Oleh : Ahmad Syafii Maarif
Hotel Borobudur, Jakarta, 6 Maret 2008, punya arti tersendiri bagi saya. Sehari sebelum itu, seorang Jenderal Polisi menghubungi saya untuk berbicara di depan para petinggi dan pelaksana Densus dan Satgas 88 dengan topik "Radikalisme dalam Islam". Densus dan Satgas ini punya tugas tunggal: mengamankan negeri ini dari terorisme. Bom Bali, bom Marriot, bom di kedutaan Australia, bom Atrium, bom gereja, bom Batam, dan masih ada peledakan bom di beberapa tempat lain di tanah air kita sebagai fakta keras bahwa Nusantara ini cukup rentan untuk dijadikan sasaran tindakan teror. Tetapi, pihak kepolisian sadar betul terorisme akan sulit dimusnahkan selama kesenjangan sosial ekonomi masih menganga dan praktik korupsi yang seolah-olah tidak bisa dilawan. Inilah yang sering saya katakan sebagai rumput kering bagi kelompok kriminal untuk melancarkan aksinya.
Memang, ada ideologi asing yang dibawa masuk ke negeri ini berupa paham agama (Islam) yang ditafsirkan secara sempit dan monolitik dengan muatan politik kekuasaan yang sangat kental. Kelompok teror ini sebenarnya adalah korban Perang Dingin antara blok kapitalis dan blok komunis. Tapi, sedikit di antara mereka yang mau menyadari kenyataan pahit ini.
Pimpinan sidang dalam pertemuan Borobudur itu adalah Jenderal Pol. Surya Dharma dengan kata pengantar Jenderal Gories Mere, mantan Ketua Tim Investigasi Lapangan bom Bali. Uraian saya tidak penting untuk direkamkan di sini, selain mengatakan radikalisme dalam sejarah Islam bukan barang baru. Akar sejarahnya telah menembus lipatan abad yang panjang, khususnya yang paling menonjol adalah puak penyempal dari barisan Ali bin Abi Thalib yang dikenal dengan sebutan kaum Khawarij yang sudah muncul sejak 657 Masehi pascaperundingan Daumatul Jandal.
Dengan demikian, radikalisme, baik yang ekstrem dalam bentuk teror maupun yang agak moderat, sama-sama punya akar sejarah dan dasar teologi dalam perkembangan sejarah Islam. Untuk Indonesia, radikalisme dan terorisme adalah barang impor yang tidak senyawa dengan kultur bangsa ini. Tentunya, kedua hal itu akan bermuara pada kegagalan dan meninggalkan korban manusia tak bersalah.
Imron adalah seorang korban Perang Dingin itu. Setelah mendapat latihan perang dan membuat bom di Afghanistan selama beberapa tahun, ia pulang ke Indonesia. Dia terlibat sebagai koordinator lapangan bom Bali, 12 Oktober 2002. Kini, ia telah dijatuhi hukuman seumur hidup, sementara yang lain ada yang dijatuhi hukuman mati. Imron sudah mengaku bersalah dan bahkan mohon grasi kepada presiden. Di luar pengetahuan saya sebelumnya, pihak kepolisian ternyata mendatangkan Ali Imron untuk turut berbicara.
Dengan gaya seorang yang percaya diri, Imron menjelaskan seluk-beluk terorisme di Indonesia. Rampung sesi pertama di Borobudur, pihak kepolisian pun mengantar saya ke Kuningan. Ternyata, di mobil sudah ada Bung Imron. Dalam perjalanan ke Kuningan, Bung Imron berkata kepada saya, "Kami merasa senang telah dibela oleh beberapa pemimpin Islam, tetapi fakta jangan dibelokkan." Maksudnya, bom Bali dikaitkan oleh banyak orang sebagai rekayasa pihak asing. "Ini tidak benar," kata Imron untuk menegaskan pelakunya memang mereka.
Dengan demikian, teori konspirasi yang dulu juga dianut oleh Jenderal Zen Maulani (alm) tidak punya dasar sama sekali. Sebab itu, kita harus menyampaikan salut kepada pihak kepolisian yang telah berjaya menyingkap tragedi Bali ini dalam tempo singkat. Jadi, tidak mengherankan jika dunia internasional memuji polisi Indonesia walau masih ada saja pihak yang bersikap sinis.
"Kuliah" Imron di Borobudur disampaikan secara jelas, runtut, dan tanpa ragu. Lewat pesan singkatnya kepada saya, Imron berkata, "Semoga kita semua dikuatkan Allah untuk memperjuangkan kebenaran sebagai rahmat bagi semesta alam. Amin!" Ungkapan pesan ini bagi saya sangat menyejukkan. Sekarang Imron, sang pengebom, mau kembali kepada diktum sentral dalam Alquran bahwa nabi diutus bukan untuk menghancurkan manusia dan peradaban, tetapi untuk menebarkan rahmat kepada seluruh makhluk.
Buku Bung Imron Ali Imron Sang Pengebom terbitan Republika (November 2007) telah saya baca dan patut pula dibaca oleh siapa saja yang ingin tahu bagaimana jasa kepolisian kita mengungkapkan jaringan terorisme ini. Dari sisi ini, Bung Imron, dengan segala kemungkinan risiko yang dihadapinya, telah mengakui bom-bom yang diledakkan di Indonesia sama sekali tidak punya dasar syariat agama. Dalam ungkapan saya, "Semuanya itu adalah petualangan jahat dan biadab dengan memperalat agama."
Sumber: http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=326472&kat_id=19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar