Senin, 22 Oktober 2007

Mencari Model Rekonsiliasi Aceh

Sebuah pernyataan dari seorang ulama di Aceh menyebutkan, ide Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebenarnya tidak sesuai dengan semangat Islam. Menurut ulama itu, Islam menekankan islah, berdamai dengan memaafkan. Mengungkit masa lalu, apalagi yang tidak jelas, akan melahirkan konflik dan memberi mudharat (kesengsaraan) dibandingkan dengan maslahah mursalah (manfaat sosial). Sontak ide ini memicu polemik, terutama dari kelompok kontra, seperti aktivis prodemokratisasi dan HAM. Benarkah rekonsiliasi dianggap bukan jalan yang islami?

Antropologi kecemasan
Pernyataan itu, tidak secara sederhana dibaca sebagai sikap promiliterisme, tetapi lebih sebagai sikap yang terlalu hati-hati atas situasi antropologis Aceh. Setelah konflik 30 tahun terhenti oleh kesepakatan damai, masyarakat dianggap belum siap membicarakan ide sensitif itu.

Tahapan perdamaian yang dipungkasi pilkada tahun lalu dianggap lebih dari cukup. Padahal ide rekonsiliasi, selain eksplisit ada di nota kesepahaman Helsinki, juga memiliki arti lebih bagi proses demokratisasi dan perdamaian Aceh.
Perdamaian bukan "kata benda" yang selalu merujuk hasil dan dampak, tetapi merupakan proses dan dialektika yang selalu menuntut kerja keras agar bertahan kebugarannya. Perdamaian yang tidak aktif dipertahankan, akan kembali mengarah regresi, godaan untuk kembali berkonflik, dan involusi: perdamaian yang berjalan di tempat.
Perdamaian yang mengabaikan dimensi rekonsiliasi (dan peradilan HAM termasuk paket di dalamnya) sama dengan perdamaian formal yang belum menyentuh substansi. Proses deformasi perdamaian menuju tahap pelibatan seluruh potensi masyarakat adalah model rekonsiliasi untuk membangun Aceh dan nasional dengan sejarah yang lebih maju. Sisi lain rekonsiliasi, yaitu reunifikasi faksi masyarakat (bukan hanya pihak yang bertikai), juga penting dipikirkan, agar luka benar-benar bersih.

Mengingat yang benar
Gagasan rekonsiliasi terlalu dini dicurigai sebagai upaya mengungkit hal-hal yang tidak perlu atau membesarkan masalah yang masih "misterius" pada konflik Aceh masa lalu. Ide rekonsiliasi selalu dinilai negatif sebagai hanya menjadi agenda global dibandingkan tuntutan riil lokal.

Gagasan ini kian kekurangan nyali karena secara legal payung hukum untuk menjustifikasi mulai lunglai, sejak UU No 27/2004 yang mengatur Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Pembatalan beralasan bahwa UU KKR dianggap tidak mewakili asas keadilan dan penghargaan kepada korban. Ditambah lagi, tidak ada pengalaman yang dapat dijadikan rujukan rekonsiliasi ideal yang secara instan bisa digunakan.

Model Afrika Selatan terbentuk di atas meja kompromi pragmatis antara pribumi dan rezim apartheid. Model Timor Leste mensyaratkan pemaafan dengan semangat secepatnya melupakan (to forgive and forget at once). Timor Leste mempertimbangkan perasaan Indonesia sebagai aktor merajalelanya konflik dan penderitaan di bekas koloni Portugal itu. Model Rwanda mirip kompleksitas konflik Indonesia 1965-1966, saat ada sentimen menyejarah dan saling bantai antara suku Hutu dan Tutsi.

Model rekonsiliasi Aceh adalah semangat baru dalam bentuk dan proses. Jangan dilupakan, rekonsiliasi sebenarnya bukan sekadar jalan menuju proses maaf-memaafkan, tetapi, lebih jauh, penggeledahan tentang masa lalu untuk mengetahui kebenaran (seeking the truth of the past time).

Akar konflik
Benarkah inti konflik Aceh adalah GAM atau antropologi pemberontakan masyarakat Aceh sejak masa DI/TII? Atau, akar konflik aceh sebenarnya terkait dengan libido ekonomi global di daerah kaya tambang ini?
Pemberontakan hanya menjadi catatan kaki dan Hasan Tiro hanya figur antara yang mudah distigmatisasi, seperti Tan Malaka, Muso, atau Amir Syarifuddin dalam sejarah pemberontakan Indonesia? Atau sebenarnya ada banyak agenda besar yang lebih terpusat pada perilaku Jakarta dibandingkan dengan Aceh?

Model untuk merajut sejarah masa lalu adalah prinsip utama rekonsiliasi. Politik mengingat lebih penting daripada gairah menghukum, membalas dendam, atau memaafkan. Proses rekonsiliasi akan menilai apakah pihak bertikai mau mengingat dan bersaksi atas perilaku masa lalu?

Dalam konflik yang telah berkembang sebagai problem sosial, rekonsiliasi adalah jalan damai dengan mengenang (to forgive and remember). Tidak ada sesuatu yang patut dimaafkan dengan lupa karena tak mungkin memaafkan sesuatu yang tidak diingat.
Terakhir, yang juga penting dipertimbangkan dalam rekonsiliasi Aceh, tidak hanya menubuhkan pihak yang bertikai, tetapi juga pihak lain yang tidak tersangkut tetapi terseret. Merekalah para korban. Sebagian dari korban masih bisa bersaksi (survivor). Mereka tubuh yang harus bersuara atas ketimpangan dan kesunyian di masa lalu.

Teuku Kemal Fasya Ketua Komunitas Peradaban Aceh (KPA)

Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0710/23/opini/3930377.htm

Tidak ada komentar: