merasa tahu persis lika-liku di sana. Termasuk berbagai permainan yang terjadi selama musim haji.

Misalnya saja dana yang harus dibayarkan ke muassasah oleh jamaah haji ONH-plus (jamaah haji yang ditangani travel swasta). Muassasah, antara lain, bertugas menyiapkan akomodasi dan konsumsi selama jamaah haji berada di Mina dan Arafah. Hampir setiap tahun muassasah menaikkan tarif. Beberapa tahun lalu masih 1.000 real/orang, lalu naik menjadi 1.200 real, naik lagi menjadi 1.500 real, dan tahun lalu naik lagi jadi 1.850 real/orang. Padahal, inflasi di Arab Saudi di bawah dua persen.

Tapi, travel-travel yang tiap tahun mendapat jatah menangani 16.000 jamaah haji ONH-plus, tidak berhasil meminta potongan harga. Bahkan, tahun ini rencananya dikenai 2.000 real/orang.

Persatuan travel ONH-plus lalu mengadu ke menteri agama. Tapi, menteri mengajukan syarat agar tiga asosiasi penyelenggara haji ONH-plus bergabung jadi satu. Ini agar perjuangan yang dilakukan di Arab Saudi bisa bulat. Mesti berdirinya banyak asosiasi menjadi hak asasi manusia dan dijamin undang-undang, menteri tidak mau membela mereka kalau tidak bersatu dalam satu asosiasi.

Karena tarif yang dikenakan muassasah naik terus dan tahun ini di luar perhitungan travel, tiga asosiasi itu bersatu. Lalu minta menteri agama mem-back up asosiasi itu. Menteri pun melakukan "gebrakan" di Arab Saudi. Berhasil. Tahun ini, yang rencana harus membayar 2.000/orang, menjadi hanya 1.550/orang. Kalau dikalikan 16.000, lalu dikalikan Rp 2.500 (1 real = Rp 2.500), banyak juga penghematan yang bisa dilakukan.

Rupanya, menteri agama juga lagi ingin "menggebrak" muassasah untuk biaya makan jamaah haji biasa, yang tiap orang 300 real. Ini untuk 14 atau 13 kali makan, bergantung nafar-nya. Berarti sekali makan sekitar Rp 55.000. Sebab, jumlah jamaah haji biasa hampir 190.000 orang. Kalau biaya makan bisa turun sedikit, dikalikan 190.000 orang, akan luar biasa juga banyaknya.

Memang, kelihatannya tidak seberapa. Tapi, para penyelenggara haji swasta ONH-plus biasa menyerahkan makan ke katering swasta dengan harga Rp 40.000/orang. Itu sudah dengan tiga macam lauk, buah, dan minuman. Yang agak mewah, Rp 50.000/orang/makan. Memang, ada travel yang menyediakan makan mewah dengan Rp 100.000/orang/makan. Tapi, itu kelas hotel bintang lima.

Entah sudah berapa puluh tahun soal makan jamaah haji biasa selama di Arafah dan Mina sepenuhnya diserahkan ke muassasah. Seingat saya memang belum pernah ada yang berani mencoba "menghapus" peran muassasah ini. Baru menteri agama kali inilah yang berani melakukannya.

Organisasi muassasah memang sangat mapan dan kuat. Muassasah memiliki pelaksana di lapangan yang disebut "maktab". Tiap maktab mengurusi akomodasi dan konsumsi 2.000 jamaah haji. Masing-masing maktab punya dapur di Arafah, sebuah tanah lapangan mahaluas di tengah-tengah ketandusan padang pasir dan gunung batu, yang jaraknya sekitar 40 km dari kota Makkah. Jamaah haji dari seluruh dunia harus berkumpul di sini satu hari, tepat di hari raya haji.

Maka, muassasah yang menangani jamaah haji Indonesia, mempunyai sekitar 90 maktab di Arafah. Masing-masing mengurus makanan dan tenda 2.000 jamaah. Tahun ini mereka entah kerja apa. Yang jelas, sudah puluhan tahun mereka mengerjakan tugas itu, dan baru tahun ini tidak ada job. Ini karena menteri agama memilih menggunakan katering swasta, yang bisa menawarkan harga 50 real lebih murah.

Rupanya katering ini kurang siap. Kabarnya, mereka juga sudah menyiapkan dapur di Arafah, tapi bahan-bahannya terhambat untuk masuk Arafah. Tentu sebuah kesalahan manajemen yang fatal. Sebab, setiap tahun sudah diketahui, jalan dari Makkah menuju Arafah selalu macet-cet seperti itu. Saya sendiri ketika naik haji, memilih berjalan kaki dari Masjidilharam ke Arafah, sejauh 40 km itu. Lebih melelahkan, tapi juga cepat daripada yang naik bus. Berangkat setelah salat asar (pukul 5 sore), saya dan beberapa teman sudah tiba di Arafah pukul 24.00. Sayang memang, revolusi yang dilakukan menteri agama di Arab Saudi gagal. Kalau saja berhasil, bukan main bersejarahnya. (*)

Sumber : jawapos.com (http://jawapos.com/index.php?act=detail&id=8026)


Tidak ada komentar: