Hari-hari ini, masyarakat Indonesia seolah terhipnotis dengan film “Ayat-Ayat Cinta”. Film yang digarap Hanung Bramantyo itu, hingga kini diperkirakan telah ditonton lebih dari 3.5 juta orang. Bioskop-bioskop yang memutar film tersebut hingga sekarang mungkin akan terus dipadati penonton. Sebelum difilmkan, “Ayat-Ayat Cinta” tak lain adalah judul novel karya Habiburrahman El-Shirazi yang dibaca dan diminati banyak penikmat sastra, novel dan pembaca di tanah air. Sejak cetak pertama pada Desember 2004, novel yang pernah menjadi cerita bersambung di salah satu koran harian “Republika” ini sudah laris manis bak kacang goreng. Hingga kini novel itu telah mengalami cetak ulang hingga 30 kali dan terjual lebih dari 300 ribu eksemplar.
Dengan jumlah penonton (film) dan buku yang terjual seperti itu, jelas “Ayat-Ayat Cinta” telah memecahkan rekor. Kita tentu menyambut gembira dengan antusiasme khalayak ramai terhadap film maupun novel tersebut. Apalagi “Ayat-Ayat Cinta” bisa dikatakan 'menyalahi' pakem dalam dunia hiburan kita selama ini. Pakem itu adalah, bahwa yang laku di masyarakat hanyalah jenis-jenis hiburan yang mengeksploitasi seks/pornografi, kekerasan, mistik, marerialisme, dan hal-hal lain yang bersifat hedonisme.
Di tengah buruknya acara-acara hiburan kita itulah kemudian muncul “Ayat-Ayat Cinta” dalam bentuk film dan novel. Hiburan yang mencerahkan, kisah-kisah cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya sebelum cinta kepada sang kekasih hati, kesetiakawanan, berbuat baik kepada sesama, sikap tegas, keimanan, ketakwaan, dan kedamaian, serta teguh dalam pendirian.
Singkat kisah, film itu disambut masyarakat Indonesia dengan penuh antusias. Antusiasme tersebut bisa dinilai sangat wajar mengingat mungkin film ini pertama di Indonesia yang menyinergikan kisah cinta dan religi, dua hal yang kadang sering dianggap tabu untuk dikombinasikan satu sama lain. Lebih dari itu, film ini menggambarkan kemoderatan, kedamaian dan toleransi Islam.
Fahri (Fedi Nuril) seorang mahasiswa di Al Azhar, Kairo dapat hidup berdampingan, dan harmonis dengan tetangganya, Maria (Carissa Puteri) dan keluarganya yang beragama Kristen Koptik. Dalam film ini dikisahkan pula Aisyah (Rianti Cartwright) yang kemudian menjadi istri Fahri menyatakan tidak ingin dipoligami.
Hal ini menunjukkan fakta bahwa poligami dalam Islam adalah hal yang sulit dilakukan dan tidak bisa dengan semena-mena karena nafsu. Sosok Fahri yang berpegang teguh pada prinsip keislaman, tetapi tetap menampilkan sifat ramah, sopan, dan hormat sangatlah penting untuk dicontoh. Hal ini jauh dari asumsi yang dikemukakan Wilders bahwa Islam mengajarkan kekerasan.
Lebih dari itu, film “Ayat-Ayat Cinta” ,bila kita hayati, sebetulnya bisa dikatakan sebagai inspirasi penciptaan perdamaian dan upaya dialog antar agama dan peradaban yang digambarkan kisahnya dialog antara Fahri (Muslim) dan Alicia (gadis Non-Muslim dari Amerika) yang ingin tahu banyak tentang Islam. Hal ini merupakan contoh bagus tentang dialog antarperadaban dan agama yang sehat dan terbuka. Film ini sangat layak untuk menjadi bahan renungan mengenai bagaimana seharusnya umat Islam menghormati umat lain dan menumbuhkembangkan budaya dialog.
Belajar dari “Ayat-Ayat Cinta”, ternyata hiburan tidak harus menonjolkan adegan-adegan yang mengobral syahwat dan mengumbar nafsu hewani. Sisi-sisi yang menjunjung tinggi moralitas asal dikemas apik/professional faktanya tetap diminati masyarakat. Kini tanggungjawab terletak pada kita semua adakah kemauan untuk menjadikan film sebagai inspirasi perdamaian dan sarana penegakan nilai-nilai luhur ajaran agama?
Pertanyaan sederhana tersebut penting direnungkan bersama, mengingat kekerasan demi kekerasan selalu hadir di tengah terpaan krisis multidimensional yang menimpa seluruh bangsa, termasuk Indonesia. Jalan dialog adalah satu-satunya jalan yang paling mungkin ditempuh sekarang ini. Jalan konfrontasi hanyalah akan menguntungkan orang-orang yang mempunyai pandangan dualistis mengenai kehidupan ini: “Islam” dan “kafir”, baik dan jahat, dan seterusnya.
Jalan tersebut hanya akan menguntungkan oran-orang dengan pandangan yang konservatif dan ekstrim dalam agama manapun, entah Islam, entah yang lain. Jalan ini juga amat menguntungkan para elit agama manapun yang hendak memanipulasi dan memonopoli umatnya untuk kepentingan yang sempit dan sesaat.
Upaya penciptaan perdamaian dan membuka jalan dialog antar agama dan peradaban sudah semestinya diperhatikan secara serius dan diupayakan terus menerus dengan cara apapun, dimana pun dan sampai kapan pun.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar