Jumat, 21 Maret 2008

"Long Road to Heaven": Siapa Takut?

"Apa sih mau kalian? Kenapa kalian terus membunuh kami? Apa untungnya?" Pertanyaan-pertanyaan itu dicecarkan Hannah Catrelle, seorang peselancar Amerika, pada Haji Ismail, seorang tokoh Muslim Bali, ketika mereka bertemu di sebuah rumah sakit di Bali, pada malam tragedi Bom Bali I, 12 Oktober 2002. Hannah tak dapat menerima kenyataan bahwa tempat yang dipercayainya sebagai surga diluluhlantakkan oleh peristiwa serupa yang telah mencuri nyawa kekasihnya dalam tragedi 9/11. Seperti kebanyakan orang Barat, ia juga melihat bahwa semua Muslim adalah teroris.

"Orang-orang yang melakukan tindakan keji ini, mereka tidak mengerti Islam. Tentang betapa agungnya agama itu... Mereka pikir, dengan melakukan hal ini, mereka mendapat jalan pintas menuju surga. Tapi jalan pintas ke surga tidak ada, Hannah. Jalan ke surga adalah perjalanan yang panjang," jawab Haji Ismail.

Percakapan ini adalah sebuah adegan dalam film Long Road to Heaven (LRtH), karya sutradara Enison Sinaro dan diproduksi oleh perusahaan Amerika TeleProduction International bekerjasama dengan Kalyana Shira Films di Indonesia. Film yang baru saja dirilis ini akan diikutsertakan dalam berbagai festival film internasional dan dilempar ke pasaran dunia

Film yang naskahnya digarap oleh dua penulis Singapura, Andy Logam Tan dan Wong Wai Leng ini mencoba mempertanyakan jihad militan sembari menunjukan bagaimana konsep tentang surga mengharubiru sejarah umat manusia. Usaha-usaha untuk mencapainya seringkali menciptakan kekerasan dan kesengsaraan yang berlawanan dengan citra surga sendiri.

Mengambi Tragedi Bom Bali 2002 Bali sebagai latar, LRtH mengisahkan empat cerita tentangkan kompleksitas pencarian surga dalam sebuah plot yang sangat rumit. Tiap kisah memiliki latar waktu yang berbeda, namun disajikan secara bersamaan, saling menyela satu sama lain.

Kisah pertama terjadi satu tahun sebelum Bom Bali 2002, saat para pemimpin Jama’ah Islamiah dan Mantiqi 1, dua organisasi yang bertanggung jawab atas pengeboman tersebut, merencanakan operasi. Kisah ini fokus pada usaha Mukhlas membujuk Hambali untuk memilih Bali sebagai target pengeboman, hanya karena seorang bule yang tak mengijikannya masuk ke dalam lift, mengenakan sebuah t-shirt bertuliskan "I Love Bali”.

Kisah kedua, berlangsung pada masa satu bulan sebelum Bom Bali. waktu Ali Imron dan anggota komplotan lainnya melaksanakan rencana mereka. Di sini disajikan persaingan antar mereka dan motivasi-motivasi tersembunyi mereka.

Kisah ketiga berputar pada menit-menit setelah pengeboman, ketika paramedis dan sukarelawan menolong korban luka dan mengidentifikasi korban tewas. Di sinilah, Hannah, dalam interaksinya dengan Haji Ismail, bergelut dengan prasangka-prasangka dan stereotipe-stereotipenya terhadap Islam dan Muslim.

Kisah terakhir mengambil waktu satu tahun setelah peristiwa pengeboman, saat seorang wartawati Australia, Liz Thompson, mendatangai Bali untuk mendapatkan sebuah laporan yang menarik. Ditemani Wayan Diya, sopir taksi yang disewanya, Liz berkeliling Bali untuk mewawancarai penduduk lokal tentang perasaan mereka akan peristiwa tersebut dan para pengebom. Liz gagal mendapatkan pernyataan-pernyataan yang menarik. Jawaban yang selalu ia dapatkan hanyalah, “Hidup akan menjadi lebih baik” Dari Wayan, ia kemudian belajar bahwa orang-orang Bali percaya bahwa keseimbangan adalah inti dari kehidupan, sebab itulah mereka memaafkan pengeboman tersebut, bahkan melihatnya sebagai sebuah hukuman dari para dewa karena dosa-dosa mereka.

Sebagai sebuah film yang mengangkat tragedi, LRtH tak dapat melepaskan diri dari dilema etis. Di satu sisi ia menunjukan belasungkawa, di sisi lain, intensi artistik dan kesenangan yang ditawarkannya menunjukan kekebasan hati pada duka para korban dan/atau keluarganya.

"Hal itu tak terelakan. Tapi kami tak mengeksploitasinya. Ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari tragedi tersebut," ujar Enison, sang sutradara.

Enison benar. Salah satu dari pelajaran itu terlukis dalam kata-kata mutiara yang mengalir dari bibir Haji Ismail ketika bercakap-cakap dengan Hanna: "Yang mereka (para pengebom) lihat hanyalah hal-hal kecil belaka. Mereka tidak bisa melepaskan diri dari masa lalu. Mereka tak bisa melihat sesuatu selain rasa sakit yang mereka derita."

Meskipun kata-kata itu sesungguhnya ditujukan bagi para pengebom, tetapi ia juga menjawab wacana moral di atas, dengan menunjukan bahwa film ini bukan hanya narasi “surga yang hilang” tetapi juga “penemuan kembali surga”. Mendengar kata-kata itu, Hannah menyadari bagaimana prasangka-prasangka, yang berakar pada kemarahan akan surganya yang hilang dan kepedihan atas kematian kekasihnya dalam tragedi 11/9, dapat menjerumuskannya pada kebencian yang sama dengan yang dirasakan oleh para teroris, meski mungkin ujungnya berbeda.

Hal lain dan mungkin yang lebih penting, film tersebut dapat dilihat sebagai sebuah pesan bagi kita bahwa pemahaman saja tidak cukup untuk menghentikan terorisme atau kekerasan. Pertama sekali, kita harus berdamai dengan diri sendiri, melucutkan diri dari ego kita. Baru kemudian kita dapat melangkah memasuki “liyan”, tanpa persyaratan apa pun.

Ini bukan tugas yang mudah, namun sebagaimana dinyatakan oleh Haji Ismail, jalan ke surga adalah sebuah jalan yang panjang. Siapa takut?

###

* Nuruddin Asyhadie adalah seorang penyair, penulis naskah drama, penulis skenario, serta komentator sastra dan filsafat. Ia juga salah satu pendiri F, sebuah majalah film Indonesia. Buku-bukunya "Hampiran Hamparan Gramatologi Derrida" (2004) dan "Beatniks, dan puisi-puisi lainnya" (2001). Artikel ini disebarluaskan oleh Common Ground News Service (CGNews) dan dapat dibaca di www.commongroundnews.org.

Sumber: Common Ground News Service (CGNews), 27 Februari 2007, www.commongroundnews.org

Tidak ada komentar: