Wolfgang Borchert, sastrawan Jerman (1921-1947), menulis sebuah drama, Draussen vor der Tür. Dalam karya ini dilukiskan kisah Beckmann, seorang tentara muda yang baru kembali dari front di Rusia. Beberapa saat setelah perang, Beckmann mengunjungi rumah seorang kolonel, mantan atasannya selama bertugas di Rusia. Kolonel itu pernah memerintahkan Beckmann bersama anak buahnya untuk mengadakan patroli. Dalam patroli penuh risiko itu, 11 dari 20 anak buahnya menemui ajal.
Malam itu Beckmann datang untuk mengembalikan tanggung jawab kepada kolonel. Ia berkata, ”Kolonel.... Mereka bertanya tiap malam.... Perempuan, perempuan yang sedih dan penuh duka. Perempuan tua dengan rambut memutih dan tangan yang keras dan pecah-pecah—perempuan muda dengan mata sayu penuh kerinduan. Juga anak-anak…. Kolonel dapat tidur nyenyak? Kalau begitu, tidak apa-apa jika tanggung jawabku atas yang sebelas itu kutambahkan ke bagian Kolonel yang dua ribu itu. Kolonel bisa tidur, kan? Dengan hantu malam yang dua ribu itu?”
Borchert adalah seorang ateis. Dia melukiskan keberlangsungan kisah korban sebagai kehidupan yang dilanjutkan jeritan pencinta para korban. Pengaduan menandakan belum selesainya kisah para korban. Yang menjadi inti pesannya adalah kisah para korban itu tidak dapat diakhiri karena ada orang lain yang akan terus mengingat wajah dan menyebut nama mereka. Para korban tidak mudah dihapus dari ingatan seperti aparat hukum menghapus kesalahan para koruptor.
Kasih yang mengingat
Orang-orang yang dekat dengan para korban masih memelihara kenangan yang hangat. Ada yang terus membawa wajah mereka dalam cermin batinnya dan senantiasa menggemakan nama mereka di tengah kesunyian. Mereka hidup di dalam orang-orang yang memperjuangkan keadilan demi nama mereka.
Sebenarnya, yang dirayakan umat Kristiani pada hari raya Paskah adalah hal yang sama. Sejarah Yesus, korban yang disalibkan, tidak berakhir dengan kematian. Iman Kristen mengatakan, Yesus dibangkitkan. Tuhan membawa sang korban kembali ke kehidupan kendati para penguasa agama dan politik yang berkoalisi serta serdadu yang nuraninya telah digadaikan berusaha menghapus nama dan membuat wajahnya tak lagi dikenal.
Kebangkitan Kristus menyadarkan, para korban mempunyai Allah sebagai pencinta. Sang Pencinta ini tak mudah disogok dengan serba kesalehan yang ditunjukkan untuk menenangkan batin yang sering dihantui karena telah menjatuhkan atau merestui kejatuhan sekian banyak korban.
Yesus mengidentikkan diri dengan korban dan kaum yang tersisih. Maka, dengan menghidupkan kembali Yesus, Tuhan memaklumkan diri sebagai daya kasih yang merangkul dan mengingat semua korban. Dalam sejarah, korban adalah mereka yang hilang tanpa jejak, anak-anak yang kurang mendapat perhatian, para perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual, rakyat yang sering ditipu berbagai keputusan politik. Mereka memiliki seorang pencinta ilahi, pemilik ingatan yang abadi.
Ingatan yang menggugat
Tuhan menghidupkan Yesus yang telah disalibkan sebagai penjahat dan pengkhianat. Maka, Tuhan tidak hanya memulihkan nama baik Yesus, setelah nama itu dicemarkan pengadilan yang mudah diarahkan oleh kepentingan para penguasa politik dan pejabat agama. Kebangkitannya juga berarti menjadikan kisah korban sebuah kisah terbuka.
Yang dianggap telah selesai kini dibuka kembali, yang telah dikuburkan secara rahasia dan sembunyi-sembunyi diungkap kembali. Kebangkitan mengatakan, persoalan tidak dapat diselesaikan dengan membungkam korban. Pejuang keadilan akan selalu tampil dan membongkar kebusukan, suara keadilan akan tetap didengarkan di tengah upaya pemalsuan sejarah.
Korban yang hidup dan dikenang dalam ingatan adalah korban yang memberi kesaksian akan ketidakadilan yang dialami. Kehidupan korban yang dibangkitkan akan menjadi gugatan bagi pelaku ketidakadilan. Seperti kepada Kain yang melarikan diri seusai membunuh saudaranya, kepada pelaku kejahatan Allah akan melontarkan pertanyaan gugatan tentang korban. Kisah korban yang belum selesai menggoyahkan segala kekuasaan yang menganyam kemapanan dari harapan akan ingatan pendek dari massa. Kenangan akan korban menggugat kemapanan dan bersifat subversif terhadap kekuasaan yang tidak adil.
Kebangkitan Kristus dan hak korban akan menunjukkan batas jangkauan kekuasaan. Kekuasaan, betapapun kuat dan bengis, tak sanggup melaksanakan segala yang dikehendaki. Ketika korban yang dianggap telah diamankan dan dilupakan ternyata datang lagi, saat itu tumpuan kekuasaan mulai goyah. Kekuasaan tak dapat merekayasa datangnya suara korban, dia tak sanggup melarang tuntutan keadilan.
Ada yang tak dapat dilakukan oleh kekuasaan, betapapun rapinya organisasi. Mengakui batas kekuasaan berarti menerima dan mengakui kesalahan yang pernah ditimpakan kepada orang lain. Hanya bersama korban dan dalam kekuatan Paskah yang mematahkan dominasi kekuasaan manusia dapat diwartakan kebangkitan sebagai pesan kehidupan bersama korban. Merayakan kebangkitan dalam nada ini berarti merayakan hak para korban. Mereka tidak bisa dihapus dari sejarah. Kisah mereka belum selesai. Paskah berarti kita harus bersedia mendengar para korban.
Budi Kleden Dosen Teologi STK Ledalero, Flores
Sumber: http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.22.00163477&channel=2&mn=158&idx=158
Tidak ada komentar:
Posting Komentar