Hanta Yuda AR, Jakarta
Unless there are big surprises, the same old faces will very likely dominate the 2009 presidential election, because so far there is not even a little sign that new faces from a younger generation will emerge. The regeneration of national leadership will still be sluggish in this era of democracy, where political parties still hold a strategic role in producing cadres of national leaders. The political parties seem to have not played their role well enough.
The regeneration of the leadership of political parties will be an indicator of the success of the cadre development of the parties. This will also show the smoothness of the regeneration of the leadership of the nation.
However, to be fair, we need to remember that during Soeharto's 32-year-rule, he effectively eliminated potential young leaders, and only those who were loyal to him had the chance to work in state affairs.
Meanwhile, political parties, as democratic institutions, are still controlled by the old elites. The one exception is the PKS, which has been led since the beginning by its young cadres. All important positions, including the heads of parties as well as the heads and members of the boards of advisors, are filled by the old elite. The political parties are still the main source of the national leadership.
The regeneration of the leadership of the political parties shows the face of the regeneration of the national leadership. The candidates who will be supported by political parties in the 2009 elections will be politicians who control major political parties. Major political parties like the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDIP) will still support their old faces like Megawati Soekarnoputri.
A survey conducted by Lembaga Survey Indonesia in October 2007 revealed there are seven figures who receive public support for the presidency: President Susilo Bambang Yudhoyono (58 years old), Megawati Soekarnoputi (62), co-founder of the National Mandate Party Amien Rais( 63), Gen. (ret.) Wiranto ( 60), Yogyakarta Governor Sultan Hamengku Buwono X (61), Vice President Jusuf Kalla (65) and former Jakarta governor Lt. Gen. (ret) Sutioyoso (63). Those seven figures are old players from the old generation of politicians. Even though the reform era has entered its ninth year, young new players have not emerged to lead the nation.
Most of the candidates for the 2009 elections will be in their sixties. This means there will be stagnation in the regeneration of leadership.
These developments are of great concern. This nation should be able to produce new cadres of leaders to anticipate the challenges in the future. Indonesia needs progressive, young new leaders who are capable of consolidating the nation and developing national solidarity in an effort to face globalization.
The central figures of the political parties are factors of resistance to the regeneration process of leadership of political parties, which in turn impacts the regeneration of national leadership. Major political parties like the PDIP, the National Awakening Party (PKB) and the Democratic Party (PD) still maintain this pattern. This is also shared by smaller political parties, which rely heavily on the figures or the oligarchy system.
In the PDIP, Megawati would remain the main actor. She will still influence the decision-making of the party. In other words, the PDIP is Megawati, and Megawati is the PDIP.
The developments in the PKB actually are similar to what has happened in the PDIP. The party is always identified with Gus Dur. It is likely the PKB without Gus Dur will lose the support of the people. The figure of SBY in the PD is also central. The party is dependent on the President. If SBY cuts his association with the party, the party will be left in a serious condition.
Gerontocracy is prevalent in Indonesia's political parties. The reason for this is the ambitions of the old politicians to stay in power. Their unwillingness to give new opportunities to young leaders has posed an obstacle to the regeneration process.
Gerontocracy closes the opportunity for young leaders to emerge in national politics. This will lead to the sluggishness of the regeneration process.
To break free from gerontocracy, there should be age limit for candidates vying for important positions in the political parties. Without lessening our respect for the old politicians, this age limitation is necessary to refresh our politics.
In the reform era, there are many figures from political parties, bureaucrats, academics and professionals who could be alternatives for national leaders.
They will participate in the democratic process through participation in the general elections. They will occupy many important positions in this country.
Young leaders are expected to balance the strength of the old leaders by increasing political lobbies, monitoring financial matters, developing social solidarity and mastering democratic institutions. There should be synergy amongst those leaders from different backgrounds. The readiness of young leaders will determine the regeneration of leadership in Indonesia.
The writer is political analyst and researcher of the Indonesian Institute in Jakarta
Source: http://www.thejakartapost.com/detaileditorial.asp?fileid=20071222.D07&irec=2
Institute for Religion and Social Studies (IRSS) at Surabaya (Multikultural-Transformatif, Mencerahkan-Inklusif dan Progresif-Membebaskan) Address: Jl. Sumber Mulyo V/15 A, Bubutan, Surabaya, Indonesia. Mobile-Phone: 085655123861, email: lkas_surabaya@yahoo.com Website: www.lkassurabaya.blogspot.com
Jumat, 21 Desember 2007
Minggu, 09 Desember 2007
Tahun Prorakyat dalam Taruhan
Wisnu Nugroho dan Suhartono
Sejumlah janji Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla semasa kampanye Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2004 dipadatkan menjadi rencana dan program kerja sesaat setelah dilantik dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, 20 Oktober 2004. Tiga agenda utama untuk mengubah Indonesia menjadi lebih aman, adil, dan sejahtera dipijak sebagai landasan melangkah. "Bersama Kita Bisa!"
Untuk membuat rakyat Indonesia lebih sejahtera dari masa-masa sebelumnya, kebijakan ekonomi pemerintah dijalankan dengan mengacu pada tiga strategi yang kerap dikumandangkan Presiden pada dua tahun awal pemerintahan, yaitu pro growth (pertumbuhan), pro job (lapangan pekerjaan), dan pro poor (kemiskinan).
Entah kenapa, tiga strategi itu tak lagi kerap disebut di sepanjang tahun 2007. Di awal 2007, alih-alih menyebut tiga strategi itu, Presiden menyebut satu ungkapan baru, yaitu prorakyat yang merupakan rangkuman dari pro job dan pro poor.
Presiden sadar, pertumbuhan yang tinggi tanpa dampak langsung untuk rakyat adalah sia-sia.
"Memang benar, tahun yang kita arungi di waktu lalu adalah tahun yang tidak mudah. Memang benar persoalan itu belum dapat diatasi. Tetapi, tidakkah nyata, atas kerja keras semua pihak, atas dukungan dan kesabaran rakyat, banyak hal sudah dicapai selama ini, seperti di bidang ekonomi, politik, pemerintahan, keamanan, dan peranan internasional? Bidang itu semakin kokoh," ujar Presiden saat pidato awal tahun 2007.
Untuk menciptakan lapangan pekerjaan, selain pertumbuhan industri dalam negeri terus didorong, investasi baru di berbagai bidang, terutama infrastruktur pelabuhan, jalan tol, bandar udara, waduk, dan proyek pembangkit listrik, dipacu agar bergerak lebih cepat.
Dalam upaya mengurangi jumlah rakyat miskin, sejumlah program dikeluarkan dan dilanjutkan, mulai dari bantuan langsung tunai, permodalan usaha kecil dan menengah, bantuan operasional sekolah, serta jaminan Asuransi Kesehatan bagi Keluarga Miskin (Askeskin).
Secara garis besar, rencana besar pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004-2009. RPJM dijadikan acuan semua kepala daerah dalam menyusun program kerjanya.
Pada awalnya manis
Pada awalnya, semua terlihat manis dan menjanjikan. Presiden Yudhoyono sangat optimistis. "Saya melihat peluang dan harapan yang lebih baik di tahun ini (2007) dan Insya Allah di tahun-tahun mendatang," katanya.
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja, pemerintah menggelar pertemuan pebisnis internasional yang disebut Infrastructure Summit 2007. Ini adalah pertemuan kedua setelah pertemuan pertama digelar tahun 2005.
Aturan yang selama ini mempersulit pertumbuhan industri dan peluang investasi dipangkas. Ketentuan tentang perburuhan, seperti pesangon dan lainnya, akan direvisi. Badan usaha milik negara (BUMN) yang tidak sehat akan dilikuidasi, selain tetap akan melanjutkan privatisasi.
Bagi puluhan juta rakyat yang menggantungkan hidup pada sektor pertanian dan perikanan, pemerintah mencanangkan revitalisasi pertanian dan perikanan di Waduk Jatiluhur. Pencanangan itu ditindaklanjuti dengan target peningkatan produksi gabah setara beras sebanyak dua juta ton hingga akhir 2007.
Program revitalisasi ini ditopang pemerintah dengan pembagian bibit dan benih unggulan secara gratis kepada petani dan peternak. Nilai anggaran APBN untuk program ini adalah Rp 1 triliun. Guna mempercepat swasembada gula, pemerintah juga melakukan revitalisasi pabrik-pabrik gula.
Menghadapi terus naiknya harga minyak mentah dunia, pemerintah mendorong pengembangan energi alternatif seperti biofuel sebagai pengganti energi berbahan baku fosil. Pemerintah juga bertekad mengganti minyak tanah dengan gas elpiji dalam program konversi minyak tanah. Pemerintah juga mempunyai program baru, meningkatkan produksi minyak mentah di atas 1,043 juta kiloliter per tahun dari sebelumnya di bawah satu juta kiloliter.
Belum terasa
Hampir semua program tersebut, dalam pelaksanaan teknisnya diserahkan kepada Wapres Kalla, dengan monitoring Presiden Yudhoyono. Namun, kemajuan dan capaian seperti yang diharapkan, setidaknya dalam satu tahun ini, belum terasa.
Pertemuan infrastruktur kedua telah berakhir, tetapi proyek infrastruktur berjalan tertatih-tatih. Persoalan tanah, modal, aturan, dan birokrasi menjadi penyebabnya. Pembangunan jalan tol terhalang pembebasan lahan di tengah kemudahan investasi dan akses modal.
Pembangunan bandar udara, pelabuhan, dan pembangkit listrik membentur tembok pendanaan. Untuk menggerakkannya, pemerintah mengeluarkan jaminan pertanggungan oleh APBN yang tidak lain dari uang rakyat, selain skema yang sangat menguntungkan para investor.
Semua rencana dan hambatan yang menghadang telah dicoba diatasi dengan berbagai kebijakan. Untuk mengatasi hambatan birokrasi, Presiden Yudhoyono dan Wapres Kalla langsung turun tangan.
Hambatan birokrasi
Mulai awal 2007, Presiden dan Wapres bergantian dan seperti berlomba-lomba memimpin rapat di belasan departemen teknis dan berbagai instansi.
Meski demikian, hasil kerja dan capaian setiap departemen dirasakan belum memuaskan. "Kadang kala, saya harus memimpin langsung dulu sebelum saya lepaskan kepada mereka dan meminta perkembangannya," ujar Wapres akhir Oktober lalu.
Karena geregetan dengan kerja birokrat, untuk program konversi minyak tanah ke gas, misalnya, hampir setiap minggu digelar rapat di Istana Wapres. Tidak cukup memberi instruksi kepada para menteri, Wapres sampai mengontrol langsung ke pabrik pembuatan kompor, pasokan, dan distribusinya.
Meskipun dipantau dan diarahkan, program pengadaan tabung gas sempat meleset dari sasaran dan menimbulkan kebingungan dan pro kontra, setelah munculnya impor tabung.
Dalam soal penyaluran benih pertanian, Wapres juga mengeluh. "Sudah dibuatkan kerja sama tiga lembaga (BPKP, Kejaksaaan Agung, dan Kepolisian Negara RI) agar penunjukan langsung bibit dan benih gratis untuk menopang dua juta produksi beras dilakukan, sampai sekarang tak lebih dari 50 persen pelaksanaannya," ujarnya.
Untuk jaminan kesehatan penduduk miskin yang angkanya mencapai 37,1 juta jiwa, pemerintah mewujudkan program Askeskin yang merupakan kelanjutan rancangan program pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Askeskin diberikan bukan hanya untuk 37,1 juta jiwa yang benar-benar miskin, tetapi juga rakyat setengah miskin dan kurang mampu. Karena itu, angkanya mencapai 76,4 juta jiwa. Meski sudah rinci dan tegas kebijakannya, dalam pelaksanaan di Departemen Kesehatan, program itu belum berjalan mulus.
Laporan Bappenas memang menyebutkan, selain masih digunakan untuk sebagian belanja barang, sosialisasi untuk Askeskin dianggap kurang. Tahun anggaran berjalan 2007 ini Departemen Kesehatan malah minta tambahan anggaran Rp 1,3 triliun. Namun, yang dipenuhi hanya sekitar Rp 700 miliar. Padahal, total alokasi pemerintah untuk program ini cukup besar, sekitar Rp 3,5 triliun.
Birokrasi berikut aparatnya memang menjadi sumber persoalan untuk pelaksanaan program prorakyat yang dicanangkan dan ingin dituai pemerintah. Aparat yang sebelumnya bebas melakukan apa saja, termasuk kemungkinan menyelewengkan uang negara, sekarang seperti tak berani berkutik. Ketakutan dituding korupsi selalu dijadikan alasan untuk melepas tanggung jawab.
Wapres Kalla pun sempat mengancam aparat birokrasi yang tidak berani berbuat apa-apa sehingga membuat anggaran negara untuk kepentingan rakyat tak terserap. Hingga akhir Oktober 2007, penyerapan APBN untuk pembangunan hanya 30,7 persen atau Rp 20,9 triliun dari total anggaran Rp 68,1 triliun.
Kenyataan tidak jauh berbeda juga terjadi di daerah. Jumlah serapan setiap APBD berkisar di angka 30 persen saja.
Dengan tidak digunakannya anggaran negara yang sudah ada untuk pembangunan, bisa dibayangkan bagaimana pelaksanaan program prorakyat yang sudah dicanangkan sejak awal tahun 2007.
Kini waktu makin sempit karena akhir masa jabatan tinggal dalam hitungan bulan. Upaya menggenjot dan mencetak daftar kata "telah" banyak terlewatkan. Hampir 70 persen rakyat yang mendapat dukungan anggaran pembangunan tidak tersapa dan diperjuangkan.
Dua puluh bulan mendatang, rakyat sudah akan menimbang dan mengambil keputusan di hari penghakiman.
Sejumlah janji Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla semasa kampanye Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2004 dipadatkan menjadi rencana dan program kerja sesaat setelah dilantik dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, 20 Oktober 2004. Tiga agenda utama untuk mengubah Indonesia menjadi lebih aman, adil, dan sejahtera dipijak sebagai landasan melangkah. "Bersama Kita Bisa!"
Untuk membuat rakyat Indonesia lebih sejahtera dari masa-masa sebelumnya, kebijakan ekonomi pemerintah dijalankan dengan mengacu pada tiga strategi yang kerap dikumandangkan Presiden pada dua tahun awal pemerintahan, yaitu pro growth (pertumbuhan), pro job (lapangan pekerjaan), dan pro poor (kemiskinan).
Entah kenapa, tiga strategi itu tak lagi kerap disebut di sepanjang tahun 2007. Di awal 2007, alih-alih menyebut tiga strategi itu, Presiden menyebut satu ungkapan baru, yaitu prorakyat yang merupakan rangkuman dari pro job dan pro poor.
Presiden sadar, pertumbuhan yang tinggi tanpa dampak langsung untuk rakyat adalah sia-sia.
"Memang benar, tahun yang kita arungi di waktu lalu adalah tahun yang tidak mudah. Memang benar persoalan itu belum dapat diatasi. Tetapi, tidakkah nyata, atas kerja keras semua pihak, atas dukungan dan kesabaran rakyat, banyak hal sudah dicapai selama ini, seperti di bidang ekonomi, politik, pemerintahan, keamanan, dan peranan internasional? Bidang itu semakin kokoh," ujar Presiden saat pidato awal tahun 2007.
Untuk menciptakan lapangan pekerjaan, selain pertumbuhan industri dalam negeri terus didorong, investasi baru di berbagai bidang, terutama infrastruktur pelabuhan, jalan tol, bandar udara, waduk, dan proyek pembangkit listrik, dipacu agar bergerak lebih cepat.
Dalam upaya mengurangi jumlah rakyat miskin, sejumlah program dikeluarkan dan dilanjutkan, mulai dari bantuan langsung tunai, permodalan usaha kecil dan menengah, bantuan operasional sekolah, serta jaminan Asuransi Kesehatan bagi Keluarga Miskin (Askeskin).
Secara garis besar, rencana besar pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004-2009. RPJM dijadikan acuan semua kepala daerah dalam menyusun program kerjanya.
Pada awalnya manis
Pada awalnya, semua terlihat manis dan menjanjikan. Presiden Yudhoyono sangat optimistis. "Saya melihat peluang dan harapan yang lebih baik di tahun ini (2007) dan Insya Allah di tahun-tahun mendatang," katanya.
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja, pemerintah menggelar pertemuan pebisnis internasional yang disebut Infrastructure Summit 2007. Ini adalah pertemuan kedua setelah pertemuan pertama digelar tahun 2005.
Aturan yang selama ini mempersulit pertumbuhan industri dan peluang investasi dipangkas. Ketentuan tentang perburuhan, seperti pesangon dan lainnya, akan direvisi. Badan usaha milik negara (BUMN) yang tidak sehat akan dilikuidasi, selain tetap akan melanjutkan privatisasi.
Bagi puluhan juta rakyat yang menggantungkan hidup pada sektor pertanian dan perikanan, pemerintah mencanangkan revitalisasi pertanian dan perikanan di Waduk Jatiluhur. Pencanangan itu ditindaklanjuti dengan target peningkatan produksi gabah setara beras sebanyak dua juta ton hingga akhir 2007.
Program revitalisasi ini ditopang pemerintah dengan pembagian bibit dan benih unggulan secara gratis kepada petani dan peternak. Nilai anggaran APBN untuk program ini adalah Rp 1 triliun. Guna mempercepat swasembada gula, pemerintah juga melakukan revitalisasi pabrik-pabrik gula.
Menghadapi terus naiknya harga minyak mentah dunia, pemerintah mendorong pengembangan energi alternatif seperti biofuel sebagai pengganti energi berbahan baku fosil. Pemerintah juga bertekad mengganti minyak tanah dengan gas elpiji dalam program konversi minyak tanah. Pemerintah juga mempunyai program baru, meningkatkan produksi minyak mentah di atas 1,043 juta kiloliter per tahun dari sebelumnya di bawah satu juta kiloliter.
Belum terasa
Hampir semua program tersebut, dalam pelaksanaan teknisnya diserahkan kepada Wapres Kalla, dengan monitoring Presiden Yudhoyono. Namun, kemajuan dan capaian seperti yang diharapkan, setidaknya dalam satu tahun ini, belum terasa.
Pertemuan infrastruktur kedua telah berakhir, tetapi proyek infrastruktur berjalan tertatih-tatih. Persoalan tanah, modal, aturan, dan birokrasi menjadi penyebabnya. Pembangunan jalan tol terhalang pembebasan lahan di tengah kemudahan investasi dan akses modal.
Pembangunan bandar udara, pelabuhan, dan pembangkit listrik membentur tembok pendanaan. Untuk menggerakkannya, pemerintah mengeluarkan jaminan pertanggungan oleh APBN yang tidak lain dari uang rakyat, selain skema yang sangat menguntungkan para investor.
Semua rencana dan hambatan yang menghadang telah dicoba diatasi dengan berbagai kebijakan. Untuk mengatasi hambatan birokrasi, Presiden Yudhoyono dan Wapres Kalla langsung turun tangan.
Hambatan birokrasi
Mulai awal 2007, Presiden dan Wapres bergantian dan seperti berlomba-lomba memimpin rapat di belasan departemen teknis dan berbagai instansi.
Meski demikian, hasil kerja dan capaian setiap departemen dirasakan belum memuaskan. "Kadang kala, saya harus memimpin langsung dulu sebelum saya lepaskan kepada mereka dan meminta perkembangannya," ujar Wapres akhir Oktober lalu.
Karena geregetan dengan kerja birokrat, untuk program konversi minyak tanah ke gas, misalnya, hampir setiap minggu digelar rapat di Istana Wapres. Tidak cukup memberi instruksi kepada para menteri, Wapres sampai mengontrol langsung ke pabrik pembuatan kompor, pasokan, dan distribusinya.
Meskipun dipantau dan diarahkan, program pengadaan tabung gas sempat meleset dari sasaran dan menimbulkan kebingungan dan pro kontra, setelah munculnya impor tabung.
Dalam soal penyaluran benih pertanian, Wapres juga mengeluh. "Sudah dibuatkan kerja sama tiga lembaga (BPKP, Kejaksaaan Agung, dan Kepolisian Negara RI) agar penunjukan langsung bibit dan benih gratis untuk menopang dua juta produksi beras dilakukan, sampai sekarang tak lebih dari 50 persen pelaksanaannya," ujarnya.
Untuk jaminan kesehatan penduduk miskin yang angkanya mencapai 37,1 juta jiwa, pemerintah mewujudkan program Askeskin yang merupakan kelanjutan rancangan program pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Askeskin diberikan bukan hanya untuk 37,1 juta jiwa yang benar-benar miskin, tetapi juga rakyat setengah miskin dan kurang mampu. Karena itu, angkanya mencapai 76,4 juta jiwa. Meski sudah rinci dan tegas kebijakannya, dalam pelaksanaan di Departemen Kesehatan, program itu belum berjalan mulus.
Laporan Bappenas memang menyebutkan, selain masih digunakan untuk sebagian belanja barang, sosialisasi untuk Askeskin dianggap kurang. Tahun anggaran berjalan 2007 ini Departemen Kesehatan malah minta tambahan anggaran Rp 1,3 triliun. Namun, yang dipenuhi hanya sekitar Rp 700 miliar. Padahal, total alokasi pemerintah untuk program ini cukup besar, sekitar Rp 3,5 triliun.
Birokrasi berikut aparatnya memang menjadi sumber persoalan untuk pelaksanaan program prorakyat yang dicanangkan dan ingin dituai pemerintah. Aparat yang sebelumnya bebas melakukan apa saja, termasuk kemungkinan menyelewengkan uang negara, sekarang seperti tak berani berkutik. Ketakutan dituding korupsi selalu dijadikan alasan untuk melepas tanggung jawab.
Wapres Kalla pun sempat mengancam aparat birokrasi yang tidak berani berbuat apa-apa sehingga membuat anggaran negara untuk kepentingan rakyat tak terserap. Hingga akhir Oktober 2007, penyerapan APBN untuk pembangunan hanya 30,7 persen atau Rp 20,9 triliun dari total anggaran Rp 68,1 triliun.
Kenyataan tidak jauh berbeda juga terjadi di daerah. Jumlah serapan setiap APBD berkisar di angka 30 persen saja.
Dengan tidak digunakannya anggaran negara yang sudah ada untuk pembangunan, bisa dibayangkan bagaimana pelaksanaan program prorakyat yang sudah dicanangkan sejak awal tahun 2007.
Kini waktu makin sempit karena akhir masa jabatan tinggal dalam hitungan bulan. Upaya menggenjot dan mencetak daftar kata "telah" banyak terlewatkan. Hampir 70 persen rakyat yang mendapat dukungan anggaran pembangunan tidak tersapa dan diperjuangkan.
Dua puluh bulan mendatang, rakyat sudah akan menimbang dan mengambil keputusan di hari penghakiman.
Chavez, Putin, dan Dua Demokrasi
Oleh Ahmad Dahlan
Pekan lalu kita telah menyaksikan dua peristiwa demokrasi penting yang terjadi di belahan dunia barat.
Pertama adalah pemilu parlemen di Rusia pada Sabtu (1/12) yang dimenangi Partai Rusia Bersatu (United Russian) bentukan Presiden Vladimir Putin. Kedua, referendum nasional tentang perubahan konstitusi di Venezuela pada Minggu (2/12) yang berakhir dengan penolakan rakyat Venezuela atas inisiatif Presiden Hugo Chavez untuk merevisi konstitusi.
Kedua peristiwa tersebut menarik untuk dicermati karena menyangkut nasib politik dua orang kuat yang telah memimpin Rusia dan Venezuela selama lebih dari dua periode. Fakta bahwa pemilu dan referendum sebagai mekanisme demokrasi telah digunakan untuk melanggengkan kekuasaan juga menarik untuk dicermati.
Kenyataan itu merupakan sesuatu yang bertolak belakang dengan nilai demokrasi itu sendiri, yaitu membatasi kekuasaan agar tidak mengkristal menjadi kekuasaan absolut yang berujung pada tindak kesewenangan dari pemegang kekuasaan tersebut. Sebagaimana dikemukakan Lord Acton, "Power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutely."
Lalu, bagaimana kita menjelaskan dua peristiwa tersebut dalam konteks menilai kualitas demokrasi di Rusia dan Venezuela?
Menunggangi Demokrasi?
Rusia sebagai pewaris tunggal kebesaran Uni Soviet sesungguhnya belum terlalu akrab dengan ide-ide demokrasi. Tradisi yang dirintis Gorbachev sebagai pelopor pembaruan dan pencetus demokratisasi serta diperkuat Yeltsin telah diteruskan dengan baik oleh Putin.
Setelah delapan tahun berkuasa, Presiden Putin dikenal sebagai pemimpin Rusia yang berhasil. Putin dinilai telah mampu mengembalikan harga diri nasionalis dan kepercayaan bangsa Rusia yang merosot drastis sejak berakhirnya era perang dingin dan runtuhnya tembok Berlin.
Ditunjang dengan keberhasilan ekonomi Rusia, Putin memupuk modal politik untuk terus berkuasa. Konstitusi Rusia membatasi masa jabatan presiden hanya dua periode sehingga pada Maret 2008 Putin harus lengser untuk digantikan presiden baru hasil pemilu.
Selanjutnya, Putin membentuk Partai Rusia Bersatu yang digunakannya sebagai kendaraan politik untuk memenangi pemilu parlemen pada pekan lalu.
Kemenangan tersebut menjamin diperolehnya minimal 70 persen jumlah kursi di parlemen Rusia, jumlah yang cukup besar untuk menyiasati penyusunan undang-undang atau peraturan lain untuk kepentingan Putin.
Bisa diprediksi bahwa selanjutnya Putin akan menggunakan kekuatan di parlemen untuk mengamandemen konstitusi atau membuatnya terpilih menjadi perdana menteri (PM). Dengan posisi mayoritas di parlemen dan menduduki posisi sebagai PM, Putin tidak terlalu sulit untuk bertindak sebagai "King Maker" yang akan menentukan calon presiden yang akhirnya berpeluang besar memenangi pemilu presiden tahun depan. Dengan demikian, Putin dipastikan tetap akan memegang kendali politik sepenuhnya di Kremlin.
Meski banyak diprotes dari partai oposisi yang mengklaim telah terjadi banyak kecurangan dalam pemilu, Putin akan dengan mudah meyakinkan dan melegitimasikan hasil pemilu itu, baik ke publik internal maupun pihak luar. Postur politik yang dibangun Putin selama 8 tahun, ditambah kedekatan khususnya dengan Presiden Bush, cukup membantu memperkuat kredibilitas Putin, baik di mata publik Rusia maupun di mata dunia internasional.
Untuk itu, dunia sedang menunggu langkah-langkah lanjutan Putin untuk membuatnya tetap berkuasa di Rusia. Tentu langkah-langkah cantik dalam koridor demokrasi sedemikian rupa sehingga seorang Gary Kasparov yang mantan juara dunia catur dan kini memimpin barisan oposisi Rusia itu pun harus tunduk.
Demokrat Sejati?
Hal yang menarik dari referendum nasional Venezuela adalah hasil penghitungan suara yang ternyata mayoritas menentang revisi konstitusi. Padahal, pihak Chavez dengan yakin dan percaya diri mengusulkan dan menyelenggarakan referendum yang diperhitungkan pasti didukung mayoritas rakyat.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa rakyat Venezuela sudah tidak begitu mengultuskan Presiden Chavez sebagaimana terjadi pada periode awal pemerintahannya.
Boleh jadi, itu juga refleksi dari kebosanan rakyat Venezuela akan sikap hyper-megalomania yang sering ditunjukkan Chavez setiap kali tampil di forum-forum internasional. Sikap Chavez tersebut memang banyak mengangkat citra Venezuela sebagai negara yang aktif menggalang koalisi anti-Amerika Serikat di kawasan Amerika Latin. Secara pribadi, Chavez juga sering digadang-gadang sebagai calon pengganti Fidel Castro.
Namun, berbeda dengan Castro, Chavez di puncak kepopuleran dan kekuasaannya ternyata masih memilih jalan demokrasi untuk mengambil keputusan sangat krusial dan penting seperti halnya amandemen konstitusi.
Dengan demikian, kita bisa menilai bahwa Chavez adalah demokrat sejati. Hal itu diperkuat dengan sikapnya yang menerima secara terbuka kekalahan kubu proamandemen dalam referendum dan membuka jalan bagi calon presiden baru untuk berkompetisi secara bebas dalam pemilu tahun depan.
Ahmad Dahlan, Kabid Diklat Sesdilu Departemen Luar Negeri (Deplu) RI. Alumnus Saitama University Jepang (Email: gilzul@yahoo.com)
Pekan lalu kita telah menyaksikan dua peristiwa demokrasi penting yang terjadi di belahan dunia barat.
Pertama adalah pemilu parlemen di Rusia pada Sabtu (1/12) yang dimenangi Partai Rusia Bersatu (United Russian) bentukan Presiden Vladimir Putin. Kedua, referendum nasional tentang perubahan konstitusi di Venezuela pada Minggu (2/12) yang berakhir dengan penolakan rakyat Venezuela atas inisiatif Presiden Hugo Chavez untuk merevisi konstitusi.
Kedua peristiwa tersebut menarik untuk dicermati karena menyangkut nasib politik dua orang kuat yang telah memimpin Rusia dan Venezuela selama lebih dari dua periode. Fakta bahwa pemilu dan referendum sebagai mekanisme demokrasi telah digunakan untuk melanggengkan kekuasaan juga menarik untuk dicermati.
Kenyataan itu merupakan sesuatu yang bertolak belakang dengan nilai demokrasi itu sendiri, yaitu membatasi kekuasaan agar tidak mengkristal menjadi kekuasaan absolut yang berujung pada tindak kesewenangan dari pemegang kekuasaan tersebut. Sebagaimana dikemukakan Lord Acton, "Power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutely."
Lalu, bagaimana kita menjelaskan dua peristiwa tersebut dalam konteks menilai kualitas demokrasi di Rusia dan Venezuela?
Menunggangi Demokrasi?
Rusia sebagai pewaris tunggal kebesaran Uni Soviet sesungguhnya belum terlalu akrab dengan ide-ide demokrasi. Tradisi yang dirintis Gorbachev sebagai pelopor pembaruan dan pencetus demokratisasi serta diperkuat Yeltsin telah diteruskan dengan baik oleh Putin.
Setelah delapan tahun berkuasa, Presiden Putin dikenal sebagai pemimpin Rusia yang berhasil. Putin dinilai telah mampu mengembalikan harga diri nasionalis dan kepercayaan bangsa Rusia yang merosot drastis sejak berakhirnya era perang dingin dan runtuhnya tembok Berlin.
Ditunjang dengan keberhasilan ekonomi Rusia, Putin memupuk modal politik untuk terus berkuasa. Konstitusi Rusia membatasi masa jabatan presiden hanya dua periode sehingga pada Maret 2008 Putin harus lengser untuk digantikan presiden baru hasil pemilu.
Selanjutnya, Putin membentuk Partai Rusia Bersatu yang digunakannya sebagai kendaraan politik untuk memenangi pemilu parlemen pada pekan lalu.
Kemenangan tersebut menjamin diperolehnya minimal 70 persen jumlah kursi di parlemen Rusia, jumlah yang cukup besar untuk menyiasati penyusunan undang-undang atau peraturan lain untuk kepentingan Putin.
Bisa diprediksi bahwa selanjutnya Putin akan menggunakan kekuatan di parlemen untuk mengamandemen konstitusi atau membuatnya terpilih menjadi perdana menteri (PM). Dengan posisi mayoritas di parlemen dan menduduki posisi sebagai PM, Putin tidak terlalu sulit untuk bertindak sebagai "King Maker" yang akan menentukan calon presiden yang akhirnya berpeluang besar memenangi pemilu presiden tahun depan. Dengan demikian, Putin dipastikan tetap akan memegang kendali politik sepenuhnya di Kremlin.
Meski banyak diprotes dari partai oposisi yang mengklaim telah terjadi banyak kecurangan dalam pemilu, Putin akan dengan mudah meyakinkan dan melegitimasikan hasil pemilu itu, baik ke publik internal maupun pihak luar. Postur politik yang dibangun Putin selama 8 tahun, ditambah kedekatan khususnya dengan Presiden Bush, cukup membantu memperkuat kredibilitas Putin, baik di mata publik Rusia maupun di mata dunia internasional.
Untuk itu, dunia sedang menunggu langkah-langkah lanjutan Putin untuk membuatnya tetap berkuasa di Rusia. Tentu langkah-langkah cantik dalam koridor demokrasi sedemikian rupa sehingga seorang Gary Kasparov yang mantan juara dunia catur dan kini memimpin barisan oposisi Rusia itu pun harus tunduk.
Demokrat Sejati?
Hal yang menarik dari referendum nasional Venezuela adalah hasil penghitungan suara yang ternyata mayoritas menentang revisi konstitusi. Padahal, pihak Chavez dengan yakin dan percaya diri mengusulkan dan menyelenggarakan referendum yang diperhitungkan pasti didukung mayoritas rakyat.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa rakyat Venezuela sudah tidak begitu mengultuskan Presiden Chavez sebagaimana terjadi pada periode awal pemerintahannya.
Boleh jadi, itu juga refleksi dari kebosanan rakyat Venezuela akan sikap hyper-megalomania yang sering ditunjukkan Chavez setiap kali tampil di forum-forum internasional. Sikap Chavez tersebut memang banyak mengangkat citra Venezuela sebagai negara yang aktif menggalang koalisi anti-Amerika Serikat di kawasan Amerika Latin. Secara pribadi, Chavez juga sering digadang-gadang sebagai calon pengganti Fidel Castro.
Namun, berbeda dengan Castro, Chavez di puncak kepopuleran dan kekuasaannya ternyata masih memilih jalan demokrasi untuk mengambil keputusan sangat krusial dan penting seperti halnya amandemen konstitusi.
Dengan demikian, kita bisa menilai bahwa Chavez adalah demokrat sejati. Hal itu diperkuat dengan sikapnya yang menerima secara terbuka kekalahan kubu proamandemen dalam referendum dan membuka jalan bagi calon presiden baru untuk berkompetisi secara bebas dalam pemilu tahun depan.
Ahmad Dahlan, Kabid Diklat Sesdilu Departemen Luar Negeri (Deplu) RI. Alumnus Saitama University Jepang (Email: gilzul@yahoo.com)
Rabu, 31 Oktober 2007
Kapan Idul Fitri Bersama?
Pertanyaan di atas perlu didiskusikan lebih lanjut, mengingat perbedaan perayaan Idul Fitri acapkali menjadi kontroversi di negeri ini ketika menjelang hari raya Idul Fitri tiba. Berbeda dengan tahun sebelumnya, ritual Idul Fitri kali ini memiliki nuansa perbedaan yang cukup mencolok. Pasalnya, organisasi keagamaan Islam terbesar seperti NU dan Muhammadiyah serta pemerintah nampaknya berbeda dalam penetapan pelaksanaan Idul Fitri bagi umat muslimin, khususnya di Indonesia. Sebetulnya, kita cukup mafhum bahwa perbedaan tersebut sering terjadi dan kebanyakan lebih ditengarai oleh perbedaan cara (kaifiyat) penetapan hari raya Idul Fitri ketimbang faktor lainnya. Meskipun juga tidak sedikit yang mengaitkan perbedaan waktu perayaan lebaran terkadang akibat politisasi elit politik tertentu yang tidak senang bersatunya organisasi besar seperti NU dan Muhammadiyah. Asumsi di atas, memang belum juga seratus persen benar, akan tetapi banyak pihak saya kira ada yang sependapat dengan pandangan semacam ini.
Sebagaimana kita ketahui, cara penentuan hari lebaran bagi warga NU selama ini menggunakan metode ru'yat (melihat hilal), sedangkan Muhammadiyah menggunakan metode hisab (hitungan). Di mana kedua metode tersebut intinya adalah hendak mengetahui kapan waktu yang tepat dalam menyelesaikan ibadah puasa sekaligus merayakan hari kemenangan, Idul Fitri.
Cuma muncul sebuah persoalan serius ketika perbedaan tersebut manakala selalu “dipelintir� demi kepentingan tertentu. Padahal, perbedaan dalam khazanah Islam merupakan rahmat. Dan bukankah di tengah-tengah kehidupan bernegara Pancasila yang menjunjung nilai-nilai demokrasi dan multikulturalisme, menjadi sesuatu yang wajar kalau terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat dan ulama’, tentu tak terkecuali perbedaan pendapat dalam hal penetapan hari raya Idul Fitri.
Dalam konteks di atas, maka menjalin kebersamaan dalam perbedaan menjadi proyek penting yang perlu selalu diusahakan semua pihak, utamanya elit agamawan. Bagi pemerintah, seharusnya memposisikan diri sebagai koordinator ketimbang instruktur. Sebab, ketika pemerintah ikut campur mengintruksi lebih dalam maka akibatnya bisa fatal. Bayangkan saja, ketika agama selalu dicampuri pemerintah, akan tetapi situasi akan berbeda ketika pemerintah memposisikan sebagai koordinatif dari semua pihak dalam upaya menentukan kapan sebaiknya hari-hari besar dilaksanakan.
Sayangnya, pemerintah seringkali kurang adil dalam urusan-urusan semacam ini. Akibatnya, umat Islam secara umum menjadi korban kebingungan. Maksudnya, umat harus ikut pihak yang mana? Pertanyaan sederhana ini tidak seharusnya disederhanakan begitu saja sebab bisa jadi berubah menjadi malapetaka konflik sosial agama akibat perbedaan mazhab atau lainnya itu.
Dalam konteks semacam ini, menjadikan perbedaan bukan sebagai penghalang untuk menjalin kebersamaan menjadi signifikan. Dengan kebersamaan merayakan hari raya Idul Fitri tanpa harus bersama-sama waktunya, maka hal itu jauh lebih indah dan lebih semerbak dibandingkan dengan adanya politisasi perbedaan perayaan Idul Fitri antara PP Muhammadiyah yang jatuh pada hari jumat, 12 Oktober 2007, dengan NU dan pemerintah Republik Indonesia yang menetapkan 1 Syawal 1428 jatuh pada hari Sabtu, 13 Oktober 2007, dengan alasan saat matahari terbenam tinggi hilal 0 derajat 10’52�, yang tidak mungkin terlihat oleh mata telanjang, maka ditetapkan pada tanggal tersebut (Ahmad Rofiq, 2007).
Lebih dari itu, marilah kita berijtihad menegakkan kebersamaan merayakan hari raya Idul Fitri, yakni dengan cara saling menerima pendapat orang lain, tidak mempersalahkan pendapat orang lain, saling memahami, toleransi, dan masih banyak lagi cara lainnya yang bisa menumbuhkan nuansa damai seperti yang tersirat dalam perayaan Idul Fitri.
Pertama, mengkaji ulang sistem kalenderisasi. Langkah ini penting diambil sebab kalenderisasi Islam, khususnya di Indonesia nampak kurang terkoordinatif dengan baik. Masing-masing organisasi Islam mengambil inisiatif sendiri dalam merumuskan program tersebut. Karenanya, penting mendialogkan kembali dalam rangka menekan konflik akibat perbedaan pendapat dan ideologi.
Bagi Samuel P. Huntington (1999), era saat ini banyak pihak akan diperhadapkan dengan beragam masalah benturan antar ideologi dan peradaban (the clash of ideology and civilization). Indonesia sebagaimana kita ketahui adalah negeri yang kaya perbedaan peradaban, agama, ideologi dan adat isti adat. Manakala kekayaan keragaman tersebut tidak dikelola dengan apik maka benturan yang berujung kekerasan dan darah akan dijumpai di mana-mana. Tentu kita semua tidak berharap semua peristiwa itu terjadi.
Kedua, penciptaan perdamaian (peacebuilding process). Moment perayaan Idul Fitri acapkali dijadikan peristiwa biasa-biasa saja, padahal bagi hemat penulis, perayaan ini bisa digunakan sebagai perayaan perdamaian ketimbang perayaan perbedaan itu sendiri. Artinya, mewujudkan perdamaian lewat Idul Fitri menjadi penting dengan cara merumuskan strategi menjalin kebersamaan, toleransi dan kedamaian itu sendiri.
Last but not least, usaha dan upaya di atas nampaknya tidak mungkin terwujud manakala tidak ada political will (kemauan) di antara semua pihak. Karenanya, pemerintah, rakyat, pejabat, insan pers dan lainnya perlu bersatu padu mendukung terciptanya perdamaian di setiap perayaan hari besar keagamaan. Kerinduan akan terjadinya perayaan Idul Fitri secara bersamaan tentu tidak seharusnya dijadikan alasan untuk tidak menukung upaya penegakan perdamaian dan keadilan sosial di negeri ini. Semoga.***
Oleh: Agustina Nur Indah Sari
Penulis adalah mahasiswi semester III Jurusan Kependidikan Islam (KI) Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, peneliti LKAS Surabaya. Email: agustina.sari@yahoo.com
Sumber: Radar Surabaya, 11 Oktober 2007
Sebagaimana kita ketahui, cara penentuan hari lebaran bagi warga NU selama ini menggunakan metode ru'yat (melihat hilal), sedangkan Muhammadiyah menggunakan metode hisab (hitungan). Di mana kedua metode tersebut intinya adalah hendak mengetahui kapan waktu yang tepat dalam menyelesaikan ibadah puasa sekaligus merayakan hari kemenangan, Idul Fitri.
Cuma muncul sebuah persoalan serius ketika perbedaan tersebut manakala selalu “dipelintir� demi kepentingan tertentu. Padahal, perbedaan dalam khazanah Islam merupakan rahmat. Dan bukankah di tengah-tengah kehidupan bernegara Pancasila yang menjunjung nilai-nilai demokrasi dan multikulturalisme, menjadi sesuatu yang wajar kalau terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat dan ulama’, tentu tak terkecuali perbedaan pendapat dalam hal penetapan hari raya Idul Fitri.
Dalam konteks di atas, maka menjalin kebersamaan dalam perbedaan menjadi proyek penting yang perlu selalu diusahakan semua pihak, utamanya elit agamawan. Bagi pemerintah, seharusnya memposisikan diri sebagai koordinator ketimbang instruktur. Sebab, ketika pemerintah ikut campur mengintruksi lebih dalam maka akibatnya bisa fatal. Bayangkan saja, ketika agama selalu dicampuri pemerintah, akan tetapi situasi akan berbeda ketika pemerintah memposisikan sebagai koordinatif dari semua pihak dalam upaya menentukan kapan sebaiknya hari-hari besar dilaksanakan.
Sayangnya, pemerintah seringkali kurang adil dalam urusan-urusan semacam ini. Akibatnya, umat Islam secara umum menjadi korban kebingungan. Maksudnya, umat harus ikut pihak yang mana? Pertanyaan sederhana ini tidak seharusnya disederhanakan begitu saja sebab bisa jadi berubah menjadi malapetaka konflik sosial agama akibat perbedaan mazhab atau lainnya itu.
Dalam konteks semacam ini, menjadikan perbedaan bukan sebagai penghalang untuk menjalin kebersamaan menjadi signifikan. Dengan kebersamaan merayakan hari raya Idul Fitri tanpa harus bersama-sama waktunya, maka hal itu jauh lebih indah dan lebih semerbak dibandingkan dengan adanya politisasi perbedaan perayaan Idul Fitri antara PP Muhammadiyah yang jatuh pada hari jumat, 12 Oktober 2007, dengan NU dan pemerintah Republik Indonesia yang menetapkan 1 Syawal 1428 jatuh pada hari Sabtu, 13 Oktober 2007, dengan alasan saat matahari terbenam tinggi hilal 0 derajat 10’52�, yang tidak mungkin terlihat oleh mata telanjang, maka ditetapkan pada tanggal tersebut (Ahmad Rofiq, 2007).
Lebih dari itu, marilah kita berijtihad menegakkan kebersamaan merayakan hari raya Idul Fitri, yakni dengan cara saling menerima pendapat orang lain, tidak mempersalahkan pendapat orang lain, saling memahami, toleransi, dan masih banyak lagi cara lainnya yang bisa menumbuhkan nuansa damai seperti yang tersirat dalam perayaan Idul Fitri.
Pertama, mengkaji ulang sistem kalenderisasi. Langkah ini penting diambil sebab kalenderisasi Islam, khususnya di Indonesia nampak kurang terkoordinatif dengan baik. Masing-masing organisasi Islam mengambil inisiatif sendiri dalam merumuskan program tersebut. Karenanya, penting mendialogkan kembali dalam rangka menekan konflik akibat perbedaan pendapat dan ideologi.
Bagi Samuel P. Huntington (1999), era saat ini banyak pihak akan diperhadapkan dengan beragam masalah benturan antar ideologi dan peradaban (the clash of ideology and civilization). Indonesia sebagaimana kita ketahui adalah negeri yang kaya perbedaan peradaban, agama, ideologi dan adat isti adat. Manakala kekayaan keragaman tersebut tidak dikelola dengan apik maka benturan yang berujung kekerasan dan darah akan dijumpai di mana-mana. Tentu kita semua tidak berharap semua peristiwa itu terjadi.
Kedua, penciptaan perdamaian (peacebuilding process). Moment perayaan Idul Fitri acapkali dijadikan peristiwa biasa-biasa saja, padahal bagi hemat penulis, perayaan ini bisa digunakan sebagai perayaan perdamaian ketimbang perayaan perbedaan itu sendiri. Artinya, mewujudkan perdamaian lewat Idul Fitri menjadi penting dengan cara merumuskan strategi menjalin kebersamaan, toleransi dan kedamaian itu sendiri.
Last but not least, usaha dan upaya di atas nampaknya tidak mungkin terwujud manakala tidak ada political will (kemauan) di antara semua pihak. Karenanya, pemerintah, rakyat, pejabat, insan pers dan lainnya perlu bersatu padu mendukung terciptanya perdamaian di setiap perayaan hari besar keagamaan. Kerinduan akan terjadinya perayaan Idul Fitri secara bersamaan tentu tidak seharusnya dijadikan alasan untuk tidak menukung upaya penegakan perdamaian dan keadilan sosial di negeri ini. Semoga.***
Oleh: Agustina Nur Indah Sari
Penulis adalah mahasiswi semester III Jurusan Kependidikan Islam (KI) Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, peneliti LKAS Surabaya. Email: agustina.sari@yahoo.com
Sumber: Radar Surabaya, 11 Oktober 2007
Socio-religious meaning of the Idul Fitri exodus
Choirul Mahfud, Surabaya
The fasting month of Ramadhan will soon be over, and Muslims the world over are reflecting on the values of their religion as they prepare to celebrate Idul Fitri, which is known as Lebaran in Indonesia. Lebaran is a unique phenomenon whereby Muslims visit their family and friends to ask for forgiveness for any wrongs they might have committed in the previous year. Traditional foods are served, family and friends gather to ask for forgiveness and exchange greetings, new clothing is worn, children receive gifts and visits are made to recreational parks -- all to celebrate the end of the fasting month.
Another feature of Lebaran is mudik, or the annual return to one's hometown. While Islam does not explicitly recommend mudik, it encourages people to come together, love and forgive one another.
Mudik is an annual tradition inseparable from life in Indonesian communities. People who leave home to seek their fortunes in the big smoke usually return home only on the Idul Fitri holiday, where they visit their ancestors' graves and pray to the spirits of the deceased.
Mudik is also a kind of therapy, as it serves to revitalize family relationships. In its spiritual aspect, it generates a new vitality, which gives migrants new vigor to return to their work in the big cities.
People who work in big cities far from their homes often feel something is lacking in their lives; and this "lost something" can be rediscovered when they return home. Mudik is therefore both an annual tradition and a remedial "side effect" or therapy for the sense of loss an urban life creates.
In this context, mudik and Idul Fitri are great opportunities for people to reaffirm the importance of family and brotherhood. Islam reserves a special place for family relationships. Marriage remains a sacred ritual and social event. At a time when marriage as an institution has lost much of its credibility in many parts of the world, Muslims still maintain marriage is the only path to God's blessing through human relationships. And Idul Fitri provides an opportunity for Muslims to be together with family members (see Muhamad Ali, 2006).
Idul Fitri's religious meaning also changes according to personalities and circumstances. Religiosity is a difficult dimension to observe and measure. Some scholars suggest religiosity has several dimensions: experiential, ideological, intellectual, ritualistic and consequential. From my observations, Idul Fitri is more about the experiential, ritualistic and consequential rather than the ideological and intellectual dimensions.
The experiential dimension refers to the degree and intensity of a person's experience with God. The experiential dimension also points to one's encounter with other Muslims, such as on the morning of Idul Fitri when Muslims gather in mosques or open fields to pray together, recite takbir (Allah is the Greatest), tahmid (Praise be to Allah), tahlil (God is the only One and Muhammad is the Messenger of Allah) and tasbih (everyone and everything in the universe recognizes Allah's independence of any shortcomings).
Ritualistic dimensions refer to institutional or organized practices of religion, such as Koran recitals, the wearing or carrying of religious charms or observing religious holidays. Idul Fitri is carried out mostly ritualistically, since it has become standardized with certain rules and guidelines. From the fasting month to Idul Fitri, ritualistic dimensions are largely apparent and most Muslims seem to try to obey these ritualistic dimensions, which have been largely standardized through jurisprudential and legal scholarship.
Muhamad Ali (2006) said the ritualistic part of fasting and Idul Fitri is a product of early, but also medieval, Muslim scholars. And the majority of Muslims today are conservative, in the sense they simply follow fasting and Idul Fitri rules without questioning them too much.
For Muslims in Indonesia, the ritualistic and legalistic aspects of fasting and Idul Fitri follow the Sunni theological and Shafiite schools of thought. World religions stress the importance of ritual, but there is a danger of ritualism if religion simply means ritual and nothing more or implied in terms of personal and public virtues.
Ritualism is a belief or a situation in which a believer merely follows the "how" (or ritual) of the religion without understanding the "why". It is in this context that many Muslims have shown a lack of conformity (between ritual and good social and public dimensions).
In particular, there is a lack of conformity between rituals and the general condition of Muslims in terms of education and prosperity. Blind ritualism can lead to corruption, underdevelopment, illiteracy, violence, social injustices and other unresolved social problems. So, the consequential dimension lies in the consequences Islam has for the individual in a variety of areas.
Muslims might correctly perform their rituals during the year, yet these rituals may have little impact and consequence on their everyday lives in terms of good human relationships. We have seen how religion reflects society and how individuals draw on religion in a variety of ways to add meaning to their lives.
There are hypocrites, sinners, sincerely faithful people, committed people and so forth. But Muslims today are trying to seek meaning through their religion. The fasting month and Idul Fitri are a special time for those in search of that meaning -- I sincerely hope they find it.
Happy Idul Fitri!
The writer is a lecturer of Islamic and Western philosophy at Muhammadiyah University in Surabaya. He can be contacted at mahfudjatim@yahoo.com
Source: http://www.thejakartapost.com/yesterdaydetail.asp?fileid=20071010.E02
The fasting month of Ramadhan will soon be over, and Muslims the world over are reflecting on the values of their religion as they prepare to celebrate Idul Fitri, which is known as Lebaran in Indonesia. Lebaran is a unique phenomenon whereby Muslims visit their family and friends to ask for forgiveness for any wrongs they might have committed in the previous year. Traditional foods are served, family and friends gather to ask for forgiveness and exchange greetings, new clothing is worn, children receive gifts and visits are made to recreational parks -- all to celebrate the end of the fasting month.
Another feature of Lebaran is mudik, or the annual return to one's hometown. While Islam does not explicitly recommend mudik, it encourages people to come together, love and forgive one another.
Mudik is an annual tradition inseparable from life in Indonesian communities. People who leave home to seek their fortunes in the big smoke usually return home only on the Idul Fitri holiday, where they visit their ancestors' graves and pray to the spirits of the deceased.
Mudik is also a kind of therapy, as it serves to revitalize family relationships. In its spiritual aspect, it generates a new vitality, which gives migrants new vigor to return to their work in the big cities.
People who work in big cities far from their homes often feel something is lacking in their lives; and this "lost something" can be rediscovered when they return home. Mudik is therefore both an annual tradition and a remedial "side effect" or therapy for the sense of loss an urban life creates.
In this context, mudik and Idul Fitri are great opportunities for people to reaffirm the importance of family and brotherhood. Islam reserves a special place for family relationships. Marriage remains a sacred ritual and social event. At a time when marriage as an institution has lost much of its credibility in many parts of the world, Muslims still maintain marriage is the only path to God's blessing through human relationships. And Idul Fitri provides an opportunity for Muslims to be together with family members (see Muhamad Ali, 2006).
Idul Fitri's religious meaning also changes according to personalities and circumstances. Religiosity is a difficult dimension to observe and measure. Some scholars suggest religiosity has several dimensions: experiential, ideological, intellectual, ritualistic and consequential. From my observations, Idul Fitri is more about the experiential, ritualistic and consequential rather than the ideological and intellectual dimensions.
The experiential dimension refers to the degree and intensity of a person's experience with God. The experiential dimension also points to one's encounter with other Muslims, such as on the morning of Idul Fitri when Muslims gather in mosques or open fields to pray together, recite takbir (Allah is the Greatest), tahmid (Praise be to Allah), tahlil (God is the only One and Muhammad is the Messenger of Allah) and tasbih (everyone and everything in the universe recognizes Allah's independence of any shortcomings).
Ritualistic dimensions refer to institutional or organized practices of religion, such as Koran recitals, the wearing or carrying of religious charms or observing religious holidays. Idul Fitri is carried out mostly ritualistically, since it has become standardized with certain rules and guidelines. From the fasting month to Idul Fitri, ritualistic dimensions are largely apparent and most Muslims seem to try to obey these ritualistic dimensions, which have been largely standardized through jurisprudential and legal scholarship.
Muhamad Ali (2006) said the ritualistic part of fasting and Idul Fitri is a product of early, but also medieval, Muslim scholars. And the majority of Muslims today are conservative, in the sense they simply follow fasting and Idul Fitri rules without questioning them too much.
For Muslims in Indonesia, the ritualistic and legalistic aspects of fasting and Idul Fitri follow the Sunni theological and Shafiite schools of thought. World religions stress the importance of ritual, but there is a danger of ritualism if religion simply means ritual and nothing more or implied in terms of personal and public virtues.
Ritualism is a belief or a situation in which a believer merely follows the "how" (or ritual) of the religion without understanding the "why". It is in this context that many Muslims have shown a lack of conformity (between ritual and good social and public dimensions).
In particular, there is a lack of conformity between rituals and the general condition of Muslims in terms of education and prosperity. Blind ritualism can lead to corruption, underdevelopment, illiteracy, violence, social injustices and other unresolved social problems. So, the consequential dimension lies in the consequences Islam has for the individual in a variety of areas.
Muslims might correctly perform their rituals during the year, yet these rituals may have little impact and consequence on their everyday lives in terms of good human relationships. We have seen how religion reflects society and how individuals draw on religion in a variety of ways to add meaning to their lives.
There are hypocrites, sinners, sincerely faithful people, committed people and so forth. But Muslims today are trying to seek meaning through their religion. The fasting month and Idul Fitri are a special time for those in search of that meaning -- I sincerely hope they find it.
Happy Idul Fitri!
The writer is a lecturer of Islamic and Western philosophy at Muhammadiyah University in Surabaya. He can be contacted at mahfudjatim@yahoo.com
Source: http://www.thejakartapost.com/yesterdaydetail.asp?fileid=20071010.E02
Senin, 22 Oktober 2007
Mencari Model Rekonsiliasi Aceh
Sebuah pernyataan dari seorang ulama di Aceh menyebutkan, ide Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebenarnya tidak sesuai dengan semangat Islam. Menurut ulama itu, Islam menekankan islah, berdamai dengan memaafkan. Mengungkit masa lalu, apalagi yang tidak jelas, akan melahirkan konflik dan memberi mudharat (kesengsaraan) dibandingkan dengan maslahah mursalah (manfaat sosial). Sontak ide ini memicu polemik, terutama dari kelompok kontra, seperti aktivis prodemokratisasi dan HAM. Benarkah rekonsiliasi dianggap bukan jalan yang islami?
Antropologi kecemasan
Pernyataan itu, tidak secara sederhana dibaca sebagai sikap promiliterisme, tetapi lebih sebagai sikap yang terlalu hati-hati atas situasi antropologis Aceh. Setelah konflik 30 tahun terhenti oleh kesepakatan damai, masyarakat dianggap belum siap membicarakan ide sensitif itu.
Tahapan perdamaian yang dipungkasi pilkada tahun lalu dianggap lebih dari cukup. Padahal ide rekonsiliasi, selain eksplisit ada di nota kesepahaman Helsinki, juga memiliki arti lebih bagi proses demokratisasi dan perdamaian Aceh.
Perdamaian bukan "kata benda" yang selalu merujuk hasil dan dampak, tetapi merupakan proses dan dialektika yang selalu menuntut kerja keras agar bertahan kebugarannya. Perdamaian yang tidak aktif dipertahankan, akan kembali mengarah regresi, godaan untuk kembali berkonflik, dan involusi: perdamaian yang berjalan di tempat.
Perdamaian yang mengabaikan dimensi rekonsiliasi (dan peradilan HAM termasuk paket di dalamnya) sama dengan perdamaian formal yang belum menyentuh substansi. Proses deformasi perdamaian menuju tahap pelibatan seluruh potensi masyarakat adalah model rekonsiliasi untuk membangun Aceh dan nasional dengan sejarah yang lebih maju. Sisi lain rekonsiliasi, yaitu reunifikasi faksi masyarakat (bukan hanya pihak yang bertikai), juga penting dipikirkan, agar luka benar-benar bersih.
Mengingat yang benar
Gagasan rekonsiliasi terlalu dini dicurigai sebagai upaya mengungkit hal-hal yang tidak perlu atau membesarkan masalah yang masih "misterius" pada konflik Aceh masa lalu. Ide rekonsiliasi selalu dinilai negatif sebagai hanya menjadi agenda global dibandingkan tuntutan riil lokal.
Gagasan ini kian kekurangan nyali karena secara legal payung hukum untuk menjustifikasi mulai lunglai, sejak UU No 27/2004 yang mengatur Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Pembatalan beralasan bahwa UU KKR dianggap tidak mewakili asas keadilan dan penghargaan kepada korban. Ditambah lagi, tidak ada pengalaman yang dapat dijadikan rujukan rekonsiliasi ideal yang secara instan bisa digunakan.
Model Afrika Selatan terbentuk di atas meja kompromi pragmatis antara pribumi dan rezim apartheid. Model Timor Leste mensyaratkan pemaafan dengan semangat secepatnya melupakan (to forgive and forget at once). Timor Leste mempertimbangkan perasaan Indonesia sebagai aktor merajalelanya konflik dan penderitaan di bekas koloni Portugal itu. Model Rwanda mirip kompleksitas konflik Indonesia 1965-1966, saat ada sentimen menyejarah dan saling bantai antara suku Hutu dan Tutsi.
Model rekonsiliasi Aceh adalah semangat baru dalam bentuk dan proses. Jangan dilupakan, rekonsiliasi sebenarnya bukan sekadar jalan menuju proses maaf-memaafkan, tetapi, lebih jauh, penggeledahan tentang masa lalu untuk mengetahui kebenaran (seeking the truth of the past time).
Akar konflik
Benarkah inti konflik Aceh adalah GAM atau antropologi pemberontakan masyarakat Aceh sejak masa DI/TII? Atau, akar konflik aceh sebenarnya terkait dengan libido ekonomi global di daerah kaya tambang ini?
Pemberontakan hanya menjadi catatan kaki dan Hasan Tiro hanya figur antara yang mudah distigmatisasi, seperti Tan Malaka, Muso, atau Amir Syarifuddin dalam sejarah pemberontakan Indonesia? Atau sebenarnya ada banyak agenda besar yang lebih terpusat pada perilaku Jakarta dibandingkan dengan Aceh?
Model untuk merajut sejarah masa lalu adalah prinsip utama rekonsiliasi. Politik mengingat lebih penting daripada gairah menghukum, membalas dendam, atau memaafkan. Proses rekonsiliasi akan menilai apakah pihak bertikai mau mengingat dan bersaksi atas perilaku masa lalu?
Dalam konflik yang telah berkembang sebagai problem sosial, rekonsiliasi adalah jalan damai dengan mengenang (to forgive and remember). Tidak ada sesuatu yang patut dimaafkan dengan lupa karena tak mungkin memaafkan sesuatu yang tidak diingat.
Terakhir, yang juga penting dipertimbangkan dalam rekonsiliasi Aceh, tidak hanya menubuhkan pihak yang bertikai, tetapi juga pihak lain yang tidak tersangkut tetapi terseret. Merekalah para korban. Sebagian dari korban masih bisa bersaksi (survivor). Mereka tubuh yang harus bersuara atas ketimpangan dan kesunyian di masa lalu.
Teuku Kemal Fasya Ketua Komunitas Peradaban Aceh (KPA)
Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0710/23/opini/3930377.htm
Antropologi kecemasan
Pernyataan itu, tidak secara sederhana dibaca sebagai sikap promiliterisme, tetapi lebih sebagai sikap yang terlalu hati-hati atas situasi antropologis Aceh. Setelah konflik 30 tahun terhenti oleh kesepakatan damai, masyarakat dianggap belum siap membicarakan ide sensitif itu.
Tahapan perdamaian yang dipungkasi pilkada tahun lalu dianggap lebih dari cukup. Padahal ide rekonsiliasi, selain eksplisit ada di nota kesepahaman Helsinki, juga memiliki arti lebih bagi proses demokratisasi dan perdamaian Aceh.
Perdamaian bukan "kata benda" yang selalu merujuk hasil dan dampak, tetapi merupakan proses dan dialektika yang selalu menuntut kerja keras agar bertahan kebugarannya. Perdamaian yang tidak aktif dipertahankan, akan kembali mengarah regresi, godaan untuk kembali berkonflik, dan involusi: perdamaian yang berjalan di tempat.
Perdamaian yang mengabaikan dimensi rekonsiliasi (dan peradilan HAM termasuk paket di dalamnya) sama dengan perdamaian formal yang belum menyentuh substansi. Proses deformasi perdamaian menuju tahap pelibatan seluruh potensi masyarakat adalah model rekonsiliasi untuk membangun Aceh dan nasional dengan sejarah yang lebih maju. Sisi lain rekonsiliasi, yaitu reunifikasi faksi masyarakat (bukan hanya pihak yang bertikai), juga penting dipikirkan, agar luka benar-benar bersih.
Mengingat yang benar
Gagasan rekonsiliasi terlalu dini dicurigai sebagai upaya mengungkit hal-hal yang tidak perlu atau membesarkan masalah yang masih "misterius" pada konflik Aceh masa lalu. Ide rekonsiliasi selalu dinilai negatif sebagai hanya menjadi agenda global dibandingkan tuntutan riil lokal.
Gagasan ini kian kekurangan nyali karena secara legal payung hukum untuk menjustifikasi mulai lunglai, sejak UU No 27/2004 yang mengatur Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Pembatalan beralasan bahwa UU KKR dianggap tidak mewakili asas keadilan dan penghargaan kepada korban. Ditambah lagi, tidak ada pengalaman yang dapat dijadikan rujukan rekonsiliasi ideal yang secara instan bisa digunakan.
Model Afrika Selatan terbentuk di atas meja kompromi pragmatis antara pribumi dan rezim apartheid. Model Timor Leste mensyaratkan pemaafan dengan semangat secepatnya melupakan (to forgive and forget at once). Timor Leste mempertimbangkan perasaan Indonesia sebagai aktor merajalelanya konflik dan penderitaan di bekas koloni Portugal itu. Model Rwanda mirip kompleksitas konflik Indonesia 1965-1966, saat ada sentimen menyejarah dan saling bantai antara suku Hutu dan Tutsi.
Model rekonsiliasi Aceh adalah semangat baru dalam bentuk dan proses. Jangan dilupakan, rekonsiliasi sebenarnya bukan sekadar jalan menuju proses maaf-memaafkan, tetapi, lebih jauh, penggeledahan tentang masa lalu untuk mengetahui kebenaran (seeking the truth of the past time).
Akar konflik
Benarkah inti konflik Aceh adalah GAM atau antropologi pemberontakan masyarakat Aceh sejak masa DI/TII? Atau, akar konflik aceh sebenarnya terkait dengan libido ekonomi global di daerah kaya tambang ini?
Pemberontakan hanya menjadi catatan kaki dan Hasan Tiro hanya figur antara yang mudah distigmatisasi, seperti Tan Malaka, Muso, atau Amir Syarifuddin dalam sejarah pemberontakan Indonesia? Atau sebenarnya ada banyak agenda besar yang lebih terpusat pada perilaku Jakarta dibandingkan dengan Aceh?
Model untuk merajut sejarah masa lalu adalah prinsip utama rekonsiliasi. Politik mengingat lebih penting daripada gairah menghukum, membalas dendam, atau memaafkan. Proses rekonsiliasi akan menilai apakah pihak bertikai mau mengingat dan bersaksi atas perilaku masa lalu?
Dalam konflik yang telah berkembang sebagai problem sosial, rekonsiliasi adalah jalan damai dengan mengenang (to forgive and remember). Tidak ada sesuatu yang patut dimaafkan dengan lupa karena tak mungkin memaafkan sesuatu yang tidak diingat.
Terakhir, yang juga penting dipertimbangkan dalam rekonsiliasi Aceh, tidak hanya menubuhkan pihak yang bertikai, tetapi juga pihak lain yang tidak tersangkut tetapi terseret. Merekalah para korban. Sebagian dari korban masih bisa bersaksi (survivor). Mereka tubuh yang harus bersuara atas ketimpangan dan kesunyian di masa lalu.
Teuku Kemal Fasya Ketua Komunitas Peradaban Aceh (KPA)
Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0710/23/opini/3930377.htm
Post-dogmatic Indonesia
Ahmad Amir Aziz, Mataram
Muslims here and around the world have just celebrated Idul Fitri to mark the end of Ramadhan - the holiest month in the Islamic year. Through fasting, contemplation and charity, Muslims renew their commitment to honesty, piety and integrity. They should have asked themselves what they achieved and changed as they completed their month of fasting. Unfortunately, many Muslims look to have passed this ritual without achieving significant change. Their behavior, attitude and outlook remains the same, regardless of whether or not they fasted. Fasting has had no impact on many people, meaning that to some, religiosity stops at the dogmatic level.
However, we must say that Ramadhan does offer Muslims a great opportunity to improve their character. This attitude is taken by those who really care for Islamic values in a social sense, those who like thinking about and sympathizing with others, those who like helping others and those who emphasize their relationship with other human beings (hablum minan naas).
The Koran sees social welfare as a basic value in a sane and peaceful human society and refers to working toward overcoming human problems. It inspires Muslims to relate their taqwa to social realities, and to love fellow human beings who should be treated as part of an extended human family.
However, among Muslims tolerance seems to be sometimes lacking. One such example is a case in which a group of Lombok residents were driven from their homes because they belonged to what was considered a heretical sect by Islamic authorities.
It is important to note that today we live in a post-religion era in which religion has become merely a sub-culture that sometimes moves us ahead and sometimes drags us back. It has been displaced by more powerful strengths, like secularism and globalization.
Religion in the modern world should be based on an awareness of the importance of finding a balance between science, human rights and faith, rather than only seeing the differences between them. We hope many religious leaders in the country are working to facilitate democracy, peace, freedom of religion and other human rights.
Put simply, religion is peace and peace is religion. Without peace there is no religion. Likewise, without religion there is no peace.
Religious communities need to produce something very substantial, which will prove helpful in the construction of a peaceful world. This is possible, as all religions have the same vision when it comes to peace. Anyone who has studied Hinduism will agree that Hinduism is a philosophy of peace. Some scholars, such as Arnold Toynbee, have pointed out that the concept of Hinduism itself generates a spirit of mutual coexistence.
Buddhists also believe in non-violence, saying that, "the killing of a sensation is sin and to save a sensation is virtue". This means that according to Buddhism, violence is not simply bad in the moral sense, but a sin which is even worse than bad behavior.
Christianity is also a religion of peace. This is one of the reasons the religion has gained such great popularity around the world, with the largest number of followers out of all religions. As we know, Jesus Christ once said, "I tell you not to resist an evil person. Whoever slaps you on your right cheek, turn the other to him also".
Islam is a religion of peace too. Even its name connotes peace. The root word of Islam is "silm", which in Arabic means peace. One of God's names is Salam, which means peace. The Prophet of Islam is described as Rahamah, another name for peace. According to the Koran, paradise is a divine haven of peace. It is only those who have proven to be peacemakers in this world who will be allowed to enter God's Paradise.
All religions condemn violence. We believe violence has no place in society.
Dialog has become a tool to foster better understanding between different faiths and to promote a peaceful coexistence. Dialog is important to understand what it means to believe in a particular religious tradition and to understand the beliefs of others. With dialog, religious communities can join together to overcome social problems.
They may eventually understand that humanitarian activities are equal to, or perhaps even more important than, the vertical dimension of ritual. We hope in a post-dogmatic society, members of all religious communities will seek a mutual understanding of peace in the country.
The writer is a lecturer at the State Institute for Islamic Studies (IAIN) in Mataram, West Nusa Tenggara.
http://www.thejakartapost.com/yesterdaydetail.asp?fileid=20071019.E03
Muslims here and around the world have just celebrated Idul Fitri to mark the end of Ramadhan - the holiest month in the Islamic year. Through fasting, contemplation and charity, Muslims renew their commitment to honesty, piety and integrity. They should have asked themselves what they achieved and changed as they completed their month of fasting. Unfortunately, many Muslims look to have passed this ritual without achieving significant change. Their behavior, attitude and outlook remains the same, regardless of whether or not they fasted. Fasting has had no impact on many people, meaning that to some, religiosity stops at the dogmatic level.
However, we must say that Ramadhan does offer Muslims a great opportunity to improve their character. This attitude is taken by those who really care for Islamic values in a social sense, those who like thinking about and sympathizing with others, those who like helping others and those who emphasize their relationship with other human beings (hablum minan naas).
The Koran sees social welfare as a basic value in a sane and peaceful human society and refers to working toward overcoming human problems. It inspires Muslims to relate their taqwa to social realities, and to love fellow human beings who should be treated as part of an extended human family.
However, among Muslims tolerance seems to be sometimes lacking. One such example is a case in which a group of Lombok residents were driven from their homes because they belonged to what was considered a heretical sect by Islamic authorities.
It is important to note that today we live in a post-religion era in which religion has become merely a sub-culture that sometimes moves us ahead and sometimes drags us back. It has been displaced by more powerful strengths, like secularism and globalization.
Religion in the modern world should be based on an awareness of the importance of finding a balance between science, human rights and faith, rather than only seeing the differences between them. We hope many religious leaders in the country are working to facilitate democracy, peace, freedom of religion and other human rights.
Put simply, religion is peace and peace is religion. Without peace there is no religion. Likewise, without religion there is no peace.
Religious communities need to produce something very substantial, which will prove helpful in the construction of a peaceful world. This is possible, as all religions have the same vision when it comes to peace. Anyone who has studied Hinduism will agree that Hinduism is a philosophy of peace. Some scholars, such as Arnold Toynbee, have pointed out that the concept of Hinduism itself generates a spirit of mutual coexistence.
Buddhists also believe in non-violence, saying that, "the killing of a sensation is sin and to save a sensation is virtue". This means that according to Buddhism, violence is not simply bad in the moral sense, but a sin which is even worse than bad behavior.
Christianity is also a religion of peace. This is one of the reasons the religion has gained such great popularity around the world, with the largest number of followers out of all religions. As we know, Jesus Christ once said, "I tell you not to resist an evil person. Whoever slaps you on your right cheek, turn the other to him also".
Islam is a religion of peace too. Even its name connotes peace. The root word of Islam is "silm", which in Arabic means peace. One of God's names is Salam, which means peace. The Prophet of Islam is described as Rahamah, another name for peace. According to the Koran, paradise is a divine haven of peace. It is only those who have proven to be peacemakers in this world who will be allowed to enter God's Paradise.
All religions condemn violence. We believe violence has no place in society.
Dialog has become a tool to foster better understanding between different faiths and to promote a peaceful coexistence. Dialog is important to understand what it means to believe in a particular religious tradition and to understand the beliefs of others. With dialog, religious communities can join together to overcome social problems.
They may eventually understand that humanitarian activities are equal to, or perhaps even more important than, the vertical dimension of ritual. We hope in a post-dogmatic society, members of all religious communities will seek a mutual understanding of peace in the country.
The writer is a lecturer at the State Institute for Islamic Studies (IAIN) in Mataram, West Nusa Tenggara.
http://www.thejakartapost.com/yesterdaydetail.asp?fileid=20071019.E03
Selasa, 09 Oktober 2007
Tradisi Mudik dan Pesan Puasa
Tanpa terasa ibadah puasa ramadan tahun 1428 hijriah akan segera berakhir. Salah satu pengalaman yang barangkali sangat penting dan terasa begitu mendalam bagi orang yang berpuasa adalah perasaan senantiasa dekat dengan Allah. Hal ini setidaknya tercermin dari keseluruhan aktivitas kita selama Ramadan. Semua waktu dimanfaatkan untuk beribadah.Dalam perspektif ajaran Islam, perasaan dekat dengan Allah itu disebut dengan muraqabah. Merasa dekat dengan Allah itulah sesungguhnya esensi makna dari nilai-nilai ketaqwaan yang menjadi tujuan orang berpuasa (QS. Al-Baqarah: 183). Puasa telah mengajarkan kepada kita mengenai makna kehadiran Allah dalam hidup ini. Melalui ibadah puasa itulah Allah benar-benar bersifat hadir (omnipresent). Dengan cara pandang seperti ini orang yang berpuasa mampu menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat membatalkan atau merusak ibadah puasa.
Seiring dengan akan berakhirnya Ramadan, mereka yang sedang berada di daerah perantauan biasanya mulai disibukkan berbagai persiapan untuk mudik Lebaran ke kampung halaman. Menurut perkiraan Dinas Perhubungan Jawa Timur, kepadatan arus mudik lebaran akan terasa sejak 7-11 Oktober 2007. Pada saat itulah jasa angkutan darat, laut, dan udara menjadi semakin sibuk. Demikian juga dengan berbagai jasa angkutan mudik gratis di metropolis.
Uniknya, tradisi mudik Lebaran telah menjadi ritual bagi semua orang, tidak peduli ia berasal dari golongan kaya atau miskin. Berbagai motivasi turut menyertai peserta mudik lebaran, seperti rindu kampung halaman, sungkem kepada orang tua, silaturrahmi dengan sanak saudara, dan berbagi kebahagiaan dengan sesama. Bahkan di antara mereka ada yang ingin nyekar ke anggota keluarga yang telah meninggal dunia. Semua motivasi yang menyertai tradisi mudik ini dapat dipandang sebagai bentuk kearifan lokal (local wisdom) yang telah tumbuh di tengah-tengah masyarakat.
Karena didorong berbagai motivasi tersebut, biasanya pemudik rela mengeluarkan biaya yang banyak, bersusah payah, berdesak-desakan, dan bahkan terkadang tidak mempedulikan keselamatan diri. Fenomena ini dapat diamati ketika mereka harus antri dan berdesak-desakan di bandara, pelabuhan, serta terminal bus dan kereta api. Bahkan tidak sedikit pemudik yang mengendarai sepeda motor dengan berboncengan bersama anggota keluargan dan barang bawaannya. Semua ini dilakukan agar mereka dapat berkumpul kembali dengan keluarga di kampung halaman. Andre Moller dalam buku Ramadan di Jawa (2002) mengomentari tradisi mudik sebagai fenomena khas dan unik yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia untuk menyambut ramadan dan hari raya idul fitri.
Jika diamati, ternyata tradisi mudik memiliki sumbangan yang sangat besar untuk menggerakkan perekonomian di pedesaan. Hal ini dapat dimaklumi, sebab para pemudik biasanya datang dengan membawa hasil jerih payah selama bekerja di perantauan berupa uang dan barang-barang dalam jumlah relatif banyak. Mereka yang datang dengan berbagai profesi biasanya membagi-bagikan oleh-oleh kepada sanak keluarga dan tetangga terdekat. Melalui tradisi ini sesungguhnya para pemudik telah mengajarkan kepada kita cara berbagi kebahagiaan dengan sesama untuk merayakan hari kemenangan. Mereka tampak menyadari makna puasa Ramadan dan berhari raya Idul fitri. Maka pada konteks inilah mudik Lebaran jelas memiliki makna sosial, ekonomi, dan spiritual yang sangat penting.
Melalui tradisi ini, para pemudik berupaya mempererat hubungan kekeluargaan di antara sesama melalui jalinan silaturahmi dan budaya saling mengunjungi. Sementara makna ekonomi dari mudik Lebaran dapat diamati melalui tradisi untuk membawa hasil kerja selama di perantauan sehingga dapat mempengaruhi dinamika gerak perekonomian di desa. Jika para TKI dan TKW, pembantu rumah tangga, buruh pabrik, pedagang asongan, pegawai, dan pejabat publik, melaksanakan mudik Lebaran, maka dapat dipastikan akan ada perputaran uang dan barang-barang baru dalam jumlah yang sangat banyak di pedesaan. Hal ini jelas dapat menumbuhkan gairah perekonomian di desa.
Merujuk pada data dari Badan Pusat Statistika (BPS), dikatakan bahwa angka kemiskinan di Jawa Timur untuk periode Maret 2007 mencapai 7,138 juta jiwa (18,93 persen Sementara jumlah pengangguran mencapai 1,082 juta jiwa. Dari jumlah penduduk miskin tersebut, sebagian besar ternyata berada di pedesaan (21,33 persen dan sisanya berada di perkotaan (15,78 persen). Maka berkaitan dengan ritual mudik lebaran tersebut, keberadaan para pemudik dengan semua barang bawaannya jelas sangat menguntungkan penduduk miskin di pedesaan. Mereka akan turut menikmati kehadiran para pemudik. Apalagi semangat yang diusung para pemudik adalah berbagi dengan sesama.
Mudik dan Pesan Puasa
Makna mudik secara spiritual ternyata dapat ditemukan dalam Alquran. Tentu saja, pengertian mudik yang dimaksudkan adalah makna metaforis. Tradisi mudik dalam Alquran dapat diartikan dengan kembali kepada ampunan Allah. Dalam hal ini, Allah berfirman; Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa (Q.S. Ali Imran/133). Firman Allah tersebut berbicara mengenai perintah agar kita segera "mudik" dengan cara kembali kepada ampunan Tuhan. Karena hanya dengan cara inilah kita akan memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan berupa surga yang memang diperuntukkan bagi orang-orang yang bertaqwa. Jika dalam tradisi mudik Lebaran kita harus mempersiapkan bekal yang begitu banyak, maka untuk kembali kepada Allah jelas dibutuhkan bekal yang lebih. Derajat ketaqwaan sebagai hasil ibadah puasa dapat merupakan bekal yang sangat berharga untuk kembali kepada Allah.
Berkaitan dengan tradisi mudik, menurut saya budaya yang harus dihindari adalah konsumeris. Peringatan ini layak dikemukakan, sebab budaya konsumeris biasanya sangat melekat dengan perayaan idul fitri dan even-even lain seperti tahun baru dan hari natal. Membeli barang secara berlebihan apalagi di luar kebutuhan utama (basic need) atau sekedar untuk pamer dan berfoya-foya, jelas merupakan sikap yang kontradiktif dengan nilai-nilai yang dapat digali dari pelaksanaan ibadah puasa. Bukankah salah satu misi ibadah puasa itu adalah untuk membangun solidaritas sosial di kalangan masyarakat miskin. Ibadah puasa juga bertujuan membangun kesalehan sosial. Karena itu, upaya penyadaran masyarakat agar tidak berperilaku komsumtif perlu dilakukan. (mr_abien@yahoo.com)
By: Biyanto, Ketua Prodi Politik Islam Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel
Sumber: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=307342
Seiring dengan akan berakhirnya Ramadan, mereka yang sedang berada di daerah perantauan biasanya mulai disibukkan berbagai persiapan untuk mudik Lebaran ke kampung halaman. Menurut perkiraan Dinas Perhubungan Jawa Timur, kepadatan arus mudik lebaran akan terasa sejak 7-11 Oktober 2007. Pada saat itulah jasa angkutan darat, laut, dan udara menjadi semakin sibuk. Demikian juga dengan berbagai jasa angkutan mudik gratis di metropolis.
Uniknya, tradisi mudik Lebaran telah menjadi ritual bagi semua orang, tidak peduli ia berasal dari golongan kaya atau miskin. Berbagai motivasi turut menyertai peserta mudik lebaran, seperti rindu kampung halaman, sungkem kepada orang tua, silaturrahmi dengan sanak saudara, dan berbagi kebahagiaan dengan sesama. Bahkan di antara mereka ada yang ingin nyekar ke anggota keluarga yang telah meninggal dunia. Semua motivasi yang menyertai tradisi mudik ini dapat dipandang sebagai bentuk kearifan lokal (local wisdom) yang telah tumbuh di tengah-tengah masyarakat.
Karena didorong berbagai motivasi tersebut, biasanya pemudik rela mengeluarkan biaya yang banyak, bersusah payah, berdesak-desakan, dan bahkan terkadang tidak mempedulikan keselamatan diri. Fenomena ini dapat diamati ketika mereka harus antri dan berdesak-desakan di bandara, pelabuhan, serta terminal bus dan kereta api. Bahkan tidak sedikit pemudik yang mengendarai sepeda motor dengan berboncengan bersama anggota keluargan dan barang bawaannya. Semua ini dilakukan agar mereka dapat berkumpul kembali dengan keluarga di kampung halaman. Andre Moller dalam buku Ramadan di Jawa (2002) mengomentari tradisi mudik sebagai fenomena khas dan unik yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia untuk menyambut ramadan dan hari raya idul fitri.
Jika diamati, ternyata tradisi mudik memiliki sumbangan yang sangat besar untuk menggerakkan perekonomian di pedesaan. Hal ini dapat dimaklumi, sebab para pemudik biasanya datang dengan membawa hasil jerih payah selama bekerja di perantauan berupa uang dan barang-barang dalam jumlah relatif banyak. Mereka yang datang dengan berbagai profesi biasanya membagi-bagikan oleh-oleh kepada sanak keluarga dan tetangga terdekat. Melalui tradisi ini sesungguhnya para pemudik telah mengajarkan kepada kita cara berbagi kebahagiaan dengan sesama untuk merayakan hari kemenangan. Mereka tampak menyadari makna puasa Ramadan dan berhari raya Idul fitri. Maka pada konteks inilah mudik Lebaran jelas memiliki makna sosial, ekonomi, dan spiritual yang sangat penting.
Melalui tradisi ini, para pemudik berupaya mempererat hubungan kekeluargaan di antara sesama melalui jalinan silaturahmi dan budaya saling mengunjungi. Sementara makna ekonomi dari mudik Lebaran dapat diamati melalui tradisi untuk membawa hasil kerja selama di perantauan sehingga dapat mempengaruhi dinamika gerak perekonomian di desa. Jika para TKI dan TKW, pembantu rumah tangga, buruh pabrik, pedagang asongan, pegawai, dan pejabat publik, melaksanakan mudik Lebaran, maka dapat dipastikan akan ada perputaran uang dan barang-barang baru dalam jumlah yang sangat banyak di pedesaan. Hal ini jelas dapat menumbuhkan gairah perekonomian di desa.
Merujuk pada data dari Badan Pusat Statistika (BPS), dikatakan bahwa angka kemiskinan di Jawa Timur untuk periode Maret 2007 mencapai 7,138 juta jiwa (18,93 persen Sementara jumlah pengangguran mencapai 1,082 juta jiwa. Dari jumlah penduduk miskin tersebut, sebagian besar ternyata berada di pedesaan (21,33 persen dan sisanya berada di perkotaan (15,78 persen). Maka berkaitan dengan ritual mudik lebaran tersebut, keberadaan para pemudik dengan semua barang bawaannya jelas sangat menguntungkan penduduk miskin di pedesaan. Mereka akan turut menikmati kehadiran para pemudik. Apalagi semangat yang diusung para pemudik adalah berbagi dengan sesama.
Mudik dan Pesan Puasa
Makna mudik secara spiritual ternyata dapat ditemukan dalam Alquran. Tentu saja, pengertian mudik yang dimaksudkan adalah makna metaforis. Tradisi mudik dalam Alquran dapat diartikan dengan kembali kepada ampunan Allah. Dalam hal ini, Allah berfirman; Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa (Q.S. Ali Imran/133). Firman Allah tersebut berbicara mengenai perintah agar kita segera "mudik" dengan cara kembali kepada ampunan Tuhan. Karena hanya dengan cara inilah kita akan memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan berupa surga yang memang diperuntukkan bagi orang-orang yang bertaqwa. Jika dalam tradisi mudik Lebaran kita harus mempersiapkan bekal yang begitu banyak, maka untuk kembali kepada Allah jelas dibutuhkan bekal yang lebih. Derajat ketaqwaan sebagai hasil ibadah puasa dapat merupakan bekal yang sangat berharga untuk kembali kepada Allah.
Berkaitan dengan tradisi mudik, menurut saya budaya yang harus dihindari adalah konsumeris. Peringatan ini layak dikemukakan, sebab budaya konsumeris biasanya sangat melekat dengan perayaan idul fitri dan even-even lain seperti tahun baru dan hari natal. Membeli barang secara berlebihan apalagi di luar kebutuhan utama (basic need) atau sekedar untuk pamer dan berfoya-foya, jelas merupakan sikap yang kontradiktif dengan nilai-nilai yang dapat digali dari pelaksanaan ibadah puasa. Bukankah salah satu misi ibadah puasa itu adalah untuk membangun solidaritas sosial di kalangan masyarakat miskin. Ibadah puasa juga bertujuan membangun kesalehan sosial. Karena itu, upaya penyadaran masyarakat agar tidak berperilaku komsumtif perlu dilakukan. (mr_abien@yahoo.com)
By: Biyanto, Ketua Prodi Politik Islam Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel
Sumber: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=307342
Agama dan Moralitas Publik
Masdar Hilmy Pengajar Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya
"The ideal is an ideal given by tradition" (Edward Shils, Tradition, 1980:32). Pada sebuah seminar di Surabaya tahun 2003, almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur) pernah mengungkap kegalauannya di seputar tidak berimbasnya ajaran agama bagi perbaikan kualitas kehidupan umat di ranah publik. Dikatakan dengan nada gundah, "jangan dikira Tuhan tidak marah ketika kita melanggar rambu-rambu lalu lintas!"
Mendengar ungkapan itu, saya mengernyitkan dahi sambil bergumam dalam hati, bagaimana mungkin Cak Nur mengetahui Tuhan bakal marah atas perilaku kita yang tidak tertib dan tidak taat hukum? Dari mana dia mengambil kesimpulan itu? Bukankah ketertiban, kedisiplinan, dan ketaatan kita terhadap peraturan publik merupakan refleksi keinginan manusia untuk maju, dan tidak tidak ada sangkut pautnya dengan peran Tuhan atau agama? Kalau ingin maju, ya, maju saja, "mengapa harus membawa-bawa agama segala?", protes saya dalam hati.
Tesis kaum esensialis
Dalam perspektif ilmu-ilmu sosial-politik, Cak Nur mungkin tergolong seorang esensialis yang memandang maju-mundurnya kualitas sebuah peradaban ditentukan oleh hadir-absennya nilai-nilai etik agama dalam ranah publik.
Dengan kegalauannya itu, Cak Nur secara sadar sedang meratapi absennya etos publik agama-agama sehingga masyarakat kita kurang menghargai nilai-nilai keadaban.
Argumentasi kaum esensialis berangkat dari dialektika kausalitas-resiprokal antara kesadaran beragama sebagai sesuatu yang laten dan peradaban sebagai sesuatu yang manifes.
Secara genealogis, keberadaan mazhab esensialisme diinspirasi oleh konstruk teoretis Weberian yang mengasumsikan budaya berbasis agama (religion-based culture) sebagai roh penting bagi sebuah peradaban. Kenyataan bahwa iklim demokrasi dapat tumbuh subur pada peradaban yang berbasis Protestan, misalnya, karena agama tersebut secara esensial tidak memusuhi prinsip-prinsip demokrasi.
Dalam pandangan mazhab ini, kesadaran keberagamaan dan sistem keyakinan mengerangkai struktur terdalam kesadaran masyarakatnya yang menyediakan cetak biru bagi pola pikir dan perilaku masyarakat itu turun-temurun.
Belakangan, tesis esensialis Weberian diafirmasi sejumlah ilmuwan kontemporer seperti Edward Shils, Samuel P Huntington (melalui "benturan peradaban"), dan Francis Fukuyama (melalui tesis supremasi demokrasi liberal atas alternatif ideologis lainnya).
Memperkuat konstruk teoretis kaum esensialis ini, Pippa Norris dan Ronald Inglehart (2003:64) menyatakan, "Culture does matter—indeed, it matters a lot. Historical religious traditions have left an enduring imprint on contemporary values". Artinya, budaya merupakan unit otonom yang menentukan hitam-putihnya kualitas sebuah peradaban. Dan, di balik entitas budaya ada system of beliefs yang salah satunya diilhami oleh agama.
Menolak esensialisme
Menggelitik untuk dipertanyakan secara kritis, betulkah rendahnya kualitas keadaban publik yang ditengarai Cak Nur disebabkan absennya moralitas publik dalam agama-agama kita? Atau, hal itu dikarenakan kita tidak mampu melakukan transformasi peradaban melalui substansiasi nilai-nilai publik dari ajaran agama?
Saya yakin, sebagian besar umat beragama di negeri ini akan meradang mendengar klaim-klaim esensialis terkait rendahnya moralitas publik kita. Sayang, secara apriori-apologetik kita sering menolak klaim-klaim itu seraya mengajukan klaim-klaim tekstual-normatif tandingan yang juga bersifat esensialis! Terlepas dari bias atau prejudice yang mungkin menghinggapi pikiran kaum esensialis, klaim-klaim mereka berangkat dari prosedur akademis yang teruji ketat disertai argumen sosiologis yang sulit terbantahkan.
Ungkapan Edward Shils sebagaimana dikutip di awal tulisan, dalam derajat tertentu, memiliki benang merah dengan tesis kaum esensialis. Sebuah masyarakat cenderung enggan melepaskan praktik budaya masa lalu hanya karena menganggap sistem budaya mereka sendirilah yang paling ideal. Sikap tertutup semacam ini hanya akan melahirkan sindrom superiority complex yang justru kontraproduktif bagi pelembagaan nilai-nilai agama sebagai moralitas publik.
Menyikapi klaim-klaim esensialis itu, kita sebaiknya bersikap terbuka sembari melakukan refleksi untuk menemukan solusinya. Berbagai bentuk moral hazards seperti tingginya angka kematian akibat kecelakaan di semua moda angkutan; tingginya laju perusakan lingkungan akibat pengabaian tata ruang, polusi udara, dan penggundulan hutan; tingginya indeks korupsi dan terjerembabnya bangsa dalam labirin krisis berkepanjangan menjadi indikasi paling sahih betapa masyarakat belum sepenuhnya mampu mengapresiasi pentingnya moralitas publik sebagai sebuah keharusan. Ironisnya, segala bentuk moral hazards itu justru terjadi di negeri yang mengklaim diri sebagai religius!
"Good and clean governance"
Pelembagaan moralitas publik yang berkeadaban berawal dari substansiasi nilai-nilai agama dalam ranah publik (Masdar Hilmy, "Mewarnai Ruang Publik", Kompas, 9/3/2006) yang sesuai prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance).
Dalam konteks ini, kegalauan Cak Nur tentang tercerabutnya moralitas publik dari doktrin agama menjadi berasalan. Maka, kita layak melakukan otokritik dan refleksi: kontribusi positif apa yang dapat disumbangkan sistem ritus atau ibadah bagi peningkatan kualitas keadaban publik? Adakah shalat, puasa, dan zakat, misal- nya, secara substansial terbukti memberi kontribusi bagi tegaknya prinsip good and clean governance dalam ruang publik?
Menggarisbawahi itu semua, sudah saatnya memberi bukti empiris kepada dunia bahwa keberagamaan kita bukan faktor yang terpisah dari prinsip good and clean governance dalam struktur kenegaraan kita. Kecuali jika kita hendak menolak tesis kaum esensialis bahwa etos keadaban publik tidak ada sangkut pautnya dengan doktrin atau ritus agama, maka lupakan saja peran agama dalam ruang publik!
Masdar Hilmy Pengajar Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0710/10/opini/3882032.htm
"The ideal is an ideal given by tradition" (Edward Shils, Tradition, 1980:32). Pada sebuah seminar di Surabaya tahun 2003, almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur) pernah mengungkap kegalauannya di seputar tidak berimbasnya ajaran agama bagi perbaikan kualitas kehidupan umat di ranah publik. Dikatakan dengan nada gundah, "jangan dikira Tuhan tidak marah ketika kita melanggar rambu-rambu lalu lintas!"
Mendengar ungkapan itu, saya mengernyitkan dahi sambil bergumam dalam hati, bagaimana mungkin Cak Nur mengetahui Tuhan bakal marah atas perilaku kita yang tidak tertib dan tidak taat hukum? Dari mana dia mengambil kesimpulan itu? Bukankah ketertiban, kedisiplinan, dan ketaatan kita terhadap peraturan publik merupakan refleksi keinginan manusia untuk maju, dan tidak tidak ada sangkut pautnya dengan peran Tuhan atau agama? Kalau ingin maju, ya, maju saja, "mengapa harus membawa-bawa agama segala?", protes saya dalam hati.
Tesis kaum esensialis
Dalam perspektif ilmu-ilmu sosial-politik, Cak Nur mungkin tergolong seorang esensialis yang memandang maju-mundurnya kualitas sebuah peradaban ditentukan oleh hadir-absennya nilai-nilai etik agama dalam ranah publik.
Dengan kegalauannya itu, Cak Nur secara sadar sedang meratapi absennya etos publik agama-agama sehingga masyarakat kita kurang menghargai nilai-nilai keadaban.
Argumentasi kaum esensialis berangkat dari dialektika kausalitas-resiprokal antara kesadaran beragama sebagai sesuatu yang laten dan peradaban sebagai sesuatu yang manifes.
Secara genealogis, keberadaan mazhab esensialisme diinspirasi oleh konstruk teoretis Weberian yang mengasumsikan budaya berbasis agama (religion-based culture) sebagai roh penting bagi sebuah peradaban. Kenyataan bahwa iklim demokrasi dapat tumbuh subur pada peradaban yang berbasis Protestan, misalnya, karena agama tersebut secara esensial tidak memusuhi prinsip-prinsip demokrasi.
Dalam pandangan mazhab ini, kesadaran keberagamaan dan sistem keyakinan mengerangkai struktur terdalam kesadaran masyarakatnya yang menyediakan cetak biru bagi pola pikir dan perilaku masyarakat itu turun-temurun.
Belakangan, tesis esensialis Weberian diafirmasi sejumlah ilmuwan kontemporer seperti Edward Shils, Samuel P Huntington (melalui "benturan peradaban"), dan Francis Fukuyama (melalui tesis supremasi demokrasi liberal atas alternatif ideologis lainnya).
Memperkuat konstruk teoretis kaum esensialis ini, Pippa Norris dan Ronald Inglehart (2003:64) menyatakan, "Culture does matter—indeed, it matters a lot. Historical religious traditions have left an enduring imprint on contemporary values". Artinya, budaya merupakan unit otonom yang menentukan hitam-putihnya kualitas sebuah peradaban. Dan, di balik entitas budaya ada system of beliefs yang salah satunya diilhami oleh agama.
Menolak esensialisme
Menggelitik untuk dipertanyakan secara kritis, betulkah rendahnya kualitas keadaban publik yang ditengarai Cak Nur disebabkan absennya moralitas publik dalam agama-agama kita? Atau, hal itu dikarenakan kita tidak mampu melakukan transformasi peradaban melalui substansiasi nilai-nilai publik dari ajaran agama?
Saya yakin, sebagian besar umat beragama di negeri ini akan meradang mendengar klaim-klaim esensialis terkait rendahnya moralitas publik kita. Sayang, secara apriori-apologetik kita sering menolak klaim-klaim itu seraya mengajukan klaim-klaim tekstual-normatif tandingan yang juga bersifat esensialis! Terlepas dari bias atau prejudice yang mungkin menghinggapi pikiran kaum esensialis, klaim-klaim mereka berangkat dari prosedur akademis yang teruji ketat disertai argumen sosiologis yang sulit terbantahkan.
Ungkapan Edward Shils sebagaimana dikutip di awal tulisan, dalam derajat tertentu, memiliki benang merah dengan tesis kaum esensialis. Sebuah masyarakat cenderung enggan melepaskan praktik budaya masa lalu hanya karena menganggap sistem budaya mereka sendirilah yang paling ideal. Sikap tertutup semacam ini hanya akan melahirkan sindrom superiority complex yang justru kontraproduktif bagi pelembagaan nilai-nilai agama sebagai moralitas publik.
Menyikapi klaim-klaim esensialis itu, kita sebaiknya bersikap terbuka sembari melakukan refleksi untuk menemukan solusinya. Berbagai bentuk moral hazards seperti tingginya angka kematian akibat kecelakaan di semua moda angkutan; tingginya laju perusakan lingkungan akibat pengabaian tata ruang, polusi udara, dan penggundulan hutan; tingginya indeks korupsi dan terjerembabnya bangsa dalam labirin krisis berkepanjangan menjadi indikasi paling sahih betapa masyarakat belum sepenuhnya mampu mengapresiasi pentingnya moralitas publik sebagai sebuah keharusan. Ironisnya, segala bentuk moral hazards itu justru terjadi di negeri yang mengklaim diri sebagai religius!
"Good and clean governance"
Pelembagaan moralitas publik yang berkeadaban berawal dari substansiasi nilai-nilai agama dalam ranah publik (Masdar Hilmy, "Mewarnai Ruang Publik", Kompas, 9/3/2006) yang sesuai prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance).
Dalam konteks ini, kegalauan Cak Nur tentang tercerabutnya moralitas publik dari doktrin agama menjadi berasalan. Maka, kita layak melakukan otokritik dan refleksi: kontribusi positif apa yang dapat disumbangkan sistem ritus atau ibadah bagi peningkatan kualitas keadaban publik? Adakah shalat, puasa, dan zakat, misal- nya, secara substansial terbukti memberi kontribusi bagi tegaknya prinsip good and clean governance dalam ruang publik?
Menggarisbawahi itu semua, sudah saatnya memberi bukti empiris kepada dunia bahwa keberagamaan kita bukan faktor yang terpisah dari prinsip good and clean governance dalam struktur kenegaraan kita. Kecuali jika kita hendak menolak tesis kaum esensialis bahwa etos keadaban publik tidak ada sangkut pautnya dengan doktrin atau ritus agama, maka lupakan saja peran agama dalam ruang publik!
Masdar Hilmy Pengajar Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0710/10/opini/3882032.htm
Minggu, 07 Oktober 2007
Jihad Lawan Korupsi dan Kemiskinan
Korupsi dan kemiskinan adalah dua patologi sosial yang saling berkaitan. Bisa dikatakan, salah satu penyebab kemiskinan di negeri ini adalah merajalela dan menggilanya praktik korupsi di semua sektor kehidupan. Mengapa? Sebab, kita tentu mafhum, potensi dan kekayaan negeri ini seharusnya tidak membuat rakyat menjadi miskin (mengalami kemiskinan). Faktanya justru sebaliknya. Pengangguran, gelandangan, dan pengemis semakin hari kian banyak dan bertebaran di setiap sudut kota. Mereka semua hidup susah, tidak jelas berapa pendapatan sehari-harinya. Berdasar laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2006, jumlah penduduk miskin mencapai 17,75 persen. Setahun kemudian, pada Maret 2007, angka tersebut meningkat menjadi 39,30 juta orang.
Tingkat kemiskinan yang begitu besar tersebut mengakibatkan masalah-masalah dasar lain. Terutama, pendidikan dan kesehatan kurang menjadi prioritas pemikiran masyarakat. Bila dibiarkan, tentu dampaknya semakin parah bagi negeri ini.
Dalam konteks ini, jika asumsi bahwa kemiskinan diakibatkan oleh penyakit korupsi, bisa dibayangkan betapa Indonesia akan bebas dari penyakit kemiskinan ketika benar-benar korupsi bisa diberantas atau setidaknya ditekan hingga ke titik yang bisa ditoleransi.
Terkait dengan kemiskinan dan korupsi yang terus menggurita tersebut, mudah-mudahan tidak banyak orang yang mulai bosan dan lelah berbicara masalah tersebut serta upaya pemberantasannya. Sebab, kemiskinan dan korupsi di negeri ini seperti tidak pernah berkurang, baik dari sisi jumlah maupun kasus yang terjadi dari tahun ke tahun.
Sebagaimana diberitakan Jawa Pos belum lama ini, dalam survei terbaru lembaga Transparency International (TI), Indonesia masih duduk di peringkat ke-143 di antara 179 negara di dunia dalam upaya pemberantasan korupsi. Dengan peringkat itu, Indonesia menduduki peringkat ke-36 sebagai negara dengan pemberantasan korupsi terlemah di dunia (Jawa Pos, 27/9).
Angka indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tersebut jauh dibandingkan Malaysia sebesar 5,1 dan Singapura 9,3. Di kawasan Asia Selatan dan Tenggara, posisi Indonesia hanya lebih baik dibandingkan Bangladesh, Kamboja, Myanmar, Laos, dan Papua Nugini.
Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa korupsi seolah terus "dipelihara" dan dibiarkan. Di sini, pemerintah juga terkesan masih tebang pilih. Belum tuntasnya kasus korupsi Soeharto dan keluarganya hanyalah salah satu bukti.
Bersatu Padu
Melihat dampak korupsi yang melanggengkan kemiskinan tersebut, bagi saya, semua pihak perlu bersatu padu merebut peran dalam upaya pemberantasan korupsi di tanah air. Dalam konteks semacam ini, mungkin tepat kita melakukan jihad melawan korupsi dan kemiskinan. Jihad yang selama ini hanya dipahami sebagai mati di medan perang kini bisa dimaknai sebagai upaya sungguh-sungguh dalam memberantas korupsi demi kemajuan bangsa.
Bagaimana caranya? Pertama, upaya yang perlu ditempuh adalah melacak akar masalah korupsi dan kemudian merumuskan langkah strategis pemberantasannya.
Abdul Aziz mengutip Alatas (1987) melihat, ada dua penyebab utama menjamurnya praktik korupsi di Asia. Yakni, yang berlangsung terus-menerus dalam jangka panjang dan jangka pendek. Selain itu, bagi Alatas, lemahnya pemberantasan korupsi disebabkan kurang tegasnya pemimpin; minimnya pengajaran dan pendidikan antikorupsi, agama, serta etika; budaya kolonialisme; kemiskinan; tidak adanya hukum yang tegas; budaya; serta struktur pemerintahan yang mendukung perilaku korup.
Dalam konteks Indonesia, tesis yang dikemukakan sungguh tampak nyata sebagai realitas yang kasat mata. Ia membentang terang benderang di seluruh negeri ini mulai bawah hingga atas. Ia masuk dalam relung-relung birokrasi, pemerintahan, parlemen, parpol, lembaga pendidikan, organisasi militer, hingga "departemen agama". Karena itu, ia menjadi masalah besar yang sangat gawat dan memberi andil besar bagi kerusakan serta kehancuran bangsa ini (Syafi’i Ma’arif, 2001).
Lalu, bagaimana strategi pemberantasannya? Menurut saya, karena latar masalah terjadinya korupsi ibarat lingkaran setan, sudah tentu cara mengatasinya harus memutus lingkaran setan korupsi itu. Jihad melawan korupsi dengan cara memutus lingkaran setan tersebut tentu harus dilakukan bersama-sama.
Pertama, pemerintah beserta aparatnya wajib mengusut tuntas dengan tidak tebang pilih terhadap pelaku korupsi di negeri ini. Apalagi, sebagai anggota PBB, Indonesia ikut serta menandatangani deklarasi Millennium Development Goals (MDGs) yang salah satunya berkomitmen terhadap penghapusan kemiskinan.
Lebih dari itu, sudah sepatutnya perilaku menyimpang yang sering dilakukan elite politik perlu diganti dengan keteladanan moral yang baik.
Kedua, semua pihak di berbagai instansi dan institusi publik, agama, pendidikan, politik, media massa (pers), LSM, serta publik diharapkan berperan serta dan bertanggung jawab dalam penciptaan clean and good government.
Ala kulli hal, di tengah-tengah jeritan hidup akibat kemiskinan dan korupsi, masih adakah harapan bagi rakyat di negeri ini untuk bisa hidup sejahtera tanpa korupsi?
Oleh Choirul Mahfud
Penulis adalah dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya
Sumber: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=306156
Tingkat kemiskinan yang begitu besar tersebut mengakibatkan masalah-masalah dasar lain. Terutama, pendidikan dan kesehatan kurang menjadi prioritas pemikiran masyarakat. Bila dibiarkan, tentu dampaknya semakin parah bagi negeri ini.
Dalam konteks ini, jika asumsi bahwa kemiskinan diakibatkan oleh penyakit korupsi, bisa dibayangkan betapa Indonesia akan bebas dari penyakit kemiskinan ketika benar-benar korupsi bisa diberantas atau setidaknya ditekan hingga ke titik yang bisa ditoleransi.
Terkait dengan kemiskinan dan korupsi yang terus menggurita tersebut, mudah-mudahan tidak banyak orang yang mulai bosan dan lelah berbicara masalah tersebut serta upaya pemberantasannya. Sebab, kemiskinan dan korupsi di negeri ini seperti tidak pernah berkurang, baik dari sisi jumlah maupun kasus yang terjadi dari tahun ke tahun.
Sebagaimana diberitakan Jawa Pos belum lama ini, dalam survei terbaru lembaga Transparency International (TI), Indonesia masih duduk di peringkat ke-143 di antara 179 negara di dunia dalam upaya pemberantasan korupsi. Dengan peringkat itu, Indonesia menduduki peringkat ke-36 sebagai negara dengan pemberantasan korupsi terlemah di dunia (Jawa Pos, 27/9).
Angka indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tersebut jauh dibandingkan Malaysia sebesar 5,1 dan Singapura 9,3. Di kawasan Asia Selatan dan Tenggara, posisi Indonesia hanya lebih baik dibandingkan Bangladesh, Kamboja, Myanmar, Laos, dan Papua Nugini.
Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa korupsi seolah terus "dipelihara" dan dibiarkan. Di sini, pemerintah juga terkesan masih tebang pilih. Belum tuntasnya kasus korupsi Soeharto dan keluarganya hanyalah salah satu bukti.
Bersatu Padu
Melihat dampak korupsi yang melanggengkan kemiskinan tersebut, bagi saya, semua pihak perlu bersatu padu merebut peran dalam upaya pemberantasan korupsi di tanah air. Dalam konteks semacam ini, mungkin tepat kita melakukan jihad melawan korupsi dan kemiskinan. Jihad yang selama ini hanya dipahami sebagai mati di medan perang kini bisa dimaknai sebagai upaya sungguh-sungguh dalam memberantas korupsi demi kemajuan bangsa.
Bagaimana caranya? Pertama, upaya yang perlu ditempuh adalah melacak akar masalah korupsi dan kemudian merumuskan langkah strategis pemberantasannya.
Abdul Aziz mengutip Alatas (1987) melihat, ada dua penyebab utama menjamurnya praktik korupsi di Asia. Yakni, yang berlangsung terus-menerus dalam jangka panjang dan jangka pendek. Selain itu, bagi Alatas, lemahnya pemberantasan korupsi disebabkan kurang tegasnya pemimpin; minimnya pengajaran dan pendidikan antikorupsi, agama, serta etika; budaya kolonialisme; kemiskinan; tidak adanya hukum yang tegas; budaya; serta struktur pemerintahan yang mendukung perilaku korup.
Dalam konteks Indonesia, tesis yang dikemukakan sungguh tampak nyata sebagai realitas yang kasat mata. Ia membentang terang benderang di seluruh negeri ini mulai bawah hingga atas. Ia masuk dalam relung-relung birokrasi, pemerintahan, parlemen, parpol, lembaga pendidikan, organisasi militer, hingga "departemen agama". Karena itu, ia menjadi masalah besar yang sangat gawat dan memberi andil besar bagi kerusakan serta kehancuran bangsa ini (Syafi’i Ma’arif, 2001).
Lalu, bagaimana strategi pemberantasannya? Menurut saya, karena latar masalah terjadinya korupsi ibarat lingkaran setan, sudah tentu cara mengatasinya harus memutus lingkaran setan korupsi itu. Jihad melawan korupsi dengan cara memutus lingkaran setan tersebut tentu harus dilakukan bersama-sama.
Pertama, pemerintah beserta aparatnya wajib mengusut tuntas dengan tidak tebang pilih terhadap pelaku korupsi di negeri ini. Apalagi, sebagai anggota PBB, Indonesia ikut serta menandatangani deklarasi Millennium Development Goals (MDGs) yang salah satunya berkomitmen terhadap penghapusan kemiskinan.
Lebih dari itu, sudah sepatutnya perilaku menyimpang yang sering dilakukan elite politik perlu diganti dengan keteladanan moral yang baik.
Kedua, semua pihak di berbagai instansi dan institusi publik, agama, pendidikan, politik, media massa (pers), LSM, serta publik diharapkan berperan serta dan bertanggung jawab dalam penciptaan clean and good government.
Ala kulli hal, di tengah-tengah jeritan hidup akibat kemiskinan dan korupsi, masih adakah harapan bagi rakyat di negeri ini untuk bisa hidup sejahtera tanpa korupsi?
Oleh Choirul Mahfud
Penulis adalah dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya
Sumber: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=306156
Senin, 27 Agustus 2007
Questioning theocratic caliphate
Nurrohman, Bandung
After discussions on political Islam with caliphate activists on and off my campus, I've got the impression that their ideal caliphate system is still the same as that described by EIJ Rosenthal in his book Islam in the Modern National State -- that sovereignty belongs to God and authority is vested in the khalifa as the vicegerent of the prophet, the messenger of Allah.
It is the duty of the caliph to implement sharia to defend the faith against heresy and the faithful against attack, and to ensure their ability to live by the prescriptions of sharia and thus attain happiness in this world and in the hereafter.
If it is translated into a state constitution the formulation will be close to Iran's constitution: All legislation for the administration of society will revolve around the Koran and Sunnah. Accordingly, the exercise of meticulous and earnest supervision by just, pious and committed scholars of Islam is an absolute necessity.
In the caliphate system it is the elites, rather than people, who represent God's absolute power. Therefore, in criticizing this system, Khaled Abou El-Fadl, in his book Rebellion and Violence in Islamic Law, said that while Muslims in general, arguably, are God's viceroys on this earth (khulafa fi al-ard), it is the rulers and jurists who traditionally have enjoyed the power to speak for the divine law.
So if the caliphate will be reestablished in Muslim countries the challenges might come not only from non-Muslims but also from Muslims themselves who believe that a democratic and secular or at least neutral state would be more suitable and better for them.
However, the two traditional duties of the caliphate, harasatu al-din (protecting religion) and siyasatu al-dunya (managing the world) might be still relevant if their application is adjusted to the current demand. Harasatu al-din in the current context should be translated into protecting religion in its broader meaning, not merely the religion of the mainstream, which means that every religion or sect has the right to exist and must be protected.
Meanwhile siyasatu al-dunya should be understood as the effort to establish a world order based on peace, equality, justice and welfare for all.
The caliphate should be based on principles agreed upon by all elements in society, as exemplified by the prophet Muhammad through Madina charter. It should be focused on systems rather than figures.
But considering the spirit of nationalism embedded in the heart of every Muslim in various nations, the idea to establish the caliphate as the sole theocratic political system for Muslims in the world is unrealistic if not utopian.
Since the Koran is polyphonic in nature, and since everyone has the inner power that can illuminate from within no one deserves a monopoly on understanding the Koran. In religious matters, the problem faced by Muslims is how they can respect each other by keeping unity in diversity and by leaving the final decision to God.
The main problem faced by Muslim countries in worldly matters is the low quality of human resources, which in turn produce unemployment, poverty and dependency. Muslims, especially in Indonesia, need concrete answers to their economic difficulties not merely political rhetoric such as dengan khilafah hidup menjadi berkah (by the caliphate the life will be blessed). Muslims as well as well non-Muslims should work together to create a better world order.
In discussion with fellow non-Muslims it is difficult to answer when they ask me to show them an example of a sharia state that has successfully brought welfare and social justice to its people. Speaking frankly, I dare not point to Saudi Arabia, Iran or Pakistan as examples of the good governance mandated by Islamic political ideals.
In a democratic atmosphere, it is the right of Hizbut Tahrir Indonesia to promote the caliphate, but it also the right of others to criticizes the content of this concept, particularly that which has no relevance the current situation.
The writer is a lecturer at the Department of Law and Sharia at Bandung State Islamic University. He also manages the Institute for Study and Human Resource Development in Bandung, West Java
After discussions on political Islam with caliphate activists on and off my campus, I've got the impression that their ideal caliphate system is still the same as that described by EIJ Rosenthal in his book Islam in the Modern National State -- that sovereignty belongs to God and authority is vested in the khalifa as the vicegerent of the prophet, the messenger of Allah.
It is the duty of the caliph to implement sharia to defend the faith against heresy and the faithful against attack, and to ensure their ability to live by the prescriptions of sharia and thus attain happiness in this world and in the hereafter.
If it is translated into a state constitution the formulation will be close to Iran's constitution: All legislation for the administration of society will revolve around the Koran and Sunnah. Accordingly, the exercise of meticulous and earnest supervision by just, pious and committed scholars of Islam is an absolute necessity.
In the caliphate system it is the elites, rather than people, who represent God's absolute power. Therefore, in criticizing this system, Khaled Abou El-Fadl, in his book Rebellion and Violence in Islamic Law, said that while Muslims in general, arguably, are God's viceroys on this earth (khulafa fi al-ard), it is the rulers and jurists who traditionally have enjoyed the power to speak for the divine law.
So if the caliphate will be reestablished in Muslim countries the challenges might come not only from non-Muslims but also from Muslims themselves who believe that a democratic and secular or at least neutral state would be more suitable and better for them.
However, the two traditional duties of the caliphate, harasatu al-din (protecting religion) and siyasatu al-dunya (managing the world) might be still relevant if their application is adjusted to the current demand. Harasatu al-din in the current context should be translated into protecting religion in its broader meaning, not merely the religion of the mainstream, which means that every religion or sect has the right to exist and must be protected.
Meanwhile siyasatu al-dunya should be understood as the effort to establish a world order based on peace, equality, justice and welfare for all.
The caliphate should be based on principles agreed upon by all elements in society, as exemplified by the prophet Muhammad through Madina charter. It should be focused on systems rather than figures.
But considering the spirit of nationalism embedded in the heart of every Muslim in various nations, the idea to establish the caliphate as the sole theocratic political system for Muslims in the world is unrealistic if not utopian.
Since the Koran is polyphonic in nature, and since everyone has the inner power that can illuminate from within no one deserves a monopoly on understanding the Koran. In religious matters, the problem faced by Muslims is how they can respect each other by keeping unity in diversity and by leaving the final decision to God.
The main problem faced by Muslim countries in worldly matters is the low quality of human resources, which in turn produce unemployment, poverty and dependency. Muslims, especially in Indonesia, need concrete answers to their economic difficulties not merely political rhetoric such as dengan khilafah hidup menjadi berkah (by the caliphate the life will be blessed). Muslims as well as well non-Muslims should work together to create a better world order.
In discussion with fellow non-Muslims it is difficult to answer when they ask me to show them an example of a sharia state that has successfully brought welfare and social justice to its people. Speaking frankly, I dare not point to Saudi Arabia, Iran or Pakistan as examples of the good governance mandated by Islamic political ideals.
In a democratic atmosphere, it is the right of Hizbut Tahrir Indonesia to promote the caliphate, but it also the right of others to criticizes the content of this concept, particularly that which has no relevance the current situation.
The writer is a lecturer at the Department of Law and Sharia at Bandung State Islamic University. He also manages the Institute for Study and Human Resource Development in Bandung, West Java
Sabtu, 11 Agustus 2007
Atheis
Agama akan tetap bertahan dalam hidup manusia, tapi layakkah ia dibela? Christopher Hitchens baru-baru ini menarik perhatian ketika bukunya terbit dengan judul God Is Not Great: Religion Poisons Everything. Penulis Inggris ini—yang yakin bahwa Tuhan tidak akbar dan bahwa agama adalah racun—tak bersuara sendirian di awal abad ke-21 ini. Di tahun 2004 terbit The End of Faith, oleh Sam Harris, yang tahun lalu mempertegas posisinya dengan menyerang agama Kristen dalam Letter to a Christian Nation. Yang juga terkenal adalah karya Richard Dawkins, seorang pakar biologi, The God Delusion, yang mengutip satu kalimat pengarang lain: ”Bila seseorang menderita waham, gejala itu akan disebut gila. Bila banyak orang menderita waham, gejala itu akan disebut agama.”
Saya belum khatam membaca buku-buku itu, tapi saya telah merasa setengah terusik, tersinggung, berdebar-debar, terangsang berpikir, tapi juga gembira. Baiklah saya jelaskan kenapa saya gembira: kini datang beberapa orang atheis yang sangat fasih dengan argumen yang seperti pisau bedah. Dengan analisa yang tajam mereka menyerang semua agama, tanpa kecuali, di zaman ketika iman dikibarkan dengan rasa ketakutan, dan rasa ketakutan dengan segera diubah jadi kebencian. Dunia tak bertambah damai karenanya. Maka siapa tahu memang dunia menantikan Hitchens, Harris, dan Dawkins. Siapa tahu para atheis inilah yang akan membuat kalangan agama mengalihkan fokus mereka dan kemudian berhenti bermusuhan.
Apalagi ada benarnya ketika Christopher Hitchens bicara tentang iman dan rasa aman. Sepekan sebelum 11 September 2001, hari yang bersejarah itu, ia ditanya dalam sebuah wawancara radio: ”Bayangkan Anda berada di sebuah kota asing di waktu senjakala, dan sejumlah besar orang datang ke arah Anda. Akan lebih merasa amankah Anda, atau justru merasa kurang aman, bila Anda tahu orang-orang itu baru selesai berkumpul untuk berdoa?”
Hitchens, yang pernah berada di Belfast, Beirut, Bombay, Beograd, Bethlehem, dan Baghdad, menjawab, ”Kurang aman.”
Ia tak bicara dari khayal. Ia telah menyaksikan permusuhan antara orang Katolik dan Protestan di Ulster; Islam dan Kristen di Beirut dan Bethlehem; orang Katolik Kroasia dan orang Gereja Ortodoks Serbia dan orang Islam di bekas Yugoslavia; orang Sunni dan Syiah di Baghdad. Beribu-ribu orang tewas dan cacat dan telantar.
Maka bagi Hitchens, agama adalah ”sebuah pengganda besar”, an enormous multiplier, ”kecurigaan dan kebencian antarpuak”.
Tapi menarik bahwa Hitchens tak menyatakan agama sebagai sumber sikap negatif itu.
Dalam hal ini ia berbeda dari Sam Harris. Bagi Harris, konflik antara umat Katolik dan Protestan yang berdarah di Irlandia—yang bermula baru di abad ke-17—bersumber pada teks Alkitab, tak ada hubungannya dengan politik pertanahan di wilayah kekuasaan Inggris masa itu. Harris tak melihat endapan sejarah dalam tiap tafsir atas akidah—dan dalam hal ini ia mirip seorang fundamentalis Kristen atau Islam. Pandangannya yang menampik sejarah akan bisa mengatakan bahwa doktrin Quran itulah yang membuat sejumlah orang menghancurkan Menara Kembar New York dan membunuh hampir 3.000 manusia pada 11 September 2001. Harris tak akan melihat bahwa hari itu ”Islam” identik dengan amarah karena ada kepahitan kolonialisme di Timur Tengah, Afrika, dan Asia, dan kekalahan dunia Arab di Palestina.
Dari sini, memang ada benarnya apologi yang terkenal itu: bukan agamanya yang salah, melainkan manusianya.
Tapi persoalan tak selesai di situ. Orang-orang atheis semacam Hitchens akan bertanya: Jika faktor manusia yang menyebabkan keburukan tumbuh dalam suatu umat, berarti tak ada peran agama dalam memperbaiki umat itu. Jika demikian, jika akidah ditentukan oleh sejarah, dan bukan sebaliknya, apa guna agama bagi perbaikan dunia?
Mungkin sebuah nol. Bahkan melihat begitu banyak pembunuhan dilakukan atas nama agama hari-hari ini, orang memang mudah sampai kepada atheisme Hitchens dan kesimpulannya: agama meracuni segala hal.
Tapi kita dapat juga sampai pada kesimpulan yang lain: jangan-jangan agama memang tak punya peran bagi perbaikan dunia. Perannya memang bisa lain sama sekali—terutama bila dilihat dari awal lahirnya agama-agama.
Dalam ceramahnya yang diselenggarakan oleh MUIS (Majlis Ugama Islam Singapura) bulan Juni yang lalu, Karen Armstrong mengatakan sesuatu yang tak lazim: agama lahir dari sikap jeri (recoil) atas kekerasan. Juga Islam, yang kini tak urung dihubungkan dengan bom bunuh diri, konflik berdarah di Irak, Afganistan, dan Pakistan. Agama ini hadir sebagai pembangun perdamaian di sekitar Mekah, di tengah suku-suku Arab yang saling galak.
Tapi mungkin juga Karen Armstrong bisa menelusurinya lebih jauh: jika agama memang lahir dari rasa jeri akan kekerasan, rasa jeri itu bertaut dengan kesadaran akan ketakberdayaan. Agama sebab itu tak merasa kuasa untuk memperbaiki dunia; ia justru berada di kancah yang tersisih, menemani mereka yang daif—sebuah posisi yang kian tampak dalam keadaan manusia teraniaya.
Tapi kini, dalam mencoba menyaingi gagahnya modernitas, agama cenderung melupakan ”empati asali”-nya sendiri. Orang-orang Islam merayakan Hijrah bukan dengan rasa setia kawan dan bela rasa kepada mereka yang diteror, walaupun Hijrah bermula dari nasib sekelompok minoritas yang dikejar-kejar. Orang merayakan Hijrah lebih sebagai kemenangan. Mungkin dengan tendensi itu, pengalaman kedaifan sendiri terlupa: pekan lalu atas nama ”Islam” orang-orang mengancam para biarawati Karmel yang hendak berkumpul untuk berdoa di lembah Cikanyere di wilayah Cianjur.
Dalam keadaan lupa kepada yang tak berdaya itulah agama bisa jadi tenaga yang dahsyat. Tapi ia juga bisa jadi tenaga yang tak tahu batas. Di saat seperti itu, bukankah para atheis perlu datang dan bersuara?
~Majalah Tempo Edisi. 23/XXXIIIIII/30 Juli - 05 Agustus 2007~
Saya belum khatam membaca buku-buku itu, tapi saya telah merasa setengah terusik, tersinggung, berdebar-debar, terangsang berpikir, tapi juga gembira. Baiklah saya jelaskan kenapa saya gembira: kini datang beberapa orang atheis yang sangat fasih dengan argumen yang seperti pisau bedah. Dengan analisa yang tajam mereka menyerang semua agama, tanpa kecuali, di zaman ketika iman dikibarkan dengan rasa ketakutan, dan rasa ketakutan dengan segera diubah jadi kebencian. Dunia tak bertambah damai karenanya. Maka siapa tahu memang dunia menantikan Hitchens, Harris, dan Dawkins. Siapa tahu para atheis inilah yang akan membuat kalangan agama mengalihkan fokus mereka dan kemudian berhenti bermusuhan.
Apalagi ada benarnya ketika Christopher Hitchens bicara tentang iman dan rasa aman. Sepekan sebelum 11 September 2001, hari yang bersejarah itu, ia ditanya dalam sebuah wawancara radio: ”Bayangkan Anda berada di sebuah kota asing di waktu senjakala, dan sejumlah besar orang datang ke arah Anda. Akan lebih merasa amankah Anda, atau justru merasa kurang aman, bila Anda tahu orang-orang itu baru selesai berkumpul untuk berdoa?”
Hitchens, yang pernah berada di Belfast, Beirut, Bombay, Beograd, Bethlehem, dan Baghdad, menjawab, ”Kurang aman.”
Ia tak bicara dari khayal. Ia telah menyaksikan permusuhan antara orang Katolik dan Protestan di Ulster; Islam dan Kristen di Beirut dan Bethlehem; orang Katolik Kroasia dan orang Gereja Ortodoks Serbia dan orang Islam di bekas Yugoslavia; orang Sunni dan Syiah di Baghdad. Beribu-ribu orang tewas dan cacat dan telantar.
Maka bagi Hitchens, agama adalah ”sebuah pengganda besar”, an enormous multiplier, ”kecurigaan dan kebencian antarpuak”.
Tapi menarik bahwa Hitchens tak menyatakan agama sebagai sumber sikap negatif itu.
Dalam hal ini ia berbeda dari Sam Harris. Bagi Harris, konflik antara umat Katolik dan Protestan yang berdarah di Irlandia—yang bermula baru di abad ke-17—bersumber pada teks Alkitab, tak ada hubungannya dengan politik pertanahan di wilayah kekuasaan Inggris masa itu. Harris tak melihat endapan sejarah dalam tiap tafsir atas akidah—dan dalam hal ini ia mirip seorang fundamentalis Kristen atau Islam. Pandangannya yang menampik sejarah akan bisa mengatakan bahwa doktrin Quran itulah yang membuat sejumlah orang menghancurkan Menara Kembar New York dan membunuh hampir 3.000 manusia pada 11 September 2001. Harris tak akan melihat bahwa hari itu ”Islam” identik dengan amarah karena ada kepahitan kolonialisme di Timur Tengah, Afrika, dan Asia, dan kekalahan dunia Arab di Palestina.
Dari sini, memang ada benarnya apologi yang terkenal itu: bukan agamanya yang salah, melainkan manusianya.
Tapi persoalan tak selesai di situ. Orang-orang atheis semacam Hitchens akan bertanya: Jika faktor manusia yang menyebabkan keburukan tumbuh dalam suatu umat, berarti tak ada peran agama dalam memperbaiki umat itu. Jika demikian, jika akidah ditentukan oleh sejarah, dan bukan sebaliknya, apa guna agama bagi perbaikan dunia?
Mungkin sebuah nol. Bahkan melihat begitu banyak pembunuhan dilakukan atas nama agama hari-hari ini, orang memang mudah sampai kepada atheisme Hitchens dan kesimpulannya: agama meracuni segala hal.
Tapi kita dapat juga sampai pada kesimpulan yang lain: jangan-jangan agama memang tak punya peran bagi perbaikan dunia. Perannya memang bisa lain sama sekali—terutama bila dilihat dari awal lahirnya agama-agama.
Dalam ceramahnya yang diselenggarakan oleh MUIS (Majlis Ugama Islam Singapura) bulan Juni yang lalu, Karen Armstrong mengatakan sesuatu yang tak lazim: agama lahir dari sikap jeri (recoil) atas kekerasan. Juga Islam, yang kini tak urung dihubungkan dengan bom bunuh diri, konflik berdarah di Irak, Afganistan, dan Pakistan. Agama ini hadir sebagai pembangun perdamaian di sekitar Mekah, di tengah suku-suku Arab yang saling galak.
Tapi mungkin juga Karen Armstrong bisa menelusurinya lebih jauh: jika agama memang lahir dari rasa jeri akan kekerasan, rasa jeri itu bertaut dengan kesadaran akan ketakberdayaan. Agama sebab itu tak merasa kuasa untuk memperbaiki dunia; ia justru berada di kancah yang tersisih, menemani mereka yang daif—sebuah posisi yang kian tampak dalam keadaan manusia teraniaya.
Tapi kini, dalam mencoba menyaingi gagahnya modernitas, agama cenderung melupakan ”empati asali”-nya sendiri. Orang-orang Islam merayakan Hijrah bukan dengan rasa setia kawan dan bela rasa kepada mereka yang diteror, walaupun Hijrah bermula dari nasib sekelompok minoritas yang dikejar-kejar. Orang merayakan Hijrah lebih sebagai kemenangan. Mungkin dengan tendensi itu, pengalaman kedaifan sendiri terlupa: pekan lalu atas nama ”Islam” orang-orang mengancam para biarawati Karmel yang hendak berkumpul untuk berdoa di lembah Cikanyere di wilayah Cianjur.
Dalam keadaan lupa kepada yang tak berdaya itulah agama bisa jadi tenaga yang dahsyat. Tapi ia juga bisa jadi tenaga yang tak tahu batas. Di saat seperti itu, bukankah para atheis perlu datang dan bersuara?
~Majalah Tempo Edisi. 23/XXXIIIIII/30 Juli - 05 Agustus 2007~
Isngadi: Agama dan Bingkai Dunia
Abad ke-21 yang baru kita tapak sekarang ini dapat dikatakan sebagai abad yang paling menyakitkan bagi kaum agamawi. Dikatakan demikian, mengingat komitmen keagamaan kerap kali menjadi faktor sentral dalam eskalasi kekerasan dan kejahatan di seluruh dunia.
Beberapa berita utama surat kabar di seluruh dunia biasa menampilkan judul-judul: "Hindu dan Muslim di Ujung Peperangan Khasmir", "Kristen Serbia Diadili atas Pelaku Tindak Kekerasan terhadap Muslim Bosnia", "Militan Yahudi Membunuh Puluhan Kaum Muslim di Kamp Pengungsian", "Militan Muslim Menewaskan Belasan Orang Israel Melalui Bom Bunuh Diri di Restoran Pizza Yerussalem", "Pemeriksaan Pengadilan Mulai Mengarah kepada Menteri Kristen Fundamentalis dalam Kasus Dokter Aborsi", dan masih banyak lagi.
Dalam koridor semacam ini menjadi sangat beralasan apabila ada kalangan yang mengatakan bahwa agama adalah sumber masalah dari seluruh kekacauan dunia. Pandangan dunia keagamaan yang cenderung bersifat anakronistik (tidak cocok untuk zaman tertentu) memang sangat berpotensi untuk memecah belah dan klaim kebenaran yang saling berlawanan dapat dipastikan akan berujung dengan konflik. Akan tetapi, menyatakan agama semata-mata sebagai sumber masalah jelas tidak arif dan a-historis, karena selama berabad-abad pula orang bisa melihat iman yang memperteguh kehidupan telah menopang dan memberi makna bagi jutaan orang. Maka sungguh tepat apabila ada yang menyatakan kalau berbicara tentang agama berarti berbicara tentang sebuah paradoks.
Hanya saja yang lebih mengkhawatirkan sekarang ini adalah paradoks tersebut berjalan semakin timpang. Beberapa dasawarsa terakhir ini kita dipaksa menyaksikan serangkaian tragedi semisal teror 11 September 2001, bom Bali, kasus gas beracun Aum Shinrikiyo pimpinan Asahara Shoko di Jepang, bom Oklahoma, kehancuran Afganistan, Perang Khasmir, kekerasan tentara Israel atas warga sipil Palestina, bunuh diri massal di Peoples Temple pimpinan Jim Jones di Guyana, gerakan David Koresh di Texas, dan lain sebagainya. Atau dalam spektrum kecil keindonesiaan seperti kasus Poso, Ambon, Papua, Aceh, bom Marriott, bom Natal, dan yang semacamnya. Wajah teduh agama semakin hilang. Yang tersisa hanya keberingasan, dan hari-hari belakangan ini-atas semua peristiwa yang terjadi-agama pun dikenal sebagai sebuah nama yang membuat gentar dan cemas.
Paradoks-paradoks itulah yang dijadikan konteks Kimball dalam menulis buku yang berjudul asli When Religion Becomes Evil ini. Gagasan guru besar agama di Universitas Wake Forest, Amerika Serikat (AS) ini berangkat dari semua jejak historis yang menunjukkan kegagalan agama dalam memberikan keselamatan, cinta, dan perdamaian kepada umat manusia. Akan tetapi Kimball tidak mengajak kita untuk menyerah kepada semua pesimisme itu, sebaliknya dengan optimisme yang agak berlebihan ia malah menunjukkan kalau kita bisa mengolah aneka paradoks yang ada, maka agama dalam milenium baru ini justru akan bisa menjadi jalan dan pemberi keselamatan, cinta, serta perdamaian yang dibutuhkan manusia.
Sebagai kata kunci untuk bisa keluar dari jebakan sifat agama yang cenderung anakronistik dan suka berkonflik tersebut, agama harus kembali pada sifat autentiknya. Itulah modus keberagamaan yang tidak sekadar bersetia dengan doktrin skriptural yang statis, tetapi pada sebuah iman hidup dan menghidupi kemanusiaan universal. Agama autentik di sini harus dipahami sebagai lawan dari agama yang telah mengalami proses pengkorupan dan pembusukan. Proses pembusukan dan pengkorupan ini paling sering dimulai dengan menjadikan komponen religius-yang sebenarnya hanyalah sarana-menjadi tujuannya.
Misalnya agama Yahudi yang menjadikan terciptanya negara bagi bangsa Israel di tanah yang dijanjikan Tuhan, sebagai tujuan agamanya yang berarti harus mengusir bangsa Arab di tanah Palestina. Sedangkan umat Islam di Palestina juga menganggap bahwa melindungi Masjid Al-Aqsa sebagai tujuan agamanya pula. Konflik ini sama persis dengan yang terjadi di India yang memperebutkan masjid bekas kuil Raja Ram di Ayodya. Demikian pula cita-cita terciptanya komunitas Kristiani yang eksklusif bagi agama Kristen di masa awal yang akhirnya berkembang menjadi memusuhi komunitas Yahudi adalah contoh yang lain lagi.
Beberapa problem yang biasa menjadi akar kekerasan religius tersebut dicoba ditelusuri dan dipetakan oleh Kimball sehingga semua sumber konflik itu dapat dijelaskan dengan runtut sekaligus dicarikan beberapa jalan keluar yang agak cerdas. Khusus pada solusi konflik kepentingan politis yang menyeret-nyeret sentimen keagamaan, pakar sejarah dan perbandingan agama semit (Islam, Yahudi, Kristen) ini menyarankan dunia untuk belajar kepada sosok Mahatma Gandhi. Gandhi mempunyai tujuan yang jelas, sesuai dengan ajaran agamanya, namun dalam merealisasikan tujuannya itu ia tidak pernah mengecualikan kelompok mana pun. Ia malah mengajak kelompok lain itu untuk membantu kelompoknya dalam mewujudkan tujuannya. Lebih dari itu, Gandhi tidak pernah mengubah tujuan menjadi sarana, dan memutlakkan sarana menjadi tujuan.
Pada bagian lain Kimball juga melontarkan kritik yang cukup tajam pada beberapa doktrin teologi agama monoteisme. Menurut Kimball, sekarang ini teologi tidak lagi berhak bertanya, apakah umat di luar agamaku diselamatkan atau tidak? Apalagi bertanya bagaimana mereka bisa diselamatkan? Teologi harus meninggalkan perspektif sempit tersebut. Teologi mesti terbuka bahwa Tuhan mempunyai rencana keselamatan umat manusia yang menyeluruh. Rencana itu tak pernah terduga dan mungkin agamaku tidak cukup menyelaminya secara sendirian. Maka teologi mesti mengambil posisi bahwa bisa jadi agama-agama lain mempunyai pengertian dan sumbangan untuk menyelami rencana keselamatan Tuhan tersebut. Dengan demikian teologi pluralisme religius bukan lagi menjadi teologi teoritis, melainkan teologi praktik. Dari sini inilah, menurut Kimball, dialog antar-agama bisa dimulai dengan terbuka dan jujur. Karena harus menyingkirkan keyakinan religiusnya yang paling tinggi (mengakui agamanya tidak sempurna), pendapat Kimball ini tampaknya masih sulit untuk bisa diterima oleh mayoritas kaum agamawi apa pun.
Lepas dari berbagai kontroversi yang menyelubunginya, dalam konteks keindonesiaan buku Kimball ini tampaknya sangat relevan untuk dibaca saat ini, yang sejak reformasi hingga sekarang selalu dihadapkan pada pelbagai krisis yang seakan tanpa solusi. Pelbagai masalah kita hadapi: krisis ekonomi, jurang antara yang kaya dan yang miskin yang semakin lebar, ancaman perpecahan bangsa, merekahnya gerakan-gerakan fundamentalis, dan tindak kekerasan merebak di mana-mana. Walaupun bukan sebagai penyebab satu-atunya, agama sering dituduh sebagai agen yang ikut memperparah semua krisis tersebut. Untuk semua itu, agama harus mawas diri. Menyingkirkan kekorupan dan kebusukannya sehingga bisa kembali pada roh autentiknya dan benar-benar bisa menyumbangkan sesuatu yang paling dituntut untuk mengatasi krisis bangsa ini, yakni perdamaian dan kesatuan antara warga negara. Dalam hal ini buku Tarmizi Taher yang berjudul Membumikan Ajaran Ketuhanan; Agama dalam Tranformasi Bangsa (Hikmah/2003) sangat bermanfaat untuk dijadikan sebagai acuan teknis gagasan Kimball.
Paralel dengan semua pertimbangan yang ada, khusus dari sisi inklusifisme agama, buku Kimball ini menjadi semakin menarik apabila sempat diperbandingkan dengan buku The Heart of Islam karya Seyyed Hossein Nashr (Mizan/ 2003; edisi Indonesia) Khaled Abou el-Fadl, The Place of Tolerance in Islam yang telah diterjemahkan dengan judul Cita dan Fakta Toleransi Islam; Puritanisme Versus Pluralisme (Arasy/2003), dan History of God-nya Karen Armstrong (Mizan/2001).
Agama dan Bingkai Dunia
Judul buku: Kala Agama Jadi Bencana
Penulis: Charles Kimball
Penerjemah: Nurhadi
Pengantar: Sindhunata
Penerbit: Mizan Bandung, Cetakan I Desember 2003
Tebal: 360 halaman
***
Isngadi Marwah Atmadja Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) tinggal di Ngawi, Jawa Timur
Beberapa berita utama surat kabar di seluruh dunia biasa menampilkan judul-judul: "Hindu dan Muslim di Ujung Peperangan Khasmir", "Kristen Serbia Diadili atas Pelaku Tindak Kekerasan terhadap Muslim Bosnia", "Militan Yahudi Membunuh Puluhan Kaum Muslim di Kamp Pengungsian", "Militan Muslim Menewaskan Belasan Orang Israel Melalui Bom Bunuh Diri di Restoran Pizza Yerussalem", "Pemeriksaan Pengadilan Mulai Mengarah kepada Menteri Kristen Fundamentalis dalam Kasus Dokter Aborsi", dan masih banyak lagi.
Dalam koridor semacam ini menjadi sangat beralasan apabila ada kalangan yang mengatakan bahwa agama adalah sumber masalah dari seluruh kekacauan dunia. Pandangan dunia keagamaan yang cenderung bersifat anakronistik (tidak cocok untuk zaman tertentu) memang sangat berpotensi untuk memecah belah dan klaim kebenaran yang saling berlawanan dapat dipastikan akan berujung dengan konflik. Akan tetapi, menyatakan agama semata-mata sebagai sumber masalah jelas tidak arif dan a-historis, karena selama berabad-abad pula orang bisa melihat iman yang memperteguh kehidupan telah menopang dan memberi makna bagi jutaan orang. Maka sungguh tepat apabila ada yang menyatakan kalau berbicara tentang agama berarti berbicara tentang sebuah paradoks.
Hanya saja yang lebih mengkhawatirkan sekarang ini adalah paradoks tersebut berjalan semakin timpang. Beberapa dasawarsa terakhir ini kita dipaksa menyaksikan serangkaian tragedi semisal teror 11 September 2001, bom Bali, kasus gas beracun Aum Shinrikiyo pimpinan Asahara Shoko di Jepang, bom Oklahoma, kehancuran Afganistan, Perang Khasmir, kekerasan tentara Israel atas warga sipil Palestina, bunuh diri massal di Peoples Temple pimpinan Jim Jones di Guyana, gerakan David Koresh di Texas, dan lain sebagainya. Atau dalam spektrum kecil keindonesiaan seperti kasus Poso, Ambon, Papua, Aceh, bom Marriott, bom Natal, dan yang semacamnya. Wajah teduh agama semakin hilang. Yang tersisa hanya keberingasan, dan hari-hari belakangan ini-atas semua peristiwa yang terjadi-agama pun dikenal sebagai sebuah nama yang membuat gentar dan cemas.
Paradoks-paradoks itulah yang dijadikan konteks Kimball dalam menulis buku yang berjudul asli When Religion Becomes Evil ini. Gagasan guru besar agama di Universitas Wake Forest, Amerika Serikat (AS) ini berangkat dari semua jejak historis yang menunjukkan kegagalan agama dalam memberikan keselamatan, cinta, dan perdamaian kepada umat manusia. Akan tetapi Kimball tidak mengajak kita untuk menyerah kepada semua pesimisme itu, sebaliknya dengan optimisme yang agak berlebihan ia malah menunjukkan kalau kita bisa mengolah aneka paradoks yang ada, maka agama dalam milenium baru ini justru akan bisa menjadi jalan dan pemberi keselamatan, cinta, serta perdamaian yang dibutuhkan manusia.
Sebagai kata kunci untuk bisa keluar dari jebakan sifat agama yang cenderung anakronistik dan suka berkonflik tersebut, agama harus kembali pada sifat autentiknya. Itulah modus keberagamaan yang tidak sekadar bersetia dengan doktrin skriptural yang statis, tetapi pada sebuah iman hidup dan menghidupi kemanusiaan universal. Agama autentik di sini harus dipahami sebagai lawan dari agama yang telah mengalami proses pengkorupan dan pembusukan. Proses pembusukan dan pengkorupan ini paling sering dimulai dengan menjadikan komponen religius-yang sebenarnya hanyalah sarana-menjadi tujuannya.
Misalnya agama Yahudi yang menjadikan terciptanya negara bagi bangsa Israel di tanah yang dijanjikan Tuhan, sebagai tujuan agamanya yang berarti harus mengusir bangsa Arab di tanah Palestina. Sedangkan umat Islam di Palestina juga menganggap bahwa melindungi Masjid Al-Aqsa sebagai tujuan agamanya pula. Konflik ini sama persis dengan yang terjadi di India yang memperebutkan masjid bekas kuil Raja Ram di Ayodya. Demikian pula cita-cita terciptanya komunitas Kristiani yang eksklusif bagi agama Kristen di masa awal yang akhirnya berkembang menjadi memusuhi komunitas Yahudi adalah contoh yang lain lagi.
Beberapa problem yang biasa menjadi akar kekerasan religius tersebut dicoba ditelusuri dan dipetakan oleh Kimball sehingga semua sumber konflik itu dapat dijelaskan dengan runtut sekaligus dicarikan beberapa jalan keluar yang agak cerdas. Khusus pada solusi konflik kepentingan politis yang menyeret-nyeret sentimen keagamaan, pakar sejarah dan perbandingan agama semit (Islam, Yahudi, Kristen) ini menyarankan dunia untuk belajar kepada sosok Mahatma Gandhi. Gandhi mempunyai tujuan yang jelas, sesuai dengan ajaran agamanya, namun dalam merealisasikan tujuannya itu ia tidak pernah mengecualikan kelompok mana pun. Ia malah mengajak kelompok lain itu untuk membantu kelompoknya dalam mewujudkan tujuannya. Lebih dari itu, Gandhi tidak pernah mengubah tujuan menjadi sarana, dan memutlakkan sarana menjadi tujuan.
Pada bagian lain Kimball juga melontarkan kritik yang cukup tajam pada beberapa doktrin teologi agama monoteisme. Menurut Kimball, sekarang ini teologi tidak lagi berhak bertanya, apakah umat di luar agamaku diselamatkan atau tidak? Apalagi bertanya bagaimana mereka bisa diselamatkan? Teologi harus meninggalkan perspektif sempit tersebut. Teologi mesti terbuka bahwa Tuhan mempunyai rencana keselamatan umat manusia yang menyeluruh. Rencana itu tak pernah terduga dan mungkin agamaku tidak cukup menyelaminya secara sendirian. Maka teologi mesti mengambil posisi bahwa bisa jadi agama-agama lain mempunyai pengertian dan sumbangan untuk menyelami rencana keselamatan Tuhan tersebut. Dengan demikian teologi pluralisme religius bukan lagi menjadi teologi teoritis, melainkan teologi praktik. Dari sini inilah, menurut Kimball, dialog antar-agama bisa dimulai dengan terbuka dan jujur. Karena harus menyingkirkan keyakinan religiusnya yang paling tinggi (mengakui agamanya tidak sempurna), pendapat Kimball ini tampaknya masih sulit untuk bisa diterima oleh mayoritas kaum agamawi apa pun.
Lepas dari berbagai kontroversi yang menyelubunginya, dalam konteks keindonesiaan buku Kimball ini tampaknya sangat relevan untuk dibaca saat ini, yang sejak reformasi hingga sekarang selalu dihadapkan pada pelbagai krisis yang seakan tanpa solusi. Pelbagai masalah kita hadapi: krisis ekonomi, jurang antara yang kaya dan yang miskin yang semakin lebar, ancaman perpecahan bangsa, merekahnya gerakan-gerakan fundamentalis, dan tindak kekerasan merebak di mana-mana. Walaupun bukan sebagai penyebab satu-atunya, agama sering dituduh sebagai agen yang ikut memperparah semua krisis tersebut. Untuk semua itu, agama harus mawas diri. Menyingkirkan kekorupan dan kebusukannya sehingga bisa kembali pada roh autentiknya dan benar-benar bisa menyumbangkan sesuatu yang paling dituntut untuk mengatasi krisis bangsa ini, yakni perdamaian dan kesatuan antara warga negara. Dalam hal ini buku Tarmizi Taher yang berjudul Membumikan Ajaran Ketuhanan; Agama dalam Tranformasi Bangsa (Hikmah/2003) sangat bermanfaat untuk dijadikan sebagai acuan teknis gagasan Kimball.
Paralel dengan semua pertimbangan yang ada, khusus dari sisi inklusifisme agama, buku Kimball ini menjadi semakin menarik apabila sempat diperbandingkan dengan buku The Heart of Islam karya Seyyed Hossein Nashr (Mizan/ 2003; edisi Indonesia) Khaled Abou el-Fadl, The Place of Tolerance in Islam yang telah diterjemahkan dengan judul Cita dan Fakta Toleransi Islam; Puritanisme Versus Pluralisme (Arasy/2003), dan History of God-nya Karen Armstrong (Mizan/2001).
Agama dan Bingkai Dunia
Judul buku: Kala Agama Jadi Bencana
Penulis: Charles Kimball
Penerjemah: Nurhadi
Pengantar: Sindhunata
Penerbit: Mizan Bandung, Cetakan I Desember 2003
Tebal: 360 halaman
***
Isngadi Marwah Atmadja Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) tinggal di Ngawi, Jawa Timur
Arief Budiman: Gerakan Buruh Sangat Lemah
PERGULATANNYA dalam memperjuangkan demokrasi selama tiga dekade, membuat DR Arief Budiman cukup akrab dengan dinamika yang terjadi di dalam gerakan buruh Indonesia, yang merupakan salah satu aktor penting dalam gerakan demokrasi di Indonesia. Dia memang tidak pernah terlibat langsung dalam gerakan buruh atau bukan bagian dari gerakan buruh manapun di sini. Tetapi pemikirannya tentang gerakan buruh patut disimak. Berikut ini petikan wawancara Arief Ruba'i, seorang pekerja sosial di Semarang, dengan DR. Arief Budiman, pengajar di Universitas Melbourne, Australia.
Arief Ruba'i (AR): Banyak yang mengatakan posisi politis buruh sangat lemah, hingga serikat cenderung melakukan perlawanan ke arah kebijakan dan negara dari pada konfrontasi dengan pengusaha?
Arief Budiman (AB): Kekuatan riil politik gerakan buruh sangat lemah. Pertama, kondisi ekonomi kita lemah, kita sangat tergantung pada investor asing. Kedua, pengangguran tinggi, jadi posisi tawar majikan kuat sekali. Kita lebih butuh mereka dari pada mereka butuh kita. Kalau upah buruh naik atau sering terjadi pemogokan, mereka akan pindah. Apalagi potensi alternatifnya banyak, Vietnam, RRC, India dan lain-lain. Kenyataannya kita harus bertolak dari posisi buruh yang lemah. Ini jadi masalah buat buruh ketika mereka mau melakukan perlawanan menghadapi siapapun. Apakah dia menghadapi majikan atau negara. Padahal negara dari dulu selalu tersandera oleh kondisi ekonomi yang lemah. Sehingga negara lebih butuh investor dari pada membela buruh. Dan mengorbankan buruh resikonya lebih kecil dari pada mengorbankan modal. Inilah akar persoalan buruh, mereka bisa saja mogok, bisa macam-macam tapi penyelesaiannya selalu kalah.
AR: Dalam kondisi seperti ini, kemana strategi perlawanan atau titik serang lebih tepat diarahkan?
AB: Saya tidak mengerti. Posisinya yang sangat lemah ini yang sulit. Orang lemah mau menyerang orang kuat, jadi sulit mencari titik serang. Tapi yang bisa dilakukan sekarang adalah mempersiapkan perjuangan masa depan ketika kondisi ekonomi lebih baik, dimana modal punya kebutuhan pada Indonesia. Yang perlu dilakukan saat ini pertama, memperkuat organisasi buruh, termasuk membangun solidaritas dan melakukan pendidikan. Kedua, membangun solidaritas internasional. Jadi, tekanan terhadap perusahaan, terutama perusahaan asing dilakukan di negara asal perusahaan tersebut, itu biasanya lebih efektif. Kedua hal itu merupakan investasi di masa depan saat kondisi ekonomi membaik.
Kalau pun pemerintah berpihak pada buruh, dia tidak mampu melawan pengusaha. Karena sekarang pemerintah lagi 'nyembah-nyembah' pengusaha supaya modal yang diparkir di LN balik ke dalam. Tentu pengusaha akan bilang, "OK, tapi buruh diberesin dulu". Apalagi nasib buruh terkait dengan berkembangnya dunia usaha di Indonesia karena kita menganut sistem ekonomi kapitalis. Nampaknya semua jalan yang ada saat ini sulit. Mungkin buruh harus mengalah dulu, tapi melakukan investasi untuk masa depan.
AR: Riilnya seperti apa?
AB: Nuntut boleh saja tapi yang realistis. Kita dalam kondisi angin badai, artinya kalau kapal ini bisa selamat saja sudah lumayan, jangan berharap ada peningkatan.
AR: Dalam hal pendidikan dan penguatan organisasi buruh, kira-kira isu apa yang perlu diprioritaskan untuk persiapan ke depan?
AB: Isu utama adalah ketidakadilan, bahwa perusahaan dapat banyak keuntungan dibanding upah buruh yang sangat buruk. Itu yang menjadi bahan pendidikan dan titik serang, buruh disadarkan bahwa mereka dieksploitasi, sehingga timbul gairah perlawanan. Tapi hendaknya jangan terlalu diberi harapan macam-macam, karena keadilan ini sulit dicapai dalam kondisi seperti ini. Paling muncul kader-kader gerakan buruh lokal.
AR: Sekarang banyak serikat buruh, tapi mereka memiliki concern yang berbeda. Ada yang tertarik isu-isu lokal pabrik, ada juga yang mengangkat isu-isu di luar pabrik seperti kebijakan dan anti privatisasi. Menurut anda apa yang membuat isu serikat buruh terpolarisasi?
AB: Sebenarnya dua-duanya perlu. Tapi pada tingkat basis, isu ketidakadilan yang harus dikembangkan. Ketidakadilan upah itulah yang penting, dan itu yang paling dimengerti oleh buruh. Kalau isu-isu 'besar' sulit dimengerti kecuali oleh kader-kader buruh. Isu-isu 'besar' penting bagi kader buruh untuk mengerti posisi mereka dan kekuatan posisi tawar mereka. Untuk memimpin gerakan buruh di tingkat grass root, isu yang kongret adalah: upah, jaminan sosial, cuti dan lain-lain. Dalam pendidikan basis perlu juga menyinggung soal isu-isu besar, tapi dalam gerakannya mesti terbatas, supaya dapat dukungan buruh yang lebih kuat.
Gerakan komunis dan sosialis di Chile masuk ke pabrik dengan isu upah. Buruh mudah diajak bergerak untuk isu upah. Itu memang dikritik Lenin karena buruh hanya tahu soal upah saja. Tapi isu-isu 'besar' bisa disosialisasiakan pada tingkat kader. Yang perlu dimengerti adalah latar belakang teori politiknya. Prakteknya, tergantung pada tingkat mana buruh diorganisir dengan melihat kapasitas buruh.
Tentang pemogokan buruh, saya kritik PRD sejak dulu (red- FNPBI), sesekali buruh mogok dengan isu pabrik seperti upah dan THR, tapi seringkali mereka mengusung spanduk besar-besar: "Turunkan Soeharto", "Hancurkan Orde Baru" dan lain-lain. Setiap kali aksi buruh selalu berhadapan dengan militer, karena dianggap sudah politis. Buruhnya nggak dapat apa-apa, kalau begitu terus mereka akan kehilangan dukungan buruh. Mungkin buat PRD aksi ini dianggap berhasil, tapi tidak buat buruh.
Jadi jangan mengangkat isu yang terlalu tinggi apalagi sudah dikaitkan dengan politik. Buruh tentu saja akan langsung dituduh mau menggulingkan pemerintahan. Padahal Seandainya mengangkat isu sederhana, mungkin negosiasi buruh dengan pengusaha bisa berhasil tanpa mereka harus berhadapan dengan militer. Tuduhan terhadap PRD telah mempolitisir buruh ada benarnya, karena dalam memobilisasi buruh, PRD punya agenda yang lebih jauh, bukan salah ya, membentuk pemerintahan sosialis.
Sistem ekonomi kapitalis sebetulnya memainkan 'tarik-tambang'. Artinya, kalau dia merasa lemah tambang akan dia ulur tapi pertandingan tarik-tambang tak akan pernah selesai. Kecuali dengan mengubah sistem. Sasaran PRD terlalu jauh. Kalau setiap aksi buruh selalu mengalami kegagalan bahkan sampai ditahan, PRD tidak akan populer. Membangun Gerakan Buruh harus proporsional. Saya bukan mengatakan diskusi tentang globalisasi, privatisasi dan kapitalisme tidak penting, tapi hendaknya itu tidak selalu dibawa dalam perjuangan gerakan buruh.
Satu lagi Bahwa gerakan buruh sudah waktunya dikaitkan dengan partai politik, disamping adanya gerakan buruh independen. Sayangnya partai politik masih kacau. Tapi kalau buruh berhubungan dengan parpol, dengan begitu Gerakan buruh bisa berjuang di tingkat parlemen. Pada jaman Soekarno tidak ada gerakan buruh yang independen, misalnya PKI punya SOBSI, PNI punya Buruh Marhain. Barangkali sekarang akan kembali pada partai. Parpol harusnya memiliki interest pada buruh dalam rangka memobilisasi suara, tapi sekaligus buruh punya kaitan ke parlemen, dan punya daya tekan yang lebih kuat. Saya kira di masa depan, kalau partai menyadari bahwa buruh punya potensi, mereka akan terdorong untuk mendirikan serikat buruh. Sekarang partainya masih bego. Mereka nggak sadar pentingnya itu.
AR: Belajar dari pengalaman, kepentingan partai/politik lebih dominan ketimbang kepentingan buruh?
AB: Mestinya, kalau bisa, organisasi buruh membuat partai buruh, yang memperjuangkan kepentingan buruh. Buruh bisa bersatu dan hanya memilih partai yang berpihak pada buruh. Toh partai butuh dukungan suara. Buruh sebenarnya punya potensi besar, terutama di kota, itu merupakan madu buat partai. Buruh hanya bilang, "OK saya bisa memberikan manis madu kepada partai yang membela kepantingan buruh", nanti partai berlomba-lomba bikin program untuk buruh. Di Indonesia jumlah buruh, termasuk buruh tani saya kira besar.
AR: Apa syarat membangun relasi yang sehat antara buruh dan partai?
AB: Buruh harus membangun posisi tawar, kalau terpecah-pecah akan mudah dimanfaatkan partai. Mereka harus sadar bahwa mereka buruh, bukan marhaenisme yang membela soekarnoisme atau membela Golkar atau partai manapun. Itu yang bisa digalang sekarang, bahwa mereka sebagai kelas buruh, kesadaran kelas harus diutamakan dari kepentingan ideolog lain.
Buruh bisa direkrut sebagai anggota dengan dalih setia pada Islam atau yang lain padahal partainya partai majikan. Kesadaran kelas harus dikembangkan meskipun bisa dituduh sebagai komunis. PKI mengira petani/buruh sudah punya kesadaran kelas. Petani yang dirampas tanahnya bisa saja membela kepentingan tuan tanah kalau tuan tanahnya haji, karena mereka bilang kuwalat melawan haji. Padahal haji itu merampas, kalau menurut bahasa marxisnya kesadaran kelasnya kurang.
Tapi pernahkah ada dalam sejarah, bahwa gerakan didasari kesadaran kelas yang tinggi. PKI mencoba untuk itu, tapi tidak berhasil, karena ada faktor kultur aliran. Kebanyakan orang tidak berani konfrontasi dengan tuan tanah yang kiai/santri, selain itu ada hubungan patrimonial. Ini menarik. Yang disebut tuan tanah di Amerika latin atau di Eropa dulu, adalah yang punya tanah luas dan tidak punya hubungan dengan petani. Tapi di sini beda, tuan tanah hanya menguasai sebidang kecil tanah dan hubungan mereka dengan buruh/petani sangat patrimornial.
AR: Tapi ada tidak yang mencoba melakukan kritik soal ini, terutama hambatan kultural dalam proses penanaman kesadaran kelas dan mengabstraksikan sebuah teori yang 'applicable'?
AB: Ada. Salah satunya di Australia, Rex Mortimer. Faktor sosial budaya sangat kuat menghambat munculnya kesadaran kelas. PKI kan mengklaim massanya banyak, tapi saat aksi sepihak tahun 61-62 mereka mengalami kesulian memobilisir orang yang berani melawan tuan tanah. Yang radikal sedikit dan itu yang ditumpas tahun 65. Di sini ada orang Lekra, Kusni Sulam, dia asli orang Dayak yang ganti nama menjadi JJ Kusni. Dia menulis tentang BTI.
AR: Dalam kondisi seperti ini, bagaimana mempersiapkan munculnya gerakan buruh?
AB: Saya kira penguatan organisasi dan pembangunan jaringan yang tadi itu. Sekarang serikat sudah mulai terbuka, jadi penting untuk melakukan pembenahan internal. Sekarang ada SBSI, FNPBI dan lain-lain. Mochtar Pakpahan kapasitas organisasionalnya lemah, di SBSI dia sendiri yang muncul. SBSI itu selalu identik dengan Mochtar Pakpahan. Kalau Islam bisa menggalang buruh, mungkin akan lebih kuat. Kesadaran kelas pada kotak agama bisa lebih kuat, orang mengidentifikasi dirinya melalui agama dan kepentingan kelas. Kalau ada reinterpretasi Islam baru, missalnya Teologi Perburuhan, bisa lebih efektif dengan konteks Indonesia. Bukan memanipulasi agama, tapi membela buruh adalah inti dari agama karena problem keadilan itu.
AR: Negara mana yang dapat dijadikan referensi untuk gerakan buruh Indonesia?
AB: Saya tidak tahu banyak. Saya belajar tentang Chile, tapi kondisi konteks sosial budayanya berbeda. Harusnya ada negara Amerika Latin lain yang pas. Afrika, sama sekali saya tidak tahu. Argentina mungkin menarik, dia punya tokoh seperti Soekarno, dihormati sekali, Sokarnonya Eva Peron tapi, lalu beralih ke Junta Militer. Tapi gerakan nasionalismenya masih kuat. Saya nggak tahu, di sana ada katolik, ada nasionalisme, ada militer, ada buruh juga. Taraf industrinya tidak sehebat Korsel, negaranya besar, terbesar di Amerika Latin. Saya nggak bilang itu contoh tapi paralelnya tinggi dengan Indonesia.
AR: Ada kecurigaan aksi buruh sering ditunggangi kepentingan politis, seperti perebutan kursi di elit kekuasaan. Bagaimana menilai gerakan buruh ditunggangi atau tidak?
AB: Politik itu permainan pragmatis. Seperti ketika Yacob Nuwawea mau menjadi menteri, dia mainkan buruh, ya biar saja, terima aja. Yang penting kepentingan buruh terpenuhi. Contoh lain, saat penggusuran di Jakarta. Untuk permainan politik, silahkan siapa yang mau membela. Mereka akan mendapatkan jasa dan nama baik, ambil saja. Kalau ada yang lain seperti Yacob, partai atau apapun, biar saja. Undang mereka, "Kalau membela buruh, kita akan dukung anda". Buat transaksi, "Saya garuk punggung anda, anda juga garuk punggung saya". Jangan terlalu alergi politik. Politik memang begitu, yang penting kita tidak pada pihak dirugikan. Ini politik modern, transaksi bukan idealis-idealis. Mau membela buruh tapi tak dapat apa-apa.
AR: Apa yang harus disiapkan untuk membangaun persatuan gerakan buruh yang kuat?
AB: Saat ini ada banyak serikat, tapi yang penting adalah mereka harus memilih pemimpin yang mengerti kepentingan kelas buruh. Mereka bisa beda, tapi ketika kepentingan kelas buruh terancam mereka bersatu. Itulah kenapa jaringan dalam dan LN itu penting. Buruh muncul beragam tidak bisa dicegah, tapi selalu ada koordinasi, kalau bisa ada seorang tokoh buruh, 'Soekarno'nya buruh. Meski banyak kelompok, dia yang paling dihormati karena kita percaya dia tidak punya interest pribadi selain kepentingan buruh.
AR: Kenapa kepemimpinan gerakan buruh selalu dipimpin oleh kelas menengah?
AB: Itu perdebatan lama. Gerakan komunis dan gerakan buruh selalu dipimpin oleh kaum intelektual. Saya kira itu tidak bisa dihindari karena yang mampu mengartikulasikan kepentingan buruh biasanya kaum intelektual. Yang penting bahwa orang yang mimpin gerakan buruh itu adalah orang yang selalu berhubungan dengan buruh dan memperjuangkan kepentingan buruh. Saya kira kita lebih baik mempersoalkan pemimpin ini layak atau tidak ketimbang elit atau tidak elit. Fauzi Abdullah, misalnya, juga elit, tapi diakan dekat dengan buruh. Dia memenuhi syarat. Sebenarnya sulit mengatakan dia elit, tapi latar belakangnya mahasiswa UI. Padahal penampilan dan semangatnya buruh. Kalau pemimpin buruh itu harus benar-benar dari buruh atau sekolahnya harus sekolah menengah misalnya, itu agak naif, bahkan malah bisa melumpuhkan gerakan buruh. Tapi Kalau muncul pemimpin dari bawah ya bagus. Elit atau bukan, yang penting mau mendengar buruh, membela kepentingan buruh. Marx seorang akademisi, tidak memimpin buruh, setiap hari di perpustakaan, tapi dia dianggap pemimpin buruh dunia karena pemikirannya menginspirasikan kekuatan buruh.
AR: Organisasi buruh paska 80-90an lahir dari gerakan NGO, bagaimana menghindari relasi buruh-NGO yang kooptatif?
AB: Peran LSM paska reformasi tidak akan besar. Dulu LSM kuat karena partai tidak berfungsi. Sekarang fungsi fasilitasi buruh bisa diambil partai. Partai bisa masuk wilayah kerja LSM, tapi LSM tidak semuanya mampu menjadi partai. Kalau kondisi partai sudah normal, LSM jadi partai saja. Hubungan LSM dengan organisasi buruh, tani, nelayan memang masih mungkin, tapi lebih bagus kalau partai yang melakukannya untuk lebih efektif melakukan pemberdayaan rakyat. Fungsi konfrontasi dengan negara lebih efektif bila dilakukan oleh partai.
AR: Menurut anda peran dan posisi gerakan buruh ke depan bagaimana?
AB: Saya kira tergantung pemulihan ekonominya, saya kira sampai tahun 2004 masih sulit, buruh masih kocar-kacir. Jadi saya kira masih kelabu.
AR: Apakah ada strategi atau kebijakan yang mampu mengendalikan larinya modal?
AB: Ini sistem ekonomi pasar, sistem kapitalis, permainan untung-rugi saja. Kalau modal diinstruksi untuk masuk atau keluar, tidak akan jalan. Tapi kalau dibilang disini lebih untung, mereka akan datang. Caranya menciptakan iklim usaha yang baik, lalu menekan buruh. Ini kapitalisme yang jelas-jelas menguntungkan pengusaha.
AR: Kalau berharap pada peran negara?
AB: Negara tidak mampu melawan pasar. Kecuali negara sosialis yang kuat, yang menjalankan untuk kesejahteraan rakyat. Tapi bahayanya ketika negara jadi otoriter, yang di atas korup. Memang tidak ada sistem yang ideal, tapi dalam kapitalisme, kita harus sadar bahwa pasar itu kuat, pengusaha itu kuat.
AR: Apa tidak ada cara lain?
AB: Bagimana? Saya tidak melihat ada cara lain. Negara seperti Chile, ketika mencoba mengendalikan modal, hanya 'BUMN'nya yang mampu. Ketika mereka melakukan nasionalisasi, AS langsung membekukan uang pemerintah Chile, bank Dunia tidak memberi pinjaman lagi, ekspornya diembargo. Mereka lari ke Soviet, tapi Soviet tak cocok dengan Chile. Negara kacau balau, banyak kerusakan, pemerintah krisis legitimasi, dan rakyat marah.***
Wawancara ini sebelumnya telah dimuat di Sedane Jurnal Kajian Perburuhan vol 1 no 1 Dec 2002.
Arief Ruba'i (AR): Banyak yang mengatakan posisi politis buruh sangat lemah, hingga serikat cenderung melakukan perlawanan ke arah kebijakan dan negara dari pada konfrontasi dengan pengusaha?
Arief Budiman (AB): Kekuatan riil politik gerakan buruh sangat lemah. Pertama, kondisi ekonomi kita lemah, kita sangat tergantung pada investor asing. Kedua, pengangguran tinggi, jadi posisi tawar majikan kuat sekali. Kita lebih butuh mereka dari pada mereka butuh kita. Kalau upah buruh naik atau sering terjadi pemogokan, mereka akan pindah. Apalagi potensi alternatifnya banyak, Vietnam, RRC, India dan lain-lain. Kenyataannya kita harus bertolak dari posisi buruh yang lemah. Ini jadi masalah buat buruh ketika mereka mau melakukan perlawanan menghadapi siapapun. Apakah dia menghadapi majikan atau negara. Padahal negara dari dulu selalu tersandera oleh kondisi ekonomi yang lemah. Sehingga negara lebih butuh investor dari pada membela buruh. Dan mengorbankan buruh resikonya lebih kecil dari pada mengorbankan modal. Inilah akar persoalan buruh, mereka bisa saja mogok, bisa macam-macam tapi penyelesaiannya selalu kalah.
AR: Dalam kondisi seperti ini, kemana strategi perlawanan atau titik serang lebih tepat diarahkan?
AB: Saya tidak mengerti. Posisinya yang sangat lemah ini yang sulit. Orang lemah mau menyerang orang kuat, jadi sulit mencari titik serang. Tapi yang bisa dilakukan sekarang adalah mempersiapkan perjuangan masa depan ketika kondisi ekonomi lebih baik, dimana modal punya kebutuhan pada Indonesia. Yang perlu dilakukan saat ini pertama, memperkuat organisasi buruh, termasuk membangun solidaritas dan melakukan pendidikan. Kedua, membangun solidaritas internasional. Jadi, tekanan terhadap perusahaan, terutama perusahaan asing dilakukan di negara asal perusahaan tersebut, itu biasanya lebih efektif. Kedua hal itu merupakan investasi di masa depan saat kondisi ekonomi membaik.
Kalau pun pemerintah berpihak pada buruh, dia tidak mampu melawan pengusaha. Karena sekarang pemerintah lagi 'nyembah-nyembah' pengusaha supaya modal yang diparkir di LN balik ke dalam. Tentu pengusaha akan bilang, "OK, tapi buruh diberesin dulu". Apalagi nasib buruh terkait dengan berkembangnya dunia usaha di Indonesia karena kita menganut sistem ekonomi kapitalis. Nampaknya semua jalan yang ada saat ini sulit. Mungkin buruh harus mengalah dulu, tapi melakukan investasi untuk masa depan.
AR: Riilnya seperti apa?
AB: Nuntut boleh saja tapi yang realistis. Kita dalam kondisi angin badai, artinya kalau kapal ini bisa selamat saja sudah lumayan, jangan berharap ada peningkatan.
AR: Dalam hal pendidikan dan penguatan organisasi buruh, kira-kira isu apa yang perlu diprioritaskan untuk persiapan ke depan?
AB: Isu utama adalah ketidakadilan, bahwa perusahaan dapat banyak keuntungan dibanding upah buruh yang sangat buruk. Itu yang menjadi bahan pendidikan dan titik serang, buruh disadarkan bahwa mereka dieksploitasi, sehingga timbul gairah perlawanan. Tapi hendaknya jangan terlalu diberi harapan macam-macam, karena keadilan ini sulit dicapai dalam kondisi seperti ini. Paling muncul kader-kader gerakan buruh lokal.
AR: Sekarang banyak serikat buruh, tapi mereka memiliki concern yang berbeda. Ada yang tertarik isu-isu lokal pabrik, ada juga yang mengangkat isu-isu di luar pabrik seperti kebijakan dan anti privatisasi. Menurut anda apa yang membuat isu serikat buruh terpolarisasi?
AB: Sebenarnya dua-duanya perlu. Tapi pada tingkat basis, isu ketidakadilan yang harus dikembangkan. Ketidakadilan upah itulah yang penting, dan itu yang paling dimengerti oleh buruh. Kalau isu-isu 'besar' sulit dimengerti kecuali oleh kader-kader buruh. Isu-isu 'besar' penting bagi kader buruh untuk mengerti posisi mereka dan kekuatan posisi tawar mereka. Untuk memimpin gerakan buruh di tingkat grass root, isu yang kongret adalah: upah, jaminan sosial, cuti dan lain-lain. Dalam pendidikan basis perlu juga menyinggung soal isu-isu besar, tapi dalam gerakannya mesti terbatas, supaya dapat dukungan buruh yang lebih kuat.
Gerakan komunis dan sosialis di Chile masuk ke pabrik dengan isu upah. Buruh mudah diajak bergerak untuk isu upah. Itu memang dikritik Lenin karena buruh hanya tahu soal upah saja. Tapi isu-isu 'besar' bisa disosialisasiakan pada tingkat kader. Yang perlu dimengerti adalah latar belakang teori politiknya. Prakteknya, tergantung pada tingkat mana buruh diorganisir dengan melihat kapasitas buruh.
Tentang pemogokan buruh, saya kritik PRD sejak dulu (red- FNPBI), sesekali buruh mogok dengan isu pabrik seperti upah dan THR, tapi seringkali mereka mengusung spanduk besar-besar: "Turunkan Soeharto", "Hancurkan Orde Baru" dan lain-lain. Setiap kali aksi buruh selalu berhadapan dengan militer, karena dianggap sudah politis. Buruhnya nggak dapat apa-apa, kalau begitu terus mereka akan kehilangan dukungan buruh. Mungkin buat PRD aksi ini dianggap berhasil, tapi tidak buat buruh.
Jadi jangan mengangkat isu yang terlalu tinggi apalagi sudah dikaitkan dengan politik. Buruh tentu saja akan langsung dituduh mau menggulingkan pemerintahan. Padahal Seandainya mengangkat isu sederhana, mungkin negosiasi buruh dengan pengusaha bisa berhasil tanpa mereka harus berhadapan dengan militer. Tuduhan terhadap PRD telah mempolitisir buruh ada benarnya, karena dalam memobilisasi buruh, PRD punya agenda yang lebih jauh, bukan salah ya, membentuk pemerintahan sosialis.
Sistem ekonomi kapitalis sebetulnya memainkan 'tarik-tambang'. Artinya, kalau dia merasa lemah tambang akan dia ulur tapi pertandingan tarik-tambang tak akan pernah selesai. Kecuali dengan mengubah sistem. Sasaran PRD terlalu jauh. Kalau setiap aksi buruh selalu mengalami kegagalan bahkan sampai ditahan, PRD tidak akan populer. Membangun Gerakan Buruh harus proporsional. Saya bukan mengatakan diskusi tentang globalisasi, privatisasi dan kapitalisme tidak penting, tapi hendaknya itu tidak selalu dibawa dalam perjuangan gerakan buruh.
Satu lagi Bahwa gerakan buruh sudah waktunya dikaitkan dengan partai politik, disamping adanya gerakan buruh independen. Sayangnya partai politik masih kacau. Tapi kalau buruh berhubungan dengan parpol, dengan begitu Gerakan buruh bisa berjuang di tingkat parlemen. Pada jaman Soekarno tidak ada gerakan buruh yang independen, misalnya PKI punya SOBSI, PNI punya Buruh Marhain. Barangkali sekarang akan kembali pada partai. Parpol harusnya memiliki interest pada buruh dalam rangka memobilisasi suara, tapi sekaligus buruh punya kaitan ke parlemen, dan punya daya tekan yang lebih kuat. Saya kira di masa depan, kalau partai menyadari bahwa buruh punya potensi, mereka akan terdorong untuk mendirikan serikat buruh. Sekarang partainya masih bego. Mereka nggak sadar pentingnya itu.
AR: Belajar dari pengalaman, kepentingan partai/politik lebih dominan ketimbang kepentingan buruh?
AB: Mestinya, kalau bisa, organisasi buruh membuat partai buruh, yang memperjuangkan kepentingan buruh. Buruh bisa bersatu dan hanya memilih partai yang berpihak pada buruh. Toh partai butuh dukungan suara. Buruh sebenarnya punya potensi besar, terutama di kota, itu merupakan madu buat partai. Buruh hanya bilang, "OK saya bisa memberikan manis madu kepada partai yang membela kepantingan buruh", nanti partai berlomba-lomba bikin program untuk buruh. Di Indonesia jumlah buruh, termasuk buruh tani saya kira besar.
AR: Apa syarat membangun relasi yang sehat antara buruh dan partai?
AB: Buruh harus membangun posisi tawar, kalau terpecah-pecah akan mudah dimanfaatkan partai. Mereka harus sadar bahwa mereka buruh, bukan marhaenisme yang membela soekarnoisme atau membela Golkar atau partai manapun. Itu yang bisa digalang sekarang, bahwa mereka sebagai kelas buruh, kesadaran kelas harus diutamakan dari kepentingan ideolog lain.
Buruh bisa direkrut sebagai anggota dengan dalih setia pada Islam atau yang lain padahal partainya partai majikan. Kesadaran kelas harus dikembangkan meskipun bisa dituduh sebagai komunis. PKI mengira petani/buruh sudah punya kesadaran kelas. Petani yang dirampas tanahnya bisa saja membela kepentingan tuan tanah kalau tuan tanahnya haji, karena mereka bilang kuwalat melawan haji. Padahal haji itu merampas, kalau menurut bahasa marxisnya kesadaran kelasnya kurang.
Tapi pernahkah ada dalam sejarah, bahwa gerakan didasari kesadaran kelas yang tinggi. PKI mencoba untuk itu, tapi tidak berhasil, karena ada faktor kultur aliran. Kebanyakan orang tidak berani konfrontasi dengan tuan tanah yang kiai/santri, selain itu ada hubungan patrimonial. Ini menarik. Yang disebut tuan tanah di Amerika latin atau di Eropa dulu, adalah yang punya tanah luas dan tidak punya hubungan dengan petani. Tapi di sini beda, tuan tanah hanya menguasai sebidang kecil tanah dan hubungan mereka dengan buruh/petani sangat patrimornial.
AR: Tapi ada tidak yang mencoba melakukan kritik soal ini, terutama hambatan kultural dalam proses penanaman kesadaran kelas dan mengabstraksikan sebuah teori yang 'applicable'?
AB: Ada. Salah satunya di Australia, Rex Mortimer. Faktor sosial budaya sangat kuat menghambat munculnya kesadaran kelas. PKI kan mengklaim massanya banyak, tapi saat aksi sepihak tahun 61-62 mereka mengalami kesulian memobilisir orang yang berani melawan tuan tanah. Yang radikal sedikit dan itu yang ditumpas tahun 65. Di sini ada orang Lekra, Kusni Sulam, dia asli orang Dayak yang ganti nama menjadi JJ Kusni. Dia menulis tentang BTI.
AR: Dalam kondisi seperti ini, bagaimana mempersiapkan munculnya gerakan buruh?
AB: Saya kira penguatan organisasi dan pembangunan jaringan yang tadi itu. Sekarang serikat sudah mulai terbuka, jadi penting untuk melakukan pembenahan internal. Sekarang ada SBSI, FNPBI dan lain-lain. Mochtar Pakpahan kapasitas organisasionalnya lemah, di SBSI dia sendiri yang muncul. SBSI itu selalu identik dengan Mochtar Pakpahan. Kalau Islam bisa menggalang buruh, mungkin akan lebih kuat. Kesadaran kelas pada kotak agama bisa lebih kuat, orang mengidentifikasi dirinya melalui agama dan kepentingan kelas. Kalau ada reinterpretasi Islam baru, missalnya Teologi Perburuhan, bisa lebih efektif dengan konteks Indonesia. Bukan memanipulasi agama, tapi membela buruh adalah inti dari agama karena problem keadilan itu.
AR: Negara mana yang dapat dijadikan referensi untuk gerakan buruh Indonesia?
AB: Saya tidak tahu banyak. Saya belajar tentang Chile, tapi kondisi konteks sosial budayanya berbeda. Harusnya ada negara Amerika Latin lain yang pas. Afrika, sama sekali saya tidak tahu. Argentina mungkin menarik, dia punya tokoh seperti Soekarno, dihormati sekali, Sokarnonya Eva Peron tapi, lalu beralih ke Junta Militer. Tapi gerakan nasionalismenya masih kuat. Saya nggak tahu, di sana ada katolik, ada nasionalisme, ada militer, ada buruh juga. Taraf industrinya tidak sehebat Korsel, negaranya besar, terbesar di Amerika Latin. Saya nggak bilang itu contoh tapi paralelnya tinggi dengan Indonesia.
AR: Ada kecurigaan aksi buruh sering ditunggangi kepentingan politis, seperti perebutan kursi di elit kekuasaan. Bagaimana menilai gerakan buruh ditunggangi atau tidak?
AB: Politik itu permainan pragmatis. Seperti ketika Yacob Nuwawea mau menjadi menteri, dia mainkan buruh, ya biar saja, terima aja. Yang penting kepentingan buruh terpenuhi. Contoh lain, saat penggusuran di Jakarta. Untuk permainan politik, silahkan siapa yang mau membela. Mereka akan mendapatkan jasa dan nama baik, ambil saja. Kalau ada yang lain seperti Yacob, partai atau apapun, biar saja. Undang mereka, "Kalau membela buruh, kita akan dukung anda". Buat transaksi, "Saya garuk punggung anda, anda juga garuk punggung saya". Jangan terlalu alergi politik. Politik memang begitu, yang penting kita tidak pada pihak dirugikan. Ini politik modern, transaksi bukan idealis-idealis. Mau membela buruh tapi tak dapat apa-apa.
AR: Apa yang harus disiapkan untuk membangaun persatuan gerakan buruh yang kuat?
AB: Saat ini ada banyak serikat, tapi yang penting adalah mereka harus memilih pemimpin yang mengerti kepentingan kelas buruh. Mereka bisa beda, tapi ketika kepentingan kelas buruh terancam mereka bersatu. Itulah kenapa jaringan dalam dan LN itu penting. Buruh muncul beragam tidak bisa dicegah, tapi selalu ada koordinasi, kalau bisa ada seorang tokoh buruh, 'Soekarno'nya buruh. Meski banyak kelompok, dia yang paling dihormati karena kita percaya dia tidak punya interest pribadi selain kepentingan buruh.
AR: Kenapa kepemimpinan gerakan buruh selalu dipimpin oleh kelas menengah?
AB: Itu perdebatan lama. Gerakan komunis dan gerakan buruh selalu dipimpin oleh kaum intelektual. Saya kira itu tidak bisa dihindari karena yang mampu mengartikulasikan kepentingan buruh biasanya kaum intelektual. Yang penting bahwa orang yang mimpin gerakan buruh itu adalah orang yang selalu berhubungan dengan buruh dan memperjuangkan kepentingan buruh. Saya kira kita lebih baik mempersoalkan pemimpin ini layak atau tidak ketimbang elit atau tidak elit. Fauzi Abdullah, misalnya, juga elit, tapi diakan dekat dengan buruh. Dia memenuhi syarat. Sebenarnya sulit mengatakan dia elit, tapi latar belakangnya mahasiswa UI. Padahal penampilan dan semangatnya buruh. Kalau pemimpin buruh itu harus benar-benar dari buruh atau sekolahnya harus sekolah menengah misalnya, itu agak naif, bahkan malah bisa melumpuhkan gerakan buruh. Tapi Kalau muncul pemimpin dari bawah ya bagus. Elit atau bukan, yang penting mau mendengar buruh, membela kepentingan buruh. Marx seorang akademisi, tidak memimpin buruh, setiap hari di perpustakaan, tapi dia dianggap pemimpin buruh dunia karena pemikirannya menginspirasikan kekuatan buruh.
AR: Organisasi buruh paska 80-90an lahir dari gerakan NGO, bagaimana menghindari relasi buruh-NGO yang kooptatif?
AB: Peran LSM paska reformasi tidak akan besar. Dulu LSM kuat karena partai tidak berfungsi. Sekarang fungsi fasilitasi buruh bisa diambil partai. Partai bisa masuk wilayah kerja LSM, tapi LSM tidak semuanya mampu menjadi partai. Kalau kondisi partai sudah normal, LSM jadi partai saja. Hubungan LSM dengan organisasi buruh, tani, nelayan memang masih mungkin, tapi lebih bagus kalau partai yang melakukannya untuk lebih efektif melakukan pemberdayaan rakyat. Fungsi konfrontasi dengan negara lebih efektif bila dilakukan oleh partai.
AR: Menurut anda peran dan posisi gerakan buruh ke depan bagaimana?
AB: Saya kira tergantung pemulihan ekonominya, saya kira sampai tahun 2004 masih sulit, buruh masih kocar-kacir. Jadi saya kira masih kelabu.
AR: Apakah ada strategi atau kebijakan yang mampu mengendalikan larinya modal?
AB: Ini sistem ekonomi pasar, sistem kapitalis, permainan untung-rugi saja. Kalau modal diinstruksi untuk masuk atau keluar, tidak akan jalan. Tapi kalau dibilang disini lebih untung, mereka akan datang. Caranya menciptakan iklim usaha yang baik, lalu menekan buruh. Ini kapitalisme yang jelas-jelas menguntungkan pengusaha.
AR: Kalau berharap pada peran negara?
AB: Negara tidak mampu melawan pasar. Kecuali negara sosialis yang kuat, yang menjalankan untuk kesejahteraan rakyat. Tapi bahayanya ketika negara jadi otoriter, yang di atas korup. Memang tidak ada sistem yang ideal, tapi dalam kapitalisme, kita harus sadar bahwa pasar itu kuat, pengusaha itu kuat.
AR: Apa tidak ada cara lain?
AB: Bagimana? Saya tidak melihat ada cara lain. Negara seperti Chile, ketika mencoba mengendalikan modal, hanya 'BUMN'nya yang mampu. Ketika mereka melakukan nasionalisasi, AS langsung membekukan uang pemerintah Chile, bank Dunia tidak memberi pinjaman lagi, ekspornya diembargo. Mereka lari ke Soviet, tapi Soviet tak cocok dengan Chile. Negara kacau balau, banyak kerusakan, pemerintah krisis legitimasi, dan rakyat marah.***
Wawancara ini sebelumnya telah dimuat di Sedane Jurnal Kajian Perburuhan vol 1 no 1 Dec 2002.
Orang Miskin Dilarang Sekolah
Benny Susetyo Pr, Sekretaris Eksekutif Komisi HAK, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).
”Saya ingin cucu saya pintar, karenanya saya larang ia sekolah,” kata Margaret Mead suatu ketika. ”Orang miskin dilarang sekolah,” bunyi judul karangan seorang teman di Yogya, Eko Prasetyo. Dua pernyataan ini mewakili secara sungguh-sungguh kenyataan pendidikan kita. Pendidikan kita masih diragukan kemampuannya untuk membuat orang pintar dan dengan demikian mampu melepaskan belenggu masyarakat dari kemiskinan. Di sisi lain, kaum miskin memang menjadi kaum ”terlarang” untuk memasuki kawasan pendidikan tinggi.
Siapa tak heran, wong sudah jelas disaksikan bagaimana angka kemiskinan dan rendahnya pendapatan yang diderita oleh sebagian besar masyarakat, nyatanya itu tak membuat pemerintah bergeming untuk menaikkan harga segala biaya masuk dan biaya perlengkapan pendidikan.
Lalu pendidikan itu akan diperuntukkan siapa? Apakah hanya kelas atas saja —yang jumlahnya sangat kecil, dan kelas bawah tetap dengan ketertindasannya? Tampak terang, kebijakan-kebijakan pendidikan yang direkayasa oleh pemodal dan penguasa ini menjadi cermin betapa buruknya negara ini mengelola pendidikan, betapa tidak warasnya para penguasa ini memperlakukan masyarakat miskin.
Unjuk rasa menolak kenaikan biaya pendidikan, terutama untuk perguruan tinggi, muncul mula-mula ketika diputuskan bahwa perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi badan hukum milik negara (BHMN). Atas kebijakan tersebut, sedikitnya ada tiga alasan atas fenomena yang menjadi perbincangan meluas itu. Pertama, soal keterbatasan anggaran pendidikan yang disediakan negara kepada masyarakat. Kedua, soal deetatisme yang digembar-gemborkan sebagai jalan menuju otonomi kampus sepenuhnya. Ketiga, soal kapitalisme global yang semakin lama semakin pasti mensyaratkan privatisasi berbagai lembaga milik negara untuk dipersaingkan di tengah pasar bebas.
Kegagalan Fungsi Negara
Penjelasan gamblang untuk alasan pertama adalah ketidakmampuan negara untuk memberikan subsidi sebesar-besarnya bagi masyarakat untuk menikmati dan mengenyam pendidikan. Dengan kata lain, ini merupakan kegagalan fungsi negara untuk memberikan pendidikan semurah-murahnya kepada masyarakat.
Atas alasan krisis ekonomi berkepanjangan dengan berbagai aspeknya, negara berpikir tidak lagi perlu memberikan subsidi pendidikan, terutama untuk pendidikan tinggi. Krisis ini diperparah dengan tidak kunjung membaiknya perekonomian Indonesia di tengah-tengah negara-negara lain yang sudah bangkit. Karena itu, seakan-akan absah jika negara menghendaki pemotongan anggaran pendidikan bagi masyarakat.
Penjelasan kedua mengandaikan bahwa di era reformasi ini negara tak boleh lagi mengintervensi kampus sebagai lahan persemaian keilmuan. Dunia akademis dengan segala apa yang ada di dalamnya bersifat otonom. Ilmu memiliki kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri, dan kuasa negara tidak berhak untuk menentukan wacana yang berkembang di dalamnya (sebagai catatan, ini kontradiktif dengan karakter UU Sisdiknas yang baru yang sangat kental semangat etatisme-nya).
Berkaitan dengan penjelasan kedua, penjelasan ketiga mengisyaratkan adanya integrasi institusi-institusi negara ke dalam pasar. Kapitalisme melahirkan arena yang disebut pasar dan ia berfungsi sebagai lahan untuk beradu kekuatan. Konsekuensi dari kompetisi bebas ini adalah tersingkirnya yang lemah dan pongahnya yang kuat. Negara menjadi serba sulit untuk membela kepentingan si lemah. Akibatnya fungsi negara untuk melindungi dan mencerdaskan masyarakat, larut dalam arena pertarungan tanpa batas tersebut.
Dari kasus ini sangat perlu kita sarankan bahwa komersialisasi pendidikan sangatlah mencoreng muka dan nama besar PTN-PTN yang sudah diakui tersebut. Tanpa harus mengeksploitasi dan menciptakan ruang diskriminasi bagi mahasiswa, PTN-PTN tersebut kita yakini masih mampu mencari dana dengan cara yang lebih elegan dan profesional. Masih banyak cara untuk mendanai operasionalisasi pendidikan tanpa harus menjerat leher masyarakat. Jangan perburuk wajah Indonesia dengan melakukan hal-hal yang di luar batas kewajaran.
”Very-very Important Person”
Sudah dipahami masyarakat dan menjadi keprihatinan teramat luas, betapa timpangnya pendidikan kita menyerap anak didiknya. Dalam berbagai PTN, terdapat berbagai kelas khusus, dari yang super-eksekutif untuk very-very important person (VVIP), yang eksekutif untuk very important person (VIP), kelas istimewa, kelas spesial sampai kelas anak jelata.
Pendidikan ternyata tidak mengajarkan bagaimana jurang stratifikasi sosial itu dihentikan dan setiap murid mendapatkan perlakuan yang sama dan wajar. Pendidikan justru jelas-jelas mengajarkan bagaimana diskriminasi dilakukan. Jika tak punya uang, maka benarlah dikatakan bahwa orang miskin terlarang memasuki bangku kuliah.
Ini merupakan cermin nyata dampak integrasi pendidikan dalam pasar bebas. Jelas bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, berangkat dari soal-soal yang dikemukakan di atas, sebenarnya implikasi yang paling logis diterima atas kebijakan itu adalah mahalnya biaya pendidikan. Fenomena ini tentu saja kontradiktif dengan kondisi perekonomian masyarakat yang umumnya tak berdaya baik sebelum maupun sesudah krisis. Dari Orde Baru hingga sekarang, perkembangan perekonomian masyarakat berjalan sangat lambat di satu sisi, meski di sisi lain peredaran korupsi di tingkat elit semakin membabi-buta. Ada kesenjangan yang tidak sulit dipahami dengan mata telanjang, terutama ketika kaum elite berebut kue pembangunan, dan kaum miskin semata-mata tetap menjadi obyek pembangunan.
Terintegrasinya dunia pendidikan ke dalam pasar bebas dengan konsekuensi sebagaimana dipaparkan di atas di satu pihak, adalah fenomena yang tidak sebanding ataupun berlainan sama sekali dengan ketidakberdayaan ekonomi masyarakat di lain pihak. Jika di negara-negara maju, pendidikan yang berbiaya mahal tidak mendapatkan protes adalah karena masyarakatnya yang melihat kemampuan dirinya untuk mengakses dunia pendidikan tersebut. Persoalan kita saat ini dengan demikian adalah bagaimana menyikapi dua hal berbeda yang saling bertolak belakang tersebut?
Ibarat sudah jatuh, masyarakat miskin yang memiliki kemampuan akademik di atas rata-rata, akhirnya tertimpa tangga pula. Tertutup ruang bagi mereka untuk mengembangkan kemampuannya di dalam universitas-universitas berkualitas. Orientasi mereka sudah digeser untuk sekedar mencari uang dan uang, kualifikasi akademis sudah dipinggirkan jauh-jauh. Dan orang miskin memang benar-benar terlarang bersekolah!
”Saya ingin cucu saya pintar, karenanya saya larang ia sekolah,” kata Margaret Mead suatu ketika. ”Orang miskin dilarang sekolah,” bunyi judul karangan seorang teman di Yogya, Eko Prasetyo. Dua pernyataan ini mewakili secara sungguh-sungguh kenyataan pendidikan kita. Pendidikan kita masih diragukan kemampuannya untuk membuat orang pintar dan dengan demikian mampu melepaskan belenggu masyarakat dari kemiskinan. Di sisi lain, kaum miskin memang menjadi kaum ”terlarang” untuk memasuki kawasan pendidikan tinggi.
Siapa tak heran, wong sudah jelas disaksikan bagaimana angka kemiskinan dan rendahnya pendapatan yang diderita oleh sebagian besar masyarakat, nyatanya itu tak membuat pemerintah bergeming untuk menaikkan harga segala biaya masuk dan biaya perlengkapan pendidikan.
Lalu pendidikan itu akan diperuntukkan siapa? Apakah hanya kelas atas saja —yang jumlahnya sangat kecil, dan kelas bawah tetap dengan ketertindasannya? Tampak terang, kebijakan-kebijakan pendidikan yang direkayasa oleh pemodal dan penguasa ini menjadi cermin betapa buruknya negara ini mengelola pendidikan, betapa tidak warasnya para penguasa ini memperlakukan masyarakat miskin.
Unjuk rasa menolak kenaikan biaya pendidikan, terutama untuk perguruan tinggi, muncul mula-mula ketika diputuskan bahwa perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi badan hukum milik negara (BHMN). Atas kebijakan tersebut, sedikitnya ada tiga alasan atas fenomena yang menjadi perbincangan meluas itu. Pertama, soal keterbatasan anggaran pendidikan yang disediakan negara kepada masyarakat. Kedua, soal deetatisme yang digembar-gemborkan sebagai jalan menuju otonomi kampus sepenuhnya. Ketiga, soal kapitalisme global yang semakin lama semakin pasti mensyaratkan privatisasi berbagai lembaga milik negara untuk dipersaingkan di tengah pasar bebas.
Kegagalan Fungsi Negara
Penjelasan gamblang untuk alasan pertama adalah ketidakmampuan negara untuk memberikan subsidi sebesar-besarnya bagi masyarakat untuk menikmati dan mengenyam pendidikan. Dengan kata lain, ini merupakan kegagalan fungsi negara untuk memberikan pendidikan semurah-murahnya kepada masyarakat.
Atas alasan krisis ekonomi berkepanjangan dengan berbagai aspeknya, negara berpikir tidak lagi perlu memberikan subsidi pendidikan, terutama untuk pendidikan tinggi. Krisis ini diperparah dengan tidak kunjung membaiknya perekonomian Indonesia di tengah-tengah negara-negara lain yang sudah bangkit. Karena itu, seakan-akan absah jika negara menghendaki pemotongan anggaran pendidikan bagi masyarakat.
Penjelasan kedua mengandaikan bahwa di era reformasi ini negara tak boleh lagi mengintervensi kampus sebagai lahan persemaian keilmuan. Dunia akademis dengan segala apa yang ada di dalamnya bersifat otonom. Ilmu memiliki kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri, dan kuasa negara tidak berhak untuk menentukan wacana yang berkembang di dalamnya (sebagai catatan, ini kontradiktif dengan karakter UU Sisdiknas yang baru yang sangat kental semangat etatisme-nya).
Berkaitan dengan penjelasan kedua, penjelasan ketiga mengisyaratkan adanya integrasi institusi-institusi negara ke dalam pasar. Kapitalisme melahirkan arena yang disebut pasar dan ia berfungsi sebagai lahan untuk beradu kekuatan. Konsekuensi dari kompetisi bebas ini adalah tersingkirnya yang lemah dan pongahnya yang kuat. Negara menjadi serba sulit untuk membela kepentingan si lemah. Akibatnya fungsi negara untuk melindungi dan mencerdaskan masyarakat, larut dalam arena pertarungan tanpa batas tersebut.
Dari kasus ini sangat perlu kita sarankan bahwa komersialisasi pendidikan sangatlah mencoreng muka dan nama besar PTN-PTN yang sudah diakui tersebut. Tanpa harus mengeksploitasi dan menciptakan ruang diskriminasi bagi mahasiswa, PTN-PTN tersebut kita yakini masih mampu mencari dana dengan cara yang lebih elegan dan profesional. Masih banyak cara untuk mendanai operasionalisasi pendidikan tanpa harus menjerat leher masyarakat. Jangan perburuk wajah Indonesia dengan melakukan hal-hal yang di luar batas kewajaran.
”Very-very Important Person”
Sudah dipahami masyarakat dan menjadi keprihatinan teramat luas, betapa timpangnya pendidikan kita menyerap anak didiknya. Dalam berbagai PTN, terdapat berbagai kelas khusus, dari yang super-eksekutif untuk very-very important person (VVIP), yang eksekutif untuk very important person (VIP), kelas istimewa, kelas spesial sampai kelas anak jelata.
Pendidikan ternyata tidak mengajarkan bagaimana jurang stratifikasi sosial itu dihentikan dan setiap murid mendapatkan perlakuan yang sama dan wajar. Pendidikan justru jelas-jelas mengajarkan bagaimana diskriminasi dilakukan. Jika tak punya uang, maka benarlah dikatakan bahwa orang miskin terlarang memasuki bangku kuliah.
Ini merupakan cermin nyata dampak integrasi pendidikan dalam pasar bebas. Jelas bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, berangkat dari soal-soal yang dikemukakan di atas, sebenarnya implikasi yang paling logis diterima atas kebijakan itu adalah mahalnya biaya pendidikan. Fenomena ini tentu saja kontradiktif dengan kondisi perekonomian masyarakat yang umumnya tak berdaya baik sebelum maupun sesudah krisis. Dari Orde Baru hingga sekarang, perkembangan perekonomian masyarakat berjalan sangat lambat di satu sisi, meski di sisi lain peredaran korupsi di tingkat elit semakin membabi-buta. Ada kesenjangan yang tidak sulit dipahami dengan mata telanjang, terutama ketika kaum elite berebut kue pembangunan, dan kaum miskin semata-mata tetap menjadi obyek pembangunan.
Terintegrasinya dunia pendidikan ke dalam pasar bebas dengan konsekuensi sebagaimana dipaparkan di atas di satu pihak, adalah fenomena yang tidak sebanding ataupun berlainan sama sekali dengan ketidakberdayaan ekonomi masyarakat di lain pihak. Jika di negara-negara maju, pendidikan yang berbiaya mahal tidak mendapatkan protes adalah karena masyarakatnya yang melihat kemampuan dirinya untuk mengakses dunia pendidikan tersebut. Persoalan kita saat ini dengan demikian adalah bagaimana menyikapi dua hal berbeda yang saling bertolak belakang tersebut?
Ibarat sudah jatuh, masyarakat miskin yang memiliki kemampuan akademik di atas rata-rata, akhirnya tertimpa tangga pula. Tertutup ruang bagi mereka untuk mengembangkan kemampuannya di dalam universitas-universitas berkualitas. Orientasi mereka sudah digeser untuk sekedar mencari uang dan uang, kualifikasi akademis sudah dipinggirkan jauh-jauh. Dan orang miskin memang benar-benar terlarang bersekolah!
Langganan:
Postingan (Atom)