Pertanyaan di atas perlu didiskusikan lebih lanjut, mengingat perbedaan perayaan Idul Fitri acapkali menjadi kontroversi di negeri ini ketika menjelang hari raya Idul Fitri tiba. Berbeda dengan tahun sebelumnya, ritual Idul Fitri kali ini memiliki nuansa perbedaan yang cukup mencolok. Pasalnya, organisasi keagamaan Islam terbesar seperti NU dan Muhammadiyah serta pemerintah nampaknya berbeda dalam penetapan pelaksanaan Idul Fitri bagi umat muslimin, khususnya di Indonesia. Sebetulnya, kita cukup mafhum bahwa perbedaan tersebut sering terjadi dan kebanyakan lebih ditengarai oleh perbedaan cara (kaifiyat) penetapan hari raya Idul Fitri ketimbang faktor lainnya. Meskipun juga tidak sedikit yang mengaitkan perbedaan waktu perayaan lebaran terkadang akibat politisasi elit politik tertentu yang tidak senang bersatunya organisasi besar seperti NU dan Muhammadiyah. Asumsi di atas, memang belum juga seratus persen benar, akan tetapi banyak pihak saya kira ada yang sependapat dengan pandangan semacam ini.
Sebagaimana kita ketahui, cara penentuan hari lebaran bagi warga NU selama ini menggunakan metode ru'yat (melihat hilal), sedangkan Muhammadiyah menggunakan metode hisab (hitungan). Di mana kedua metode tersebut intinya adalah hendak mengetahui kapan waktu yang tepat dalam menyelesaikan ibadah puasa sekaligus merayakan hari kemenangan, Idul Fitri.
Cuma muncul sebuah persoalan serius ketika perbedaan tersebut manakala selalu “dipelintir� demi kepentingan tertentu. Padahal, perbedaan dalam khazanah Islam merupakan rahmat. Dan bukankah di tengah-tengah kehidupan bernegara Pancasila yang menjunjung nilai-nilai demokrasi dan multikulturalisme, menjadi sesuatu yang wajar kalau terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat dan ulama’, tentu tak terkecuali perbedaan pendapat dalam hal penetapan hari raya Idul Fitri.
Dalam konteks di atas, maka menjalin kebersamaan dalam perbedaan menjadi proyek penting yang perlu selalu diusahakan semua pihak, utamanya elit agamawan. Bagi pemerintah, seharusnya memposisikan diri sebagai koordinator ketimbang instruktur. Sebab, ketika pemerintah ikut campur mengintruksi lebih dalam maka akibatnya bisa fatal. Bayangkan saja, ketika agama selalu dicampuri pemerintah, akan tetapi situasi akan berbeda ketika pemerintah memposisikan sebagai koordinatif dari semua pihak dalam upaya menentukan kapan sebaiknya hari-hari besar dilaksanakan.
Sayangnya, pemerintah seringkali kurang adil dalam urusan-urusan semacam ini. Akibatnya, umat Islam secara umum menjadi korban kebingungan. Maksudnya, umat harus ikut pihak yang mana? Pertanyaan sederhana ini tidak seharusnya disederhanakan begitu saja sebab bisa jadi berubah menjadi malapetaka konflik sosial agama akibat perbedaan mazhab atau lainnya itu.
Dalam konteks semacam ini, menjadikan perbedaan bukan sebagai penghalang untuk menjalin kebersamaan menjadi signifikan. Dengan kebersamaan merayakan hari raya Idul Fitri tanpa harus bersama-sama waktunya, maka hal itu jauh lebih indah dan lebih semerbak dibandingkan dengan adanya politisasi perbedaan perayaan Idul Fitri antara PP Muhammadiyah yang jatuh pada hari jumat, 12 Oktober 2007, dengan NU dan pemerintah Republik Indonesia yang menetapkan 1 Syawal 1428 jatuh pada hari Sabtu, 13 Oktober 2007, dengan alasan saat matahari terbenam tinggi hilal 0 derajat 10’52�, yang tidak mungkin terlihat oleh mata telanjang, maka ditetapkan pada tanggal tersebut (Ahmad Rofiq, 2007).
Lebih dari itu, marilah kita berijtihad menegakkan kebersamaan merayakan hari raya Idul Fitri, yakni dengan cara saling menerima pendapat orang lain, tidak mempersalahkan pendapat orang lain, saling memahami, toleransi, dan masih banyak lagi cara lainnya yang bisa menumbuhkan nuansa damai seperti yang tersirat dalam perayaan Idul Fitri.
Pertama, mengkaji ulang sistem kalenderisasi. Langkah ini penting diambil sebab kalenderisasi Islam, khususnya di Indonesia nampak kurang terkoordinatif dengan baik. Masing-masing organisasi Islam mengambil inisiatif sendiri dalam merumuskan program tersebut. Karenanya, penting mendialogkan kembali dalam rangka menekan konflik akibat perbedaan pendapat dan ideologi.
Bagi Samuel P. Huntington (1999), era saat ini banyak pihak akan diperhadapkan dengan beragam masalah benturan antar ideologi dan peradaban (the clash of ideology and civilization). Indonesia sebagaimana kita ketahui adalah negeri yang kaya perbedaan peradaban, agama, ideologi dan adat isti adat. Manakala kekayaan keragaman tersebut tidak dikelola dengan apik maka benturan yang berujung kekerasan dan darah akan dijumpai di mana-mana. Tentu kita semua tidak berharap semua peristiwa itu terjadi.
Kedua, penciptaan perdamaian (peacebuilding process). Moment perayaan Idul Fitri acapkali dijadikan peristiwa biasa-biasa saja, padahal bagi hemat penulis, perayaan ini bisa digunakan sebagai perayaan perdamaian ketimbang perayaan perbedaan itu sendiri. Artinya, mewujudkan perdamaian lewat Idul Fitri menjadi penting dengan cara merumuskan strategi menjalin kebersamaan, toleransi dan kedamaian itu sendiri.
Last but not least, usaha dan upaya di atas nampaknya tidak mungkin terwujud manakala tidak ada political will (kemauan) di antara semua pihak. Karenanya, pemerintah, rakyat, pejabat, insan pers dan lainnya perlu bersatu padu mendukung terciptanya perdamaian di setiap perayaan hari besar keagamaan. Kerinduan akan terjadinya perayaan Idul Fitri secara bersamaan tentu tidak seharusnya dijadikan alasan untuk tidak menukung upaya penegakan perdamaian dan keadilan sosial di negeri ini. Semoga.***
Oleh: Agustina Nur Indah Sari
Penulis adalah mahasiswi semester III Jurusan Kependidikan Islam (KI) Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, peneliti LKAS Surabaya. Email: agustina.sari@yahoo.com
Sumber: Radar Surabaya, 11 Oktober 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar