Minggu, 09 Desember 2007

Chavez, Putin, dan Dua Demokrasi

Oleh Ahmad Dahlan

Pekan lalu kita telah menyaksikan dua peristiwa demokrasi penting yang terjadi di belahan dunia barat.

Pertama adalah pemilu parlemen di Rusia pada Sabtu (1/12) yang dimenangi Partai Rusia Bersatu (United Russian) bentukan Presiden Vladimir Putin. Kedua, referendum nasional tentang perubahan konstitusi di Venezuela pada Minggu (2/12) yang berakhir dengan penolakan rakyat Venezuela atas inisiatif Presiden Hugo Chavez untuk merevisi konstitusi.

Kedua peristiwa tersebut menarik untuk dicermati karena menyangkut nasib politik dua orang kuat yang telah memimpin Rusia dan Venezuela selama lebih dari dua periode. Fakta bahwa pemilu dan referendum sebagai mekanisme demokrasi telah digunakan untuk melanggengkan kekuasaan juga menarik untuk dicermati.

Kenyataan itu merupakan sesuatu yang bertolak belakang dengan nilai demokrasi itu sendiri, yaitu membatasi kekuasaan agar tidak mengkristal menjadi kekuasaan absolut yang berujung pada tindak kesewenangan dari pemegang kekuasaan tersebut. Sebagaimana dikemukakan Lord Acton, "Power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutely."

Lalu, bagaimana kita menjelaskan dua peristiwa tersebut dalam konteks menilai kualitas demokrasi di Rusia dan Venezuela?

Menunggangi Demokrasi?

Rusia sebagai pewaris tunggal kebesaran Uni Soviet sesungguhnya belum terlalu akrab dengan ide-ide demokrasi. Tradisi yang dirintis Gorbachev sebagai pelopor pembaruan dan pencetus demokratisasi serta diperkuat Yeltsin telah diteruskan dengan baik oleh Putin.

Setelah delapan tahun berkuasa, Presiden Putin dikenal sebagai pemimpin Rusia yang berhasil. Putin dinilai telah mampu mengembalikan harga diri nasionalis dan kepercayaan bangsa Rusia yang merosot drastis sejak berakhirnya era perang dingin dan runtuhnya tembok Berlin.

Ditunjang dengan keberhasilan ekonomi Rusia, Putin memupuk modal politik untuk terus berkuasa. Konstitusi Rusia membatasi masa jabatan presiden hanya dua periode sehingga pada Maret 2008 Putin harus lengser untuk digantikan presiden baru hasil pemilu.

Selanjutnya, Putin membentuk Partai Rusia Bersatu yang digunakannya sebagai kendaraan politik untuk memenangi pemilu parlemen pada pekan lalu.

Kemenangan tersebut menjamin diperolehnya minimal 70 persen jumlah kursi di parlemen Rusia, jumlah yang cukup besar untuk menyiasati penyusunan undang-undang atau peraturan lain untuk kepentingan Putin.

Bisa diprediksi bahwa selanjutnya Putin akan menggunakan kekuatan di parlemen untuk mengamandemen konstitusi atau membuatnya terpilih menjadi perdana menteri (PM). Dengan posisi mayoritas di parlemen dan menduduki posisi sebagai PM, Putin tidak terlalu sulit untuk bertindak sebagai "King Maker" yang akan menentukan calon presiden yang akhirnya berpeluang besar memenangi pemilu presiden tahun depan. Dengan demikian, Putin dipastikan tetap akan memegang kendali politik sepenuhnya di Kremlin.

Meski banyak diprotes dari partai oposisi yang mengklaim telah terjadi banyak kecurangan dalam pemilu, Putin akan dengan mudah meyakinkan dan melegitimasikan hasil pemilu itu, baik ke publik internal maupun pihak luar. Postur politik yang dibangun Putin selama 8 tahun, ditambah kedekatan khususnya dengan Presiden Bush, cukup membantu memperkuat kredibilitas Putin, baik di mata publik Rusia maupun di mata dunia internasional.

Untuk itu, dunia sedang menunggu langkah-langkah lanjutan Putin untuk membuatnya tetap berkuasa di Rusia. Tentu langkah-langkah cantik dalam koridor demokrasi sedemikian rupa sehingga seorang Gary Kasparov yang mantan juara dunia catur dan kini memimpin barisan oposisi Rusia itu pun harus tunduk.

Demokrat Sejati?

Hal yang menarik dari referendum nasional Venezuela adalah hasil penghitungan suara yang ternyata mayoritas menentang revisi konstitusi. Padahal, pihak Chavez dengan yakin dan percaya diri mengusulkan dan menyelenggarakan referendum yang diperhitungkan pasti didukung mayoritas rakyat.

Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa rakyat Venezuela sudah tidak begitu mengultuskan Presiden Chavez sebagaimana terjadi pada periode awal pemerintahannya.

Boleh jadi, itu juga refleksi dari kebosanan rakyat Venezuela akan sikap hyper-megalomania yang sering ditunjukkan Chavez setiap kali tampil di forum-forum internasional. Sikap Chavez tersebut memang banyak mengangkat citra Venezuela sebagai negara yang aktif menggalang koalisi anti-Amerika Serikat di kawasan Amerika Latin. Secara pribadi, Chavez juga sering digadang-gadang sebagai calon pengganti Fidel Castro.

Namun, berbeda dengan Castro, Chavez di puncak kepopuleran dan kekuasaannya ternyata masih memilih jalan demokrasi untuk mengambil keputusan sangat krusial dan penting seperti halnya amandemen konstitusi.

Dengan demikian, kita bisa menilai bahwa Chavez adalah demokrat sejati. Hal itu diperkuat dengan sikapnya yang menerima secara terbuka kekalahan kubu proamandemen dalam referendum dan membuka jalan bagi calon presiden baru untuk berkompetisi secara bebas dalam pemilu tahun depan.


Ahmad Dahlan, Kabid Diklat Sesdilu Departemen Luar Negeri (Deplu) RI. Alumnus Saitama University Jepang (Email: gilzul@yahoo.com)


Tidak ada komentar: