Jumat, 21 Maret 2008

Jilbab – Dari Universitas ke Dunia Kerja

Pada 9 Pebruari 2008, 411 dari 550 anggota parlemen memberi suara dalam mendukung perubahan reformasi undang-undang yang akan mengendurkan larangan pengenaan jilbab di universitas-universitas Turki dan mengamandemen konstitusi. Amandemen menyatakan bahwa ”negara akan memperlakukan setiap orang secara sejajar ketika memberikan pelayanan seperti pendidikan universitas dan tak seorangpun bisa dihalangi dari mendapatkan pendidikan untuk alasan-alasan yang tidak dirumuskan dengan jelas oleh hukum.” Peristiwa baru-baru ini menciptakan kontroversi tentang apakah mengenakan jilbab harus menjadi keputusan negara atau masalah pribadi. Namun, apa yang jarang diperdebatkan di media, tapi mungkin sama pentingnya bagi wanita muda Muslim, adalah efek jilbab pada lulusan universitas yang ambisius, yang sangat ingin menemukan tempat mereka di dunia kerja.

Wanita Muslim di seluruh Timur Tengah menghadapi dua perlawanan: mendapatkan kebebasan untuk mengenakan jilbab atau tidak, dan apapun pilihan mereka, menghadapi penilaian orang lain.

Ketika saya memasuki salah satu kelas, Selasa lalu, di American University of Beirut (AUB) di Lebanon, saya mencari-cari teman saya, Nadine. Saya tidak melihat jilbab merah mudahnya, jadi saya kira dia belum tiba dan langsung duduk di kursi saya. Sebentar kemudian, saya kaget mendengarnya memanggil nama saya. Saya terpana melihatnya telah menanggalkan jilbabnya.

“Hei, kau tak pakai jilbab,” kata saya, sambil menunjuk ke rambut saya. Dia tertawa kecil dengan gugup dan berkata, “Ya, saya berusaha menjadi ilmuwan sosial dan mengenakan jilbab membawa terlalu banyak implikasi."

Benar bahwa sekarang ini, jilbab telah menjadi simbol berkonotasi religius, politik dan sosial. Namun, alasan mengapa wanita memilih mengenakannya, atau tidak mengenakannya, kerap amat beragam.

Citra wanita berjilbab sebagai tertekan dan didominasi oleh masyarakat Arab yang patriarki tempat dia tinggal sudah berubah, karena setidaknya di Lebanon, kebanyakan wanita muda secara aktif terlibat dalam menentukan apakah mau atau tidak mengenakan jilbab.

Orang biasanya menganggap AUB sebagai tempat para ekstrimis bertemu: sebagian wanita muda berpakaian secara konservatif, sementara yang lain memperlihatkan sebagian besar kulitnya. Konsekuensinya, sebagian wanita muda mengenakan jilbab sebagai cara untuk menjauhkan diri secara sosial dari penganut liberal yang ekstrim.

Ahli antropologi seperti Robert Murphy telah menganalisa peran jilbab dalam interaksi sosial. Dalam Social Distance and the Veil (Jarak Sosial dan Jilbab), dia menulis, “Interaksi itu mengancam secara definisi, dan tertutup, di sini terlihat sebagai satu aspek jarak, bertugas memberikan perlindungan parsial dan temporer pada diri sendiri."

Jadi, dalam masyarakat di mana penampilan fisik begitu diperhatikan dan identitas gender berada dalam fase transisi yang ambigu, jilbab kerap diacu sebagai alat perlindungan – dan bahkan afirmasi – dari identitas seseorang.

Sebagian wanita muda memilih untuk tidak mengenakan jilbab karena mereka bisa dikategorikan dalam cara-cara yang mungkin membatasi kesempatan lapangan kerja mereka. Seorang pelajar secara ironis bertanya pada saya, “Pernahkah kau melihat sales representatives yang tidak tinggi, cantik, dan dengan rambut yang sempurna? Dengan kemampuan marketing saya, saya bisa menjual sebanyak gadis-gadis itu” katanya sambil mengangkat bahu, “Tapi jika saya memakai jilbab, keterampilan saya tak akan berarti apa-apa, ia akan hilang terbawa angin lalu.”

Ini, saya pikir, adalah aspek yang paling tidak adil. Motivasi sejati Nadine ketika menanggalkan jilbabnya adalah tekanan dan kekhawatiran ditolak atau dianggap berbeda, bukan sebagai orang yang religius, tapi sebagai seorang profesional.

“Bayangkan jika suatu hari saya harus melaksanakan survei mengenai penyebab angka perceraian dan melaksanakan wawancara mendalam dengan wanita ‘modern’” katanya. “Entah bagaimana saya ragu mereka tidak akan memiliki prasangka tentang saya ketika mereka melihat saya mengenakan jilbab.”

Nadine berpikir orang yang diwawancarai akan berasumsi bahwa dia terlalu tradisionalis untuk menerima sesuatu yang berbeda. Sebagai ilmuwan sosial dia akan terekspos dengan banyak situasi di mana dia ingin dievaluasi berdasarkan kompetensinya; dan entah bagaimana ia merasa bahwa jilbabnya akan menghalangi penilaian tersebut.

Meski tidak ada hukum di Lebanon yang melarang mengenakan jilbab, sebagian wanita tahu bahwa jilbab bisa menghalangi mereka mengejar kesempatan kerja tertentu atau mencegah mereka berkembang dalam profesi tertentu.

Ketika seorang wanita merasa bahwa keahlian dan kompetensinya dinilai berdasarkan jilbab, maka itu menjadi suatu bentuk diskriminasi di tempat kerja, seperti hal-hal lainnya.

Sebagian wanita mengenakan jilbab sebagai tanda yang terlihat dari identitas mereka sebagai Muslim atau karena mereka percaya bahwa itu kewajiban religius, dan sebagian wanita mengenakannya karena merasa jilbab membuat mereka dihormati. Meski demikian, itu tidak ada hubungannya dengan kemampuan profesional mereka dan berasumsi sebaliknya akan tidak adil.

* Nathalie Nahas adalah mahasiswa American University of Beirut (AUB) jurusan anthropologi. Artikel ini ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews) dan bisa diakses di www.commongroundnews.org.

Sumber: Kantor Berita Common Ground, 18 Maret 2008,

Tidak ada komentar: